Lando mendengus, ketika melihat Levin menggendong seorang cewek. Cewek yang sama dengan cewek kemarin. Lando semakin penasaran apa hubungan Levin dengan cewek itu? Kalau benar cewek itu spesial untuk Levin, itu akan jadi kesempatan bagus bagi Lando menjatuhkan Levin.
Lando tersenyum miring, ia kembali berjalan menuju kelasnya. Bel masuk berbunyi dan kebetulan kelas Lando jam kosong. Ia duduk di bangku paling belakang, menyesap rokok dan menyebulkannya ke udara.
"Lo udah dapet apa yang gue minta?" Suara Lando menginterupsi teman-temannya yang sedang mabar, seketika mereka menoleh. Lando melemparkan tatapannya ke salah satu temannya.
"Ah, sudah?" ucap Erik yang paham dengan ucapan Lando barusan. "Namanya Viona," kata Erik mulai memberitahu, matanya kembali fokus ke layar ponsel dan jemarinya menekan-nekan layar. "Dia pindahan dari Bandung, saudara tiri Keyla. Cem-cemannya ono, noh." Erik mengedikkan dagunya ke bangku Fano tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar ponsel.
"Hanya itu?" Lando menaikkan sebelah alisnya.
Erik mendongak, menatap Lando yang duduk di bangku sementara dirinya berjongkok di dekat tembok. "Em ...." Erik tampak berpikir. "Gak ada, dia gak punya sosial media. Jadi ya gue pikir gak ada yang penting kecuali dua hal tadi. Dia juga keliatannya introvert, apatis juga kayanya."
"Mana ada introvert berani nyiram Lando pake air, cewek introvert cenderung cari aman Bos, gak bakal berani nyari masalah," sahut Bara yang tengah fokus memainkan game di ponselnya.
"Ya, itu kan pendapat gue. Lo berisik amat, kenapa gak lo aja yang cari informasinya." Erik mendengus. "Arrggg!! Shit, mati!" umpat Erik ketika kalah main game.
"Lo gak cari tahu hubungan dia sama Levin?" tanya Lando.
"Levin?" beo Erik. "Viona kan satu bangku sama Reva, otomatis dia sering diajak kumpul. Mungkin aja mereka cuma temenan," jawab Erik.
Lando diam, ia tampak berpikir. Lando tak percaya jika Levin hanya menganggap Viona sebatas teman. Lando yakin ada hubungan spesial di antara keduanya. Lando menyeringai, sepertinya ia memiliki rencana untuk menjatuhkan Levin.
———————
Vio mengernyitkan dahi, ketika aroma menyengat kembali tercium. Ia perlahan membuka kelopak matanya, lagi-lagi ruangan bercat putih yang ia lihat. Vio menghela napas, ia memegangi kepalanya berusaha bangun.
"Tidur aja." Suara seorang perempuan menginterupsi Vio. Ia menoleh dan mendapati perempuan kemarin menghampirinya. "Badan kamu demam, kamu minum ini abis itu istirahat." Perempuan itu menberikan obat penurun demam, sepertinya dia Dokter UKS.
"Makasih," ucap Vio setelah selesai meminum obatnya.
Dokter perempuan itu mengangguk. "Istirahat, get well soon." Lalu keluar UKS setelahnya.
Vio kembali berbaring, ia menatap langit-langit ruang UKS. Seingat Vio tadi dirinya di perpus, tapi bagaimana bisa sekarang ada di UKS. Vio berusaha mengingat kejadian sebelumnya, namun kepalanya malah semakin berdenyut.
Akhirnya Vio memutuskan untuk tidur. Baru saja matanya terpejam, tiba-tiba terdengar suara derit pintu seketika Vio membuka mata. Vio menoleh ke arah pintu dan matanya membulat melihat Levin masuk membawa nampan di tangannya.
"Levin," gumam Vio.
