Home / Young Adult / Viona / 5. Turth or Dare

Share

5. Turth or Dare

Author: Butiran Rinso
last update Last Updated: 2021-06-14 20:25:34

Bel pulang sekolah berbunyi, gerombolan Lando sudah bertengger di parkiran. Lando sendiri duduk di atas kap mobilnya, menyesap rokok yang ada ditangan.

"Muka lo kenapa?" tanya Fano yang baru tiba.

"Biasa," jawab Lando, kembali menyebulkan asap rokok ke udara.

"Lo gak tahu Fan? Dia abis di pukulin tadi ...." Temannya seketika mengatupkan bibirnya, karena Lando melototinya.

"Lo berantem lagi? Sama siapa?" tuntut Fano, meminta penjelasan.

Lando mendengus, membuang puntung rokok ke tanah lalu menginjaknya. "Gak penting," ucap Lando.

"Seterah." Fano tak lagi menggubris Lando, ia memilih merokok dari pada menanyai Lando yang keras kepala.

"Lan, itu bukannya cewek yang tadi?" suara Bara menginterupsi mereka semua.

Lando langsung melihat ke arah koridor, di sana cewek yang tadi menyiramnya tengah berjalan beriringan dengan Keyla.

"Dia kenal Keyla?" celetuk Reyhan.

Fano yang awalnya tidak peduli kini mengalihkan perhatiannya ke koridor, saat mendengar nama Keyla disebut.

Lando mengeraskan rahangnya, emosinya menggebu-gebu. Ingatan akan kejadian di kantin kembali berputar di otaknya.

"Lando!" Lando menoleh melihat Reva berlari ke arahnya. "Gila lo!" Lando mendengus, ketika Reva menatapnya dengan nyalang. "Dasar psikopat!"

Lando sama sekali tidak peduli, ia juga tidak merasa bersalah melihat perempuan yang tak sadarkan diri akibat pukulannya yang teramat kencang.

"Bilangin sama temen lo, jangan sok berani jadi cewek." Lando mendecih, ia sudah berbalik hendak pergi tapi seseorang berlari dan sengaja menabrak bahunya.

Lando yang tersulut emosi seketika berbalik. "Woy!" teriak Lando, namun matanya langsung melebar saat melihat siapa pelakunya.

Dia, Levin!

Rival abadinya. Levin mengangkat tubuh cewek itu. Ia mengabaikan Lando namun sekilas Levin menoleh, menatap tajam Lando sebelum berlari menuju UKS.

Lando menatap kepergian Levin, tindakan cowok itu membuat Lando bertanya-tanya. Ada hubungan apa antara Levin dengan cewek itu? Baru kali ini Levin menunjukkan sikap pedulinya pada cewek. Setahu Lando, Levin dan dirinya sama. Sama-sama membenci perempuan.

Tak berselang lama Levin kembali datang, cowok itu menuju meja Lando dan teman-temannya yang sedang berkumpul di pojokan. Tanpa babibu Levin langsung melayangkan bogem mentahnya ke rahang Lando.

Levin membabi buta memukuli Lando, tak memberikan kesempatan Lando untuk melawan. Beruntung teman-teman Lando langsung melerainya, mereka menahan tubuh Levin yang terus-terusan ingin menerjang Lando yang sudah babak belur.

"Gue peringatin sama lo, jangan pernah sentuh dia barang seinci. Apalagi pake tangan kotor lo!" Levin meludah ke samping Lando, lalu pergi meninggalkan  Lando yang tak berdaya.

Lando mengepalkan tangannya. Matanya berkilat, sorot mata Lando masih tertuju pada Vio yang sedang berdiri di dekat mobil Mercedes-Benz warna hitam.

"Rik," panggil Lando. Erik yang duduk di depannya refleks mendongak. "Cari tahu soal dia."

