Kabut menyelimuti, udara dingin berembus menusuk kulit. Sementara Viona hanya bisa berdiri kaku di tengah kegelapan. Ia sendiri tidak tahu sedang berada di mana, seakan buta arah Viona bingung harus melangkah ke mana.
"Viona." Terdengar suara lembut memanggilnya, sontak Viona berbalik.
"Mama," gumam Viona, matanya berkaca-kaca saat melihat seorang perempuan mengenakan gaun putih berdiri di ujung sana. Dari atas kepalanya muncul cahaya yang menyinarinya di kegelapan. "Mama ... Mama."
Viona memberanikan diri untuk melangkah maju, semakin mendekat ke arah sang mama. Namun yang terjadi mamanya tiba-tiba menghilang, seketika berubah menjadi asap putih.
"Mama!" pekik Viona, setengah berteriak memanggil mamanya. "Mama, jangan tinggalin Viona
Dua jam berlalu, Dimas hanya duduk memandangi Viona yang tengah tertidur pulas. Ia sama sekali tak bergerak ataupun membuka mulutnya.Entah apa yang ada di pikiran Dimas saat ini. Mungkinkah dia menyesal? Namun raut wajahnya yang datar sama sekali tak menunjukkan rasa bersalah sedikitpun. Bahkan bibirnya terus terkunci rapat, sama sekali tak ada kata yang meluncur dari mulutnya.Dimas beranjak dari duduknya, menatap sekilas Viona. Lalu berbalik, melangkah keluar dari ruangan itu.Ketika pintu tertutup, Viona perlahan membuka matanya. Menolehkan kepalanya ke arah pintu, memandangi pintu yang sudah tertutup rapat. Lalu mendongakkan kepalanya ke atas, menatap langit-langit ruang rawatnya.Vio perlahan membuka mata, kala merasakan usa
Viona memperhatikan Levin yang tengah mengupaskan buah apel untuknya. Tangannya begitu lihai memainkan pisau kecil, menguliti apel."Lo bolos?" tanya Viona, menyadari Levin masih mengenakan seragam sekolah, ditambah sekarang baru pukul 11:00.Levin mengangguk, tanpa mengalihkan fokusnya dari buah apel yang sedang ia kupas."Kenapa?"Levin berhenti, mengalihkan perhatian sepenuhnya ke Viona. Sebelah alisnya terangkat. "Kenapa?" beo Levin, menirukan pertanyaan Viona.Viona menghela napas pendek. "Maksudnya kenapa lo harus bolos?" jelas Viona. "Lo kan bisa ke sininya nanti pas pulang sekolah, gak harus bolos begini."Levin melanjutkan
Vio baru saja akan memejamkan mata ketika mendengar suara derit pintu. Matanya seketika terbuka, menyadari suara langkah kaki yang mendekat.Apa itu papanya?Rasa penasaran mendorong Vio untuk menyingkap selimutnya, namun Vio juga ragu. Bagaimana jika ternyata itu papanya, Vio dilema."Viona." Terdengar suara bisikan memanggilnya.Siapa? Vio semakin penasaran."Vio, udah tidur?" Suara yang begitu familiar di telinga Vio.Perlahan, Viona menurunkan selimutnya. Betapa terkejutnya Vio saat melihat seseorang yang dikenalnya berdiri di samping tempat tidur."Levin!" pekik Vio.
