Viona bersumpah pada dirinya sendiri, untuk tidak lagi datang ke rumah Reva. Vio benar-benar menyesal, sekarang dirinya justru terjebak di dalam rumah Reva tanpa bisa pulang karena di luar hujan deras.
Vio benar-benar mengutuk hari ini. Hari yang begitu sial, hari di mana ia kehilangan ciuman pertamanya dan lebih sialnya lagi, Levin yang merenggutnya.
Arrggg! Vio mengerang frustasi. Merutuki diri sendiri.
Apa tidak ada cowok lain? Kenapa harus Levin?
Ponsel Vio tiba-tiba berbunyi, mengalihkan perhatiannya. Vio segera menjauh dari teman-temannya, mencari tempat sepi untuk menjawab telepon.
"Halo," ucap Vio ketika sambungan telepon diangkat.
Vio menghela napas ketika suara Keyla terdengar, dia mencecarnya dengan banyak pertanyaan karena sampai jam delapan malam Vio belum juga pulang.
"Di sini hujan, gue gak bisa pulang karena di jalan depan banjir. Jadi gue nunggu reda baru bisa pulang." Vio mendengus, lalu menarik napas sebelum berkata, "Gua bisa pulang sendiri, gak usah dijemput." Vio langsung menutup sambungan telepon secara sepihak, sebelum Keyla kembali berbicara panjang lebar.
Vio kembali ke ruangan tadi, ia mengembuskan napas kasar saat melihat Reva dan yang lainnya tak sadarkan diri. Mereka tertidur di lantai dengan banyak botol berserakan di sampingnya.
Hanya Levin yang masih terjaga dan cowok itu tengah menatap Vio dengan tatapannya yang dingin.
Vio memalingkan wajahnya, ia masih kesal dengan Levin karena menciumnya tadi. Bahkan cowok itu juga tidak merasa bersalah apalagi minta maaf. Sungguh menyebalkan!
Vio menatap keluar jendela, hujan sudah mulai reda. Tak ingin berlama-lama di sini, Vio mengambil tasnya lalu melangkah menuju pintu. Baru saja ia melangkah, Levin sudah mencegatnya.
"Mau ke mana lo?"
Vio mendengus, memutar bola matanya malas. "Bukan urusan lo."
"Tentu saja urusan gue, Reva nitipin lo ke gue," kata Levin, menghalangi Vio yang ingin keluar.
"Gue bukan anak kecil, jadi minggir!" tukas Vio.
Levin tetap bersikeras menahan Vio, cowok itu benar-benar keras kepala. Perdebatan mereka tak berujung, hingga suara Reva menginterupsi keduanya.
"Vio, lo mau ke mana?" tanya Reva setengah sadar, cewek itu berjalan sempoyongan mendekati Vio.
"Gue mau pulang, ujannya juga udah reda," jawab Vio.
"Kenapa gak nginep aja, kamar gue banyak kok yang kosong atau lo bisa tidur sama dia kalau lo takut sendirian." Reva menunjuk Levin lalu menyengir gak jelas.
Levin mendengus, memutar bola matanya. "Dasar sinting," gerutunya.
"Gak usah, lagian bokap gue pasti khawatir di rumah."
"Tapi di depan banjir, gue gak yakin ada taksi yang mau masuk ke sini," ucap Reva, sembari bergerak ke sana-sini.
Vio juga tahu soal itu, ia heran perumahan elit tapi banjir. Membuatnya terjebak tak bisa pulang, kecuali Vio nekat menerjang banjir untuk sampai ke jalan raya.
"Gak papa, gue bisa jalan sampai depan."
"Lo yakin?" Reva meringis, memegangi kepalanya. "Arggg, kepala gue pusing." Reva mengerang, sebelum akhirnya ambruk tak sadarkan diri.
Cewek itu benar-benar teler.
"Gue anter lo pulang," celetuk Levin.
Hah?
