Bagaimana bisa gue gak peduli kalau lo orang pertama yang menarik perhatian gue.
-Levin-
Motor Levin berhenti di depan bangunan tua, dari luar tampak gelap tapi terlihat ada cahaya di dalamnya. Levin turun, ia berjalan tanpa ragu mendobrak pintu hingga menimbulkan bunyi nyaring. Orang-orang di dalamnya terperanjat, mereka menoleh ke arah kedatangan Levin.
"Cari mati tuh anak," gumam salah seorang.
"Siapa?" tanya teman di sebelahnya.
"Temannya Sam."
"Wow, coba lihat siapa yang datang? Kita kedatangan tamu tak diundang gaesss!" seru salah seorang yang Levin yakini pentolan dari geng itu. Geng gak jelas yang membuat temannya babak belur sampai masuk rumah sakit.
"Gak usah banyak bacot lo!" Levin mengeraskan rahangnya, matanya yang hitam menatap tajam cowok itu. Kedua tangan Levin terkepal erat, siap menghantamkan tinjunya ke rahang lawan.
"Santai Bro, tenang aja kita semua punya banyak waktu buat ladenin lo." Cowok itu tersenyum miring.
"Mana yang namanya Marcel!" bentak Levin, nada suaranya yang dingin terdengar menantang.
"Gue, kenapa?" Seorang cowok berambut merah menyala maju ke depan, ia sudah akan menerjang Levin tapi orang tadi menahannya. "Tom!" hardik Marcel tak terima.
"Selow Bro. Biar gue yang hadapi. Oke." Tomi melangkah maju menhampiri Levin. "Mending lo pergi, sebelum lo babak belur." Tom menepuk bahu Levin yang langsung ditepis.
"Gak, sebelum gue seret temen lo ke neraka!" sarkas Levin tanpa gentar sedikit pun meski dirinya kalah jumlah. Levin sendiri, sementara lawannya ada di kandang sekitar dua puluhan.
"Oke, lo yang minta cara ini." Tomi merenggengkan tangan dan lehernya sampai menimbulkan bunyi patahan, selanjutnya pertarungan antara Levin dan Tomi tak terelakkan.
Levin berhasil merobohkan pertahanan Tomi, ia langsung menerjang dan menduduki tubuh Tomi. Memberikan pukulan-pukulan di wajah Tomi sampai cowok itu kewalahan.
Marcel yang melihat Tomi nyaris sekarat langsung menerjang Levin, kini duel digantikan Levin dan Marcel. Lagi-lagi Levin berhasil membuat Marcel tak sadarkan diri, tapi ia lupa jika lawannya masih tersisa banyak.
—————
Viona masih terjaga padahal waktu sudah menunjukkan jam tiga pagi. Matanya sama sekali tak bisa dipejamkan, setiap kali Vio memaksakan selalu muncul bayangan-bayang Levin di kepalanya.
Kata-kata Levin waktu di taman terus terngiang jelas di kepalanya, tatapan Levin yang sendu tak mampu Vio tepis dari kepalanya. Entah kenapa sikap Levin berubah tidak seperti sebelum-sebelumnya yang terkesan dingin dan menyeramkan.
"Kenapa lo harus peduli sama gue? Gue bukan sodara lo, bukan temen lo. Gue cuma orang lain! Harusnya lo gak perlu peduli, bahkan bokap gue saja gak peduli sama gue! Lalu kenapa lo peduli?!" Tangisan Viona semakin kencang, ia sesegukan menyeka air matanya yang terus keluar tanpa bisa dicegah.
"Gimana gue bisa gak peduli sama lo, kalau lo satu-satunya orang yang menarik perhatian gue." Tangis Viona seketika terhenti, ia terdiam terbius oleh tatapan sendu Levin serta hangat tangan yang menangkup pipinya. "Gimana gue bisa pura-pura gak lihat lo, sementara mata gue terus tertuju ke lo. Seolah lo itu magnet buat gue, di mana pun lo berada hanya perlu sekali lihat gue langsung bisa ngenalin lo."
