Vio terbangun ketika alarm berbunyi nyaring memenuhi ruang kamarnya. Mata Vio perlahan terbuka, Vio mengedarkan pandangannya. Ia masih dalam posisi duduk bersandar di pintu.
Vio bangun karena alarm terus berbunyi, Vio segera mematikannya. Vio melirik sekilas jam weker yang sudah menunjukkan pukul enam kurang lima belas menit. Ia segera masuk ke kamar mandi, membersihkan diri.
Tak butuh waktu lama untuk Vio mandi dan mengenakan seragamnya. Kini ia sudah berdiri di depan cermin, memandangi pantulan diri. Vio terdiam memperhatikan wajahnya, lebih tepatnya mata Vio yang sembab karena semalaman menangis.
Untuk menyamarkan itu Vio memakai chusion dan bedak, megoleskan sedikit liptint pada bibirnya yang tampak pucat. Vio tampak cantik dengan rambut panjang tergerai.
"Viona!"
Vio memutar bola matanya, mendengar suara Keyla di luar kamarnya ditambah gedoran pintu. Vio segera keluar dan Keyla cukup terkejut saat mendapati Vio sudah rapi.
"Aku pikir kamu belum bangun?" gumam Keyla.
"Lain kali gak perlu bangunin gue, udah ada alarm yang bangunin," kata Vio lalu berjalan lebih dulu.
"Em ... oke. Btw, mata kamu kenapa?"
"Kenapa?" Vio menoleh pada Keyla yang sudah mensejajarkan langkahnya di samping Vio.
"Mata kamu bengkak, kamu nangis?" tanya Keyla.
"Gak. Ini karena gue begadang semalem." Vio gak sepenuhnya berbohong, ia memang begadang semalem. Begadang karena menangisi nasibnya.
"Oh, kamu pasti semalem gak bisa tidur karena ada petir ya? Sama aku juga———"
"Gak, gue bukan lo yang takut petir. Gue semalem begadang karena nonton drakor."
"Drakor?" beo Keyla, ia berhenti tampak memikirkan ucapan Vio barusan.
Vio mendengus, mengabaikan Keyla dan berjalan meninggalkannya.
"Pagi," sapa mama tirinya yang sedang menyiapkan sarapan.
Vio tak menyahut, ia memilih duduk tanpa melihat ke arah wanita itu.
"Pagi Ma," sapa Keyla yang duduk di samping Vio.
"Pagi Sayang," balas mamanya.
"Papa mana?" tanya Keyla.
"Itu Papa." Mamanya mengedikkan dagu ke arah papanya yang sedang berjalan.
"Pagi Pa," sapa Keyla saat papanya tiba di meja makan.
"Pagi," balas papanya. "Pagi Viona."
Vio menoleh sekilas lalu kembali tidak peduli. Melihat hal itu papanya hanya menghela napas panjang. Dalam hati ia bertanya, sampai kapan putrinya akan terus menjaga jarak dengannya?
Semenjak kematian Laras, Viona memang jadi pendiam dan enggan berinteraksi dengan siapa pun. Ia hanya mau bicara dengan omanya, itu kenapa sejak kecil Viona diasuh oleh omanya.
"Sekolah kamu bagaimana?" tanya papanya di sela-sela makan.
"Biasa aja," jawab Vio tanpa mengalihkan perhatiannya dari nasi goreng di depannya.
"Papa harap kamu bisa beradaptasi di sana." Vio diam tak menyahut. "Oh, ya Keyla kamu bisa bantu Viona biar cepat menyesuaikan diri dan punya banyak teman di sana."
"Siap Pa. Keyla pasti————"
"Aku bisa cari temen sendiri," ucap Vio menyela ucapan Keyla yang belum selesai.
Lina dan Dimas saling pandang, seolah saling bicara satu sama lain. Sementara Keyla memilih meneruskan makannya, meski dalam hati ia bertanya-tanya akan sikap Viona.
—————
Vio langsung turun dari mobil, berjalan memasuki gerbang. Keyla yang bersalaman dulu dengan papanya langsung menyusul Vio dari belakang.