Vio mendongak, cowok itu tengah menatapnya. "Gak usah, gue bisa----"
"Bisa berenang maksud lo?" sergah Levin. "Terus lo pulang basah kuyup, apa kata orangtua lo ntar? Pake." Levin melempar jaketnya pada Vio, cowok itu berjalan keluar.
Vio terdiam, memandangi jaket Levin. Vio bingung dengan sikap Levin, terkadang baik, kadang juga menyebalkan dan juga berengsek.
"Woy, lo mau pulang apa mau jadi patung di situ?" Suara Levin menyadarkan Vio dari lamunannya. Vio segera berlari menyusul Levin keluar dari rumah Reva.
"Nih jaket lo." Vio memberikan jaket yang tadi Levin berikan.
Levin mengernyitkan dahinya, menatap jaket yang Vio sodorkan, lalu beralih menatap wajah Vio. "Gue suruh lo pake kan?"
"Iya, tapi gue gak perlu. Lagian gak di----"
"Gue gak bawa jas hujan, mending lo pake kecuali lo lebih suka seragam lo basah."
Levin benar, hujan memang belum sepenuhnya reda. Bahkan gerimisnya saja lumayan deras, jika dipaksakan maka seragam Vio akan lepek dan jelas itu akan membuat dalamannya terlihat.
Levin berdecak. "Lama, keburu hujan lagi," gumamnya.
Vio yang mendengar segera memakai jaket Levin, ia naik ke atas motor sport Levin.
"Pegangan," kata Levin setelah menyalakan motornya.
Vio mencubit kedua ujung seragam Levin, sebagai bentuk pegangannya. Ia tidak mau memeluk Levin, bisa besar kepala nanti cowok itu. Tapi yang terjadi Vio tersentak maju, karena Levin menancap gas dan memacu motornya dengan kecepatan penuh. Vio refleks memeluk Levin, ia takut jika dirinya akan terjatuh.
Levin tersenyum, ia melajukan motornya menuju jalan raya. Menerjang banjir setinggi lutut orang dewasa.
-------
Vio menghela napas berulang kali, ia berjalan menuju rumahnya. Sementara Levin mengikutinya dari belakang sembari menuntun motornya yang mogok.
Hari ini benar-benar hari tersial bagi Vio. Ia harus jalan jauh gara-gara Levin. Kenapa motor semahal itu bisa-bisanya mogok setelah menerjang banjir? Belum cukup kesialannya, ditambah tak ada satu pun taksi mau pun ojol yang mengambil orderannya karena hujan kembali turun.
Akhirnya Vio memilih hujan-hujanan, ia ingin cepat sampai ke rumah. Terlebih malam semakin larut, kini Vio sudah sampai di jalanan komplek rumahnya ketika waktu sudah menunjukkan pukul 23.00 dan hujan sudah reda sejak setengah jam yang lalu.
"Lo gak perlu ikutin gue lagi, rumah gue udah deket," celetuk Vio, memecah keheningan di tengah malam.
Tak ada sahutan, Vio berhenti lalu berbalik. Ia menatap Levin yang ikutan berhenti, keduanya saling tatap. Vio bisa melihat, Levin basah kuyup, baju seragamnya sampai lepek.
"Gue bilang lo pulang aja, rumah gue di depan sana. Jadi lo gak perlu ngikutin gue sampai rumah." Levin tidak menyahut, dia hanya diam dan menatap Vio dengan ekspresi tak terbaca.
Vio menghela napas, panjang. Ia lelah dan ingin cepat pulang. Tubuhnya sudah kedinginan, maka Vio mengabaikan Levin yang terus mengikutinya sampai Vio tiba di depan gerbang rumahnya. Vio berhenti dan berbalik menghadap Levin.
"Makasih, sekarang lo bisa pulang." Lagi-lagi Levin hanya diam. "Jaket lo basah, jadi gue balikin besok," lanjut Vio.
Vio heran kenapa Levin tak kunjung pergi, padahal dirinya juga sudah sampai di rumah. Lalu apa lagi yang Levin tunggu? Jangan bilang dia nungguin ci ....
"Malem, Om."
Vio tersentak dari pikirannya, ia segera berbalik dan mendapati papanya berdiri di belakangnya.