Bibir Vio kelu, ucapan Levin membuatnya tak berkutik. Ini terlalu tiba-tiba dan mengejutkannya. Vio terkesiap ketika Levin mengusap bawah matanya, menyeka sisa air mata di pelupuk mata.
Gedubrak!
Vio tersentak dari lamunannya ketika mendengar bunyi dentuman keras seperti benda terjatuh. Perasaan Vio tiba-tiba jadi was-was, ia yang penasaran memberanikan diri turun dari ranjang.
Vio melangkah dengan perasaan takut, memegang tongkat baseball untuk perlindungan diri. Vio membuka gorden dan pintu penghubung balkon, Vio melangkah keluar ketika ia menoleh mata Vio membulat lebar saat melihat seseorang meringkuk di bawah.
Siapa?
Vio yang ketakutan nekad menyentuh bahu orang itu dan terkejut saat orang itu mengangkat wajahnya yang penuh dengan luka dan lebam.
"Levin!" pekik Vio.
"Hai," sapa Levin, memaksakan senyumnya setengah meringis menahan perih di sudut bibirnya yang berdarah.
"Lo kenapa? Kok bisa begini?" Vio tampak panik, apalagi melihat baju putih Levin yang penuh dengan darah.
"Gue ... bisa obatin gue," pinta Levin.
Vio tidak menyahut, tapi ia segera beranjak masuk mengambil kotak p3k dan kembali duduk di depan Levin.
"Awww!" erang Levin ketika Vio mengobati sudut bibirnya.
"Sakit ya?" Vio meringis, melihat wajah tampan Levin penuh dengan luka dan lembam kebiruan. "Lo abis ngapain si? Tawuran?" tebak Vio. Levin menggeleng. "Terus?"
"Lo bisa diem gak, jangan bawel. Lo cantik kalau lagi diem."
Vio mendengus mendengar kata-kata Levin, disaat seperti ini bisa-bisanya Levin membuat hati Vio ketar-ketir. Mungkin karena Levin cowok pertama yang bilang Viona cantik.
"Dah, selesai." Vio sudah akan beranjak masuk untuk mengembalikan kotak p3k, tapi Levin menahan pergelangan tangannya. "Kenapa?" Vio menunduk, menatap Levin yang terduduk lemas.
"Duduk sini." Levin menepuk-nepuk tempat sebelahnya.
"Tapi———"
"Please," pinta Levin, tak tega menolak akhirnya Vio menurut duduk di samping Levin. "Gue ngantuk." Vio terkesiap ketika Levin tiba-tiba merebahkan kepalanya di paha Vio.
"Yaa!" Vio memekik tapi suaranya nyaris seperti bisikan. "Kalau ada yang lihat gimana?" bisik Vio, karena keduanya kini berada di balkon yang menghadap ke depan rumah.
"Gak akan ada yang lihat, orang-orang lagi pada tidur," jawab Levin, matanya mulai terpejam.
Vio mengembuskan napas kasar, ia tak lagi protes dan membiarkan Levin tidur di pahanya. Vio menunduk memandangi Levin yang tampak tenang dalam tidurnya. Wajahnya terlihat sangat lelah. Sebenarnya apa yang dia lakukan? Vio penasaran dari mana Levin mendapatkan luka-luka di wajahnya.
"Udah, ngeliatinnya?" Suara bass Levin mengagetkan Vio, apalagi Levin yang membuka perlahan kelopak matanya. Sontak saja membuat Vio melotot.
"Lo gak tidur?" Pipi Vio memerah, pasalnya ia baru saja kepergok memandangi wajah Levin. "Jadi dari tadi lo cuma pura-pura tidur?" Levin mengangguk.
Vio jelas gondok, tapi ia menelan kekesalannya ketika Levin mengusap bawah matanya. "Lo gak tidur ya?"