Erik menoleh ke belakang, mengikuti tatapan Lando. Erik yang paham siapa yang dimaksud oleh Lando langsung mengangguk, mengacungkan sebelah jempolnya pada Lando. "Siip."

———————

Pelajaran terakhir baru saja usai, padahal  bel pulang sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Reva sedari tadi sudah menggerutu, menyumpah serapah guru botak yang memakan waktu lama pada jam pelajaran matematika.

Kepala Reva pening, rasanya mau pecah melihat rumus-rumus yang ada di papan tulis.

"Gila, si botak masih ngasih tugas segala. Hari ini banyak banget sih tugasnya." Reva menelungkupkan wajahnya ke meja, ia mengerang frustasi.

Vio tak menanggapi Reva, ia memilih merapikan buku-bukunya lalu bergegas pulang karena Keyla sudah mengintip di depan  kelasnya dari tadi. Vio menghela napasnya, padahal ia sudah bilang pada cewek itu agar tak perlu menunggu. Tapi lihat, dia begitu keras kkepal.

"Vi."

Vio menoleh ketika mendengar Reva memanggilnya. Cewek itu memiringkan kepalanya menatap Vio.

"Kerjain tugas di rumah gue yok, gue bingung. Gue gak tahu sama rumus-rumusnya, kepala gue mau pecah rasanya." Reva memijit kepalanya, memasang wajah melas.

"Gue gak bisa." Vio kembali melanjutkan kegiatannya.

"Please," rengek Reva. "Kalo bareng-bareng gue bisa minta tolong ajarin lo."

Vio mendengus, bukan diajarin, yang ada Reva hanya akan mencontek hasilnya. Vio sudah hapal dengan karakter Reva. Mana mau dia susah-susah mikir kalau ada jalan instan.

"Vi, please. Lo gak kasian sama gue?" Reva menggenggam tangan Vio, ia menunjukkan puppy eye miliknya. Sebenarnya itu tak membuat Vio terpengaruh, tapi Vio juga tidak enak karena Reva terus merengek. Akhirnya ia menyetujui ajakan Reva.

"Tapi gue musti izin dulu, lo tunggugue di parkiran aja. Ntar gue susulin," ucap Vio.

"Siap, boskuh." Reva mengacungkan kedua jempolnya ke hadapan Vio. "Kalau gitu sampai ketemu di parkiran, bye baby."

Vio mendengus, mendengar Reva lagi-lagi memanggilnya baby. Vio pun beranjak berdiri, ia keluar kelas dan langsung disambut dengan berbagai pertanyaan yang dilontarkan Keyla.

"Vio, kamu gak papa kan?" Keyla memegangi kedua bahu Vio, memperhatikan Vio dari atas sampai bawah. "Gak ada yang luka kan? Ah, hidung kamu." Keyla meringis melihat hidung Vio di plester atasnya. "Sakit banget ya?"

"Gue gak papa. Gak usah berlebihan." Vio menyingkirkan tangan Keyla dari bahunya, ia berjalan  lebih dulu.

"Kyaa, Vio!" Keyla berteriak karena Vio meninggalkannya begitu saja. "Ya, kenapa lo selalu ninggalin gue?"

Vio memutar bola matanya, enggan menanggapi pertanyaan Keyla yang gak penting.

"Vio, nanti kita ke Dokter ya. Aku bilang mama ntar, takutnya hidung kamu retak atau patah," ujar Keyla.

Vio seketika berhenti ia menoleh ke samping. Menatap Keyla yang tampak terkejut. "Gue gak papa, jadi lo gak perlu bawel. Ah, satu lagi. Lo jangan ngomong sama papa dan tante soal kejadian tadi di kantin."

"Tapi Vi————"

"Gue gak mau mereka kepikiran," sela Vio.

Keyla akhirnya menyerah, ia memilih diam. Keduanya berjalan beriringan menuju gerbang. Saat keduanya melewati parkiran, Vio menoleh dan matanya tanpa sengaja berpapasan dengan  sorot mata tajam yang tengah menatapnya.