"Maaf, Om pulangnya kemaleman, motor saya mogok."
Papa Vio hanya mengangguk, matanya menatap Vio yang basah kuyup. Vio tak berkata apa-apa, ia segera masuk meninggalkan papanya dengan Levin.
"Kalau gitu saya permisi pulang Om," pamit Levin.
"Hati-hati," ucap papa Vio. Ia pun langsung masuk, menyusul Vio yang sudah masuk lebih dulu.
"Viona," panggil papa Vio ketika Vio akan menaiki tangga. "Kenapa kamu pulang selarut ini?"
"Bukannya tadi udah dijelasin alasannya?" Vio mendengus. Lalu kembali berjalan menaiki tangga.
"Viona!" teriak papanya.
"Pa, udah. Viona mungkin capek, biarin dia istirahat ya." Lina menenangkan Dimas yang terlihat kesal karena Vio mengabaikannya.
Vio masuk ke kamarnya, merebahkan diri di atas ranjang. Ia menatap langit-langit kamarnya. "Kenapa harus marah? Kenapa juga sok peduli?" gumam Vio, lalu matanya mulai terpejam ketika rasa kantuk mengambil alih.
-------
Reva berjalan menghampiri teman-temannya yang duduk di bangku paling ujung. Ia memberengut kesal, memanyunkan bibirnya. Teman-temannya mengernyitkan dahi saat melihat Reva, tak seperti biasanya dia murung kaya gitu.
"Lo kenapa?" tanya Bella. "Wajah lo ditekuk begitu, kaya setrikaan kusut."
"Gak dikasih duit jajan sama Sam?" celetuk Bagas diikuti kekehan menyebalkan.
"Bacot lo!" Sam melempar kulit kacang ke Bagas.
"Eitsss gak kena," kata Bagas saat lemparan Sam meleset, ia menjulurkan lidahnya sengaja mengejek Sam dan keduanya saling lempar kulit kacang.
Reva memutar bola matanya melihat tingkah keduanya seperti anak kecil. Lalu pandangannya beralih pada Levin yang sedang menyesap rokoknya.
Melihat Levin kekesalan Reva semakin memuncak ke ubun-ubun. "Kyaaa, Levin!!" bentak Reva.
Sontak saja semua anak melihat ke arahnya. Sementara yang dibentak tampak tak peduli, Levin malah menyebulkan asap rokoknya ke udara. Mengabaikan Reva.
"Kyaa, Levin!!" Kali ini Reva menggebrak meja di hadapan Levin. Hal itu berhasil membuat Levin mendongak menatapnya. "Lo apain Vio? Kenapa dia jadi berubah, semalem lo apain dia? Jangan bilang lo bawa dia ke----"
"Ke hotel, maksud lo?" Levin mendengus. "Gue gak apa-apain dia, kalau lo gak percaya lo tanya aja orangnya," ujar Levin.
"Bohong!! Buktinya Vio tiba-tiba berubah, Vio juga gak mau waktu gue ajak ke kantin. Dia jadi pendiem, dari pagi diajak ngobrol juga gak nyahut. Pasti semalem lo apa-apain dia?!"
"Yaelah Rev, mungkin dia lagi sakit gigi makanya gak mau ngomong," sahut Arga.
"Atau sariawan," timpal Bagas.
"Lagian lo kenapa si ampe segitunya, emang spesial banget ya dia? Kan lo masih punya kita-kita," ucap Agata.
Reva mengembuskan napasnya dengan kasar, ia memilih duduk di dekat Bella. "Dia beda, dari awal gue kenal dia, gue ngerasa dia gak kaya yang lainnya. Cuma temenan karena pansos, buktinya aja dia biasa aja waktu gue ajak kumpul sama kalian, gak caper kaya yang lain. Dia juga gak kepo, gak pernah ngulik kehidupan pribadi gue. Gue nyaman sama dia dan sekarang dia jauhin gue gara-gara dia!" Reva menunjuk Levin dengan wajah kesal.