Vio tidak menjawab, ia justru memalingkan wajahnya ke arah lain. Jantungnya tiba-tiba berdetak tidak karuan. Perasaan aneh itu lagi-lagi muncul tanpa bisa Vio tahan, bergejolak di dalam dada.
"Hey." Levin menangkup wajah Vio, memalingkan wajah Vio agar menatap dirinya. "Jangan siksa diri lo sendiri, jangan bebani pikiran lo dengan hal-hal gak berguna."
Gimana bisa, kalo yang jadi beban pikiran gue itu lo. Batin Vio tanpa berani mengucapkannya pada Levin.
"Gue gak papa kok, gue udah biasa insomnia." Vio menurunkan tangan Levin dari pipinya.
"Lo gak bisa tidur?" Vio mengangguk. "Mau gue tidurin?"
"Hah?" Vio menoleh matanya membulat dengan bola mata nyaris keluar. Kata-kata Levin terdengar ambigu, membuat pemberontakan pada dirinya.
"Maksud gue ...." Levin menyugar poninya ke belakang. "Mau gue bantu biar lo bisa tidur?" Levin tersenyum tipis, ia menarik kepala Vio agar tidur di pahanya. Bahkan sebelum Vio sempat menjawab. "Lo mau gue nyanyiin apa mau denger gue dongeng?"
"Emang bisa?" Vio meragukan Levin, ia tidak yakin Levin bisa melakukan dua hal itu.
"Butuh bukti?" Vio mengangguk, ia lantas mendongak, menatap wajah Levin dari bawah. "Oke, tapi kalo gue bisa gue minta hadiah."
"Hadiah?" beo Vio. "Apa?"
"Kiss," jawab Levin, menundukkan kepala hingga keduanya saling betatapan.
"Hah? Gak mau!" Vio refleks bangun tapi Levin menahannya dan menarik kembali tubuh Vio agar berbaring seperti tadi.
"Harus mau, lo gak punya pilihan." Vio mendengus, ia lupa jika Levin ini mahluk pemaksa. "Gue mulai nih."
"Hm." Vio memejamkan mata, menajamkan pendengarannya ketika Levin mulai bercerita. Suaranya yang khas begitu merdu menyapa gendang telinganya.
"Gadis itu dikurung di sebuah kastil, hidup sendiri tanpa tahu seperti apa dunia luar. Ia hanya bisa memandang anak-anak lain bermain kembang api, menatap mereka dengan wajahnya yang datar dan terkesan dingin. Dalam benaknya dia ingin sekali merasakan bagaimana senangnya memegang kembang api yang menyala, merasakan getar bahagia yang bergejolak dalam dada. tapi ...." Levin menunduk, melihat wajah Vio yang tampak tenang dengan dengkuran halus. Levin tersenyum tipis. "Gadis itu lebih memilih tidur dari pada ikut bermain kembang api."
Vio terusik ketika sinar matahari mengenai wajahnya, ditambah suara gedoran pintu yang memekakkan telinga. Matanya perlahan terbuka, Vio menggosok-gosok matanya, mengedarkan pandangan pada sekitar.
Vio menghela napas pendek. Sepertinya ia tertidur di balkon. Tapi di mana Levin? Vio seketika panik, ia beranjak bangun mencari-cari keberadaan Levin yang sudah tidak ada.
Ke mana dia? Pikir Vio.
"Vio!"
Vio mendengus, ia melangkah ke kamar dan membuka pintu. Keyla terkejut karena pintunya tiba-tiba terbuka dan Vio berdiri menatapnya dengan tatapan dingin.
"Em, kamu udah bangun?"
"Hm." Melihat wajah Keyla mengingatkannya pada kejadian kemarin. Vio berusaha menahan emosi di dalam dada, ingin sekali Vio berteriak dan memaki Keyla.
"Yaudah, buruan mandi udah ditungguin mama sama papa di bawah."