Sadar akan hal itu, Vio langsung memalingkan wajahnya. Pura-pura tak melihat apa pun. Sepertinya cowok itu sangat membenci Vio. Setelah kejadian siang tadi saja tak ada itikad baik darinya.

Dasar berandalan!

Vio berhenti di samping mobil mama tirinya. Keyla sudah lebih dulu masuk, sementara Vio masih berdiri di luar.

"Loh, Vio kok lo gak masuk?" tanya Keyla.

Vio meremas jemarinya, ia bingung harus izin bagaimana. Vio takut jika mama tirinya tak akan mengizinkannya.

"Ada apa, Viona?" tanya Lina saat melihat Vio termenung.

"Em ... begini Tante ...." Vio gugup, bibirnya tiba-tiba kelu. "Aku, mau ke rumah temen. Boleh?" Vio memberanikan diri menatap wajah mama tirinya.

"Temen?" beo Lina.

"Iya Tante, mau ngerjain tugas. Besok musti dikumpulin." Vio tidak berbohong, karena memang tugasnya besok harus dikumpulkan.

"Pulangnya? Mau mama jemput?" Vio langsung menggeleng.

"Gak usah, Vio bisa naik taksi atau ojol."

"Oke, tapi jangan malem-malem ya. Kalau bisa sebelum papa pulang."

"Iya." Vio mengangguk.

"Tunggu." Keyla menyembulkan kepalanya keluar jendela. "Ponsel kamu." Keyla menyodorkan tangannya ke depan Vio.

"Ponsel? Buat apa?" Vio menaikkan sebelah alisnya, menatap bingung Keyla.

Keyla mengembuskan napas kasar. "Issh, lama buruan."

Tak ingin berdebat dengan Keyla, Vio memberikan ponselnya. Keyla tersenyum lebar saat menerimanya, entah apa yang Keyla lakukan pada ponsel Vio.

"Dah, beres." Ponsel Keyla tiba-tiba berbunyi. "Nih, gue udah save nomor gue di ponsel lo. Jadi kalau ada apa-apa, telepon gue. Oke."

"Hm." Vio mengambil ponselnya, lalu berjalan menuju parkiran.

"Vio, jangan pulang malem-malem!!" teriak Keyla, ketika mobilnya mulai berjalan.

Vio memutar bola matanya, tak menggubris teriakan Keyla. Ia segera menuju parkiran, menghampiri Reva yang sudah menunggunya dari tadi.

Perjalanan ke rumah Reva memakan waktu hampir setengah jam, rumah Reva berada di kawasan perumahan elit. Vio gak heran, melihat penampilan Reva yang serba branded ia sudah menebak jika Reva anak orang kaya.

Mobil Reva tiba di rumahnya, rumah yang sangat besar dan mewah, bergaya Eropa. Vio turun dari mobil, berjalan  mengikuti Reva di belakangnya.

"Rumah lo sepi," gumam Vio saat masuk ke dalam, matanya memperhatikan sekelilingnya.

"Iya, gue cuma tinggal berdua sama abang gue. Ada pembantu si, cuma mereka pulang kalau kerjaan udah beres."

Vio mengangguk. "Lo punya abang?" tanyanya lagi.

"Iya, tuh abang gue." Vio menunjuk ke arah tangga.

Matanya melebar saat melihat gerombolan teman-teman Reva waktu itu. Para senior, Vio mengernyitkan dahinya, bingung. Siapa yang dimaksud abangnya Reva.

"Pulang juga lo," celetuk Sam, membuyarkan lamunan Vio.

Sam berjalan menghampiri Reva. "Kita mau main TOD, kuy ikutan," ajak Sam.

"Gaklah, gue mau ngerjain tugas," sahut Reva, memberikan segelas air pada Vio.

"Oh, pantes ada dia. Hai, Vio." Sam melambaikan tangannya.