"Lo udah bangun?" Levin meletakkan nampan di nakas, ia duduk di kursi samping bangkar. "Udah gak sepanas tadi?" Vio terkesiap ketika tangan Levin menyentuh keningnya.
"Gue gak papa kok." Vio menyingkirkan tangan Levin, ia memalingkan wajahnya ke arah lain. Situasinya berubah canggung.
"Yaudah lo makan, gih. Gue mau cabut." Levin sudah beranjak berdiri saat Vio menahan tangannya. "Kenapa? Lo takut di sini sendiri?"
Vio tampak melirik sekitar ruangan yang tampak sepi, sepertinya hanya Vio dan Levin yang ada di sini. Vio jadi takut, mengingat banyak anak yang sering mengatakan kalau UKS angker.
Levin berdecak, ia kembali duduk. "Gue tungguin sampe lo selesai makan." Levin menghela napasnya, melihat Vio tak bereaksi. "Apa lagi? Lo mau gue suapin?" Tak menunggu jawaban dari Vio, Levin langsung mengambil mangkok bubur dan menyuapkannya ke depan mulut Vio. "Buka."
Vio menggeleng, merapatkan bibirnya. "Gue bisa makan sendiri."
"Bawel, buka atau gue tinggal," ancam Levin.
Membayangkan di UKS sendirian membuat Vio merinding. Akhirnya mau tidak mau Vio membuka mulutnya. Sebenernya ia tak begitu suka bubur, tapi apa boleh buat, Levin memaksanya.
Vio makan dalam diam, begitu pun Levin yang tak bersuara. Cowok itu begitu telaten menyuapi Vio, sampai suapan terakhir.
"Lo kalo makan kaya anak kecil." Levin mendekat, mengusap bibir bawah Vio yang belepotan bubur.
Hal itu membuat Vio terdiam, tubuhnya tiba-tiba saja beku hanya karena sentuhan tangan Levin. Ditambah detak jantungnya kembali berpacu dengan cepat.
Astaga! Perasaan macam apa ini?
"Tidur, tenang aja gak bakal gue tinggal," ucap Levin.
Vio menurut, ia merebahkan tubuhnya lagi. Sementara Levin masih duduk di sampingnya sembari memainkan game di ponsel. Efek obat membuat Vio cepat tertidur.
Waktu berlalu begitu cepat, Vio terbangun ketika mendengar suara cempreng memasuki ruang UKS.
"Viona."
Vio membuka matanya, ia melihat Keyla berdiri di dekat bangkar.
"Kamu sakit?" Keyla menyentuh kening Vio.
"Gue udah mendingan kok." Vio menyingkirkan tangan Keyla, ia beranjak bangun. Matanya melihat ke segala arah, tapi tak menemukan keberadaan Levin.
Kemana cowok itu?
"Kamu nyari siapa?" tanya Keyla.
"Hah?" Vio menoleh dan sadar jika Keyla tengah memperhatikannya. "Gak nyari siapa-siapa kok, cuma tadi ada Dokter perempuan di sini. Ke mana dia?"
"Oh, Dokter Vela. Udah pulang barusan."
"Pulang?" beo Vio.
Keyla mengangguk. "Bel pulang udah bunyi dari setengah jam yang lalu, maaf gue telat ke sini soalnya tadi ada rapat OSIS bentar."
Pantas saja Levin tidak ada, pasti cowok itu sudah pulang. Mana mungkin dia akan menunggu dirinya sampai bangun.
"Vi," panggil Keyla. Viona mendongak. "Kamu beneran udah gak papa? Apa perlu aku minta tolong seseorang buat gendong kamu ke depan gerbang?"
Vio mendengus, ia berdiri. "Gue masih kuat jalan, jadi lo gak perlu minta tolong siapa pun."
"Oh, oke. Ini tas kamu." Keyla memberikan tas Vio.
Keduanya berjalan keluar, namun tiba-tiba Viona menabrak seseorang yang akan masuk ke UKS.