"Viona," panggil Keyla.
Seakan tuli, Vio sama sekali tak menoleh atau berhenti. Ia terus berjalan dengan langkah lebar.
"Viona, tunggu." Keyla terengah setelah berlarian mengejar Vio, kini ia berjalan bersisihan. "Kamu kenapa gak salaman dulu sama papa?" tanya Keyla.
"Gak biasa," jawab Vio.
"Mulai besok dibiasain. Tadi papa manggil kamu tahu, tapi kamunya malah jalan terus," jelas Keyla.
"Oh." Vio tampak tak peduli.
Keyla pun memilih diam, keduanya berjalan menelusuri koridor menuju kelas. Tapi saat tiba di dekat tangga menuju kelas XII, terdapat keributan. Banyak anak berkerumun.
Vio berhenti karena jalan menuju kelasnya terhalangi oleh anak-anak yang berkerumun. Terdengar sorakan disertai suara pukulan, sepertinya ada yang sedang berantem.
"Huft, mereka lagi. Kenapa si mereka selalu bikin keributan pagi-pagi." Vio menoleh ke Keyla ketika mendengar gerutuan cewek itu. "Kamu jangan deket-deket sama mereka bahaya." Keyla menoleh dan keduanya saling bertatapan.
"Siapa?" tanya Vio.
"Levin sama Lando. Dia anak kelas XII, siswa bermasalah. Pokoknya lo harus hindari dia. Mama sama papa gak bakal suka kalo tahu kamu bergaul sama mereka."
Vio terdiam, memikirkan ucapan Keyla. Levin? Bahkan tanpa perlu Keyla peringatkan Vio akan menghindari cowok itu. Vio juga tidak suka dengan cowok itu, terlalu menyeramkan. Apalagi iris hitam pekat yang selalu mengintimidasinya.
Setelah keributan itu dilerai guru BK, akhirnya Vio bisa masuk ke kelas. Ia duduk di bangkunya, bertepatan dengan Reva yang baru saja datang.
"Untung belom bel, hampir aja gue telat gara-gara si Sam sialan!"
Vio diam saja ketika Reva datang-datang sudah mengomel seperti emak-emak datang bulan.
"Lo mau ganti baju sekarang?" tanya Vio yang sudah beranjak berdiri.
Reva menoleh. "Ganti di sini aja, yang lain juga biasa ganti di kelas."
Vio melihat sekitarnya dan memang benar, anak-anak yang lain berganti pakaian di kelas. Mereka juga tampak tak peduli meski ada anak cowok di kelas.
"Gue ganti di toilet aja," ucap Vio.
"Oh, yaudah sono keburu bel."
Vio mengangguk, ia pun bergegas keluar kelas. Vio tak habis pikir dengan cewek-cewek di kelasnya, apa mereka tidak risih berganti pakaian di depan cowok-cowok. Bahkan sepertinya hanya Vio yang berganti pakaian di toilet.
Vio berjalan melewati ruang BK karena toilet berada di ujung koridor. Vio menoleh ketika melihat dua orang cowok berdiri di depan BK sedang dimarah-marahi oleh guru BK dan saat itulah mata Vio bertemu dengan iris hitam pekat yang menyeramkan.
Vio langsung memalingkan wajahnya, merutuki tindakan bodohnya barusan. Kenapa juga Vio harus menoleh, bayangan mata Levin terus berputar di otaknya. Vio berusaha menepisnya. Ia semakin mempercepat jalannya menuju toilet.
Bel masuk berbunyi, Vio sudah kembali dari toilet dan mendapati teman-temannya sudah berganti pakaian dengan seragam olahraga.
"Lama banget lo?" tanya Reva saat Vio memasukkan pakaiannya ke loker.
"Ngantri," jawab Vio.
"Kan gue bilang ganti di sini aja, lo nya gak mau." Vio tak menggubrisnya, lagian Vio bukan mereka yang urat malunya sudah putus. "Ayok, pak Roy gak suka kalo kita telat. Bisa-bisa dihukum keliling lapangan ntar."
