Home / Young Adult / Viona / 11. Kiss Me

Share

11. Kiss Me

Author: Butiran Rinso
last update Last Updated: 2021-06-17 12:02:46

Terkadang manusia itu sok tahu segalanya, padahal tidak tahu apa-apa. Hanya bermulut besar untuk terlihat tangguh.

-Viona-

Langkah Vio memelan ketika selentingan itu mengusik gendang telinganya. Vio berusaha keras untuk tidak terpancing, sebisa mungkin mengontrol emosi yang mencuat ke ubun-ubun.

"Oh, jadi dia cuma anak pungut dong."

"Atau mungkin anak pembantunya yang dibiayain sekolah gitu kaya disinetron-sinetron."

"Gue kira dia beneran saudaranya Keyla, tapi emang gak mungkin sih kan mereka beda."

"Kasian ya gak diakui bapaknya."

"Mungkin karena dia anak haram."

Vio mengepalkan kedua tangannya, membendung hasrat yang menggebu-gebu. Rasanya ingin sekali Vio menyumpal mulut-mulut mereka dengan sepatunya. Tahu apa mereka? Bahkan mereka tidak tahu apa-apa, tapi seolah tahu segalanya.

Mulut-mulut jahat yang berbicara tanpa dipikir terlebih dahulu, seperti tong kosong yang berbunyi nyaring. Vio mengehela napas panjang, ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak terpancing pada apa pun.

Vio masuk ke kelas, semua tatapan beralih kepadanya. Teman-temannya menatap Vio dengan pandangan aneh, Vio tahu apa yang mereka pikirkan. Tak beda jauh dengan anak-anak di koridor tadi.

Vio duduk di bangkunya, mengabaikan sekelilingnya. Ia menunduk pasrah, menyembunyikan matanya yang mulai berkaca-kaca. Ingatannya kembali pada kejadian tadi pagi.

"Biarkan dia pergi, terserah dia mau seperti apa. Saya tidak akan peduli."

Kata-kata papanya terus terngiang di kepala Vio. Ia sampai tidak fokus dengan pelajaran, pikirannya berkelana ke mana-mana. Hingga suara bel istirahat berbunyi, Vio masih diam di tempat duduk.

"Viona."

Vio mengangkat wajahnya ketika mendengar seseorang memanggilnya, ia menatap seorang perempuan yang berdiri di samping mejanya. Dia teman sekelasnya tapi Vio tidak tahu siapa namanya, yang Vio tahu hanya Reva dan anak itu tidak masuk karena harus menemani kakaknya di rumah sakit.

"Gue mau nanya boleh?" tanya cewek itu. "Oh, ya. Sebelumnya kenalin gue Nabila." Dia memperkenalkan dirinya. "Gue mau tanya, lo sebenernya siapanya Keyla si? Emang beneran ya lo anak pembantunya Keyla?"

"Bil!" Teman-teman Nabila melotot, pasalnya pertanyaan Nabila terlalu sensitif.

"Biarin si, kan lebih baik gue nanya orangnya langsung dari pada gue mati penasaran," kata Nabila, sama sekali tak merasa bersalah. "Jadi yang bener lo anak pungut atau anak pembantunya? Teman-teman Keyla bilang lo anak pembantunya."

Vio meremas roknya, amarahnya semakin tersulut mendengar pertanyaan Nabila. Vio mendongak, wajahnya nampak datar, tapi tatapannya begitu tajam menyoroti mata Nabila yang bergerak liar. Sepertinya Nabila merasa tidak nyaman ditatap seperti itu.

"Emang kenapa?" tanya Vio.

"Ya kita semua perlu tahu, iya kan teman-teman?" Nabila menoleh ke teman-temannya.

"Iya, Vi. Tinggal jawab aja apa susahnya," sahut temannya Nabila yang entah bernama siapa, karena Viona tak mengenalnya.

"Kalo iya kenapa? Terus kalau gak kenapa?" Vio balik bertanya, tatapannya lurus ke Nabila.