"Gak usah ladenin abang gue, mending ke kamar yok." Reva menarik lengan Vio.

"Abang? Jadi Sam itu ...."

"Iya, dia abang gue. Kenapa? Kita gak mirip ya?" Reva terkekeh geli. "Emang, dia jelek sementara gue cantik."

Vio mendengus mendengar Reva yang terlalu percaya diri, ia berjalan mengukuti Reva menaiki tangga dan saat itulah dia berpapasan dengan Levin.

Vio melotot, kenapa juga harus ada Levin si? teriak Vio dalam hati, pasalnya ia belum siap bertemu cowok itu.

Levin menatap Vio, tapi cowok itu sama sekali tak bersuara. Vio memalingkan wajahnya, ia berjalan cepat menuju kamar Reva.

Vio menyesal datang ke rumah Reva, tahu begitu dia lebih baik mengerjakan sendiri di rumah. Sudah satu jam berlalu dan Reva sama sekali tak mengerjakan tugasnya, ujung-ujungnya cewek itu mencontek miliknya.

"Akhirnya, selesai juga." Reva merenggangkan tangannya, menutup buku catatan miliknya. "Lo laper gak?"

Vio menggeleng, ia membereskan buku-bukunya, memasukkannya ke dalam tas. "Gue mau pulang."

"Yaelah, buru-buru amat, mending ikutan main TOD aja yuk," ajak Reva.

"Enggak deh."

"Ayo Vi, kapan lagi lo bisa main ke sini. Seru tahu, pokoknya lo bakal ketagihan."

Vio tetap menolak, tapi Reva si keras kepala bersikukuh memaksa Vio. Dia menyeret Vio ke ruang tamu.

"Ikutan dong," seru Reva saat tiba di ruang tamu.

"Kuy," sahut Agata.

Vio berdiri kaku, ia memalingkan wajahnya. Sadar jika Levin tengah menatapnya dan tatapan cowok itu begitu mengerikan.

Lama-lama Levin kaya Dedy cobuzer, tatap mata saya. Vio mendengus membayangkan hal itu.

"Vi, ayok." Reva menarik tangan Vio, menyuruhnya duduk di samping Reva.

Permainan TOD dimulai, botol mulai diputar oleh Bella. Semua orang tampak tegang, memperhatikan arah tutup botol dan saat botol berhenti seketika mereka bersorak kegirangan, karena botol tepat berhenti di depan  Levin.

"Akhirnya gue bisa balas dendam!" seru Agata.

Levin mendengus, ia tampak tak senang dengan hal itu.

"Truth or dare?" tanya Agata.

"Dare," jawab Levin.

"Cium cewek yang lo suka."

Hening.

Mereka semua saling tatap, kecuali Agata yang menyeringai. Mereka semua tahu betul jika Levin tak menyukai cewek. Tak ada satu pu  cewek yang dia suka hingga detik ini.

"Kalo gak ada lo harus minum jamu pa ...." Agata tercekat saat melihat Levin mencium Viona yang duduk berhadapan dengannya.

Begitupun yang lain, mereka melongo menyaksikan adegan langka itu. Seorang Levin mencium cewek dan cewek itu Viona.

"Daebak!" seru Reva, bibirnya menganga melihat adegan yang membuat jiwa jomblonya berteriak histeris.

"Dia normal?" gumam Sam.

"Hooh," sahut Bella.

Sementara teman-teman yang lain hanya melong, menyaksikan Levin mencium Viona.

Related chapters

  • Viona   6. Terjebak

    Viona bersumpah pada dirinya sendiri, untuk tidak lagi datang ke rumah Reva. Vio benar-benar menyesal, sekarang dirinya justru terjebak di dalam rumah Reva tanpa bisa pulang karena di luar hujan deras.Vio benar-benar mengutuk hari ini. Hari yang begitu sial, hari di mana ia kehilangan ciuman pertamanya dan lebih sialnya lagi, Levin yang merenggutnya.Arrggg! Vio mengerang frustasi. Merutuki diri sendiri.Apa tidak ada cowok lain? Kenapa harus Levin?Ponsel Vio tiba-tiba berbunyi, mengalihkan perhatiannya. Vio segera menjauh dari teman-temannya, mencari tempat sepi untuk menjawab telepon."Halo," ucap Vio ketika sambungan telepon diangkat.