Vio tak menjawab, ia langsung menutup pintu tapi Keyla menahannya. Vio menaikkan sebelah alisnya, menatap Keyla dengan tatapan bertanya.
"Kamu baik-baik aja kan?" tanya Keyla terlihat agak ragu.
"Why?"
"Em ... gak kok, gak papa. Jangan lama-lama ya." Keyla berlari meninggalkan kamar Vio.
Vio mendengus, ia menutup pintu dengan kasar. Mata Vio terasa berat, rasa kantuk menyerangnya. Padahal ia sudah tidur dua jam. Vio memakai dasi, setelah itu meraih tasnya dan keluar.
"Viona." Panggilan papanya menghentikan langkah Vio yang baru sampai di ujung tangga. Vio menoleh tanpa bersuara. "Mau ke mana kamu?"
"Sekolah, memangnya ke mana lagi," jawab Vio sekenanya.
"Sarapan dulu," kata Papanya.
"Gak usah, aku gak laper. Lagian aku juga gak terbiasa sarapan." Vio kembali meneruskan langkahnya, tapi suara bariton papanya menginterupsi Vio.
"Viona! Kamu anggap apa kami hah?!" Papanya berdiri, matanya menatap tajam punggung Viona.
"Mas," tegur Lina.
"Diam Lina, ini sudah cukup keterlaluan. Dia bahkan tidak menghargai kita sebagai orangtuanya, lihat saja dia berangkat begitu aja tanpa pamit seolah-olah tidak ada orang di sini." Deru napas Dimas menggebu-gebu, amarahnya tak lagi terkontrol.
Viona mendengus geli. "Orangtua?" Vio memutar tubuhnya, menghadap papanya yang berada di meja makan. "Anda bilang orangtua?" ulang Vio.
"Anda? Lihat, dia sekarang memanggil papanya dengan sebutan Anda!" Dimas tak lagi bisa membendung kemarahannya lagi, Lina terus berusaha menenangkan Dimas agar tidak berbuat kasar ke Vio.
Vio tertawa sumbang, menunduk menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca. Vio berusaha meredam sakit di hatinya, meremas tangannya sendiri agar tetap kuat dan tangguh. "Bukannya anak Anda cuma Keyla. Bukankah Keyla satu-satunya putri Anda? Lalu kenapa Anda sekarang bersikap seolah-olah saya anak Anda?!" teriak Vio dengan lantang sampai membuat Dimas dan Lina tersentak, Keyla memejamkan mata ia menunduk di meja makan.
"Apa maksud kamu Vio?" tanya Lina, menatap sendu Vio.
"Anda pura-pura tidak tahu?" Vio berdecih. "Munafik!"
"Viona!" bentak Dimas. "Jaga sikap kamu, bagaimanapun dia mama kamu."
"Mama?" Vio tersenyum miring. "Sayangnya mama saya udah mati dan kalianlah penyebabnya!!"
Bagai dihantam petir di pagi hari, Dimas sangat kaget. Bagaimana mungkin Vio berpikiran seperti itu? Jangan-jangan Vio tahu semuanya. Dimas mulai resah.
"Apa kurang cukup Anda hancurkan hidup saya?" Vio memukul-mukul dadanya. "Sakit, sakit rasanya. Saya mungkin terbiasa tidak mendapatkan kasih sayang dan perhatian Anda. Tapi apa untuk sebuah pengakuan saja saya juga tidak pantas mendapatkannya?" Ucapan Vio seperti pisau tajam yang membelah hati Dimas, mengiris-iris hatinya jadi berkeping-keping.
Vio menghela napas panjang, menyeka air matanya. "Padahal secara hukum saya lebih pantas menyadang status itu, saya putri dari istri sah Anda. Bukan dia, anak dari seorang pelakor!" teriak Vio, tangannya menunjuk Keyla.
"Viona cukup!" bentak papanya.
"Pelakor?" beo Keyla, ia mengangkat wajahnya berbalik menatap Vio. "Apa yang kamu katakan Viona?"