"Ya kalo emang beneran lo cuma anak pungut kita gak akan temenan sama lo, kita————"

Vio mendecih. "Kalau gitu gue gak perlu jawab, karena gue gak butuh kalian." Vio beranjak berdiri, meninggalkan bangkunya dan memilih keluar kelas.

Vio tidak peduli dengan teman-teman sekelasnya yang pasti membicarakannya. Vio memegangi dadanya yang terasa sesak, rasanya sakit, benar-benar sakit. Kenapa tak ada seorang pun yang bisa mengerti dirinya, ia benci bersosialisasi karena mereka hanya akan memandang sebelah mata.

Vio menghela napas, sepanjang koridor semua anak menatapnya dengan tatapan yang tak bisa Vio jabarkan. Hal itu membuat Vio risih dan tak nyaman, ditambah selintingan yang semakin berembus kencang sampai ke telinganya. Mereka benar-benar gila, pantas saja rumor itu bisa membunuh korbannya karena mereka lebih ganas dari virus mematikan sekalipun.

Vio nekad ke kantin sendiri, ia lapar karena tadi pagi tak sempat sarapan. Baru saja Vio masuk, tatapan anak-anak dengan cepat beralih kepadanya. Lagi-lagi tatapan aneh yang mereka berikan.

"Itu bukannya Vio?" Terdengar suara dari gerombolan cewek di meja paling depan, seketika teman-temannya melihat ke arah Vio.

Vio berusaha mengabaikan setiap orang di sana, ia berjalan melewati gerombolan tadi. Namun suara seseorang menginterupsinya, menghentikan langkah kaki Vio.

"Viona."

Vio hafal betul dengan suara itu, suara yang sangat ia benci sampai detik ini. Vio diam, tak bereaksi atau pun sekedar menoleh ke belakang.

"Keyla, lo ngapain si panggil dia?" tegur salah seorang temannya.

"Iya, Key. Dia kan cuma anak pembantu lo," sahut yang lain.

Tapi Keyla tak menggubris mereka, ia masih menatap punggung Vio yang sama sekali tidak bergerak. "Kamu mau makan, kamu bisa gabung di sini?"

"Ish, Key lo apa-apaan si?" Temannya yang lain pada protes, tak suka dengan tindakan Keyla.

"Tapi dia kan ...-

"Dia cuma anak pembantu, lagian lo kenapa musti sebaik ini sih jadi orang. Dia juga kan yang bikin lo uring-uringan dari pagi dan sekarang lo malah ajak dia gabung?" Teman Keyla menggelengkan kepalanya, tak habis pikir dengan jalan pikiran Keyla.

"Dia bukan anak pembantu kok," sanggah Keyla.

"Udahlah Key, kita semua udah tahu kali. Kemarin kita nonton acara wawancara bokap lo dan bokap lo juga gak klarifikasi soal ucapan reporter itu."

"Bukan gitu, kalian salah paham sebeneranya————"

"Gak usah sok drama lo!" Suara lantang Vio membuat Keyla berjengit saking kagetnya, mungkin bukan cuma Keyla tapi hampir seluruh orang yang ada di kantin terkejut mendengarnya.

"Vi," lirih Keyla, matanya berkaca-kaca. "Itu gak bener, sebenernya ...."

"Puas lo sekarang!" bentak Vio, ia melangkah maju ke depan Keyla. "Harusnya yang ada di posisi lo saat ini itu gue. Gue!!" Vio berteriak, telunjuknya mendorong-dorong dada Keyla. "Gue anak dari istri sahnya, bukan lo yang cuma anak PELAKOR!!!" Ucapan Vio jelas membuat seluruh anak terkejut dan tak menyangka, mereka tercengang bahkan sampai tak bisa berkata-kata dan hanya menyaksikan Vio meluapkan amarahnya ke Keyla.

"Bahkan lo sama nyokap lo jadi penyebab kematian nyokap gue dan kalian sama sekali tidak menyesal, bhkan kalian bisa hidup dengan damai sementara gue?" Vio mendecih, melihat Keyla menangis sesenggukan. "Bahkan lo gak pantes buat ngeluarin air mata buaya!" Vio mendorong Keyla sampai dia terduduk di bangku, setelah itu Vio pergi meninggalkan kantin.

