Kabut pekat menyelimuti, hawa dingin menyergap. Pandangan Vio mengabur, tapi ia masih bisa melihat bayangan dua orang yang sangat dicintainya.
"Mama," panggil Vio. "Oma." Mata Vio berkaca-kaca, ia menerjang kabut menghambur ke arah dua orang itu.
Tapi yang terjadi hanya angin yang berhasil Vio dekap. Vio mengedarkan pandangannya ke segala arah, mencari sosok keduanya yang tiba-tiba menghilang.
"Mama, Oma!" teriak Vio, suaranya bergema di tengah malam. "Jangan tinggalin Vio sendiri, Vio takut," cicitnya.
Vio berputar, matanya terus mengedar mencari-cari sosok mama dan omanya. Tapi sepertinya sia-sia, mereka menghilang. Vio terduduk lemas, meratapi kesendiriannya."Mama, Vio takut. Oma jangan pergi. Kenapa kalian tega tinggalin Vio sendirian." Vio menutupi wajahnya, tangisnya pecah.
"Viona." Suara merdu itu menginterupsi Vio.
Vio menghentikan tangisannya, kepalanya mendongak mencari arah suara yang memanggilnya.
"Viona Sayang."
"Mama, Oma," gumam Vio saat melihat sosok dua perempuan mengenakan gaun putih, berdiri tak jauh darinya. "Mama, Oma." Vio beranjak berdiri, matanya berbinar.
"Maafin mama sama Oma ya Sayang. Kami harus pergi," ucap wanita muda itu.
"Mama mau ke mana?" Vio berjalan mendekat. "Mama gak boleh pergi. Mama gak boleh tinggalin Vio sendiri. Mama ...." Belum sempat Vio menggapai keduanya, bayangan itu tiba-tiba menghilang digantikan asap putih.
"Mama ...."
"JANGAN PERGI!!!" teriak Vio, matanya terbuka lebar dengan keringat bercucuran di dahi.
Vio mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, ia berada di kamarnya. Lagi-lagi Vio mengalami mimpi buruk.
Sudah seminggu semenjak kematian oma, wanita yang mengasuh Vio sejak kecil. Rasa kehilangan membuat Vio selalu diliputi kesedihan, hingga mimpi-mimpi buruk itu datang setiap malam, membuat Vio gelisah dalam tidurnya.
Vio berjalan menuruni tangga, langkahnya terhenti saat ia tiba di ruang makan.
"Kamu sudah bangun?" sapa seorang wanita yang sedang menyiapkan sarapan. "Duduklah, mama sudah buatkan sarapan."
Vio mengabaikannya, ia melanjutkan langkahnya menuju dapur. Mengambil segelas air dingin.
"Pagi," seru seorang gadis, wajahnya tampak ceria. "Pagi, Viona," sapa gadis itu.
Lagi-lagi Vio mengabaikannya, ia hanya melirik sekilas gadis itu. Gadis yang seumuran dengannya. Vio hendak kembali ke kamarnya, namun tiba-tiba langkahnya terhenti ketika seseorang berjalan ke arahnya.
"Duduklah, ada yang mau papa obrolin sama kamu." Pria itu tersenyum tipis pada Vio.
Vio tak menyahut, tapi ia menurut untuk duduk. Mulutnya masih bungkam ketika ia duduk berhadapan dengan pria itu yang ternyata Dimas, papanya.
"Papa sudah urus kepindahan kamu, jadi hari ini kamu kemasi semua barang-barang kamu---"
"Vio gak bakal pergi," sela Vio memotong ucapan papanya.
"Viona, papa gak mungkin biarin kamu sendirian di sini----"
"Udah biasa sendiri." Lagi-lagi Vio menyela ucapan papanya.
"Viona, please. Kali ini saja jangan bantah papa. Ini amanat oma dan juga kewajiban papa buat ngerawat kamu."
Viona mendengus. Ia menatap papanya dengan datar. "Papa tetep bakal maksa aku kan?"
"Ya."
"Kalau gitu terserah Papa." Viona berdiri dan pergi meninggalkan ruang makan.
-------
Sepanjang perjalanan dari Bandung, Vio sama sekali tak bersuara, ia memilih memejamkan matanya saat papanya mengajak bicara. Hingga akhirnya mereka tiba di Jakarta, di perumahan elit yang berada di kawasan Kuningan.
Vio turun dari mobil, menatap rumah mewah yang ada di depannya. Rumah yang mungkin akan jadi neraka baginya.