Vio menatap lurus ke Keyla. "Gue yakin lo gak pernah ngelupain kejadian sepuluh tahun yang lalu, mimpi buruk yang selalu lo alami itu ingatan nyata sepuluh tahun yang lalu, bukan halusinasi seperti yang nyokap lo bilang!"
Dimas dan Lina melebarkan matanya, menatap Vio dan Keyla secara bergantian. Mereka masih tak percaya jika kejadian malang itu masih membekas pada Vio dan Keyla.
Terkadang manusia itu sok tahu segalanya, padahal tidak tahu apa-apa. Hanya bermulut besar untuk terlihat tangguh. -Viona- Langkah Vio memelan ketika selentingan itu mengusik gendang telinganya. Vio berusaha keras untuk tidak terpancing, sebisa mungkin mengontrol emosi yang mencuat ke ubun-ubun. "Oh, jadi dia cuma anak pungut dong." "Atau mungkin anak pembantunya yang dibiayain sekolah gitu kaya disinetron-sinetron." "Gue kira dia beneran saudaranya Keyla, tapi emang gak mungkin sih kan mereka beda." "Kasian ya gak diakui bapaknya."
Keyla pulang dengan wajah tertunduk, menyembunyikan matanya yang sembab karena berjam-jam ia habiskan untuk menangis di UKS."Kok udah pulang?" tanya Lina yang baru saja keluar dari dapur, ia melirik ke jam dinding yang baru menunjukkan pukul 13.00. Biasanya sekolah dibubarkan pukul 14.00, Lina jadi merasa curiga, ditambah Viona juga tidak ikutan pulang bersamanya. "Viona mana?"Keyla masih memilih diam, meremas jemarinya. Mendengar nama Viona disebutkan, hatinya kembali sesak, sakit luar biasa ketika mengingat kejadian tadi di kantin. Saat dengan lantangnya Vio bilang jika dirinya anak pelakor.Keyla tahu Vio tidak pernah bisa menerimanya, apa pengorbanannya untuk bisa dekat dengan Vio masih kurang? Keyla menurunkan egonya, terus berusaha mendekat meski berkali-kali ditolak. Tapi apa
Don't touch mine if you still want to live-Levin-Vio memiringkan kepalanya, bersandar menatap keluar jendela. Ia masih bisa melihat pantai di sepanjang jalan yang dilaluinya. Vio tersenyum tipis, mengingat banyak hal yang ia lakukan tadi bersama Levin.Untuk pertama kalinya, Vio merasa hidup. Ia tertawa lepas, merasakan debaran bahagia meski tubuhnya berkali-kali di lempar ke dalam air. Bahkan Vio lupa kapan terakhir ia merasa sebahagia ini dan itu semua berkat Levin.Vio menolehkan kepalanya ke samping, menatap Levin yang tampak fokus menyetir. Wajahnya masih sama, terlihat datar dan terkesan dingin. Tapi kenapa Vio merasa hatinya menghangat setiap kali bersama.