Levin mendengus, ia beranjak berdiri. "Di mana dia sekarang?"
"Siapa?" jawab Reva, balik bertanya.
"Temen kesayangan lo."
"Mau ngapain lo?"
"Kepo!"
Reva mendengus, lalu berkata, " Di perpus."
Levin tak lagi menyahut, ia segera berjalan menuju perpus. Benar kata Reva, Vio memang ada di perpus. Cewek itu berada di bangku paling ujung, di dekat jendela. Tempat yang tak terlihat karena terhimpit rak-rak buku.
Levin tersenyum tipis, ia mendekatinya. Vio tampak tertidur, kepalanya berada di atas meja, mengahadap jendela. Levin duduk di depan Vio, memandangi wajah Vio. Levin bingung saat melihat dahi Vio mengkerut, Vio tampak gelisah dalam tidurnya.
"Mama," gumam Vio.
Keringat bercucuran di dahi Vio. Ia kembali meracau, memanggil-manggil mamanya.
Tangan Levin terulur mengusap keringat di dahi Vio, namun ia justru terkesiap saat merasakan suhu badan Vio yang sangat panas dan saat itulah mata Vio terbuka, ia mendongak menatap Levin yang masih duduk di depannya.
"Levin."
Lando mendengus, ketika melihat Levin menggendong seorang cewek. Cewek yang sama dengan cewek kemarin. Lando semakin penasaran apa hubungan Levin dengan cewek itu? Kalau benar cewek itu spesial untuk Levin, itu akan jadi kesempatan bagus bagi Lando menjatuhkan Levin.Lando tersenyum miring, ia kembali berjalan menuju kelasnya. Bel masuk berbunyi dan kebetulan kelas Lando jam kosong. Ia duduk di bangku paling belakang, menyesap rokok dan menyebulkannya ke udara."Lo udah dapet apa yang gue minta?" Suara Lando menginterupsi teman-temannya yang sedang mabar, seketika mereka menoleh. Lando melemparkan tatapannya ke salah satu temannya."Ah, sudah?" ucap Erik yang paham dengan ucapan Lando barusan. "Namanya Viona," kata Erik mulai memberitahu, matanya kembali fokus ke layar ponsel dan jemar
Vio berusaha mengontrol tubuhnya, ia menyeret kakinya melangkah mengikuti Reva masuk ke dalam. Vio mengabaikan Levin yang tengah menatapnya dengan ekspresi tak terbaca.Cowok aneh!Vio heran, kenapa Levin terus memandanginya? Perasaan gak ada yang aneh sama penampilannya. Vio hanya memakai kaus oblong dan celana jeans selutut, ia pikir penampilannya biasa aja.Lalu kenapa Levin menatapnya seperti itu?"Vi, sini dah. Gue kenalin lo sama yang lain." Reva menarik lengan Vio, menyentak Vio dari pikirannya. Reva membawanya ke ruang tengah. "Gaesss, kenalin temen gue. Namanya Viona."Vio menarik kedua sudut bibirnya, mengulas senyum terpaksa. Vio menatap satu-persatu teman-teman Reva, mere
Jika kamu tak mendapatkan kebahagian, maka ciptakanlah sendiri kebahagianmu.-Levin-"Kalo lo merasa gak dapet kebahagian, kenapa gak lo ciptain sendiri?""Hidup itu sulit gak perlu ditambah rumit. Asal lo bahagia, kenapa lo harus peduli dengan apa kata orang. Mereka saja belum tentu peduli sama lo.""Lakukan apa pun yang membuat lo bahagia."Ucapan Levin terus terngiang di pikiran Vio, membangkitkan tekadnya yang telah lama mati suri. Vio memandang Levin yang tengah berjoged bersama badut mampang, tingkah lucunya membuat Vio tanpa sadar ikut tertawa.Jik
Bagaimana bisa gue gak peduli kalau lo orang pertama yang menarik perhatian gue.-Levin-Motor Levin berhenti di depan bangunan tua, dari luar tampak gelap tapi terlihat ada cahaya di dalamnya. Levin turun, ia berjalan tanpa ragu mendobrak pintu hingga menimbulkan bunyi nyaring. Orang-orang di dalamnya terperanjat, mereka menoleh ke arah kedatangan Levin."Cari mati tuh anak," gumam salah seorang."Siapa?" tanya teman di sebelahnya."Temannya Sam.""Wow, coba lihat siapa yang datang? Kita kedatangan tamu tak diundang gaesss!" seru salah seorang yang Levin yakini pentolan dari geng itu. Geng ga
Terkadang manusia itu sok tahu segalanya, padahal tidak tahu apa-apa. Hanya bermulut besar untuk terlihat tangguh. -Viona- Langkah Vio memelan ketika selentingan itu mengusik gendang telinganya. Vio berusaha keras untuk tidak terpancing, sebisa mungkin mengontrol emosi yang mencuat ke ubun-ubun. "Oh, jadi dia cuma anak pungut dong." "Atau mungkin anak pembantunya yang dibiayain sekolah gitu kaya disinetron-sinetron." "Gue kira dia beneran saudaranya Keyla, tapi emang gak mungkin sih kan mereka beda." "Kasian ya gak diakui bapaknya."
