Home / Young Adult / Viona / 9. Bahagia

Share

9. Bahagia

Author: Butiran Rinso
last update Last Updated: 2021-06-14 20:30:47

Jika kamu tak mendapatkan kebahagian, maka ciptakanlah sendiri kebahagianmu.

-Levin-

"Kalo lo merasa gak dapet kebahagian, kenapa gak lo ciptain sendiri?"

"Hidup itu sulit gak perlu ditambah rumit. Asal lo bahagia, kenapa lo harus peduli dengan apa kata orang. Mereka saja belum tentu peduli sama lo."

"Lakukan apa pun yang  membuat lo bahagia."

Ucapan Levin terus terngiang di pikiran Vio, membangkitkan tekadnya yang telah lama mati suri. Vio memandang Levin yang tengah berjoged bersama badut mampang, tingkah lucunya membuat Vio tanpa sadar ikut tertawa.

Jika sedang tertawa lepas seperti itu, Levin tak terlihat menyeramkan, ia malah terlihat sangat tampan dan menggemaskan. Lihat saja, tanpa merasa malu Levin menggoyangkan pantatnya mengikuti goyangan badut mampang.

"Makasih, Bang." Levin melambaikan tangannya pada badut mampang setelah memberikan selembar uang seratus ribu. Ia menoleh pada Vio yang masih tertawa.

Levin terdiam, ia terpesona oleh tawa Vio. Matanya yang menyipit dengan pipi terangkat ke atas. Vio terlihat dua kali lipat lebih cantik.

"Cantik," gumam Levin.

"Ya?" Vio berhenti tertawa, menatap bingung Levin.

Levin yang sadar dari lamunannya, seketika menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia terlihat salting, tapi dengan cepat Levin merubah sikapnya jadi seperti biasa. Ia duduk di samping Vio, memalingkan wajahnya menatap Vio.

"Gue baru tahu kalo lo bisa ketawa juga," kata Levin.

"Apa?" Vio berdehem, memalingkan wajahnya. Entah kenapa ia kembali merasa terintimidasi dengan tatapan Levin. Padahal cowok itu tidak menatapnya dengan tajam. "Bisalah, emangnya gue Limbad gak pernah ketawa."

Levin mendengus geli, merebahkan tubuhnya di atas rumput memandang langit yang penuh bintang. "Laper gak?" tanya Levin.

Vio menoleh, matanya terpaku pada wajah Levin yang terkena sinar lampu. Tentu saja Vio tidak menampik jika Levin tampan, tapi saat tenang seperti ini Levin terlihat jauh lebih tampan.

"Laper gak?"

Vio tersentak, matanya melotot karena Levin kini memiringkan tubuhnya. Menyangga kepalanya dengan sebelah tangan, cowok itu menatap Vio dengan ekspresi tak terbaca.

Vio merutuki dirinya sendiri, bisa-bisanya ia terpesona pada Levin dan sialnya malah kepergok. Bagaimana jika Levin berpikiran yang tidak-tidak? Bisa besar kepala dia?

"Laper gak?" ulang Levin, karena Viona tak kunjung memberikan jawaban.

Belum sempat Vio menjawab, perutnya lebih dulu bereaksi. Vio memejamkan matanya karena malu, sementara Levin mendengus geli. Pasti cowok itu tengah menahan tawa akibat suara perut Vio yang meraung seperti macan kelaparan.

"Ayo." Levin beranjak berdiri, mengulurkan tangannya ke depan Vio.

Vio mendongak, menatap Levin lalu beralih ke tangannya. Vio tampak ragu untuk menyambut tangan Levin. Menyadari hal itu, Levin langsung menarik tangan Vio. Sehingga tubuh Vio ikut terangkat berdiri. Vio hanya pasrah saat Levin menggenggam tangannya keluar dari taman dan berjalan  sepanjang trotoar.

Tanpa Vio tahu ke mana tujuan Levin.

Levin membawa Vio ke tempat kuliner malam yang tidak jauh dari taman. Di sana banyak berbagai stan makanan, baik lokal maupun luar negeri seperti makanan khas Korea yang banyak digemari.

"Mau apa?" tanya Levin, menolehkan kepalanya ke Vio.

"Apa aja," jawab Vio, matanya mengamati sekitar. Tempat ini sangat ramai dipenuhi pasangan muda mudi yang sedang malam mingguan.