"Awww!" pekik Vio, mengusap keningnya yang baru saja menabrak dada bidang di depannya.
"Ups, sorry. Lo gak papa?" Vio mendongak ketika mendengar suara cowok di depannya. Mata Vio melotot saat tahu siapa yang ia tabrak.
Dia, Lando.
"Ayo, Vi. Mama udah nungguin di depan." Keyla yang berada di belakang Vio langsung menarik lengannya keluar.
Lando langsung menyingkir, ia memandang kepergian Vio dan Keyla. Sudut bibirnya terangkat ke atas.
"Cantik juga, pantes Levin suka," gumam Lando.
———————
Vio terbangun saat mendengar ketukan pintu, ia melihat jam di nakas menunjukkan pukul setengah lima sore. Sejak pulang sekolah tadi, Vio memang langsung tidur karena kepalanya kembali pusing.
"Viona."
Vio menghela napas, lalu ia turun dan berjalan ke pintu. Vio membuka pintu, mendapati mama tirinya berdiri di luar kamarnya.
"Ada apa?" tanya Vio.
"Kamu masih sakit?" Lina ingin menyentuh kening Vio, tapi Vio bergerak mundur.
"Aku udah mendingan," ucap Vio.
Lina tersenyum tipis. "Mama sama papa ada acara di luar, kamu mau ikut? Kebetulan Keyla juga ikut, jadi mama gak mungkin ninggalin kamu di rumah sendirian."
Vio menggelengkan kepalanya. "Aku di rumah aja."
"Bener?" Vio mengangguk. "Yaudah, kamu istirahat. Kunci pintu, kalau ada apa-apa telepon mama. Soalnya kami kayanya bakal pulang malem."
"Em."
Vio menutup pintu kamarnya setelah mama tirinya turun ke bawah. Ia berjalan ke balkon. Dari sini Vio bisa melihat mobil papanya keluar gerbang, sejak kejadian kemarin papanya belum bicara lagi dengannya. Sepertinya papanya marah dan Vio tak begitu peduli.
Vio memilih membersihkan diri, setelah itu dia turun ke bawah berniat mengunci pintu karena sebentar lagi petang. Namun tiba-tiba saja listrik padam. Vio seketika panik, ia berlari keluar rumah.
Vio benci gelap.
Vio memilih duduk di teras, entah sampai kapan ia akan duduk di sana. Padahal sebentar lagi hari mulai gelap, tapi Vio juga tidak mungkin masuk ke dalam sendirian.
Baru saja akan menghubungi Keyla, tapi ponselnya lebih dulu berbunyi menampilkan nama Reva di layar. Vio segera mengangkatnya. "Halo."
"Gue di rumah, sendiri," jawab Vio ketika Reva menanyakan keberadaannya. "Boleh, kebetulan di rumah listrik padam. Gue takut sendirian." Vio menutup sambungan telepon, ia mengunci pintu rumah dan duduk lagi di teras menunggu Reva datang.
Tak berselang lama sebuah mobil Honda Jazz berwarna merah berhenti di depan gerbang. Itu mobil Reva, Vio segera berlari menuju gerbang. Ia keluar menghampiri mobil Reva.
"Orangtua lo ke mana?" tanya Reva ketika Vio sudah di dalam mobil.
"Pergi," jawab Vio, ia menatap lurus ke depan saat mobil Reva mulai melaju meninggalkan kediamannya.
"Lo udah izin?" Vio menggeleng. "Terus?"
"Mereka pulang malem, jadi gue bakal pulang sebelum mereka."
Reva manggut-manggut, ia fokus menyetir hingga mobilnya mulai memasuki daerah komplek perumahan.
"Kita mau ke mana?" tanya Vio.
"Bascamp."
"Bascamp?" beo Vio, ia menoleh pada Reva.
"Yups, di sana lo bakal ketemu banyak temen baru." Reva memarkirkan mobilnya di depan rumah mewah. "Ayo turun."