    Last Updated : 2021-06-14
  • Viona   7. Basecamp

    Lando mendengus, ketika melihat Levin menggendong seorang cewek. Cewek yang sama dengan cewek kemarin. Lando semakin penasaran apa hubungan Levin dengan cewek itu? Kalau benar cewek itu spesial untuk Levin, itu akan jadi kesempatan bagus bagi Lando menjatuhkan Levin.Lando tersenyum miring, ia kembali berjalan menuju kelasnya. Bel masuk berbunyi dan kebetulan kelas Lando jam kosong. Ia duduk di bangku paling belakang, menyesap rokok dan menyebulkannya ke udara."Lo udah dapet apa yang gue minta?" Suara Lando menginterupsi teman-temannya yang sedang mabar, seketika mereka menoleh. Lando melemparkan tatapannya ke salah satu temannya."Ah, sudah?" ucap Erik yang paham dengan ucapan Lando barusan. "Namanya Viona," kata Erik mulai memberitahu, matanya kembali fokus ke layar ponsel dan jemar

    Last Updated : 2021-06-14
  • Viona   8. Mutiara

    Vio berusaha mengontrol tubuhnya, ia menyeret kakinya melangkah mengikuti Reva masuk ke dalam. Vio mengabaikan Levin yang tengah menatapnya dengan ekspresi tak terbaca.Cowok aneh!Vio heran, kenapa Levin terus memandanginya? Perasaan gak ada yang aneh sama penampilannya. Vio hanya memakai kaus oblong dan celana jeans selutut, ia pikir penampilannya biasa aja.Lalu kenapa Levin menatapnya seperti itu?"Vi, sini dah. Gue kenalin lo sama yang lain." Reva menarik lengan Vio, menyentak Vio dari pikirannya. Reva membawanya ke ruang tengah. "Gaesss, kenalin temen gue. Namanya Viona."Vio menarik kedua sudut bibirnya, mengulas senyum terpaksa. Vio menatap satu-persatu teman-teman Reva, mere

    Last Updated : 2021-06-14
  • Viona   9. Bahagia

    Jika kamu tak mendapatkan kebahagian, maka ciptakanlah sendiri kebahagianmu.-Levin-"Kalo lo merasa gak dapet kebahagian, kenapa gak lo ciptain sendiri?""Hidup itu sulit gak perlu ditambah rumit. Asal lo bahagia, kenapa lo harus peduli dengan apa kata orang. Mereka saja belum tentu peduli sama lo.""Lakukan apa pun yang membuat lo bahagia."Ucapan Levin terus terngiang di pikiran Vio, membangkitkan tekadnya yang telah lama mati suri. Vio memandang Levin yang tengah berjoged bersama badut mampang, tingkah lucunya membuat Vio tanpa sadar ikut tertawa.Jik

    Last Updated : 2021-06-14
  • Viona   10. Perhatian

    Bagaimana bisa gue gak peduli kalau lo orang pertama yang menarik perhatian gue.-Levin-Motor Levin berhenti di depan bangunan tua, dari luar tampak gelap tapi terlihat ada cahaya di dalamnya. Levin turun, ia berjalan tanpa ragu mendobrak pintu hingga menimbulkan bunyi nyaring. Orang-orang di dalamnya terperanjat, mereka menoleh ke arah kedatangan Levin."Cari mati tuh anak," gumam salah seorang."Siapa?" tanya teman di sebelahnya."Temannya Sam.""Wow, coba lihat siapa yang datang? Kita kedatangan tamu tak diundang gaesss!" seru salah seorang yang Levin yakini pentolan dari geng itu. Geng ga

