Motor Levin berhenti di depan gerbang rumah Vio, cewek itu segera turun, melepas helem dan jaket milik Levin.
"Kamu beneran nggak papa kan?" Pertanyaan sama untuk yang kesekian kali, semenjak kepulangan mendadak dari mall.
Vio mengangguk, mengulas senyum tipis sembari memberikan helem dan jaket milik Levin. "No problem, kita masih punya waktu besok, lusa dan seterusnya."
Levin meraih tangan Vio, mengusapnya lembut. "Maaf, aku janji sebagai gantinya waktu libur kita bisa habiskan waktu berdua buat kencan, gimana?"
"Oke." Jawaban singkat ditambah kerlingan mata Vio, berhasil menarik kedua sudut bibir Levin ke atas.
"Pacar aku mulai genit ya."
Suara pukulan berkali-kali terdengar dari dalam ruangan. Tak lama setelah itu pintu ruangan terbuka, dua remaja yang masih mengenakan seragam putih abu-abu keluar dalam keadaan babak belur."Lando." Wanita yang sedari tadi menunggu di sofa, lantas beranjak menghampiri salah satunya. "Pasti sakit banget?" Wanita itu menatap miris wajah putranya yang penuh dengan lebam, kemudian dibalas gelengan kepala oleh Lando.Sementara cowok yang berdiri di samping Lando, memutar bola matanya, muak melihat adegan yang menurutnya lebay. Cowok itu lebih memilih untuk pergi, namun suara mama Lando berhasil menghentikan langkahnya."Kamu puas, Levin?"Ya, cowok itu memang Levin. Sepulangnya dari rumah Vio, dia langsung disambut oleh papanya yang naik p
"Mama meninggal lima tahun yang lalu, tepat di hari ulang tahunnya yang ketiga puluh delapan," ucap Levin, memecah keheningan beberapa saat yang lalu, setelah Vio selesai bercerita tentang masalah orangtuanya.Sontak Vio seketika menoleh, memperhatikan wajah Levin yang menatap lurus ke depan. Terlihat jelas raut kesedihan di wajah cowok itu. Merasakan kesedihan yang sama atas kehilangan orang yang dicintai, membuat Vio tergerak untuk menguatkan Levin. Dia menggenggam jemari tangan Levin, menatap lekat wajah cowok itu yang kini berganti menatap sendu dirinya."Kamu tahu, apa yang lebih menyakitkan dari kepergian mama?" Tentu Vio tidak tahu, dia tak bereaksi, namun genggaman tangannya pada Levin semakin erat. "Alasan mama meninggal yang lebih menyakitkan. Bahkan sampai detik ini aku belum bisa maafin mereka."
Keyla berjalan menuruni tangga, langkahnya memelan ketika melihat orangtuanya berada di meja makan. Mengabaikan eksistensi keduanya, Keyla terus berjalan. Namun suara bariton Dimas berhasil menghentikan langkah gadis itu."Keyla." Keyla berbalik, menatap papanya yang memanggil tanpa bersuara. "Sarapan dulu." Gadis itu mendengus pelan, ekspresinya begitu dingin. "Key——""Aku nggak laper," tukas Keyla, memotong ucapan papanya. "Mama nggak usah nganter aku." Keyla kembali bersuara saat melihat mamanya hendak beranjak dari tempat duduk. "Hari ini aku naik busway." Tanpa menunggu respon dari keduanya, Keyla berjalan keluar, mengabaikan panggilan mamanya."Key, Keyla." Lina menghela napas berat, cobaan datang bertubi-tubi. Selepas kepergian Viona kini Keyla juga ikut menghakiminy
Sepuluh menit berlalu, tak ada percakapan yang keluar dari mulut Vio maupun Keyla. Keduanya duduk di tepi kolam dengan pandangan lurus ke depan. Keyla yang sedari tadi ingin membuka suara selalu urung setiap kali melirik ekspresi datar Vio, dia tampak ragu-ragu untuk memulai percakapan lebih dulu.Vio menghela napas, jenuh karena harus terperangkap dalam situasi yang tidak nyaman. Hingga akhirnya dia membuka suara lebih dulu agar bisa cepat terbebas dari situasi canggung ini. "Ngapain lo ke sini?" Vio langsungto thepoint."Hah?" Keyla refleks menoleh, sedikit terkejut mendengar suara Vio namun dengan cepat dia menormalkan ekspresinya. "Aku khawatir sama kamu," ucap Keyla. "Tapi syukurlah ternyata kamu baik-baik saja. Aku sempat cemas karena kak Levin nggak bisa dihub————"