————

Vio memejamkan mata, menikmati angin yang berembus kencang menerpa wajahnya. Membiarkan terik matahari menyengat kulit putihnya. Ia kini berada di rooftop, satu-satunya tempat di mana Vio tak akan bertemu dengan siapa pun.

Sejak tadi ia memegangi perutnya, gara-gara kejadian tadi Vio tak sempat membeli makanan dan saat ini ia benar-benar lapar. Vio terkesiap ketika merasakan dingin di pipinya, seketika ia membuka mata dan menoleh ke samping. Mata Vio membukat lebar saat tahu siapa yang menempelkan botol air mineral dingin ke pipinya.

"Levin!" pekik Vio.

"Hai," sapa Levin. "Nih, buat lo." Levin menyodorkan kantong keresek ke depan wajah Vio, lalu duduk di sebelahnya.

Vio menerimanya, mengintip isi di dalamnya. Ada roti, susu kotak dan botol air mineral. Vio menoleh ke Levin, menatap lekat wajah Levin yang tengah mengernyit karena terik matahari.

"Makasih," kata Vio.

Sontak saja Levin menoleh, keduanya terdiam dan saling tatap sebelum akhirnya Levin memutus kontak mata lebih dulu. Setiap kali melihat wajah Vio, ia tak bisa mengontrol dirinya sendiri.

"Makan, gue tahu lo kelaperan," ucap Levin, memalingkan wajahnya ke arah lain.

Vio tersenyum tipis, ia memakan rotinya dalam diam. Dalam hati Vio bersyukur, karena Tuhan tak meninggalkan dirinya sendiri. Tuhan mengirimkan bantuannya lewat Levin, cowok yang tak pernah terpikirkan oleh Vio akan menolongnya.

"Mau balik ke kelas?" tanya Levin saat melihat Vio sudah selesai makan.

Vio menggeleng, ia tidak mau kembali ke kelas. Vio lebih nyaman di sini, terasa nyaman dan menenangkan. Jika ia kembali ke kelas, maka hatinya akan kembali merasa sesak dan emosinya tersulut lagi.

"Mau bermain?" Vio menoleh, menatap Levin. "Biar lo gak jenuh." Levin beranjak berdiri, mengulurkan tangannya ke depan Vio.

Vio menatap ragu uluran tangan Levin. Haruskah ia ikut? Tapi ....

"Ayo." Levin meraih tangan Vio, membuat Vio cukup terkejut karena Levin langsung menariknya. Dia membawa Vio ke parkiran, padahal sebentar lagi bel masuk berbunyi.

"Tas gue!" pekik Vio saat sudah berada di dalam mobil Levin.

"Tenang aja, ntar gue suruh Bella kalau gak Agata buat ambil tas lo," ucap Levin, ia langsung menyalakan mobilnya dan segera keluar sebelum guru BK melihatnya membolos.

Sepanjang perjalanan, hanya ada suara musik yang mengalun dari radio. Sementara Levin dan Vio tampak diam, asyik dengan pikirannya masing-masing.

Vio menatap keluar jendela, ia mengernyitkan dahinya ketika mobil Levin memasuki tol. Vio menoleh ke Levin, memasang wajah panik. "Kita mau ke mana?"

"Ke suatu tempat," jawab Levin. Ia menoleh sekilas ke Vio. "Tenang aja, gue gak bakal culik lo. Jadi gak usah tegang gitu." Levin terkekeh melihat wajah ketakutan Vio.

Vio mendengus, ia memilih diam dan kembali menatap keluar jendela. Hingga satu jam perjalanan, mata Vio mulai dimanjakan dengan keindahan pesisir pantai di depannya. Mobil Levin berhenti tepat di depan pantai, cowok itu benar-benar nekad.

"Ayo turun," ajaknya.