Keyla pulang dengan wajah tertunduk, menyembunyikan matanya yang sembab karena berjam-jam ia habiskan untuk menangis di UKS."Kok udah pulang?" tanya Lina yang baru saja keluar dari dapur, ia melirik ke jam dinding yang baru menunjukkan pukul 13.00. Biasanya sekolah dibubarkan pukul 14.00, Lina jadi merasa curiga, ditambah Viona juga tidak ikutan pulang bersamanya. "Viona mana?"Keyla masih memilih diam, meremas jemarinya. Mendengar nama Viona disebutkan, hatinya kembali sesak, sakit luar biasa ketika mengingat kejadian tadi di kantin. Saat dengan lantangnya Vio bilang jika dirinya anak pelakor.Keyla tahu Vio tidak pernah bisa menerimanya, apa pengorbanannya untuk bisa dekat dengan Vio masih kurang? Keyla menurunkan egonya, terus berusaha mendekat meski berkali-kali ditolak. Tapi apa
Don't touch mine if you still want to live-Levin-Vio memiringkan kepalanya, bersandar menatap keluar jendela. Ia masih bisa melihat pantai di sepanjang jalan yang dilaluinya. Vio tersenyum tipis, mengingat banyak hal yang ia lakukan tadi bersama Levin.Untuk pertama kalinya, Vio merasa hidup. Ia tertawa lepas, merasakan debaran bahagia meski tubuhnya berkali-kali di lempar ke dalam air. Bahkan Vio lupa kapan terakhir ia merasa sebahagia ini dan itu semua berkat Levin.Vio menolehkan kepalanya ke samping, menatap Levin yang tampak fokus menyetir. Wajahnya masih sama, terlihat datar dan terkesan dingin. Tapi kenapa Vio merasa hatinya menghangat setiap kali bersama.