Vio membuka pintu kamar ketika suara ketukan dari luar terdengar. Saat pintu terbuka, sebuah senyuman samar menyambutnya. Pipinya memanas, jantung Vio serasa mau copot hanya karena ditatap Levin tanpa berkedip."Kenapa? Jelek ya?" Vio menunduk, memperhatikan penampilannya. "Aku nggak biasa pakaidresspendek begini," ucap Vio, menarik-narik ujungdresssabrina bagian bahu yang sedikit melorot."Cantik," ucap Levin."Ya?" Vio sontak mendongak, matanya saling beradu pandang dengan Levin yang masih setia memandanginya."Dress-nya," lanjut Levin, mendengkus geli saat melihat wajah Vio yang cengo. "Sama yang pakai juga cantik." Levin berbisik di telinga Vio, berhasil menyadarkannya.
Viona berjalan cepat menuju parkiran, mengabaikan panggilan Levin yang berusaha menyusulnya dari belakang."Vio." Levin mengusap kasar wajahnya, bingung dengan sikap Viona yang berubah jadi aneh setelah keluar dari bioskop.Apa mungkin karena ciuman tadi?Apa salahnya dengan hal itu?Levin tak mengerti kenapa Viona harus marah akan hal itu. Bukankah wajar jika sepasang kekasih saling berciuman? Oke, mungkin di sini memang Levin yang salah tempat saja."Hei." Levin meraih tangan Viona, menariknya ke belakang hingga gadis itu tertarik dan menabrak dadanya."Levin!" pekik Vio, matanya melotot karena kaget. "Lepas!" Dia berusaha melepas
Viona terbangun di tengah malam, merasakan tenggorokannya kering dan gatal. Ketika membuka mata sepenuhnya, dia baru sadar kalau Levin tidak ada di sampingnya."Levin," panggil Viona sembari mengucek sebelah matanya, berharap ada sahutan dari dalam kamar mandi. Tapi tak ada sahutan sama sekali yang menandakan kalau cowok itu tidak ada di kamar mandi. "Levin ke mana?" Viona bergumam pelan, turun dari kasur.Karena kehausan, lantas Viona memutuskan untuk mengambil minum sekalian mencari keberadaan Levin. Padahal seingat Viona, Levin tadi menemaninya sampai tertidur. Tapi sekarang cowok itu pergi entah ke mana.Ketika pintu terbuka, suara dentuman keras menyambut gendang telinga Viona. Suara nyaring dari musik yang sedang diputar begitu memekakkan telinga, ditambah lampu temaram dan kemer
Reva menepikan mobilnya di tepi jalan saat dirasa situasi sudah cukup aman dan tidak ada tanda-tanda anak buah papanya Levin mengejar. Dia menghela napas lega setelah melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh, kemudian menyandarkan kepala seraya memejamkan mata sejenak. Namun hal itu tak berlangsung lama, karena suara Viona kembali menginterupsi untuk kesekian kali."Reva, ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi, dan kenapa lo musti bawa gue pergi?Please, beritahu gue, jelasin ke gue, ada apa?" Reva yang sudah lelah dicecar berbagai pertanyaan Viona dari tadi akhirnya membuka mata, memiringkan tubuhnya untuk menghadap Viona."Lo yakin pengen tahu?" Anggukan kepala Viona jadi jawaban mutlak. Lantas Reva menghela napas panjang, meski Levin melarang untuk memberitahu Viona tentang apa yang terjadi. Tapi Reva tidak bisa terus di