Vio mengangguk, ia mengambil botol minumya lalu keluar menuju lapangan. Sesampainya di lapangan pak Roy belum datang, sehingga anak-anak memilih duduk di tepi lapangan.
Reva berdecak. "Tuh anak berantem lagi?"
Vio menoleh ke Reva, lalu mengikuti pandangan Reva ke lapangan. Di sana, dua orang tadi tengah berlari keliling lapangan. Cowok itu menoleh dan lagi-lagi mata mereka saling bertemu dengan cepat Vio membuang muka.
Tatapannya begitu menusuk, rasanya Vio ingin kabur saja. Vio terus bergelut dengan pikirannya sampai tidak sadar ada yang mendekati. Vio tersentak ketika botol air di tangannya diambil.
"Kyaaa!!" pekik Vio. Matanya melebar saat tahu siapa pelakunya.
Levin!
Ah, cowok itu benar-benar menyebalkan!
Levin menyeringai, ia meminum airnya sambil berlari lalu menyiramkan sisanya ke wajah Levin. Hal itu membuat cewek-cewek menjerit histeris.
"Astaga naga dragon ball, Kak Levin ganteng banget."
"Ya ampun, keren."
Vio mendengus, memutar bola matanya. "Dasar sinting!"
Vio menghela napas untuk yang kesekian kali. Melihat antrian yang begitu panjang, membuat kesal Vio semakin memuncak. Gara-gara minumannya diambil Levin, mau gak mau Vio harus membeli di kantin dan mengantri panjang di kasir.Kaki Vio sudah pegal kelamaan berdiri, hingga akhirnya tiba giliran Vio. Baru saja Vio meletakkan botol airnya, tiba-tiba seseorang menyerobot antrian."Kyaaa!!" teriak Vio, hilang sudah kesabarannya.Cowok itu menoleh, menatap Vio dengan datar."Lo harusnya ngantri, bukan nyerobot gitu aja," gerutu Vio.Cowok itu mendengus, mengabaikan Vio dan kembali berbalik. Vio melotot, emosinya semakin menggebu-gebu. Apa-apaan coba? Dirinya sudah ngantri lama tiba-tiba dis
Bel pulang sekolah berbunyi, gerombolan Lando sudah bertengger di parkiran. Lando sendiri duduk di atas kap mobilnya, menyesap rokok yang ada ditangan."Muka lo kenapa?" tanya Fano yang baru tiba."Biasa," jawab Lando, kembali menyebulkan asap rokok ke udara."Lo gak tahu Fan? Dia abis di pukulin tadi ...." Temannya seketika mengatupkan bibirnya, karena Lando melototinya."Lo berantem lagi? Sama siapa?" tuntut Fano, meminta penjelasan.Lando mendengus, membuang puntung rokok ke tanah lalu menginjaknya. "Gak penting," ucap Lando."Seterah." Fano tak lagi menggubris Lando, ia memilih merokok dari pada menanyai Lando yang keras kepala.
Viona bersumpah pada dirinya sendiri, untuk tidak lagi datang ke rumah Reva. Vio benar-benar menyesal, sekarang dirinya justru terjebak di dalam rumah Reva tanpa bisa pulang karena di luar hujan deras.Vio benar-benar mengutuk hari ini. Hari yang begitu sial, hari di mana ia kehilangan ciuman pertamanya dan lebih sialnya lagi, Levin yang merenggutnya.Arrggg! Vio mengerang frustasi. Merutuki diri sendiri.Apa tidak ada cowok lain? Kenapa harus Levin?Ponsel Vio tiba-tiba berbunyi, mengalihkan perhatiannya. Vio segera menjauh dari teman-temannya, mencari tempat sepi untuk menjawab telepon."Halo," ucap Vio ketika sambungan telepon diangkat.