Hari ini Viona sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter. Sepanjang perjalanan, Vio memilih diam memalingkan wajahnya keluar jendela. Seakan tak peduli dengan atensi papanya, maupun mama tirinya dan Keyla."Berarti Vio besok udah bisa masuk sekolah dong Pa?" tanya Keyla disela-sela obrolan orangtuanya."Iya," jawab Dimas, melirik ke arah kaca spion di atasnya. Memperhatikan Vio yang menyenderkan kepalanya ke kaca."Asyik, kamu dengar Vio. Besok kamu bisa sekolah lagi, aku seneng. Akhirnya aku gak kesepian lagi." Keyla hendak memeluk Vio, namun tepisan kasar tangan Vio mengurungkan niatnya.Vio mendesis, merasa terganggu dengan suara Keyla. Tak ingin menggubris Keyla yang masih mengoceh, Vio memilih memejamkan mata. Hingga tak terasa mobi
Vio melotot saat Lando memajukan wajahnya, saraf-saraf dalam otaknya tiba-tiba tumpul, tubuhnya tak mampu merespon. Vio membeku ketika embusan napas cowok itu menerpa wajahnya, sampai dia tak menyadari Lando sudah memiringkan kepala dan mencium sudut bibirnya.Vio terkesiap, tangannya refleks mendorong dada Lando sampai terdorong mundur, menciptakan jarak lebar di antara keduanya. Napas Vio memburu, matanya menatap tajam Lando yang sedang mengusap bibir. Sialan!"Manis, kaya cherry. I likeit,"komentar Lando, tersenyum manis tapi di mata Vio seperti seringai setan jahanam."Stupid!" Satu kata yang berhasil lolos dari mulut Vio."What?" Lando sedikit terperangah mendengarnya.
Lando tersenyum miring saat melihat foto hasil jepretan Bara, foto dirinya saat mencium Vio di depan toilet."Lo yakin mau disebarin?" Bara tak habis pikir dengan jalan pikiran Lando yang meminta dia untuk memposting foto cowok itu. "Lo gak takut bokap lo tahu? Ini bakal jadi skandal buat lo bro." Untuk kesekian kali, Bara memperingatkan."Gue gak peduli." Lando mengembalikan ponsel Bara setelah mengirim foto tadi ke ponselnya. "Sisanya lo." Dia menepuk bahu Bara, kemudian melangkah pergi dari parkiran.Dari arah koridor kelas X, Levin baru saja keluar dari kelas Vio ketika bel masuk berbunyi. Dia berjalan santai, tak terpengaruh dengan beberapa siswa kelas X yang berlarian ke kelas. Namun suara dering ponsel menginterupsi langkahnya, lantas Levin berhenti sejenak untuk mengecek notifi
Levin tersenyum tipis, matanya tak lepas memandangi bibir Viona yang terus bergerak. Bahkan disaat cewek itu tengah mengomel, Vio justru terlihat sangat imut."Kamu dengerin aku nggak?""Aww!" Levin meringis, sudut bibirnya terasa perih karena Vio baru saja menekannya dengan kapas. "Dengerin kok.""Bohong," dengus Vio."Beneran." Levin meraih tangan Vio."Aku ngomong apaan coba?""Kamu bilang." Tangan Levin berpindah ke pipi Vio. "Kalau aku nggak boleh berantem-berantem lagi. Karena kamu nggak mau lihat wajah aku yang ganteng ini babak belur."Vio memutar bola matanya. "I don't
Motor Levin berhenti di depan gerbang rumah Vio, cewek itu segera turun, melepas helem dan jaket milik Levin."Kamu beneran nggak papa kan?" Pertanyaan sama untuk yang kesekian kali, semenjak kepulangan mendadak dari mall.Vio mengangguk, mengulas senyum tipis sembari memberikan helem dan jaket milik Levin. "No problem, kita masih punya waktu besok, lusa dan seterusnya."Levin meraih tangan Vio, mengusapnya lembut. "Maaf, aku janji sebagai gantinya waktu libur kita bisa habiskan waktu berdua buat kencan, gimana?""Oke." Jawaban singkat ditambah kerlingan mata Vio, berhasil menarik kedua sudut bibir Levin ke atas."Pacar aku mulai genit ya."