"Ayo Viona." Suara papa menyentak Vio dari lamunannya.
Vio berjalan di belakang papanya, sang papa terus berbicara memberitahu Vio setiap bagian rumah. Lalu membawa Vio ke lantai dua.
"Ini kamar kamu." Vio menatap ruangan kamarnya. Besar dan sangat mewah. "Kamar Keyla di sebelah, kalau ada apa-apa kamu bisa minta tolong Keyla. Kamar papa ada di atas."
"Hm." Vio hanya bergumam, malas menanggapi. Ia berjalan ke jendela, membuka jendela penghubung balkon.
"Bagus bukan?" Vio menoleh dan mendapati papanya sudah berdiri di sebelahnya.
"Biasa aja." Vio berbalik, kembali ke tepi ranjang. "Aku capek mau tidur."
Sang papa tersenyum tipis, berjalan mendekati Vio. "Yaudah, kamu istirahat ya. Karena besok kamu udah mulai sekolah."
Vio mengangguk. Papa Vio hendak mencium keningnya, tapi Vio refleks menjauhkan diri. Sadar akan penolakan, papanya hanya tersenyum kecut.
"Kalau gitu papa keluar, good night." Papanya mengusap pelan kepala Vio, lalu berbalik menuju pintu.
Selepas kepergian papanya, Vio berjalan ke arah balkon. Vio mendongak, menatap langit malam yang bertabur bintang.
"Ma, Vio kangen mama," lirih Vio.
Tanpa Vio sadari jika sang papa mengintipnya, ada rasa sesal menggerogoti. Sesak melihat putri kesayangannya berubah jadi gadis pemurung.
"Maafin papa Vio."
Keesokan paginya, Vio terbangun ketika mendengar ketukan pintu. Suara nyaring itu terus memanggil-manggil dirinya.
"Viona, bangun. Vio, udah siang bangun."
Vio berdecak, menutup telinganya dengan bantal. Dalam hati Vio menyumpah serapah Keyla yang sudah mengacaukan mimpi indahnya. Mengganggu suasana paginya.
"Vio!!" Suara ketukan berganti dengan gedoran. "Viona, bangun. Nanti kamu telat!"
Keyla terus menggedor pintu kamar Vio. Andai saja sang mama tidak menyuruhnya membangunkan Vio, Keyla tidak akan mau melakukan hal ini.
Dasar kebo!
Keyla mengerucutkan bibirnya, kesal karena Vio tak kunjung bangun juga, padahal waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh.
"Belum bangun juga?" Keyla menoleh saat mendengar suara papanya. Ia menggelengkan kepala sebagai jawaban. "Biar papa yang bangunin, kamu sarapan gih. Nanti kesiangan."
"Iya Pa." Keyla pun turun ke bawah.
Dimas menghela napas sejenak, sebelum mengetuk pintu kamar Vio. "Viona, bangun." Tak ada jawaban, Dimas pun kembali akan mengetuk pintu kamar Vio tapi tiba-tiba pintu terbuka. "Viona."
"Aku udah bangun," ucap Vio saat membuka pintu.
"Siap-siap hari ini papa antar ke sekolah baru kamu."
"Hm." Vio sudah akan menutup kembali pintunya, ketika sang papa menahannya. "Apa lagi?"
"Papa tunggu di bawah, jangan lama-lama."
"Iya." Vio segera menutup pintunya. "Dasar bawel," gerutu Vio.
Pagi ini cuaca begitu cerah, matahari bersinar dengan teriknya. Vio berjalan mengikuti papanya, menelusuri koridor sekolah barunya. Mata Vio bergerak bebas, memperhatikan sekelilingnya.
Kebetulan bel belum berbunyi, jadi banyak anak masih berkeliaran di depan kelas. Langkah Vio terhenti saat tiba di depan ruang kepala sekolah. Vio pun masuk mengikuti sang papa.
Vio tak mendengarkan apa yang dibicarakan papanya dengan kepala sekolah, ia sibuk mengamati ruangan kepala sekolah yang sangat mewah. Banyak piala berjejer di dalam lemari besar.
"Viona." Panggilan sang papa mengalihkan perhatian Vio. "Ayo."
Vio mengangguk, beranjak berdiri mengikuti papanya ke ruang guru. Setelah berbicara dengan wali kelas Vio, papanya pamit ke kantor dan di sinilah Vio berdiri kaku di depan kelas.