"Tapi ...." Vio mendengus karena Levin keluar begitu saja. Akhirnya Vio pun ikutan keluar, ia menunggu di samping mobil saat melihat Levin membeli es kelapa.

Tak lama Levin kembali, membawa dua buah kelapa di tangannya lalu memberikan salah satu ke Vio.

"Makasih," kata Vio, ia menyeruput es kelapa karena sejak tadi tenggorokannya terasa kering.

"Duduk sini." Vio menoleh, Levin sudah berada di atas kap mobilnya. Dia menepuk sebelahnya, menyuruh Vio duduk di sana.

Vio menurut ia naik ke atas kap mobil Levin. Keduanya kembali diam, memandangi keindahan pantai yang terhampar luas di depan. Bahkan mereka tidak merasa terusik ketika terik matahari tepat berada di atas mereka.

Ya, siapa juga yang akan ke pantai di siang bolong begini. Mungkin hanya Levin.

"Suka?" tanya Levin menoleh ke Vio.

Vio mengangguk, tanpa mengalihkan pandangannya dari pantai. "Suka, cuma panas."

Levin mendengus geli, ia turun membuat Vio mengalihkan pandangannya ke Levin. "Ayo, katanya mau main."

"Main?" beo Vio, menatap uluran tangan Levin.

Levin mengangguk. "Tujuan kita ke sini kan mau main."

"Tapi panas," kata Vio, enggan turun.

Levin  berdecak, tanpa aba-aba dia mengangkat tubuh Vio. Jelas saja Vio panik, meronta-ronta saat Levin membopong tubuhnya dan berlari ke pantai. Vio terus berteriak histeris sampai akhirnya ia menjerit ketika tubuhnya di ceburkan ke laut.

Beruntung Vio bisa berenenag, ia segera naik ke permukaan dan mendapati Levin tengah tertawa terbahak-bahak. Vio mendengus, ia kembali masuk ke dalam air berenang menghampiri Levin.

"Aaaaa!!" pekik Levin, ia terkejut saat kakinya ditarik, membuatnya terseret masuk ke dalam air.

Vio menyembul ke permukaan, kini giliran dirinya yang tertawa terbahak-bahak menertawakan Levin yang terbatuk-batuk akibat kemasukan  air laut.

"Asin," gerutu Levin, menjulurkan lidahnya.

"Emang enak, syukurin. Itu pembalasan buat lo. Karena udah ceburin gue," cibir Vio, menjulurkan  lidahnya.

Levin mendengus geli, tapi detik berikutnya ia menggendong Vio lagi dan kembali menceburkannya ke dalam air dan Vio akan membalas Levin dengan menyeret kakinya saat cowok itu lengah. Keduanya tertawa lepas, seolah tak ada beban.

Satu jam berlalu, setelah puas bermain air kini Vio dan Levin duduk di tepi pantai. Levin bertelanjang dada karena seragamnya basah dan Vio mengenakan jaket Levin. Keduanya memandang lurus ke tengah laut.

"Makasih," ucap  Vio, ia menoleh ke Levin.

Levin yang mendengar refleks ikutan menoleh, menatap wajah Vio. Mata Vio tampak berbinar, terlihat jelas jika dia tengah bahagia dan melupakan kesedihannya.

"Kalau gitu gue boleh dong nagih hadiah gue," kata Levin.

"Hadiah?" beo Vio, mengernyitkan dahinya.

Levin menganggukkan kepalanya. "Hadiah buat dongeng tadi pagi dan ajakin lo main ke pantai," jawab Levin. "Kiss me."