Meski sempat mengalami penurunan kesehatan selama beberapa hari lepas kepergian Keyla dan mama tirinya ke Australia, kesehatan Viona berangsur pulih berkat dukungan dari Levin yang selalu ada di sampingnya dan juga om Anton yang selalu mengupayakan berbagai opsi untuk penyembuhan. Teman-teman Levin juga selalu mengunjungi Viona, mereka sering menghibur Viona agar tidak larut dalam kesedihan.Awalnya Dokter menolak usul dari om Anton untuk segera melakukan operasi transplantasi sumsum tulang belakang dengan alasan kesehatan Viona yang belum stabil. Namun, setelah beberapa hari pemantauan dan kesehatan Viona mulai membaik. Dokter akhirnya setuju untuk segera melakukan operasi tersebut.Kini sebulan pasca operasi sumsum tulang belakang dijalani Viona. Proses pemulihan Viona juga berjalan lancar. Sekarang keadaannya jauh lebih baik, m
Reva menatap nanar alat cukur rambut di tangannya. Rasanya begitu berat ketika ia harus memakai alat tersebut. Padahal selama ini ia biasa memakai alat itu untuk mencukur rambut Sam dan teman-teman cowok di tongkrongannya yang nggak mau modal buat kebarbershopdan memilih gratisan memakai jasanya.Viona yang menyadari keterdiaman Reva, sontak menoleh ke belakang. Di mana gadis itu berdiri di belakang kursi rodanya. "Rev, kenapa?" tanyanya.Reva tersadar, dengan cepat mengubah ekspresinya. Ia tidak mau kalau sampai Viona melihat raut wajahnya yang sedih. "Eh, nggak papa kok." Reva menyengir, berharap Viona tidak curiga.Namun, bukan Viona namanya kalau langsung percaya begitu saja. Viona menatap lekat wajah Reva, menyalami pandangan gadis itu, seolah mencari kebenara
Sudah berbulan-bulan Dimas memandangi Viona yang sedang terlelap dari balik kaca yang ada di pintu ruang rawat Viona. Tak sekalipun ia berani menunjukkan batang hidungnya di depan putri kandungnya itu. Meski keinginan untuk melihat lebih dekat terus menggebu dalam dada, tapi perasaan bersalah menahannya sampai depan pintu.Dimas menyeka air matanya, hal yang sering terjadi setiap kali ia memandangi Viona yang meringis menahan sakit bahkan dalam keadaan tak sadar. Seperti yang saat ini ia saksikan, Viona terus merintih dalam tidurnya. Ingin sekali Dimas masuk ke dalam, membelai lembut kepala putrinya, menenangkan atau kalau perlu mengambil alih rasa sakit itu. Walau ia tahu, keadaannya sudah berubah dan tak ada yang bisa ia benahi lagi. Meskipun rasa penyesalan terus merongrong, tapi semua sudah terlambat, keegoisannya membuat semua yang ia lakukan saat ini pun sia-sia.
Setelah seharian mencari ke sana-sini tanpa ada kejelasan, akhirnya Lina menemukan titik terang ketika ia mendapatkan telepon dari Viona yang mengatakan kalau Keyla ada di sana. Berkali-kali Lina mengucap rasa syukur, kekalutan dalam pikiran dan benak yang berkecamuk berangsur melega seiring dengan laju mobil Dimas menuju ke rumah sakit———tempat Viona dirawat saat ini.Awalnya Lina memutuskan untuk pergi dari rumah, bahkan ia sudah mengemasi beberapa pakaiannya dan pakaian Viona untuk beberapa waktu ke depan. Ia ingin menenangkan diri sekaligus memberikan efek jera pada suaminya yang egois dan keras kepala, berharap dengan kepergiannya sesaat akan membuat Dimas paham dan mau berubah.Namun, serangkaian rencana yang sudah ia rancang dengan matang harus berakhir berantakan ketika ia menerima panggilan dari wali kelas Key