"Nasi goreng mau?" Vio mengangguk, lalu keduanya berjalan ke penjual nasi goreng.

Tempat duduknya lesehan, sangat nyaman ditambah ada live musik dari penyanyi jalanan. Vio tampak antusias melihatnya, hingga ia terkesiap saat Levin meletakkan jaketnya di atas paha Vio.

"Biar gak dingin," kata Levin.

Vio hanya diam, memandang Levin. Setiap kali bersama Levin, Vio merasa ada sesuatu yang berbeda. Tapi Vio tidak tahu perasaan apa itu. Terkadang ia merasa takut juga nyaman di waktu yang bersamaan.

Malam semakin larut, Levin mengantarkan Vio dengan mengendarai motor kesayangannya. Setelah tiba di depan gerbang rumahnya, Vio segera turun. Ia melepaskan jaket Levin dan memberikannya pada cowok itu.

"Makasih," kata Vio.

Levin hanya mengangguk, mengambil jaketnya dan langsung memakainya karena udara malam ini cukup dingin.

"Orangtua lo kayanya belum pulang? Lo berani sendirian?" tanya Levin, memandang kediaman rumah Vio yang tampak sepi, untungnya listrik sudah menyala.

Vio mengangguk. "Lo bisa pergi sekarang."

"Ngusir nih?" sahut Levin.

"Bukan begitu, tapi———"

"Gue akan pergi kalau udah mastiin lo masuk ke dalem dengan aman," sela Levin.

Vio menghela napasnya, lalu mengangguk. "Gue masuk dulu."

Levin mengangguk, memandangi Vio sampai benar-benar masuk ke dalam. Setelah memastikan Vio masuk, Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Levin mengerutkan dahi saat melihat nama Reva di layar ponselnya.

"Halo," ucap Levin saat sambungan telepon diangkat. "Halo Rev, lo kenapa?" Levin tampak panik, mendengar suara Reva yang histeris dan ketakutan. "Oke, lo sharelok gue langsung meluncur ke sana." Levin bergegas memakai helmet, lalu menyalakan motor dan melajukannya dengan  kecepatan penuh.

—————————

Vio masih terjaga, ia tak bisa tidur karena memikirkan ucapan reporter tadi. Kata-kata reporter itu terus terngiang, memenuhi pikirannya. Vio berusaha untuk tidak peduli, tapi ia tidak bisa menyangkal perasaan sakit dan kecewa karena tidak diakui papanya sendiri.

Dadanya nyeri setiap kali Vio teringat fakta bahwa hanya Keyla yang diakui sebagai anak. Padahal Vio anak dari istri sah, bukankah harusnya Vio yang lebih berhak? Vio tak pernah marah saat papanya tak pernah ada untuknya, bahkan disaat hari ulang tahunnya sekalipun. Vio juga tidak menuntut papanya untuk selalu menyayanginya seperti dulu saat ia masih kecil. Tapi bolehkah Vio memohon untuk sebuah pengakuan?

Vio tidak suka ketika tatapan teman-teman Reva menatapnya dengan raut wajah kasian, Vio tidak ingin jika orang lain tahu akan kenyataan itu dan mengasihinya atau justru mencemooh dirinya. Vio tidak mau hal itu terjadi.

Suara mesin mobil mengalihkan  perhatian Vio, ia segera beranjak menuju balkon. Vio menatap ke bawah, di mana papanya baru saja pulang.

"Pa, besok-besok ajak aku lagi ya. Biar Keyla bisa ketemu Jefri Nichol kaya tadi," ucap Keyla setelah turun dari mobil.

"Iya, besok-besok kalau ada acara kaya tadi, papa ajak kamu."

Keyla langsung berseru kegirangan, ia berlarian masuk ke dalam sembari bersenandung. Vio tersenyum kecut melihat interaksi keduanya, bahkan  Vio bisa melihat senyum tulus yang ditunjukkan papanya. Hal yang tak pernah Vio dapatkan selama ini.

——————

Levin mengetatkan rahangnya, ia kini berada di rumah sakit. Suara tangisan Reva terus terdengar, keduanya duduk di kursi tunggu depan ruang operasi.

Levin bersumpah akan membuat pembalasan pada mereka semua. Tangannya terkepal erat, sorot matanya penuh dengan kebencian. Amarah Levin sudah mencuat ke ubun-ubun. Ia tidak terima jika sahabatnya diperlakukan seperti hewan.