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Oma Euis
jadi tambah penasaran,,ceritanya menantang,,lanjun thor
goodnovel comment avatar
Sinta Sinaga
ceritanya sangat bagus.. tapi tolong pengambilan point disetiap babnya di kurangin dong.........
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Viona   12. Karma

    Keyla pulang dengan wajah tertunduk, menyembunyikan matanya yang sembab karena berjam-jam ia habiskan untuk menangis di UKS."Kok udah pulang?" tanya Lina yang baru saja keluar dari dapur, ia melirik ke jam dinding yang baru menunjukkan pukul 13.00. Biasanya sekolah dibubarkan pukul 14.00, Lina jadi merasa curiga, ditambah Viona juga tidak ikutan pulang bersamanya. "Viona mana?"Keyla masih memilih diam, meremas jemarinya. Mendengar nama Viona disebutkan, hatinya kembali sesak, sakit luar biasa ketika mengingat kejadian tadi di kantin. Saat dengan lantangnya Vio bilang jika dirinya anak pelakor.Keyla tahu Vio tidak pernah bisa menerimanya, apa pengorbanannya untuk bisa dekat dengan Vio masih kurang? Keyla menurunkan egonya, terus berusaha mendekat meski berkali-kali ditolak. Tapi apa

    Last Updated : 2021-07-16
  • Viona   13. Peringatan

    Don't touch mine if you still want to live-Levin-Vio memiringkan kepalanya, bersandar menatap keluar jendela. Ia masih bisa melihat pantai di sepanjang jalan yang dilaluinya. Vio tersenyum tipis, mengingat banyak hal yang ia lakukan tadi bersama Levin.Untuk pertama kalinya, Vio merasa hidup. Ia tertawa lepas, merasakan debaran bahagia meski tubuhnya berkali-kali di lempar ke dalam air. Bahkan Vio lupa kapan terakhir ia merasa sebahagia ini dan itu semua berkat Levin.Vio menolehkan kepalanya ke samping, menatap Levin yang tampak fokus menyetir. Wajahnya masih sama, terlihat datar dan terkesan dingin. Tapi kenapa Vio merasa hatinya menghangat setiap kali bersama.

    Last Updated : 2021-07-16
  • Viona   14. Diculik

    Kamu, kelemahan terbesarku.-Levin-🌺🌺🌺Vio memandangi layar ponselnya, beberapa notifikasi pesan dan panggilan tak terjawab memenuhi notifikasi bar-nya.Vio hanya memandangi pesan-pesan itu tanpa berniat membukanya. Pesan dan panggilan tak terjawab dari keluarganya, keluarga semu-nya.Untuk apa mereka mencari?Untuk apa mereka menyuruhnya pulang? Jika kehadirannya saja tak diinginkan.Apa mereka peduli?Mustahil!Pertanyaan demi pertanyaan mu

    Last Updated : 2021-07-16
  • Viona   15. Terkurung

    Vio duduk di kursi tunggu, ia terus merapalkan doa. Sedari tadi Vio gusar menunggu Levin yang tengah ditangani oleh Dokter. Bahkan jantungnya masih berdegup kencang, merasakan gejolak luar biasa akibat melihat kecelakaan yang menimpa Levin di depan matanya langsung."Berengsek!!"Vio terkesiap, ketika suara lantang terdengar bersamaan dengan suara lain yang memekakkan telinga. Vio menoleh, memperhatikan seorang cowok yang baru saja datang. Cowok itu terus mengumpat dan memaki, kakinya tak bisa diam. Dia menendang apa pun yang ada di sekitarnya termasuk tempat sampah yang baru saja ia tendang."Regan berhenti!" bentakan Mario mampu menghentikan Regan seketika.Cowok bernama Regan itu berjongkok di dekat dinding. Memegangi kepalanya, te

    Last Updated : 2021-07-16
  • Viona   16. Bunuh Diri

    Bara baru saja tiba, ia segera masuk ke rumah Lando. Di dalam banyak anggota gengnya yang sedang bermainbilyard, namun tak ada Lando di sana. Bara pun naik ke lantai satu dan menemukan Lando berada di balkon. Cowok itu sedang berdiri menatap langit, sambil menyebulkan asap rokok ke udara."Gimana?" tanya Lando ketika mendengar suara langkah kaki mendekat, tanpa perlu menoleh pun Lando tahu kalau itu sudah pasti Bara.Bara berhenti di samping Lando, ia menghela napasnya sejenak, kemudian menatap Lando lekat-lekat. "Kayanya lo musti berhenti sampai di sini aja."Lando seketika menoleh, menaikkan sebelah alisnya. Bara mengembuskan napas kasar, bingung harus menjelaskan dari mana. Tapi yang jelas situasinya sangat buruk saat ini.