Kamu, kelemahan terbesarku.-Levin-🌺🌺🌺Vio memandangi layar ponselnya, beberapa notifikasi pesan dan panggilan tak terjawab memenuhi notifikasi bar-nya.Vio hanya memandangi pesan-pesan itu tanpa berniat membukanya. Pesan dan panggilan tak terjawab dari keluarganya, keluarga semu-nya.Untuk apa mereka mencari?Untuk apa mereka menyuruhnya pulang? Jika kehadirannya saja tak diinginkan.Apa mereka peduli?Mustahil!Pertanyaan demi pertanyaan mu
Vio duduk di kursi tunggu, ia terus merapalkan doa. Sedari tadi Vio gusar menunggu Levin yang tengah ditangani oleh Dokter. Bahkan jantungnya masih berdegup kencang, merasakan gejolak luar biasa akibat melihat kecelakaan yang menimpa Levin di depan matanya langsung."Berengsek!!"Vio terkesiap, ketika suara lantang terdengar bersamaan dengan suara lain yang memekakkan telinga. Vio menoleh, memperhatikan seorang cowok yang baru saja datang. Cowok itu terus mengumpat dan memaki, kakinya tak bisa diam. Dia menendang apa pun yang ada di sekitarnya termasuk tempat sampah yang baru saja ia tendang."Regan berhenti!" bentakan Mario mampu menghentikan Regan seketika.Cowok bernama Regan itu berjongkok di dekat dinding. Memegangi kepalanya, te
Bara baru saja tiba, ia segera masuk ke rumah Lando. Di dalam banyak anggota gengnya yang sedang bermainbilyard, namun tak ada Lando di sana. Bara pun naik ke lantai satu dan menemukan Lando berada di balkon. Cowok itu sedang berdiri menatap langit, sambil menyebulkan asap rokok ke udara."Gimana?" tanya Lando ketika mendengar suara langkah kaki mendekat, tanpa perlu menoleh pun Lando tahu kalau itu sudah pasti Bara.Bara berhenti di samping Lando, ia menghela napasnya sejenak, kemudian menatap Lando lekat-lekat. "Kayanya lo musti berhenti sampai di sini aja."Lando seketika menoleh, menaikkan sebelah alisnya. Bara mengembuskan napas kasar, bingung harus menjelaskan dari mana. Tapi yang jelas situasinya sangat buruk saat ini.
Kabut menyelimuti, udara dingin berembus menusuk kulit. Sementara Viona hanya bisa berdiri kaku di tengah kegelapan. Ia sendiri tidak tahu sedang berada di mana, seakan buta arah Viona bingung harus melangkah ke mana."Viona." Terdengar suara lembut memanggilnya, sontak Viona berbalik."Mama," gumam Viona, matanya berkaca-kaca saat melihat seorang perempuan mengenakan gaun putih berdiri di ujung sana. Dari atas kepalanya muncul cahaya yang menyinarinya di kegelapan. "Mama ... Mama."Viona memberanikan diri untuk melangkah maju, semakin mendekat ke arah sang mama. Namun yang terjadi mamanya tiba-tiba menghilang, seketika berubah menjadi asap putih."Mama!" pekik Viona, setengah berteriak memanggil mamanya. "Mama, jangan tinggalin Viona
Dua jam berlalu, Dimas hanya duduk memandangi Viona yang tengah tertidur pulas. Ia sama sekali tak bergerak ataupun membuka mulutnya.Entah apa yang ada di pikiran Dimas saat ini. Mungkinkah dia menyesal? Namun raut wajahnya yang datar sama sekali tak menunjukkan rasa bersalah sedikitpun. Bahkan bibirnya terus terkunci rapat, sama sekali tak ada kata yang meluncur dari mulutnya.Dimas beranjak dari duduknya, menatap sekilas Viona. Lalu berbalik, melangkah keluar dari ruangan itu.Ketika pintu tertutup, Viona perlahan membuka matanya. Menolehkan kepalanya ke arah pintu, memandangi pintu yang sudah tertutup rapat. Lalu mendongakkan kepalanya ke atas, menatap langit-langit ruang rawatnya.Vio perlahan membuka mata, kala merasakan usa