Vio turun, ia terdiam saat melihat bangunan besar di depannya. Rumah mewah bergaya Eropa klasik, terlihat elegan dan megah. Vio tak habis pikir jika rumah semewah ini di jadikan basecamp.
"Rumah siapa?" tanya Vio.
"Levin." Reva berjalan lebih dulu.
"Levin?" beo Vio, bertepatan dengan pintu rumah terbuka.
"Itu orangnya," seru Reva. "Levin." Panggilnya.
Vio mengangkat wajahnya, melihat ke arah pintu. Levin sedang menyesap rokoknya, cowok itu berdiri di depan pintu menatap dirinya.
"Levin," gumam Vio.
Vio berusaha mengontrol tubuhnya, ia menyeret kakinya melangkah mengikuti Reva masuk ke dalam. Vio mengabaikan Levin yang tengah menatapnya dengan ekspresi tak terbaca.Cowok aneh!Vio heran, kenapa Levin terus memandanginya? Perasaan gak ada yang aneh sama penampilannya. Vio hanya memakai kaus oblong dan celana jeans selutut, ia pikir penampilannya biasa aja.Lalu kenapa Levin menatapnya seperti itu?"Vi, sini dah. Gue kenalin lo sama yang lain." Reva menarik lengan Vio, menyentak Vio dari pikirannya. Reva membawanya ke ruang tengah. "Gaesss, kenalin temen gue. Namanya Viona."Vio menarik kedua sudut bibirnya, mengulas senyum terpaksa. Vio menatap satu-persatu teman-teman Reva, mere
Jika kamu tak mendapatkan kebahagian, maka ciptakanlah sendiri kebahagianmu.-Levin-"Kalo lo merasa gak dapet kebahagian, kenapa gak lo ciptain sendiri?""Hidup itu sulit gak perlu ditambah rumit. Asal lo bahagia, kenapa lo harus peduli dengan apa kata orang. Mereka saja belum tentu peduli sama lo.""Lakukan apa pun yang membuat lo bahagia."Ucapan Levin terus terngiang di pikiran Vio, membangkitkan tekadnya yang telah lama mati suri. Vio memandang Levin yang tengah berjoged bersama badut mampang, tingkah lucunya membuat Vio tanpa sadar ikut tertawa.Jik
Bagaimana bisa gue gak peduli kalau lo orang pertama yang menarik perhatian gue.-Levin-Motor Levin berhenti di depan bangunan tua, dari luar tampak gelap tapi terlihat ada cahaya di dalamnya. Levin turun, ia berjalan tanpa ragu mendobrak pintu hingga menimbulkan bunyi nyaring. Orang-orang di dalamnya terperanjat, mereka menoleh ke arah kedatangan Levin."Cari mati tuh anak," gumam salah seorang."Siapa?" tanya teman di sebelahnya."Temannya Sam.""Wow, coba lihat siapa yang datang? Kita kedatangan tamu tak diundang gaesss!" seru salah seorang yang Levin yakini pentolan dari geng itu. Geng ga
Terkadang manusia itu sok tahu segalanya, padahal tidak tahu apa-apa. Hanya bermulut besar untuk terlihat tangguh. -Viona- Langkah Vio memelan ketika selentingan itu mengusik gendang telinganya. Vio berusaha keras untuk tidak terpancing, sebisa mungkin mengontrol emosi yang mencuat ke ubun-ubun. "Oh, jadi dia cuma anak pungut dong." "Atau mungkin anak pembantunya yang dibiayain sekolah gitu kaya disinetron-sinetron." "Gue kira dia beneran saudaranya Keyla, tapi emang gak mungkin sih kan mereka beda." "Kasian ya gak diakui bapaknya."