    Last Updated : 2021-07-16
  • Viona   17. Pelakor

    Kabut menyelimuti, udara dingin berembus menusuk kulit. Sementara Viona hanya bisa berdiri kaku di tengah kegelapan. Ia sendiri tidak tahu sedang berada di mana, seakan buta arah Viona bingung harus melangkah ke mana."Viona." Terdengar suara lembut memanggilnya, sontak Viona berbalik."Mama," gumam Viona, matanya berkaca-kaca saat melihat seorang perempuan mengenakan gaun putih berdiri di ujung sana. Dari atas kepalanya muncul cahaya yang menyinarinya di kegelapan. "Mama ... Mama."Viona memberanikan diri untuk melangkah maju, semakin mendekat ke arah sang mama. Namun yang terjadi mamanya tiba-tiba menghilang, seketika berubah menjadi asap putih."Mama!" pekik Viona, setengah berteriak memanggil mamanya. "Mama, jangan tinggalin Viona

    Last Updated : 2021-07-16
  • Viona   Sakit

    Dua jam berlalu, Dimas hanya duduk memandangi Viona yang tengah tertidur pulas. Ia sama sekali tak bergerak ataupun membuka mulutnya.Entah apa yang ada di pikiran Dimas saat ini. Mungkinkah dia menyesal? Namun raut wajahnya yang datar sama sekali tak menunjukkan rasa bersalah sedikitpun. Bahkan bibirnya terus terkunci rapat, sama sekali tak ada kata yang meluncur dari mulutnya.Dimas beranjak dari duduknya, menatap sekilas Viona. Lalu berbalik, melangkah keluar dari ruangan itu.Ketika pintu tertutup, Viona perlahan membuka matanya. Menolehkan kepalanya ke arah pintu, memandangi pintu yang sudah tertutup rapat. Lalu mendongakkan kepalanya ke atas, menatap langit-langit ruang rawatnya.Vio perlahan membuka mata, kala merasakan usa

    Last Updated : 2021-08-01
  • Viona   Jadian

    Viona memperhatikan Levin yang tengah mengupaskan buah apel untuknya. Tangannya begitu lihai memainkan pisau kecil, menguliti apel."Lo bolos?" tanya Viona, menyadari Levin masih mengenakan seragam sekolah, ditambah sekarang baru pukul 11:00.Levin mengangguk, tanpa mengalihkan fokusnya dari buah apel yang sedang ia kupas."Kenapa?"Levin berhenti, mengalihkan perhatian sepenuhnya ke Viona. Sebelah alisnya terangkat. "Kenapa?" beo Levin, menirukan pertanyaan Viona.Viona menghela napas pendek. "Maksudnya kenapa lo harus bolos?" jelas Viona. "Lo kan bisa ke sininya nanti pas pulang sekolah, gak harus bolos begini."Levin melanjutkan

    Last Updated : 2021-08-01

Latest chapter

  • Viona   Malam Terindah

    Meski sempat mengalami penurunan kesehatan selama beberapa hari lepas kepergian Keyla dan mama tirinya ke Australia, kesehatan Viona berangsur pulih berkat dukungan dari Levin yang selalu ada di sampingnya dan juga om Anton yang selalu mengupayakan berbagai opsi untuk penyembuhan. Teman-teman Levin juga selalu mengunjungi Viona, mereka sering menghibur Viona agar tidak larut dalam kesedihan.Awalnya Dokter menolak usul dari om Anton untuk segera melakukan operasi transplantasi sumsum tulang belakang dengan alasan kesehatan Viona yang belum stabil. Namun, setelah beberapa hari pemantauan dan kesehatan Viona mulai membaik. Dokter akhirnya setuju untuk segera melakukan operasi tersebut.Kini sebulan pasca operasi sumsum tulang belakang dijalani Viona. Proses pemulihan Viona juga berjalan lancar. Sekarang keadaannya jauh lebih baik, m