"Vin."

Levin dan Reva menoleh, melihat kedatangan teman-temannya yang lain.

"Sam gimana?" tanya Arga.

"Masih di operasi," jawab Levin.

"Emang parah banget?" sahut Bagas.

Levin mengangguk, ia menoleh pada Bella dan Agata yang tengah menenangkan Reva. Baguslah mereka semua datang, jadi Levin bisa pergi.

"Lo semua temenin Reva, gue ada urusan bentar," kata Levin.

Arga dan Bagas mengangguk. Namun Reva menahan tangan Levin, hingga cowok itu berhenti dan menoleh ke arahnya.

"Lo mau ke mana?" tanya Reva dengn suara bergetar karena menahan isakan. "Jangan ke sana," kata Reva saat tahu ke mana Levin akan pergi.

"Lo tenang aja, gue bakal bales perbuatan mereka. Kalau perlu lebih buruk dari yang mereka lakukan ke Sam," ucap Levin, melepaskan tangan Reva dari pergelangan tangannya.

"Kalau gitu gue ikut," kata Bagas.

"Gak perlu, lo di sini temenin mereka." Levin benar-benar pergi setelahnya.

Related chapters

  • Viona   10. Perhatian

    Bagaimana bisa gue gak peduli kalau lo orang pertama yang menarik perhatian gue.-Levin-Motor Levin berhenti di depan bangunan tua, dari luar tampak gelap tapi terlihat ada cahaya di dalamnya. Levin turun, ia berjalan tanpa ragu mendobrak pintu hingga menimbulkan bunyi nyaring. Orang-orang di dalamnya terperanjat, mereka menoleh ke arah kedatangan Levin."Cari mati tuh anak," gumam salah seorang."Siapa?" tanya teman di sebelahnya."Temannya Sam.""Wow, coba lihat siapa yang datang? Kita kedatangan tamu tak diundang gaesss!" seru salah seorang yang Levin yakini pentolan dari geng itu. Geng ga

    Last Updated : 2021-06-14
  • Viona   11. Kiss Me

    Terkadang manusia itu sok tahu segalanya, padahal tidak tahu apa-apa. Hanya bermulut besar untuk terlihat tangguh. -Viona- Langkah Vio memelan ketika selentingan itu mengusik gendang telinganya. Vio berusaha keras untuk tidak terpancing, sebisa mungkin mengontrol emosi yang mencuat ke ubun-ubun. "Oh, jadi dia cuma anak pungut dong." "Atau mungkin anak pembantunya yang dibiayain sekolah gitu kaya disinetron-sinetron." "Gue kira dia beneran saudaranya Keyla, tapi emang gak mungkin sih kan mereka beda." "Kasian ya gak diakui bapaknya."

    Last Updated : 2021-06-17
  • Viona   12. Karma

    Keyla pulang dengan wajah tertunduk, menyembunyikan matanya yang sembab karena berjam-jam ia habiskan untuk menangis di UKS."Kok udah pulang?" tanya Lina yang baru saja keluar dari dapur, ia melirik ke jam dinding yang baru menunjukkan pukul 13.00. Biasanya sekolah dibubarkan pukul 14.00, Lina jadi merasa curiga, ditambah Viona juga tidak ikutan pulang bersamanya. "Viona mana?"Keyla masih memilih diam, meremas jemarinya. Mendengar nama Viona disebutkan, hatinya kembali sesak, sakit luar biasa ketika mengingat kejadian tadi di kantin. Saat dengan lantangnya Vio bilang jika dirinya anak pelakor.Keyla tahu Vio tidak pernah bisa menerimanya, apa pengorbanannya untuk bisa dekat dengan Vio masih kurang? Keyla menurunkan egonya, terus berusaha mendekat meski berkali-kali ditolak. Tapi apa

    Last Updated : 2021-07-16
  • Viona   13. Peringatan

    Don't touch mine if you still want to live-Levin-Vio memiringkan kepalanya, bersandar menatap keluar jendela. Ia masih bisa melihat pantai di sepanjang jalan yang dilaluinya. Vio tersenyum tipis, mengingat banyak hal yang ia lakukan tadi bersama Levin.Untuk pertama kalinya, Vio merasa hidup. Ia tertawa lepas, merasakan debaran bahagia meski tubuhnya berkali-kali di lempar ke dalam air. Bahkan Vio lupa kapan terakhir ia merasa sebahagia ini dan itu semua berkat Levin.Vio menolehkan kepalanya ke samping, menatap Levin yang tampak fokus menyetir. Wajahnya masih sama, terlihat datar dan terkesan dingin. Tapi kenapa Vio merasa hatinya menghangat setiap kali bersama.