Semilir angin bertiup lambat, udara yang begitu sejuk saat menjelang sore. Hilir mudik petugas medis menjadi pemandangan yang biasa di koridor rumah sakit. Namun, mata Anton tak sedikitpun teralihkan, fokusnya masih tertuju pada Viona yang tengah duduk di taman ditemani oleh Levin. Senyumnya mengembang melihat keponakannya dapat tersenyum lagi, padahal beberapa hari yang lalu tampak sangat terpuruk. Anton bersyukur karena usahanya meyakinkan pak Tama tidak sia-sia, apalagi fakta kalau mereka merupakan relasi bisnis mempermudah semua usahanya untuk membawa Levin."Jadi, apa langkah selanjutnya Dok? Sepertinya keadaan Viona sudah mulai stabil, apa kita bisa langsung melangkah ke step selanjutnya? Bukankah lebih cepat jauh lebih baik untuk kesembuhan Viona?" Anton menolehkan kepalanya pada Dokter Bima yang berdiri di sampingnya, Dokter spesialis Hematolog yang menangani kasus Viona beberapa
Viona terbangun saat merasakan usapan lembut di pipinya, membuat kelopak matanya perlahan terbuka. Samar terlihat wajah seseorang yang selalu mengisi pikirannya akhir-akhir ini, seseorang yang selalu ia tunggu kehadirannya. Namun, ia sadar kalau orang itu tidak mungkin datang dan yang ia lihat hanyalah bayangan semu.Viona menghela napas panjang, begitu kecewa. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain. "Kamu di mana Vin, aku merindukanmu," gumam Viona seraya memejamkan matanya kembali, berharap mimpi buruk ini segera usai."Aku di sini." Suara yang sangat familiar itu menyentak Viona, matanya seketika terbuka lebar dan menatap seseorang di sampingnya yang kini terlihat lebih jelas dari sebelumnya."Levin," lirih Viona, setengah tak percaya kalau yang dilihatnya memang Levin, bukan se
Viona terbangun ketika mendengar suara dari samping, matanya perlahan terbuka bersamaan dengan harum maskulin yang menyeruak ke indera penciumannya. Samar-samar ia melihat sesosok cowok berdiri membelakangi dirinya, seakan yakin kalau itu Levin, Viona lantas memanggilnya."Levin." Suara Viona yang terdengar pelan berhasil menarik atensi cowok itu. Namun, ia harus menelan kekecewaan ketika netranya menangkap dengan jelas wajah cowok itu saat membalikkan badan dan ternyata cowok itu bukan Levin, melainkan orang lain."Hai," sapa cowok itu, menyunggingkan senyumnya seramah mungkin. "Gimana keadaan lo——""Ngapain lo ke sini?" sergah Vio, memotong ucapan cowok itu. Ekspresinya terlihat tidak menyukai kehadiran cowok itu."Ngapa
Dimas bergegas pulang lebih cepat ketika Laras—istrinya——memberitahukan kalau Viona demam. Putri kesayangannya yang baru berusia satu tahun itu mengalami demam tinggi sejak siang.Sesampainya di rumah, Dimas segera berlarian masuk menuju kamar Viona. Namun, ketika ia sampai di depan kamar, suara dari dalam menghentikan langkahnya."Stop Anton! Hentikan omongkosongmu! Dia bukan anakmu! Harus aku bilang berapa kali, dia bukan anakmu!"Dimas terkesiap kala mendengar teriakan Laras dari dalam kamar. Apalagi istrinya itu menyebut nama Anton, adik angkatnya. Dimas masih terdiam di depan pintu yang tertutup rapat, menahan rasa penasaran yang menggebu-gebutentang apa yang sedang terjadi di dalam sa
Dimas duduk termenung, memandangi Viona yang terbujur lemas tak berdaya di atas ranjang rumah sakit dengan selang infus menancap di tangannya. Sudah satu jam berlalu ia duduk tanpa melakukan aktivitas apa pun selain menatap wajah pucat Viona, seraya mengusap tangan putrinya itu yang terdapat memar."Putri Anda terkenaLeukemia limfositik kronisatau yang biasa disebut kanker darah."Ucapan Dokter yang memeriksa Viona kembali berputar-putar di kepala Dimas, seperti kaset rusak yang berhasil menghancurkan tembok kokoh dalam hatinya. Sekeras apa pun ia menahan diri untuk tidak menangis, nyatanya pertahanannya runtuh. Air mata yang ditahan di pelupuk mata seketika keluar bagaikan air bah."Maafkan papa, Viona." Dimas terisak, menutup wajahnya yang tak kuasa menu