  • Viona   Nggak Sabar

    Reva menatap nanar alat cukur rambut di tangannya. Rasanya begitu berat ketika ia harus memakai alat tersebut. Padahal selama ini ia biasa memakai alat itu untuk mencukur rambut Sam dan teman-teman cowok di tongkrongannya yang nggak mau modal buat kebarbershopdan memilih gratisan memakai jasanya.Viona yang menyadari keterdiaman Reva, sontak menoleh ke belakang. Di mana gadis itu berdiri di belakang kursi rodanya. "Rev, kenapa?" tanyanya.Reva tersadar, dengan cepat mengubah ekspresinya. Ia tidak mau kalau sampai Viona melihat raut wajahnya yang sedih. "Eh, nggak papa kok." Reva menyengir, berharap Viona tidak curiga.Namun, bukan Viona namanya kalau langsung percaya begitu saja. Viona menatap lekat wajah Reva, menyalami pandangan gadis itu, seolah mencari kebenara

  • Viona   Kesempatan Terakhir

    Sudah berbulan-bulan Dimas memandangi Viona yang sedang terlelap dari balik kaca yang ada di pintu ruang rawat Viona. Tak sekalipun ia berani menunjukkan batang hidungnya di depan putri kandungnya itu. Meski keinginan untuk melihat lebih dekat terus menggebu dalam dada, tapi perasaan bersalah menahannya sampai depan pintu.Dimas menyeka air matanya, hal yang sering terjadi setiap kali ia memandangi Viona yang meringis menahan sakit bahkan dalam keadaan tak sadar. Seperti yang saat ini ia saksikan, Viona terus merintih dalam tidurnya. Ingin sekali Dimas masuk ke dalam, membelai lembut kepala putrinya, menenangkan atau kalau perlu mengambil alih rasa sakit itu. Walau ia tahu, keadaannya sudah berubah dan tak ada yang bisa ia benahi lagi. Meskipun rasa penyesalan terus merongrong, tapi semua sudah terlambat, keegoisannya membuat semua yang ia lakukan saat ini pun sia-sia.

  • Viona   Manis

    Setelah seharian mencari ke sana-sini tanpa ada kejelasan, akhirnya Lina menemukan titik terang ketika ia mendapatkan telepon dari Viona yang mengatakan kalau Keyla ada di sana. Berkali-kali Lina mengucap rasa syukur, kekalutan dalam pikiran dan benak yang berkecamuk berangsur melega seiring dengan laju mobil Dimas menuju ke rumah sakit———tempat Viona dirawat saat ini.Awalnya Lina memutuskan untuk pergi dari rumah, bahkan ia sudah mengemasi beberapa pakaiannya dan pakaian Viona untuk beberapa waktu ke depan. Ia ingin menenangkan diri sekaligus memberikan efek jera pada suaminya yang egois dan keras kepala, berharap dengan kepergiannya sesaat akan membuat Dimas paham dan mau berubah.Namun, serangkaian rencana yang sudah ia rancang dengan matang harus berakhir berantakan ketika ia menerima panggilan dari wali kelas Key

  • Viona   Korban

    Semilir angin bertiup lambat, udara yang begitu sejuk saat menjelang sore. Hilir mudik petugas medis menjadi pemandangan yang biasa di koridor rumah sakit. Namun, mata Anton tak sedikitpun teralihkan, fokusnya masih tertuju pada Viona yang tengah duduk di taman ditemani oleh Levin. Senyumnya mengembang melihat keponakannya dapat tersenyum lagi, padahal beberapa hari yang lalu tampak sangat terpuruk. Anton bersyukur karena usahanya meyakinkan pak Tama tidak sia-sia, apalagi fakta kalau mereka merupakan relasi bisnis mempermudah semua usahanya untuk membawa Levin."Jadi, apa langkah selanjutnya Dok? Sepertinya keadaan Viona sudah mulai stabil, apa kita bisa langsung melangkah ke step selanjutnya? Bukankah lebih cepat jauh lebih baik untuk kesembuhan Viona?" Anton menolehkan kepalanya pada Dokter Bima yang berdiri di sampingnya, Dokter spesialis Hematolog yang menangani kasus Viona beberapa