Keyla pulang dengan wajah tertunduk, menyembunyikan matanya yang sembab karena berjam-jam ia habiskan untuk menangis di UKS."Kok udah pulang?" tanya Lina yang baru saja keluar dari dapur, ia melirik ke jam dinding yang baru menunjukkan pukul 13.00. Biasanya sekolah dibubarkan pukul 14.00, Lina jadi merasa curiga, ditambah Viona juga tidak ikutan pulang bersamanya. "Viona mana?"Keyla masih memilih diam, meremas jemarinya. Mendengar nama Viona disebutkan, hatinya kembali sesak, sakit luar biasa ketika mengingat kejadian tadi di kantin. Saat dengan lantangnya Vio bilang jika dirinya anak pelakor.Keyla tahu Vio tidak pernah bisa menerimanya, apa pengorbanannya untuk bisa dekat dengan Vio masih kurang? Keyla menurunkan egonya, terus berusaha mendekat meski berkali-kali ditolak. Tapi apa
Don't touch mine if you still want to live-Levin-Vio memiringkan kepalanya, bersandar menatap keluar jendela. Ia masih bisa melihat pantai di sepanjang jalan yang dilaluinya. Vio tersenyum tipis, mengingat banyak hal yang ia lakukan tadi bersama Levin.Untuk pertama kalinya, Vio merasa hidup. Ia tertawa lepas, merasakan debaran bahagia meski tubuhnya berkali-kali di lempar ke dalam air. Bahkan Vio lupa kapan terakhir ia merasa sebahagia ini dan itu semua berkat Levin.Vio menolehkan kepalanya ke samping, menatap Levin yang tampak fokus menyetir. Wajahnya masih sama, terlihat datar dan terkesan dingin. Tapi kenapa Vio merasa hatinya menghangat setiap kali bersama.
Kamu, kelemahan terbesarku.-Levin-🌺🌺🌺Vio memandangi layar ponselnya, beberapa notifikasi pesan dan panggilan tak terjawab memenuhi notifikasi bar-nya.Vio hanya memandangi pesan-pesan itu tanpa berniat membukanya. Pesan dan panggilan tak terjawab dari keluarganya, keluarga semu-nya.Untuk apa mereka mencari?Untuk apa mereka menyuruhnya pulang? Jika kehadirannya saja tak diinginkan.Apa mereka peduli?Mustahil!Pertanyaan demi pertanyaan mu
Vio duduk di kursi tunggu, ia terus merapalkan doa. Sedari tadi Vio gusar menunggu Levin yang tengah ditangani oleh Dokter. Bahkan jantungnya masih berdegup kencang, merasakan gejolak luar biasa akibat melihat kecelakaan yang menimpa Levin di depan matanya langsung."Berengsek!!"Vio terkesiap, ketika suara lantang terdengar bersamaan dengan suara lain yang memekakkan telinga. Vio menoleh, memperhatikan seorang cowok yang baru saja datang. Cowok itu terus mengumpat dan memaki, kakinya tak bisa diam. Dia menendang apa pun yang ada di sekitarnya termasuk tempat sampah yang baru saja ia tendang."Regan berhenti!" bentakan Mario mampu menghentikan Regan seketika.Cowok bernama Regan itu berjongkok di dekat dinding. Memegangi kepalanya, te
Meski sempat mengalami penurunan kesehatan selama beberapa hari lepas kepergian Keyla dan mama tirinya ke Australia, kesehatan Viona berangsur pulih berkat dukungan dari Levin yang selalu ada di sampingnya dan juga om Anton yang selalu mengupayakan berbagai opsi untuk penyembuhan. Teman-teman Levin juga selalu mengunjungi Viona, mereka sering menghibur Viona agar tidak larut dalam kesedihan.Awalnya Dokter menolak usul dari om Anton untuk segera melakukan operasi transplantasi sumsum tulang belakang dengan alasan kesehatan Viona yang belum stabil. Namun, setelah beberapa hari pemantauan dan kesehatan Viona mulai membaik. Dokter akhirnya setuju untuk segera melakukan operasi tersebut.Kini sebulan pasca operasi sumsum tulang belakang dijalani Viona. Proses pemulihan Viona juga berjalan lancar. Sekarang keadaannya jauh lebih baik, m