Meski sempat mengalami penurunan kesehatan selama beberapa hari lepas kepergian Keyla dan mama tirinya ke Australia, kesehatan Viona berangsur pulih berkat dukungan dari Levin yang selalu ada di sampingnya dan juga om Anton yang selalu mengupayakan berbagai opsi untuk penyembuhan. Teman-teman Levin juga selalu mengunjungi Viona, mereka sering menghibur Viona agar tidak larut dalam kesedihan.Awalnya Dokter menolak usul dari om Anton untuk segera melakukan operasi transplantasi sumsum tulang belakang dengan alasan kesehatan Viona yang belum stabil. Namun, setelah beberapa hari pemantauan dan kesehatan Viona mulai membaik. Dokter akhirnya setuju untuk segera melakukan operasi tersebut.Kini sebulan pasca operasi sumsum tulang belakang dijalani Viona. Proses pemulihan Viona juga berjalan lancar. Sekarang keadaannya jauh lebih baik, m
Reva menatap nanar alat cukur rambut di tangannya. Rasanya begitu berat ketika ia harus memakai alat tersebut. Padahal selama ini ia biasa memakai alat itu untuk mencukur rambut Sam dan teman-teman cowok di tongkrongannya yang nggak mau modal buat kebarbershopdan memilih gratisan memakai jasanya.Viona yang menyadari keterdiaman Reva, sontak menoleh ke belakang. Di mana gadis itu berdiri di belakang kursi rodanya. "Rev, kenapa?" tanyanya.Reva tersadar, dengan cepat mengubah ekspresinya. Ia tidak mau kalau sampai Viona melihat raut wajahnya yang sedih. "Eh, nggak papa kok." Reva menyengir, berharap Viona tidak curiga.Namun, bukan Viona namanya kalau langsung percaya begitu saja. Viona menatap lekat wajah Reva, menyalami pandangan gadis itu, seolah mencari kebenara
Sudah berbulan-bulan Dimas memandangi Viona yang sedang terlelap dari balik kaca yang ada di pintu ruang rawat Viona. Tak sekalipun ia berani menunjukkan batang hidungnya di depan putri kandungnya itu. Meski keinginan untuk melihat lebih dekat terus menggebu dalam dada, tapi perasaan bersalah menahannya sampai depan pintu.Dimas menyeka air matanya, hal yang sering terjadi setiap kali ia memandangi Viona yang meringis menahan sakit bahkan dalam keadaan tak sadar. Seperti yang saat ini ia saksikan, Viona terus merintih dalam tidurnya. Ingin sekali Dimas masuk ke dalam, membelai lembut kepala putrinya, menenangkan atau kalau perlu mengambil alih rasa sakit itu. Walau ia tahu, keadaannya sudah berubah dan tak ada yang bisa ia benahi lagi. Meskipun rasa penyesalan terus merongrong, tapi semua sudah terlambat, keegoisannya membuat semua yang ia lakukan saat ini pun sia-sia.
Setelah seharian mencari ke sana-sini tanpa ada kejelasan, akhirnya Lina menemukan titik terang ketika ia mendapatkan telepon dari Viona yang mengatakan kalau Keyla ada di sana. Berkali-kali Lina mengucap rasa syukur, kekalutan dalam pikiran dan benak yang berkecamuk berangsur melega seiring dengan laju mobil Dimas menuju ke rumah sakit———tempat Viona dirawat saat ini.Awalnya Lina memutuskan untuk pergi dari rumah, bahkan ia sudah mengemasi beberapa pakaiannya dan pakaian Viona untuk beberapa waktu ke depan. Ia ingin menenangkan diri sekaligus memberikan efek jera pada suaminya yang egois dan keras kepala, berharap dengan kepergiannya sesaat akan membuat Dimas paham dan mau berubah.Namun, serangkaian rencana yang sudah ia rancang dengan matang harus berakhir berantakan ketika ia menerima panggilan dari wali kelas Key