    Last Updated : 2021-07-16
  • Viona   14. Diculik

    Kamu, kelemahan terbesarku.-Levin-🌺🌺🌺Vio memandangi layar ponselnya, beberapa notifikasi pesan dan panggilan tak terjawab memenuhi notifikasi bar-nya.Vio hanya memandangi pesan-pesan itu tanpa berniat membukanya. Pesan dan panggilan tak terjawab dari keluarganya, keluarga semu-nya.Untuk apa mereka mencari?Untuk apa mereka menyuruhnya pulang? Jika kehadirannya saja tak diinginkan.Apa mereka peduli?Mustahil!Pertanyaan demi pertanyaan mu

    Last Updated : 2021-07-16
  • Viona   15. Terkurung

    Vio duduk di kursi tunggu, ia terus merapalkan doa. Sedari tadi Vio gusar menunggu Levin yang tengah ditangani oleh Dokter. Bahkan jantungnya masih berdegup kencang, merasakan gejolak luar biasa akibat melihat kecelakaan yang menimpa Levin di depan matanya langsung."Berengsek!!"Vio terkesiap, ketika suara lantang terdengar bersamaan dengan suara lain yang memekakkan telinga. Vio menoleh, memperhatikan seorang cowok yang baru saja datang. Cowok itu terus mengumpat dan memaki, kakinya tak bisa diam. Dia menendang apa pun yang ada di sekitarnya termasuk tempat sampah yang baru saja ia tendang."Regan berhenti!" bentakan Mario mampu menghentikan Regan seketika.Cowok bernama Regan itu berjongkok di dekat dinding. Memegangi kepalanya, te

    Last Updated : 2021-07-16
  • Viona   16. Bunuh Diri

    Bara baru saja tiba, ia segera masuk ke rumah Lando. Di dalam banyak anggota gengnya yang sedang bermainbilyard, namun tak ada Lando di sana. Bara pun naik ke lantai satu dan menemukan Lando berada di balkon. Cowok itu sedang berdiri menatap langit, sambil menyebulkan asap rokok ke udara."Gimana?" tanya Lando ketika mendengar suara langkah kaki mendekat, tanpa perlu menoleh pun Lando tahu kalau itu sudah pasti Bara.Bara berhenti di samping Lando, ia menghela napasnya sejenak, kemudian menatap Lando lekat-lekat. "Kayanya lo musti berhenti sampai di sini aja."Lando seketika menoleh, menaikkan sebelah alisnya. Bara mengembuskan napas kasar, bingung harus menjelaskan dari mana. Tapi yang jelas situasinya sangat buruk saat ini.

    Last Updated : 2021-07-16
  • Viona   17. Pelakor

    Kabut menyelimuti, udara dingin berembus menusuk kulit. Sementara Viona hanya bisa berdiri kaku di tengah kegelapan. Ia sendiri tidak tahu sedang berada di mana, seakan buta arah Viona bingung harus melangkah ke mana."Viona." Terdengar suara lembut memanggilnya, sontak Viona berbalik."Mama," gumam Viona, matanya berkaca-kaca saat melihat seorang perempuan mengenakan gaun putih berdiri di ujung sana. Dari atas kepalanya muncul cahaya yang menyinarinya di kegelapan. "Mama ... Mama."Viona memberanikan diri untuk melangkah maju, semakin mendekat ke arah sang mama. Namun yang terjadi mamanya tiba-tiba menghilang, seketika berubah menjadi asap putih."Mama!" pekik Viona, setengah berteriak memanggil mamanya. "Mama, jangan tinggalin Viona