    Last Updated : 2021-06-14
  • Viona   11. Kiss Me

    Terkadang manusia itu sok tahu segalanya, padahal tidak tahu apa-apa. Hanya bermulut besar untuk terlihat tangguh. -Viona- Langkah Vio memelan ketika selentingan itu mengusik gendang telinganya. Vio berusaha keras untuk tidak terpancing, sebisa mungkin mengontrol emosi yang mencuat ke ubun-ubun. "Oh, jadi dia cuma anak pungut dong." "Atau mungkin anak pembantunya yang dibiayain sekolah gitu kaya disinetron-sinetron." "Gue kira dia beneran saudaranya Keyla, tapi emang gak mungkin sih kan mereka beda." "Kasian ya gak diakui bapaknya."

    Last Updated : 2021-06-17
  • Viona   12. Karma

    Keyla pulang dengan wajah tertunduk, menyembunyikan matanya yang sembab karena berjam-jam ia habiskan untuk menangis di UKS."Kok udah pulang?" tanya Lina yang baru saja keluar dari dapur, ia melirik ke jam dinding yang baru menunjukkan pukul 13.00. Biasanya sekolah dibubarkan pukul 14.00, Lina jadi merasa curiga, ditambah Viona juga tidak ikutan pulang bersamanya. "Viona mana?"Keyla masih memilih diam, meremas jemarinya. Mendengar nama Viona disebutkan, hatinya kembali sesak, sakit luar biasa ketika mengingat kejadian tadi di kantin. Saat dengan lantangnya Vio bilang jika dirinya anak pelakor.Keyla tahu Vio tidak pernah bisa menerimanya, apa pengorbanannya untuk bisa dekat dengan Vio masih kurang? Keyla menurunkan egonya, terus berusaha mendekat meski berkali-kali ditolak. Tapi apa

    Last Updated : 2021-07-16
  • Viona   13. Peringatan

    Don't touch mine if you still want to live-Levin-Vio memiringkan kepalanya, bersandar menatap keluar jendela. Ia masih bisa melihat pantai di sepanjang jalan yang dilaluinya. Vio tersenyum tipis, mengingat banyak hal yang ia lakukan tadi bersama Levin.Untuk pertama kalinya, Vio merasa hidup. Ia tertawa lepas, merasakan debaran bahagia meski tubuhnya berkali-kali di lempar ke dalam air. Bahkan Vio lupa kapan terakhir ia merasa sebahagia ini dan itu semua berkat Levin.Vio menolehkan kepalanya ke samping, menatap Levin yang tampak fokus menyetir. Wajahnya masih sama, terlihat datar dan terkesan dingin. Tapi kenapa Vio merasa hatinya menghangat setiap kali bersama.

    Last Updated : 2021-07-16

Latest chapter

  • Viona   Malam Terindah

    Meski sempat mengalami penurunan kesehatan selama beberapa hari lepas kepergian Keyla dan mama tirinya ke Australia, kesehatan Viona berangsur pulih berkat dukungan dari Levin yang selalu ada di sampingnya dan juga om Anton yang selalu mengupayakan berbagai opsi untuk penyembuhan. Teman-teman Levin juga selalu mengunjungi Viona, mereka sering menghibur Viona agar tidak larut dalam kesedihan.Awalnya Dokter menolak usul dari om Anton untuk segera melakukan operasi transplantasi sumsum tulang belakang dengan alasan kesehatan Viona yang belum stabil. Namun, setelah beberapa hari pemantauan dan kesehatan Viona mulai membaik. Dokter akhirnya setuju untuk segera melakukan operasi tersebut.Kini sebulan pasca operasi sumsum tulang belakang dijalani Viona. Proses pemulihan Viona juga berjalan lancar. Sekarang keadaannya jauh lebih baik, m