Meski sempat mengalami penurunan kesehatan selama beberapa hari lepas kepergian Keyla dan mama tirinya ke Australia, kesehatan Viona berangsur pulih berkat dukungan dari Levin yang selalu ada di sampingnya dan juga om Anton yang selalu mengupayakan berbagai opsi untuk penyembuhan. Teman-teman Levin juga selalu mengunjungi Viona, mereka sering menghibur Viona agar tidak larut dalam kesedihan.Awalnya Dokter menolak usul dari om Anton untuk segera melakukan operasi transplantasi sumsum tulang belakang dengan alasan kesehatan Viona yang belum stabil. Namun, setelah beberapa hari pemantauan dan kesehatan Viona mulai membaik. Dokter akhirnya setuju untuk segera melakukan operasi tersebut.Kini sebulan pasca operasi sumsum tulang belakang dijalani Viona. Proses pemulihan Viona juga berjalan lancar. Sekarang keadaannya jauh lebih baik, m
Reva menatap nanar alat cukur rambut di tangannya. Rasanya begitu berat ketika ia harus memakai alat tersebut. Padahal selama ini ia biasa memakai alat itu untuk mencukur rambut Sam dan teman-teman cowok di tongkrongannya yang nggak mau modal buat kebarbershopdan memilih gratisan memakai jasanya.Viona yang menyadari keterdiaman Reva, sontak menoleh ke belakang. Di mana gadis itu berdiri di belakang kursi rodanya. "Rev, kenapa?" tanyanya.Reva tersadar, dengan cepat mengubah ekspresinya. Ia tidak mau kalau sampai Viona melihat raut wajahnya yang sedih. "Eh, nggak papa kok." Reva menyengir, berharap Viona tidak curiga.Namun, bukan Viona namanya kalau langsung percaya begitu saja. Viona menatap lekat wajah Reva, menyalami pandangan gadis itu, seolah mencari kebenara
Sudah berbulan-bulan Dimas memandangi Viona yang sedang terlelap dari balik kaca yang ada di pintu ruang rawat Viona. Tak sekalipun ia berani menunjukkan batang hidungnya di depan putri kandungnya itu. Meski keinginan untuk melihat lebih dekat terus menggebu dalam dada, tapi perasaan bersalah menahannya sampai depan pintu.Dimas menyeka air matanya, hal yang sering terjadi setiap kali ia memandangi Viona yang meringis menahan sakit bahkan dalam keadaan tak sadar. Seperti yang saat ini ia saksikan, Viona terus merintih dalam tidurnya. Ingin sekali Dimas masuk ke dalam, membelai lembut kepala putrinya, menenangkan atau kalau perlu mengambil alih rasa sakit itu. Walau ia tahu, keadaannya sudah berubah dan tak ada yang bisa ia benahi lagi. Meskipun rasa penyesalan terus merongrong, tapi semua sudah terlambat, keegoisannya membuat semua yang ia lakukan saat ini pun sia-sia.
Setelah seharian mencari ke sana-sini tanpa ada kejelasan, akhirnya Lina menemukan titik terang ketika ia mendapatkan telepon dari Viona yang mengatakan kalau Keyla ada di sana. Berkali-kali Lina mengucap rasa syukur, kekalutan dalam pikiran dan benak yang berkecamuk berangsur melega seiring dengan laju mobil Dimas menuju ke rumah sakit———tempat Viona dirawat saat ini.Awalnya Lina memutuskan untuk pergi dari rumah, bahkan ia sudah mengemasi beberapa pakaiannya dan pakaian Viona untuk beberapa waktu ke depan. Ia ingin menenangkan diri sekaligus memberikan efek jera pada suaminya yang egois dan keras kepala, berharap dengan kepergiannya sesaat akan membuat Dimas paham dan mau berubah.Namun, serangkaian rencana yang sudah ia rancang dengan matang harus berakhir berantakan ketika ia menerima panggilan dari wali kelas Key