    Last Updated : 2021-07-16

Latest chapter

  • Viona   Malam Terindah

    Meski sempat mengalami penurunan kesehatan selama beberapa hari lepas kepergian Keyla dan mama tirinya ke Australia, kesehatan Viona berangsur pulih berkat dukungan dari Levin yang selalu ada di sampingnya dan juga om Anton yang selalu mengupayakan berbagai opsi untuk penyembuhan. Teman-teman Levin juga selalu mengunjungi Viona, mereka sering menghibur Viona agar tidak larut dalam kesedihan.Awalnya Dokter menolak usul dari om Anton untuk segera melakukan operasi transplantasi sumsum tulang belakang dengan alasan kesehatan Viona yang belum stabil. Namun, setelah beberapa hari pemantauan dan kesehatan Viona mulai membaik. Dokter akhirnya setuju untuk segera melakukan operasi tersebut.Kini sebulan pasca operasi sumsum tulang belakang dijalani Viona. Proses pemulihan Viona juga berjalan lancar. Sekarang keadaannya jauh lebih baik, m

  • Viona   Nggak Sabar

    Reva menatap nanar alat cukur rambut di tangannya. Rasanya begitu berat ketika ia harus memakai alat tersebut. Padahal selama ini ia biasa memakai alat itu untuk mencukur rambut Sam dan teman-teman cowok di tongkrongannya yang nggak mau modal buat kebarbershopdan memilih gratisan memakai jasanya.Viona yang menyadari keterdiaman Reva, sontak menoleh ke belakang. Di mana gadis itu berdiri di belakang kursi rodanya. "Rev, kenapa?" tanyanya.Reva tersadar, dengan cepat mengubah ekspresinya. Ia tidak mau kalau sampai Viona melihat raut wajahnya yang sedih. "Eh, nggak papa kok." Reva menyengir, berharap Viona tidak curiga.Namun, bukan Viona namanya kalau langsung percaya begitu saja. Viona menatap lekat wajah Reva, menyalami pandangan gadis itu, seolah mencari kebenara

  • Viona   Kesempatan Terakhir

    Sudah berbulan-bulan Dimas memandangi Viona yang sedang terlelap dari balik kaca yang ada di pintu ruang rawat Viona. Tak sekalipun ia berani menunjukkan batang hidungnya di depan putri kandungnya itu. Meski keinginan untuk melihat lebih dekat terus menggebu dalam dada, tapi perasaan bersalah menahannya sampai depan pintu.Dimas menyeka air matanya, hal yang sering terjadi setiap kali ia memandangi Viona yang meringis menahan sakit bahkan dalam keadaan tak sadar. Seperti yang saat ini ia saksikan, Viona terus merintih dalam tidurnya. Ingin sekali Dimas masuk ke dalam, membelai lembut kepala putrinya, menenangkan atau kalau perlu mengambil alih rasa sakit itu. Walau ia tahu, keadaannya sudah berubah dan tak ada yang bisa ia benahi lagi. Meskipun rasa penyesalan terus merongrong, tapi semua sudah terlambat, keegoisannya membuat semua yang ia lakukan saat ini pun sia-sia.

  • Viona   Manis

    Setelah seharian mencari ke sana-sini tanpa ada kejelasan, akhirnya Lina menemukan titik terang ketika ia mendapatkan telepon dari Viona yang mengatakan kalau Keyla ada di sana. Berkali-kali Lina mengucap rasa syukur, kekalutan dalam pikiran dan benak yang berkecamuk berangsur melega seiring dengan laju mobil Dimas menuju ke rumah sakit———tempat Viona dirawat saat ini.Awalnya Lina memutuskan untuk pergi dari rumah, bahkan ia sudah mengemasi beberapa pakaiannya dan pakaian Viona untuk beberapa waktu ke depan. Ia ingin menenangkan diri sekaligus memberikan efek jera pada suaminya yang egois dan keras kepala, berharap dengan kepergiannya sesaat akan membuat Dimas paham dan mau berubah.Namun, serangkaian rencana yang sudah ia rancang dengan matang harus berakhir berantakan ketika ia menerima panggilan dari wali kelas Key