"Silahkan Vio, perkenalkan diri kamu," kata bu Meli selaku wali kelas X IPA 2.
Vio mengangguk. "Perkenalkan nama saya Viona Larasati, kalian bisa panggil saya Vio. Saya pindahan dari Bandung."
"Kamu bisa duduk di sana." Bu Meli menunjuk bangku tengah yang kosong.
Vio pun segera menuju ke bangkunya. Vio menoleh ketika cewek di sampingnya mengajaknya berkenalan.
"Kenalin gue Reva."
"Vio." Vio menjabat uluran tangan Reva.
Setelah itu Vio kembali menatap ke depan, mengikuti pelajaran dengan tenang. Hingga suara bel istirahat berbunyi. Anak-anak berhamburan keluar.
"Kantin yok," ajak Reva.
"Em ...."
"Udah ayok." Viona tak bisa mengelak ketika Reva menyeret lengannya. Mau tidak mau Vio mengikuti Reva ke kantin.
Vio benci keramaian, kepalanya berdenyut melihat banyak orang dan suara-suara mereka saling bersahutan memenuhi gendang telinganya. Harusnya tadi ia menolak saja saat Reva mengajak ke kantin.
"Reva!" Reva celingukan mencari orang yang memanggilnya.
"Hai." Reva melambaikan tangannya saat melihat teman-temannya duduk di bangku paling ujung. "Ayok, gue kenalin ke teman-teman gue."
Vio tersentak saat Reva kembali menarik lengannya, membawanya ke bangku paling ujung. Vio berdiri kaku ketika tiba di hadapan teman-teman Reva.
Dilihat dari bed yang terpasang sepertinya mereka senior. Vio memperhatikan satu persatu teman-teman Reva, cewek dan cowok berkumpul jadi satu.
"Kenalin temen baru gue, Viona," ucap Reva memperkenalkan Viona pada temannya.
"Hai, gue Bagas." Vio tersenyum tipis pada cowok bernama Bagas.
"Gue, Arga."
"Bella."
"Sam."
"Reyhan."
"Agata."
Satu-persatu menyebutkan nama masing-masing, namun hanya satu orang yang tidak melakukannya. Cowok itu justru menatap Vio dengan tajam, pandangannya seolah mengintimidasi Vio.
"Dia Levin. Emang orangnya begitu," bisik Reva.
Vio mengangguk, ia berusaha mengabaikan Levin tapi tatapan cowok itu membuatnya risih. Ia terus menatap Vio tanpa berkedip.
Ada apa dengan cowok itu?
Bayangan cowok tadi terus mengusik pikiran Vio. Seberusaha apa pun ia mengeluarkan bayangan itu dari otaknya, tetap saja bayangan itu terus berseliweran. Menari-nari tanpa permisi di dalam pikirannya.Mata elang, hidung mancung, rahang tegas dan bibir tipis, kombinasi yang sempurna. Tak heran jika cowok itu terlihat tampan dan mempesona. Sayangnya dia berwajah dingin dan menyeramkan.Bodoh!Rutuk Vio, apa yang salah dengan otaknya? Kenapa bisa-bisanya ia terkesima dengan cowok aneh itu. Vio menepis semua pemikirannya tentang cowok bernama Levin, seniornya kelas XII.Sepanjang pelajaran berlangsung, Vio tidak bisa fokus karena Reva terus mendumel. Mengomentari apa pun yang diucapkan guru pelajaran. Hingga bel pulang berbunyi.