Lando mendengus, ketika melihat Levin menggendong seorang cewek. Cewek yang sama dengan cewek kemarin. Lando semakin penasaran apa hubungan Levin dengan cewek itu? Kalau benar cewek itu spesial untuk Levin, itu akan jadi kesempatan bagus bagi Lando menjatuhkan Levin.Lando tersenyum miring, ia kembali berjalan menuju kelasnya. Bel masuk berbunyi dan kebetulan kelas Lando jam kosong. Ia duduk di bangku paling belakang, menyesap rokok dan menyebulkannya ke udara."Lo udah dapet apa yang gue minta?" Suara Lando menginterupsi teman-temannya yang sedang mabar, seketika mereka menoleh. Lando melemparkan tatapannya ke salah satu temannya."Ah, sudah?" ucap Erik yang paham dengan ucapan Lando barusan. "Namanya Viona," kata Erik mulai memberitahu, matanya kembali fokus ke layar ponsel dan jemar
Vio berusaha mengontrol tubuhnya, ia menyeret kakinya melangkah mengikuti Reva masuk ke dalam. Vio mengabaikan Levin yang tengah menatapnya dengan ekspresi tak terbaca.Cowok aneh!Vio heran, kenapa Levin terus memandanginya? Perasaan gak ada yang aneh sama penampilannya. Vio hanya memakai kaus oblong dan celana jeans selutut, ia pikir penampilannya biasa aja.Lalu kenapa Levin menatapnya seperti itu?"Vi, sini dah. Gue kenalin lo sama yang lain." Reva menarik lengan Vio, menyentak Vio dari pikirannya. Reva membawanya ke ruang tengah. "Gaesss, kenalin temen gue. Namanya Viona."Vio menarik kedua sudut bibirnya, mengulas senyum terpaksa. Vio menatap satu-persatu teman-teman Reva, mere
Jika kamu tak mendapatkan kebahagian, maka ciptakanlah sendiri kebahagianmu.-Levin-"Kalo lo merasa gak dapet kebahagian, kenapa gak lo ciptain sendiri?""Hidup itu sulit gak perlu ditambah rumit. Asal lo bahagia, kenapa lo harus peduli dengan apa kata orang. Mereka saja belum tentu peduli sama lo.""Lakukan apa pun yang membuat lo bahagia."Ucapan Levin terus terngiang di pikiran Vio, membangkitkan tekadnya yang telah lama mati suri. Vio memandang Levin yang tengah berjoged bersama badut mampang, tingkah lucunya membuat Vio tanpa sadar ikut tertawa.Jik
Bagaimana bisa gue gak peduli kalau lo orang pertama yang menarik perhatian gue.-Levin-Motor Levin berhenti di depan bangunan tua, dari luar tampak gelap tapi terlihat ada cahaya di dalamnya. Levin turun, ia berjalan tanpa ragu mendobrak pintu hingga menimbulkan bunyi nyaring. Orang-orang di dalamnya terperanjat, mereka menoleh ke arah kedatangan Levin."Cari mati tuh anak," gumam salah seorang."Siapa?" tanya teman di sebelahnya."Temannya Sam.""Wow, coba lihat siapa yang datang? Kita kedatangan tamu tak diundang gaesss!" seru salah seorang yang Levin yakini pentolan dari geng itu. Geng ga
Terkadang manusia itu sok tahu segalanya, padahal tidak tahu apa-apa. Hanya bermulut besar untuk terlihat tangguh. -Viona- Langkah Vio memelan ketika selentingan itu mengusik gendang telinganya. Vio berusaha keras untuk tidak terpancing, sebisa mungkin mengontrol emosi yang mencuat ke ubun-ubun. "Oh, jadi dia cuma anak pungut dong." "Atau mungkin anak pembantunya yang dibiayain sekolah gitu kaya disinetron-sinetron." "Gue kira dia beneran saudaranya Keyla, tapi emang gak mungkin sih kan mereka beda." "Kasian ya gak diakui bapaknya."