  • Viona   Korban

    Semilir angin bertiup lambat, udara yang begitu sejuk saat menjelang sore. Hilir mudik petugas medis menjadi pemandangan yang biasa di koridor rumah sakit. Namun, mata Anton tak sedikitpun teralihkan, fokusnya masih tertuju pada Viona yang tengah duduk di taman ditemani oleh Levin. Senyumnya mengembang melihat keponakannya dapat tersenyum lagi, padahal beberapa hari yang lalu tampak sangat terpuruk. Anton bersyukur karena usahanya meyakinkan pak Tama tidak sia-sia, apalagi fakta kalau mereka merupakan relasi bisnis mempermudah semua usahanya untuk membawa Levin."Jadi, apa langkah selanjutnya Dok? Sepertinya keadaan Viona sudah mulai stabil, apa kita bisa langsung melangkah ke step selanjutnya? Bukankah lebih cepat jauh lebih baik untuk kesembuhan Viona?" Anton menolehkan kepalanya pada Dokter Bima yang berdiri di sampingnya, Dokter spesialis Hematolog yang menangani kasus Viona beberapa

  • Viona   Aku di sini

    Viona terbangun saat merasakan usapan lembut di pipinya, membuat kelopak matanya perlahan terbuka. Samar terlihat wajah seseorang yang selalu mengisi pikirannya akhir-akhir ini, seseorang yang selalu ia tunggu kehadirannya. Namun, ia sadar kalau orang itu tidak mungkin datang dan yang ia lihat hanyalah bayangan semu.Viona menghela napas panjang, begitu kecewa. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain. "Kamu di mana Vin, aku merindukanmu," gumam Viona seraya memejamkan matanya kembali, berharap mimpi buruk ini segera usai."Aku di sini." Suara yang sangat familiar itu menyentak Viona, matanya seketika terbuka lebar dan menatap seseorang di sampingnya yang kini terlihat lebih jelas dari sebelumnya."Levin," lirih Viona, setengah tak percaya kalau yang dilihatnya memang Levin, bukan se

  • Viona   Kecolongan

    Viona terbangun ketika mendengar suara dari samping, matanya perlahan terbuka bersamaan dengan harum maskulin yang menyeruak ke indera penciumannya. Samar-samar ia melihat sesosok cowok berdiri membelakangi dirinya, seakan yakin kalau itu Levin, Viona lantas memanggilnya."Levin." Suara Viona yang terdengar pelan berhasil menarik atensi cowok itu. Namun, ia harus menelan kekecewaan ketika netranya menangkap dengan jelas wajah cowok itu saat membalikkan badan dan ternyata cowok itu bukan Levin, melainkan orang lain."Hai," sapa cowok itu, menyunggingkan senyumnya seramah mungkin. "Gimana keadaan lo——""Ngapain lo ke sini?" sergah Vio, memotong ucapan cowok itu. Ekspresinya terlihat tidak menyukai kehadiran cowok itu."Ngapa

  • Viona   Rindu

    Dimas bergegas pulang lebih cepat ketika Laras—istrinya——memberitahukan kalau Viona demam. Putri kesayangannya yang baru berusia satu tahun itu mengalami demam tinggi sejak siang.Sesampainya di rumah, Dimas segera berlarian masuk menuju kamar Viona. Namun, ketika ia sampai di depan kamar, suara dari dalam menghentikan langkahnya."Stop Anton! Hentikan omongkosongmu! Dia bukan anakmu! Harus aku bilang berapa kali, dia bukan anakmu!"Dimas terkesiap kala mendengar teriakan Laras dari dalam kamar. Apalagi istrinya itu menyebut nama Anton, adik angkatnya. Dimas masih terdiam di depan pintu yang tertutup rapat, menahan rasa penasaran yang menggebu-gebutentang apa yang sedang terjadi di dalam sa

  • Viona   Surat Wasiat

    Dimas duduk termenung, memandangi Viona yang terbujur lemas tak berdaya di atas ranjang rumah sakit dengan selang infus menancap di tangannya. Sudah satu jam berlalu ia duduk tanpa melakukan aktivitas apa pun selain menatap wajah pucat Viona, seraya mengusap tangan putrinya itu yang terdapat memar."Putri Anda terkenaLeukemia limfositik kronisatau yang biasa disebut kanker darah."Ucapan Dokter yang memeriksa Viona kembali berputar-putar di kepala Dimas, seperti kaset rusak yang berhasil menghancurkan tembok kokoh dalam hatinya. Sekeras apa pun ia menahan diri untuk tidak menangis, nyatanya pertahanannya runtuh. Air mata yang ditahan di pelupuk mata seketika keluar bagaikan air bah."Maafkan papa, Viona." Dimas terisak, menutup wajahnya yang tak kuasa menu

DMCA.com Protection Status