Semilir angin bertiup lambat, udara yang begitu sejuk saat menjelang sore. Hilir mudik petugas medis menjadi pemandangan yang biasa di koridor rumah sakit. Namun, mata Anton tak sedikitpun teralihkan, fokusnya masih tertuju pada Viona yang tengah duduk di taman ditemani oleh Levin. Senyumnya mengembang melihat keponakannya dapat tersenyum lagi, padahal beberapa hari yang lalu tampak sangat terpuruk. Anton bersyukur karena usahanya meyakinkan pak Tama tidak sia-sia, apalagi fakta kalau mereka merupakan relasi bisnis mempermudah semua usahanya untuk membawa Levin."Jadi, apa langkah selanjutnya Dok? Sepertinya keadaan Viona sudah mulai stabil, apa kita bisa langsung melangkah ke step selanjutnya? Bukankah lebih cepat jauh lebih baik untuk kesembuhan Viona?" Anton menolehkan kepalanya pada Dokter Bima yang berdiri di sampingnya, Dokter spesialis Hematolog yang menangani kasus Viona beberapa
Viona terbangun saat merasakan usapan lembut di pipinya, membuat kelopak matanya perlahan terbuka. Samar terlihat wajah seseorang yang selalu mengisi pikirannya akhir-akhir ini, seseorang yang selalu ia tunggu kehadirannya. Namun, ia sadar kalau orang itu tidak mungkin datang dan yang ia lihat hanyalah bayangan semu.Viona menghela napas panjang, begitu kecewa. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain. "Kamu di mana Vin, aku merindukanmu," gumam Viona seraya memejamkan matanya kembali, berharap mimpi buruk ini segera usai."Aku di sini." Suara yang sangat familiar itu menyentak Viona, matanya seketika terbuka lebar dan menatap seseorang di sampingnya yang kini terlihat lebih jelas dari sebelumnya."Levin," lirih Viona, setengah tak percaya kalau yang dilihatnya memang Levin, bukan se
Viona terbangun ketika mendengar suara dari samping, matanya perlahan terbuka bersamaan dengan harum maskulin yang menyeruak ke indera penciumannya. Samar-samar ia melihat sesosok cowok berdiri membelakangi dirinya, seakan yakin kalau itu Levin, Viona lantas memanggilnya."Levin." Suara Viona yang terdengar pelan berhasil menarik atensi cowok itu. Namun, ia harus menelan kekecewaan ketika netranya menangkap dengan jelas wajah cowok itu saat membalikkan badan dan ternyata cowok itu bukan Levin, melainkan orang lain."Hai," sapa cowok itu, menyunggingkan senyumnya seramah mungkin. "Gimana keadaan lo——""Ngapain lo ke sini?" sergah Vio, memotong ucapan cowok itu. Ekspresinya terlihat tidak menyukai kehadiran cowok itu."Ngapa
Dimas bergegas pulang lebih cepat ketika Laras—istrinya——memberitahukan kalau Viona demam. Putri kesayangannya yang baru berusia satu tahun itu mengalami demam tinggi sejak siang.Sesampainya di rumah, Dimas segera berlarian masuk menuju kamar Viona. Namun, ketika ia sampai di depan kamar, suara dari dalam menghentikan langkahnya."Stop Anton! Hentikan omongkosongmu! Dia bukan anakmu! Harus aku bilang berapa kali, dia bukan anakmu!"Dimas terkesiap kala mendengar teriakan Laras dari dalam kamar. Apalagi istrinya itu menyebut nama Anton, adik angkatnya. Dimas masih terdiam di depan pintu yang tertutup rapat, menahan rasa penasaran yang menggebu-gebutentang apa yang sedang terjadi di dalam sa
Dimas duduk termenung, memandangi Viona yang terbujur lemas tak berdaya di atas ranjang rumah sakit dengan selang infus menancap di tangannya. Sudah satu jam berlalu ia duduk tanpa melakukan aktivitas apa pun selain menatap wajah pucat Viona, seraya mengusap tangan putrinya itu yang terdapat memar."Putri Anda terkenaLeukemia limfositik kronisatau yang biasa disebut kanker darah."Ucapan Dokter yang memeriksa Viona kembali berputar-putar di kepala Dimas, seperti kaset rusak yang berhasil menghancurkan tembok kokoh dalam hatinya. Sekeras apa pun ia menahan diri untuk tidak menangis, nyatanya pertahanannya runtuh. Air mata yang ditahan di pelupuk mata seketika keluar bagaikan air bah."Maafkan papa, Viona." Dimas terisak, menutup wajahnya yang tak kuasa menu