  • Viona   Nggak Sabar

    Reva menatap nanar alat cukur rambut di tangannya. Rasanya begitu berat ketika ia harus memakai alat tersebut. Padahal selama ini ia biasa memakai alat itu untuk mencukur rambut Sam dan teman-teman cowok di tongkrongannya yang nggak mau modal buat kebarbershopdan memilih gratisan memakai jasanya.Viona yang menyadari keterdiaman Reva, sontak menoleh ke belakang. Di mana gadis itu berdiri di belakang kursi rodanya. "Rev, kenapa?" tanyanya.Reva tersadar, dengan cepat mengubah ekspresinya. Ia tidak mau kalau sampai Viona melihat raut wajahnya yang sedih. "Eh, nggak papa kok." Reva menyengir, berharap Viona tidak curiga.Namun, bukan Viona namanya kalau langsung percaya begitu saja. Viona menatap lekat wajah Reva, menyalami pandangan gadis itu, seolah mencari kebenara

  • Viona   Kesempatan Terakhir

    Sudah berbulan-bulan Dimas memandangi Viona yang sedang terlelap dari balik kaca yang ada di pintu ruang rawat Viona. Tak sekalipun ia berani menunjukkan batang hidungnya di depan putri kandungnya itu. Meski keinginan untuk melihat lebih dekat terus menggebu dalam dada, tapi perasaan bersalah menahannya sampai depan pintu.Dimas menyeka air matanya, hal yang sering terjadi setiap kali ia memandangi Viona yang meringis menahan sakit bahkan dalam keadaan tak sadar. Seperti yang saat ini ia saksikan, Viona terus merintih dalam tidurnya. Ingin sekali Dimas masuk ke dalam, membelai lembut kepala putrinya, menenangkan atau kalau perlu mengambil alih rasa sakit itu. Walau ia tahu, keadaannya sudah berubah dan tak ada yang bisa ia benahi lagi. Meskipun rasa penyesalan terus merongrong, tapi semua sudah terlambat, keegoisannya membuat semua yang ia lakukan saat ini pun sia-sia.

  • Viona   Manis

    Setelah seharian mencari ke sana-sini tanpa ada kejelasan, akhirnya Lina menemukan titik terang ketika ia mendapatkan telepon dari Viona yang mengatakan kalau Keyla ada di sana. Berkali-kali Lina mengucap rasa syukur, kekalutan dalam pikiran dan benak yang berkecamuk berangsur melega seiring dengan laju mobil Dimas menuju ke rumah sakit———tempat Viona dirawat saat ini.Awalnya Lina memutuskan untuk pergi dari rumah, bahkan ia sudah mengemasi beberapa pakaiannya dan pakaian Viona untuk beberapa waktu ke depan. Ia ingin menenangkan diri sekaligus memberikan efek jera pada suaminya yang egois dan keras kepala, berharap dengan kepergiannya sesaat akan membuat Dimas paham dan mau berubah.Namun, serangkaian rencana yang sudah ia rancang dengan matang harus berakhir berantakan ketika ia menerima panggilan dari wali kelas Key

  • Viona   Korban

    Semilir angin bertiup lambat, udara yang begitu sejuk saat menjelang sore. Hilir mudik petugas medis menjadi pemandangan yang biasa di koridor rumah sakit. Namun, mata Anton tak sedikitpun teralihkan, fokusnya masih tertuju pada Viona yang tengah duduk di taman ditemani oleh Levin. Senyumnya mengembang melihat keponakannya dapat tersenyum lagi, padahal beberapa hari yang lalu tampak sangat terpuruk. Anton bersyukur karena usahanya meyakinkan pak Tama tidak sia-sia, apalagi fakta kalau mereka merupakan relasi bisnis mempermudah semua usahanya untuk membawa Levin."Jadi, apa langkah selanjutnya Dok? Sepertinya keadaan Viona sudah mulai stabil, apa kita bisa langsung melangkah ke step selanjutnya? Bukankah lebih cepat jauh lebih baik untuk kesembuhan Viona?" Anton menolehkan kepalanya pada Dokter Bima yang berdiri di sampingnya, Dokter spesialis Hematolog yang menangani kasus Viona beberapa