Kamu, kelemahan terbesarku.-Levin-🌺🌺🌺Vio memandangi layar ponselnya, beberapa notifikasi pesan dan panggilan tak terjawab memenuhi notifikasi bar-nya.Vio hanya memandangi pesan-pesan itu tanpa berniat membukanya. Pesan dan panggilan tak terjawab dari keluarganya, keluarga semu-nya.Untuk apa mereka mencari?Untuk apa mereka menyuruhnya pulang? Jika kehadirannya saja tak diinginkan.Apa mereka peduli?Mustahil!Pertanyaan demi pertanyaan mu
Meski sempat mengalami penurunan kesehatan selama beberapa hari lepas kepergian Keyla dan mama tirinya ke Australia, kesehatan Viona berangsur pulih berkat dukungan dari Levin yang selalu ada di sampingnya dan juga om Anton yang selalu mengupayakan berbagai opsi untuk penyembuhan. Teman-teman Levin juga selalu mengunjungi Viona, mereka sering menghibur Viona agar tidak larut dalam kesedihan.Awalnya Dokter menolak usul dari om Anton untuk segera melakukan operasi transplantasi sumsum tulang belakang dengan alasan kesehatan Viona yang belum stabil. Namun, setelah beberapa hari pemantauan dan kesehatan Viona mulai membaik. Dokter akhirnya setuju untuk segera melakukan operasi tersebut.Kini sebulan pasca operasi sumsum tulang belakang dijalani Viona. Proses pemulihan Viona juga berjalan lancar. Sekarang keadaannya jauh lebih baik, m
Reva menatap nanar alat cukur rambut di tangannya. Rasanya begitu berat ketika ia harus memakai alat tersebut. Padahal selama ini ia biasa memakai alat itu untuk mencukur rambut Sam dan teman-teman cowok di tongkrongannya yang nggak mau modal buat kebarbershopdan memilih gratisan memakai jasanya.Viona yang menyadari keterdiaman Reva, sontak menoleh ke belakang. Di mana gadis itu berdiri di belakang kursi rodanya. "Rev, kenapa?" tanyanya.Reva tersadar, dengan cepat mengubah ekspresinya. Ia tidak mau kalau sampai Viona melihat raut wajahnya yang sedih. "Eh, nggak papa kok." Reva menyengir, berharap Viona tidak curiga.Namun, bukan Viona namanya kalau langsung percaya begitu saja. Viona menatap lekat wajah Reva, menyalami pandangan gadis itu, seolah mencari kebenara
Sudah berbulan-bulan Dimas memandangi Viona yang sedang terlelap dari balik kaca yang ada di pintu ruang rawat Viona. Tak sekalipun ia berani menunjukkan batang hidungnya di depan putri kandungnya itu. Meski keinginan untuk melihat lebih dekat terus menggebu dalam dada, tapi perasaan bersalah menahannya sampai depan pintu.Dimas menyeka air matanya, hal yang sering terjadi setiap kali ia memandangi Viona yang meringis menahan sakit bahkan dalam keadaan tak sadar. Seperti yang saat ini ia saksikan, Viona terus merintih dalam tidurnya. Ingin sekali Dimas masuk ke dalam, membelai lembut kepala putrinya, menenangkan atau kalau perlu mengambil alih rasa sakit itu. Walau ia tahu, keadaannya sudah berubah dan tak ada yang bisa ia benahi lagi. Meskipun rasa penyesalan terus merongrong, tapi semua sudah terlambat, keegoisannya membuat semua yang ia lakukan saat ini pun sia-sia.
Setelah seharian mencari ke sana-sini tanpa ada kejelasan, akhirnya Lina menemukan titik terang ketika ia mendapatkan telepon dari Viona yang mengatakan kalau Keyla ada di sana. Berkali-kali Lina mengucap rasa syukur, kekalutan dalam pikiran dan benak yang berkecamuk berangsur melega seiring dengan laju mobil Dimas menuju ke rumah sakit———tempat Viona dirawat saat ini.Awalnya Lina memutuskan untuk pergi dari rumah, bahkan ia sudah mengemasi beberapa pakaiannya dan pakaian Viona untuk beberapa waktu ke depan. Ia ingin menenangkan diri sekaligus memberikan efek jera pada suaminya yang egois dan keras kepala, berharap dengan kepergiannya sesaat akan membuat Dimas paham dan mau berubah.Namun, serangkaian rencana yang sudah ia rancang dengan matang harus berakhir berantakan ketika ia menerima panggilan dari wali kelas Key