Reva menatap nanar alat cukur rambut di tangannya. Rasanya begitu berat ketika ia harus memakai alat tersebut. Padahal selama ini ia biasa memakai alat itu untuk mencukur rambut Sam dan teman-teman cowok di tongkrongannya yang nggak mau modal buat kebarbershopdan memilih gratisan memakai jasanya.Viona yang menyadari keterdiaman Reva, sontak menoleh ke belakang. Di mana gadis itu berdiri di belakang kursi rodanya. "Rev, kenapa?" tanyanya.Reva tersadar, dengan cepat mengubah ekspresinya. Ia tidak mau kalau sampai Viona melihat raut wajahnya yang sedih. "Eh, nggak papa kok." Reva menyengir, berharap Viona tidak curiga.Namun, bukan Viona namanya kalau langsung percaya begitu saja. Viona menatap lekat wajah Reva, menyalami pandangan gadis itu, seolah mencari kebenara
Sudah berbulan-bulan Dimas memandangi Viona yang sedang terlelap dari balik kaca yang ada di pintu ruang rawat Viona. Tak sekalipun ia berani menunjukkan batang hidungnya di depan putri kandungnya itu. Meski keinginan untuk melihat lebih dekat terus menggebu dalam dada, tapi perasaan bersalah menahannya sampai depan pintu.Dimas menyeka air matanya, hal yang sering terjadi setiap kali ia memandangi Viona yang meringis menahan sakit bahkan dalam keadaan tak sadar. Seperti yang saat ini ia saksikan, Viona terus merintih dalam tidurnya. Ingin sekali Dimas masuk ke dalam, membelai lembut kepala putrinya, menenangkan atau kalau perlu mengambil alih rasa sakit itu. Walau ia tahu, keadaannya sudah berubah dan tak ada yang bisa ia benahi lagi. Meskipun rasa penyesalan terus merongrong, tapi semua sudah terlambat, keegoisannya membuat semua yang ia lakukan saat ini pun sia-sia.
Setelah seharian mencari ke sana-sini tanpa ada kejelasan, akhirnya Lina menemukan titik terang ketika ia mendapatkan telepon dari Viona yang mengatakan kalau Keyla ada di sana. Berkali-kali Lina mengucap rasa syukur, kekalutan dalam pikiran dan benak yang berkecamuk berangsur melega seiring dengan laju mobil Dimas menuju ke rumah sakit———tempat Viona dirawat saat ini.Awalnya Lina memutuskan untuk pergi dari rumah, bahkan ia sudah mengemasi beberapa pakaiannya dan pakaian Viona untuk beberapa waktu ke depan. Ia ingin menenangkan diri sekaligus memberikan efek jera pada suaminya yang egois dan keras kepala, berharap dengan kepergiannya sesaat akan membuat Dimas paham dan mau berubah.Namun, serangkaian rencana yang sudah ia rancang dengan matang harus berakhir berantakan ketika ia menerima panggilan dari wali kelas Key
Semilir angin bertiup lambat, udara yang begitu sejuk saat menjelang sore. Hilir mudik petugas medis menjadi pemandangan yang biasa di koridor rumah sakit. Namun, mata Anton tak sedikitpun teralihkan, fokusnya masih tertuju pada Viona yang tengah duduk di taman ditemani oleh Levin. Senyumnya mengembang melihat keponakannya dapat tersenyum lagi, padahal beberapa hari yang lalu tampak sangat terpuruk. Anton bersyukur karena usahanya meyakinkan pak Tama tidak sia-sia, apalagi fakta kalau mereka merupakan relasi bisnis mempermudah semua usahanya untuk membawa Levin."Jadi, apa langkah selanjutnya Dok? Sepertinya keadaan Viona sudah mulai stabil, apa kita bisa langsung melangkah ke step selanjutnya? Bukankah lebih cepat jauh lebih baik untuk kesembuhan Viona?" Anton menolehkan kepalanya pada Dokter Bima yang berdiri di sampingnya, Dokter spesialis Hematolog yang menangani kasus Viona beberapa