Meski sempat mengalami penurunan kesehatan selama beberapa hari lepas kepergian Keyla dan mama tirinya ke Australia, kesehatan Viona berangsur pulih berkat dukungan dari Levin yang selalu ada di sampingnya dan juga om Anton yang selalu mengupayakan berbagai opsi untuk penyembuhan. Teman-teman Levin juga selalu mengunjungi Viona, mereka sering menghibur Viona agar tidak larut dalam kesedihan.Awalnya Dokter menolak usul dari om Anton untuk segera melakukan operasi transplantasi sumsum tulang belakang dengan alasan kesehatan Viona yang belum stabil. Namun, setelah beberapa hari pemantauan dan kesehatan Viona mulai membaik. Dokter akhirnya setuju untuk segera melakukan operasi tersebut.Kini sebulan pasca operasi sumsum tulang belakang dijalani Viona. Proses pemulihan Viona juga berjalan lancar. Sekarang keadaannya jauh lebih baik, m
Reva menatap nanar alat cukur rambut di tangannya. Rasanya begitu berat ketika ia harus memakai alat tersebut. Padahal selama ini ia biasa memakai alat itu untuk mencukur rambut Sam dan teman-teman cowok di tongkrongannya yang nggak mau modal buat kebarbershopdan memilih gratisan memakai jasanya.Viona yang menyadari keterdiaman Reva, sontak menoleh ke belakang. Di mana gadis itu berdiri di belakang kursi rodanya. "Rev, kenapa?" tanyanya.Reva tersadar, dengan cepat mengubah ekspresinya. Ia tidak mau kalau sampai Viona melihat raut wajahnya yang sedih. "Eh, nggak papa kok." Reva menyengir, berharap Viona tidak curiga.Namun, bukan Viona namanya kalau langsung percaya begitu saja. Viona menatap lekat wajah Reva, menyalami pandangan gadis itu, seolah mencari kebenara
Sudah berbulan-bulan Dimas memandangi Viona yang sedang terlelap dari balik kaca yang ada di pintu ruang rawat Viona. Tak sekalipun ia berani menunjukkan batang hidungnya di depan putri kandungnya itu. Meski keinginan untuk melihat lebih dekat terus menggebu dalam dada, tapi perasaan bersalah menahannya sampai depan pintu.Dimas menyeka air matanya, hal yang sering terjadi setiap kali ia memandangi Viona yang meringis menahan sakit bahkan dalam keadaan tak sadar. Seperti yang saat ini ia saksikan, Viona terus merintih dalam tidurnya. Ingin sekali Dimas masuk ke dalam, membelai lembut kepala putrinya, menenangkan atau kalau perlu mengambil alih rasa sakit itu. Walau ia tahu, keadaannya sudah berubah dan tak ada yang bisa ia benahi lagi. Meskipun rasa penyesalan terus merongrong, tapi semua sudah terlambat, keegoisannya membuat semua yang ia lakukan saat ini pun sia-sia.
Setelah seharian mencari ke sana-sini tanpa ada kejelasan, akhirnya Lina menemukan titik terang ketika ia mendapatkan telepon dari Viona yang mengatakan kalau Keyla ada di sana. Berkali-kali Lina mengucap rasa syukur, kekalutan dalam pikiran dan benak yang berkecamuk berangsur melega seiring dengan laju mobil Dimas menuju ke rumah sakit———tempat Viona dirawat saat ini.Awalnya Lina memutuskan untuk pergi dari rumah, bahkan ia sudah mengemasi beberapa pakaiannya dan pakaian Viona untuk beberapa waktu ke depan. Ia ingin menenangkan diri sekaligus memberikan efek jera pada suaminya yang egois dan keras kepala, berharap dengan kepergiannya sesaat akan membuat Dimas paham dan mau berubah.Namun, serangkaian rencana yang sudah ia rancang dengan matang harus berakhir berantakan ketika ia menerima panggilan dari wali kelas Key