Semilir angin bertiup lambat, udara yang begitu sejuk saat menjelang sore. Hilir mudik petugas medis menjadi pemandangan yang biasa di koridor rumah sakit. Namun, mata Anton tak sedikitpun teralihkan, fokusnya masih tertuju pada Viona yang tengah duduk di taman ditemani oleh Levin. Senyumnya mengembang melihat keponakannya dapat tersenyum lagi, padahal beberapa hari yang lalu tampak sangat terpuruk. Anton bersyukur karena usahanya meyakinkan pak Tama tidak sia-sia, apalagi fakta kalau mereka merupakan relasi bisnis mempermudah semua usahanya untuk membawa Levin."Jadi, apa langkah selanjutnya Dok? Sepertinya keadaan Viona sudah mulai stabil, apa kita bisa langsung melangkah ke step selanjutnya? Bukankah lebih cepat jauh lebih baik untuk kesembuhan Viona?" Anton menolehkan kepalanya pada Dokter Bima yang berdiri di sampingnya, Dokter spesialis Hematolog yang menangani kasus Viona beberapa
Viona terbangun saat merasakan usapan lembut di pipinya, membuat kelopak matanya perlahan terbuka. Samar terlihat wajah seseorang yang selalu mengisi pikirannya akhir-akhir ini, seseorang yang selalu ia tunggu kehadirannya. Namun, ia sadar kalau orang itu tidak mungkin datang dan yang ia lihat hanyalah bayangan semu.Viona menghela napas panjang, begitu kecewa. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain. "Kamu di mana Vin, aku merindukanmu," gumam Viona seraya memejamkan matanya kembali, berharap mimpi buruk ini segera usai."Aku di sini." Suara yang sangat familiar itu menyentak Viona, matanya seketika terbuka lebar dan menatap seseorang di sampingnya yang kini terlihat lebih jelas dari sebelumnya."Levin," lirih Viona, setengah tak percaya kalau yang dilihatnya memang Levin, bukan se
Viona terbangun ketika mendengar suara dari samping, matanya perlahan terbuka bersamaan dengan harum maskulin yang menyeruak ke indera penciumannya. Samar-samar ia melihat sesosok cowok berdiri membelakangi dirinya, seakan yakin kalau itu Levin, Viona lantas memanggilnya."Levin." Suara Viona yang terdengar pelan berhasil menarik atensi cowok itu. Namun, ia harus menelan kekecewaan ketika netranya menangkap dengan jelas wajah cowok itu saat membalikkan badan dan ternyata cowok itu bukan Levin, melainkan orang lain."Hai," sapa cowok itu, menyunggingkan senyumnya seramah mungkin. "Gimana keadaan lo——""Ngapain lo ke sini?" sergah Vio, memotong ucapan cowok itu. Ekspresinya terlihat tidak menyukai kehadiran cowok itu."Ngapa
Dimas bergegas pulang lebih cepat ketika Laras—istrinya——memberitahukan kalau Viona demam. Putri kesayangannya yang baru berusia satu tahun itu mengalami demam tinggi sejak siang.Sesampainya di rumah, Dimas segera berlarian masuk menuju kamar Viona. Namun, ketika ia sampai di depan kamar, suara dari dalam menghentikan langkahnya."Stop Anton! Hentikan omongkosongmu! Dia bukan anakmu! Harus aku bilang berapa kali, dia bukan anakmu!"Dimas terkesiap kala mendengar teriakan Laras dari dalam kamar. Apalagi istrinya itu menyebut nama Anton, adik angkatnya. Dimas masih terdiam di depan pintu yang tertutup rapat, menahan rasa penasaran yang menggebu-gebutentang apa yang sedang terjadi di dalam sa
Dimas duduk termenung, memandangi Viona yang terbujur lemas tak berdaya di atas ranjang rumah sakit dengan selang infus menancap di tangannya. Sudah satu jam berlalu ia duduk tanpa melakukan aktivitas apa pun selain menatap wajah pucat Viona, seraya mengusap tangan putrinya itu yang terdapat memar."Putri Anda terkenaLeukemia limfositik kronisatau yang biasa disebut kanker darah."Ucapan Dokter yang memeriksa Viona kembali berputar-putar di kepala Dimas, seperti kaset rusak yang berhasil menghancurkan tembok kokoh dalam hatinya. Sekeras apa pun ia menahan diri untuk tidak menangis, nyatanya pertahanannya runtuh. Air mata yang ditahan di pelupuk mata seketika keluar bagaikan air bah."Maafkan papa, Viona." Dimas terisak, menutup wajahnya yang tak kuasa menu