Semilir angin bertiup lambat, udara yang begitu sejuk saat menjelang sore. Hilir mudik petugas medis menjadi pemandangan yang biasa di koridor rumah sakit. Namun, mata Anton tak sedikitpun teralihkan, fokusnya masih tertuju pada Viona yang tengah duduk di taman ditemani oleh Levin. Senyumnya mengembang melihat keponakannya dapat tersenyum lagi, padahal beberapa hari yang lalu tampak sangat terpuruk. Anton bersyukur karena usahanya meyakinkan pak Tama tidak sia-sia, apalagi fakta kalau mereka merupakan relasi bisnis mempermudah semua usahanya untuk membawa Levin."Jadi, apa langkah selanjutnya Dok? Sepertinya keadaan Viona sudah mulai stabil, apa kita bisa langsung melangkah ke step selanjutnya? Bukankah lebih cepat jauh lebih baik untuk kesembuhan Viona?" Anton menolehkan kepalanya pada Dokter Bima yang berdiri di sampingnya, Dokter spesialis Hematolog yang menangani kasus Viona beberapa
Viona terbangun saat merasakan usapan lembut di pipinya, membuat kelopak matanya perlahan terbuka. Samar terlihat wajah seseorang yang selalu mengisi pikirannya akhir-akhir ini, seseorang yang selalu ia tunggu kehadirannya. Namun, ia sadar kalau orang itu tidak mungkin datang dan yang ia lihat hanyalah bayangan semu.Viona menghela napas panjang, begitu kecewa. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain. "Kamu di mana Vin, aku merindukanmu," gumam Viona seraya memejamkan matanya kembali, berharap mimpi buruk ini segera usai."Aku di sini." Suara yang sangat familiar itu menyentak Viona, matanya seketika terbuka lebar dan menatap seseorang di sampingnya yang kini terlihat lebih jelas dari sebelumnya."Levin," lirih Viona, setengah tak percaya kalau yang dilihatnya memang Levin, bukan se
Viona terbangun ketika mendengar suara dari samping, matanya perlahan terbuka bersamaan dengan harum maskulin yang menyeruak ke indera penciumannya. Samar-samar ia melihat sesosok cowok berdiri membelakangi dirinya, seakan yakin kalau itu Levin, Viona lantas memanggilnya."Levin." Suara Viona yang terdengar pelan berhasil menarik atensi cowok itu. Namun, ia harus menelan kekecewaan ketika netranya menangkap dengan jelas wajah cowok itu saat membalikkan badan dan ternyata cowok itu bukan Levin, melainkan orang lain."Hai," sapa cowok itu, menyunggingkan senyumnya seramah mungkin. "Gimana keadaan lo——""Ngapain lo ke sini?" sergah Vio, memotong ucapan cowok itu. Ekspresinya terlihat tidak menyukai kehadiran cowok itu."Ngapa
Dimas bergegas pulang lebih cepat ketika Laras—istrinya——memberitahukan kalau Viona demam. Putri kesayangannya yang baru berusia satu tahun itu mengalami demam tinggi sejak siang.Sesampainya di rumah, Dimas segera berlarian masuk menuju kamar Viona. Namun, ketika ia sampai di depan kamar, suara dari dalam menghentikan langkahnya."Stop Anton! Hentikan omongkosongmu! Dia bukan anakmu! Harus aku bilang berapa kali, dia bukan anakmu!"Dimas terkesiap kala mendengar teriakan Laras dari dalam kamar. Apalagi istrinya itu menyebut nama Anton, adik angkatnya. Dimas masih terdiam di depan pintu yang tertutup rapat, menahan rasa penasaran yang menggebu-gebutentang apa yang sedang terjadi di dalam sa
Dimas duduk termenung, memandangi Viona yang terbujur lemas tak berdaya di atas ranjang rumah sakit dengan selang infus menancap di tangannya. Sudah satu jam berlalu ia duduk tanpa melakukan aktivitas apa pun selain menatap wajah pucat Viona, seraya mengusap tangan putrinya itu yang terdapat memar."Putri Anda terkenaLeukemia limfositik kronisatau yang biasa disebut kanker darah."Ucapan Dokter yang memeriksa Viona kembali berputar-putar di kepala Dimas, seperti kaset rusak yang berhasil menghancurkan tembok kokoh dalam hatinya. Sekeras apa pun ia menahan diri untuk tidak menangis, nyatanya pertahanannya runtuh. Air mata yang ditahan di pelupuk mata seketika keluar bagaikan air bah."Maafkan papa, Viona." Dimas terisak, menutup wajahnya yang tak kuasa menu