Semilir angin bertiup lambat, udara yang begitu sejuk saat menjelang sore. Hilir mudik petugas medis menjadi pemandangan yang biasa di koridor rumah sakit. Namun, mata Anton tak sedikitpun teralihkan, fokusnya masih tertuju pada Viona yang tengah duduk di taman ditemani oleh Levin. Senyumnya mengembang melihat keponakannya dapat tersenyum lagi, padahal beberapa hari yang lalu tampak sangat terpuruk. Anton bersyukur karena usahanya meyakinkan pak Tama tidak sia-sia, apalagi fakta kalau mereka merupakan relasi bisnis mempermudah semua usahanya untuk membawa Levin."Jadi, apa langkah selanjutnya Dok? Sepertinya keadaan Viona sudah mulai stabil, apa kita bisa langsung melangkah ke step selanjutnya? Bukankah lebih cepat jauh lebih baik untuk kesembuhan Viona?" Anton menolehkan kepalanya pada Dokter Bima yang berdiri di sampingnya, Dokter spesialis Hematolog yang menangani kasus Viona beberapa
Viona terbangun saat merasakan usapan lembut di pipinya, membuat kelopak matanya perlahan terbuka. Samar terlihat wajah seseorang yang selalu mengisi pikirannya akhir-akhir ini, seseorang yang selalu ia tunggu kehadirannya. Namun, ia sadar kalau orang itu tidak mungkin datang dan yang ia lihat hanyalah bayangan semu.Viona menghela napas panjang, begitu kecewa. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain. "Kamu di mana Vin, aku merindukanmu," gumam Viona seraya memejamkan matanya kembali, berharap mimpi buruk ini segera usai."Aku di sini." Suara yang sangat familiar itu menyentak Viona, matanya seketika terbuka lebar dan menatap seseorang di sampingnya yang kini terlihat lebih jelas dari sebelumnya."Levin," lirih Viona, setengah tak percaya kalau yang dilihatnya memang Levin, bukan se
Viona terbangun ketika mendengar suara dari samping, matanya perlahan terbuka bersamaan dengan harum maskulin yang menyeruak ke indera penciumannya. Samar-samar ia melihat sesosok cowok berdiri membelakangi dirinya, seakan yakin kalau itu Levin, Viona lantas memanggilnya."Levin." Suara Viona yang terdengar pelan berhasil menarik atensi cowok itu. Namun, ia harus menelan kekecewaan ketika netranya menangkap dengan jelas wajah cowok itu saat membalikkan badan dan ternyata cowok itu bukan Levin, melainkan orang lain."Hai," sapa cowok itu, menyunggingkan senyumnya seramah mungkin. "Gimana keadaan lo——""Ngapain lo ke sini?" sergah Vio, memotong ucapan cowok itu. Ekspresinya terlihat tidak menyukai kehadiran cowok itu."Ngapa
Dimas bergegas pulang lebih cepat ketika Laras—istrinya——memberitahukan kalau Viona demam. Putri kesayangannya yang baru berusia satu tahun itu mengalami demam tinggi sejak siang.Sesampainya di rumah, Dimas segera berlarian masuk menuju kamar Viona. Namun, ketika ia sampai di depan kamar, suara dari dalam menghentikan langkahnya."Stop Anton! Hentikan omongkosongmu! Dia bukan anakmu! Harus aku bilang berapa kali, dia bukan anakmu!"Dimas terkesiap kala mendengar teriakan Laras dari dalam kamar. Apalagi istrinya itu menyebut nama Anton, adik angkatnya. Dimas masih terdiam di depan pintu yang tertutup rapat, menahan rasa penasaran yang menggebu-gebutentang apa yang sedang terjadi di dalam sa
Dimas duduk termenung, memandangi Viona yang terbujur lemas tak berdaya di atas ranjang rumah sakit dengan selang infus menancap di tangannya. Sudah satu jam berlalu ia duduk tanpa melakukan aktivitas apa pun selain menatap wajah pucat Viona, seraya mengusap tangan putrinya itu yang terdapat memar."Putri Anda terkenaLeukemia limfositik kronisatau yang biasa disebut kanker darah."Ucapan Dokter yang memeriksa Viona kembali berputar-putar di kepala Dimas, seperti kaset rusak yang berhasil menghancurkan tembok kokoh dalam hatinya. Sekeras apa pun ia menahan diri untuk tidak menangis, nyatanya pertahanannya runtuh. Air mata yang ditahan di pelupuk mata seketika keluar bagaikan air bah."Maafkan papa, Viona." Dimas terisak, menutup wajahnya yang tak kuasa menu