  • Viona   Aku di sini

    Viona terbangun saat merasakan usapan lembut di pipinya, membuat kelopak matanya perlahan terbuka. Samar terlihat wajah seseorang yang selalu mengisi pikirannya akhir-akhir ini, seseorang yang selalu ia tunggu kehadirannya. Namun, ia sadar kalau orang itu tidak mungkin datang dan yang ia lihat hanyalah bayangan semu.Viona menghela napas panjang, begitu kecewa. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain. "Kamu di mana Vin, aku merindukanmu," gumam Viona seraya memejamkan matanya kembali, berharap mimpi buruk ini segera usai."Aku di sini." Suara yang sangat familiar itu menyentak Viona, matanya seketika terbuka lebar dan menatap seseorang di sampingnya yang kini terlihat lebih jelas dari sebelumnya."Levin," lirih Viona, setengah tak percaya kalau yang dilihatnya memang Levin, bukan se

  • Viona   Kecolongan

    Viona terbangun ketika mendengar suara dari samping, matanya perlahan terbuka bersamaan dengan harum maskulin yang menyeruak ke indera penciumannya. Samar-samar ia melihat sesosok cowok berdiri membelakangi dirinya, seakan yakin kalau itu Levin, Viona lantas memanggilnya."Levin." Suara Viona yang terdengar pelan berhasil menarik atensi cowok itu. Namun, ia harus menelan kekecewaan ketika netranya menangkap dengan jelas wajah cowok itu saat membalikkan badan dan ternyata cowok itu bukan Levin, melainkan orang lain."Hai," sapa cowok itu, menyunggingkan senyumnya seramah mungkin. "Gimana keadaan lo——""Ngapain lo ke sini?" sergah Vio, memotong ucapan cowok itu. Ekspresinya terlihat tidak menyukai kehadiran cowok itu."Ngapa

  • Viona   Rindu

    Dimas bergegas pulang lebih cepat ketika Laras—istrinya——memberitahukan kalau Viona demam. Putri kesayangannya yang baru berusia satu tahun itu mengalami demam tinggi sejak siang.Sesampainya di rumah, Dimas segera berlarian masuk menuju kamar Viona. Namun, ketika ia sampai di depan kamar, suara dari dalam menghentikan langkahnya."Stop Anton! Hentikan omongkosongmu! Dia bukan anakmu! Harus aku bilang berapa kali, dia bukan anakmu!"Dimas terkesiap kala mendengar teriakan Laras dari dalam kamar. Apalagi istrinya itu menyebut nama Anton, adik angkatnya. Dimas masih terdiam di depan pintu yang tertutup rapat, menahan rasa penasaran yang menggebu-gebutentang apa yang sedang terjadi di dalam sa

  • Viona   Surat Wasiat

    Dimas duduk termenung, memandangi Viona yang terbujur lemas tak berdaya di atas ranjang rumah sakit dengan selang infus menancap di tangannya. Sudah satu jam berlalu ia duduk tanpa melakukan aktivitas apa pun selain menatap wajah pucat Viona, seraya mengusap tangan putrinya itu yang terdapat memar."Putri Anda terkenaLeukemia limfositik kronisatau yang biasa disebut kanker darah."Ucapan Dokter yang memeriksa Viona kembali berputar-putar di kepala Dimas, seperti kaset rusak yang berhasil menghancurkan tembok kokoh dalam hatinya. Sekeras apa pun ia menahan diri untuk tidak menangis, nyatanya pertahanannya runtuh. Air mata yang ditahan di pelupuk mata seketika keluar bagaikan air bah."Maafkan papa, Viona." Dimas terisak, menutup wajahnya yang tak kuasa menu

DMCA.com Protection Status