  • Viona   Aku di sini

    Viona terbangun saat merasakan usapan lembut di pipinya, membuat kelopak matanya perlahan terbuka. Samar terlihat wajah seseorang yang selalu mengisi pikirannya akhir-akhir ini, seseorang yang selalu ia tunggu kehadirannya. Namun, ia sadar kalau orang itu tidak mungkin datang dan yang ia lihat hanyalah bayangan semu.Viona menghela napas panjang, begitu kecewa. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain. "Kamu di mana Vin, aku merindukanmu," gumam Viona seraya memejamkan matanya kembali, berharap mimpi buruk ini segera usai."Aku di sini." Suara yang sangat familiar itu menyentak Viona, matanya seketika terbuka lebar dan menatap seseorang di sampingnya yang kini terlihat lebih jelas dari sebelumnya."Levin," lirih Viona, setengah tak percaya kalau yang dilihatnya memang Levin, bukan se

  • Viona   Kecolongan

    Viona terbangun ketika mendengar suara dari samping, matanya perlahan terbuka bersamaan dengan harum maskulin yang menyeruak ke indera penciumannya. Samar-samar ia melihat sesosok cowok berdiri membelakangi dirinya, seakan yakin kalau itu Levin, Viona lantas memanggilnya."Levin." Suara Viona yang terdengar pelan berhasil menarik atensi cowok itu. Namun, ia harus menelan kekecewaan ketika netranya menangkap dengan jelas wajah cowok itu saat membalikkan badan dan ternyata cowok itu bukan Levin, melainkan orang lain."Hai," sapa cowok itu, menyunggingkan senyumnya seramah mungkin. "Gimana keadaan lo——""Ngapain lo ke sini?" sergah Vio, memotong ucapan cowok itu. Ekspresinya terlihat tidak menyukai kehadiran cowok itu."Ngapa

  • Viona   Rindu

    Dimas bergegas pulang lebih cepat ketika Laras—istrinya——memberitahukan kalau Viona demam. Putri kesayangannya yang baru berusia satu tahun itu mengalami demam tinggi sejak siang.Sesampainya di rumah, Dimas segera berlarian masuk menuju kamar Viona. Namun, ketika ia sampai di depan kamar, suara dari dalam menghentikan langkahnya."Stop Anton! Hentikan omongkosongmu! Dia bukan anakmu! Harus aku bilang berapa kali, dia bukan anakmu!"Dimas terkesiap kala mendengar teriakan Laras dari dalam kamar. Apalagi istrinya itu menyebut nama Anton, adik angkatnya. Dimas masih terdiam di depan pintu yang tertutup rapat, menahan rasa penasaran yang menggebu-gebutentang apa yang sedang terjadi di dalam sa

  • Viona   Surat Wasiat

    Dimas duduk termenung, memandangi Viona yang terbujur lemas tak berdaya di atas ranjang rumah sakit dengan selang infus menancap di tangannya. Sudah satu jam berlalu ia duduk tanpa melakukan aktivitas apa pun selain menatap wajah pucat Viona, seraya mengusap tangan putrinya itu yang terdapat memar."Putri Anda terkenaLeukemia limfositik kronisatau yang biasa disebut kanker darah."Ucapan Dokter yang memeriksa Viona kembali berputar-putar di kepala Dimas, seperti kaset rusak yang berhasil menghancurkan tembok kokoh dalam hatinya. Sekeras apa pun ia menahan diri untuk tidak menangis, nyatanya pertahanannya runtuh. Air mata yang ditahan di pelupuk mata seketika keluar bagaikan air bah."Maafkan papa, Viona." Dimas terisak, menutup wajahnya yang tak kuasa menu

DMCA.com Protection Status