Viona terbangun saat merasakan usapan lembut di pipinya, membuat kelopak matanya perlahan terbuka. Samar terlihat wajah seseorang yang selalu mengisi pikirannya akhir-akhir ini, seseorang yang selalu ia tunggu kehadirannya. Namun, ia sadar kalau orang itu tidak mungkin datang dan yang ia lihat hanyalah bayangan semu.Viona menghela napas panjang, begitu kecewa. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain. "Kamu di mana Vin, aku merindukanmu," gumam Viona seraya memejamkan matanya kembali, berharap mimpi buruk ini segera usai."Aku di sini." Suara yang sangat familiar itu menyentak Viona, matanya seketika terbuka lebar dan menatap seseorang di sampingnya yang kini terlihat lebih jelas dari sebelumnya."Levin," lirih Viona, setengah tak percaya kalau yang dilihatnya memang Levin, bukan se
Viona terbangun ketika mendengar suara dari samping, matanya perlahan terbuka bersamaan dengan harum maskulin yang menyeruak ke indera penciumannya. Samar-samar ia melihat sesosok cowok berdiri membelakangi dirinya, seakan yakin kalau itu Levin, Viona lantas memanggilnya."Levin." Suara Viona yang terdengar pelan berhasil menarik atensi cowok itu. Namun, ia harus menelan kekecewaan ketika netranya menangkap dengan jelas wajah cowok itu saat membalikkan badan dan ternyata cowok itu bukan Levin, melainkan orang lain."Hai," sapa cowok itu, menyunggingkan senyumnya seramah mungkin. "Gimana keadaan lo——""Ngapain lo ke sini?" sergah Vio, memotong ucapan cowok itu. Ekspresinya terlihat tidak menyukai kehadiran cowok itu."Ngapa
Dimas bergegas pulang lebih cepat ketika Laras—istrinya——memberitahukan kalau Viona demam. Putri kesayangannya yang baru berusia satu tahun itu mengalami demam tinggi sejak siang.Sesampainya di rumah, Dimas segera berlarian masuk menuju kamar Viona. Namun, ketika ia sampai di depan kamar, suara dari dalam menghentikan langkahnya."Stop Anton! Hentikan omongkosongmu! Dia bukan anakmu! Harus aku bilang berapa kali, dia bukan anakmu!"Dimas terkesiap kala mendengar teriakan Laras dari dalam kamar. Apalagi istrinya itu menyebut nama Anton, adik angkatnya. Dimas masih terdiam di depan pintu yang tertutup rapat, menahan rasa penasaran yang menggebu-gebutentang apa yang sedang terjadi di dalam sa
Dimas duduk termenung, memandangi Viona yang terbujur lemas tak berdaya di atas ranjang rumah sakit dengan selang infus menancap di tangannya. Sudah satu jam berlalu ia duduk tanpa melakukan aktivitas apa pun selain menatap wajah pucat Viona, seraya mengusap tangan putrinya itu yang terdapat memar."Putri Anda terkenaLeukemia limfositik kronisatau yang biasa disebut kanker darah."Ucapan Dokter yang memeriksa Viona kembali berputar-putar di kepala Dimas, seperti kaset rusak yang berhasil menghancurkan tembok kokoh dalam hatinya. Sekeras apa pun ia menahan diri untuk tidak menangis, nyatanya pertahanannya runtuh. Air mata yang ditahan di pelupuk mata seketika keluar bagaikan air bah."Maafkan papa, Viona." Dimas terisak, menutup wajahnya yang tak kuasa menu