Vio terbangun ketika alarm berbunyi nyaring memenuhi ruang kamarnya. Mata Vio perlahan terbuka, Vio mengedarkan pandangannya. Ia masih dalam posisi duduk bersandar di pintu.Vio bangun karena alarm terus berbunyi, Vio segera mematikannya. Vio melirik sekilas jam weker yang sudah menunjukkan pukul enam kurang lima belas menit. Ia segera masuk ke kamar mandi, membersihkan diri.Tak butuh waktu lama untuk Vio mandi dan mengenakan seragamnya. Kini ia sudah berdiri di depan cermin, memandangi pantulan diri. Vio terdiam memperhatikan wajahnya, lebih tepatnya mata Vio yang sembab karena semalaman menangis.Untuk menyamarkan itu Vio memakaichusiondan bedak, megoleskan sedikitliptintpada bibirnya yang tampak pucat. Vio tampak cantik dengan rambut panjan
Vio menghela napas untuk yang kesekian kali. Melihat antrian yang begitu panjang, membuat kesal Vio semakin memuncak. Gara-gara minumannya diambil Levin, mau gak mau Vio harus membeli di kantin dan mengantri panjang di kasir.Kaki Vio sudah pegal kelamaan berdiri, hingga akhirnya tiba giliran Vio. Baru saja Vio meletakkan botol airnya, tiba-tiba seseorang menyerobot antrian."Kyaaa!!" teriak Vio, hilang sudah kesabarannya.Cowok itu menoleh, menatap Vio dengan datar."Lo harusnya ngantri, bukan nyerobot gitu aja," gerutu Vio.Cowok itu mendengus, mengabaikan Vio dan kembali berbalik. Vio melotot, emosinya semakin menggebu-gebu. Apa-apaan coba? Dirinya sudah ngantri lama tiba-tiba dis
Bel pulang sekolah berbunyi, gerombolan Lando sudah bertengger di parkiran. Lando sendiri duduk di atas kap mobilnya, menyesap rokok yang ada ditangan."Muka lo kenapa?" tanya Fano yang baru tiba."Biasa," jawab Lando, kembali menyebulkan asap rokok ke udara."Lo gak tahu Fan? Dia abis di pukulin tadi ...." Temannya seketika mengatupkan bibirnya, karena Lando melototinya."Lo berantem lagi? Sama siapa?" tuntut Fano, meminta penjelasan.Lando mendengus, membuang puntung rokok ke tanah lalu menginjaknya. "Gak penting," ucap Lando."Seterah." Fano tak lagi menggubris Lando, ia memilih merokok dari pada menanyai Lando yang keras kepala.
Viona bersumpah pada dirinya sendiri, untuk tidak lagi datang ke rumah Reva. Vio benar-benar menyesal, sekarang dirinya justru terjebak di dalam rumah Reva tanpa bisa pulang karena di luar hujan deras.Vio benar-benar mengutuk hari ini. Hari yang begitu sial, hari di mana ia kehilangan ciuman pertamanya dan lebih sialnya lagi, Levin yang merenggutnya.Arrggg! Vio mengerang frustasi. Merutuki diri sendiri.Apa tidak ada cowok lain? Kenapa harus Levin?Ponsel Vio tiba-tiba berbunyi, mengalihkan perhatiannya. Vio segera menjauh dari teman-temannya, mencari tempat sepi untuk menjawab telepon."Halo," ucap Vio ketika sambungan telepon diangkat.
Lando mendengus, ketika melihat Levin menggendong seorang cewek. Cewek yang sama dengan cewek kemarin. Lando semakin penasaran apa hubungan Levin dengan cewek itu? Kalau benar cewek itu spesial untuk Levin, itu akan jadi kesempatan bagus bagi Lando menjatuhkan Levin.Lando tersenyum miring, ia kembali berjalan menuju kelasnya. Bel masuk berbunyi dan kebetulan kelas Lando jam kosong. Ia duduk di bangku paling belakang, menyesap rokok dan menyebulkannya ke udara."Lo udah dapet apa yang gue minta?" Suara Lando menginterupsi teman-temannya yang sedang mabar, seketika mereka menoleh. Lando melemparkan tatapannya ke salah satu temannya."Ah, sudah?" ucap Erik yang paham dengan ucapan Lando barusan. "Namanya Viona," kata Erik mulai memberitahu, matanya kembali fokus ke layar ponsel dan jemar
Vio berusaha mengontrol tubuhnya, ia menyeret kakinya melangkah mengikuti Reva masuk ke dalam. Vio mengabaikan Levin yang tengah menatapnya dengan ekspresi tak terbaca.Cowok aneh!Vio heran, kenapa Levin terus memandanginya? Perasaan gak ada yang aneh sama penampilannya. Vio hanya memakai kaus oblong dan celana jeans selutut, ia pikir penampilannya biasa aja.Lalu kenapa Levin menatapnya seperti itu?"Vi, sini dah. Gue kenalin lo sama yang lain." Reva menarik lengan Vio, menyentak Vio dari pikirannya. Reva membawanya ke ruang tengah. "Gaesss, kenalin temen gue. Namanya Viona."Vio menarik kedua sudut bibirnya, mengulas senyum terpaksa. Vio menatap satu-persatu teman-teman Reva, mere
Jika kamu tak mendapatkan kebahagian, maka ciptakanlah sendiri kebahagianmu.-Levin-"Kalo lo merasa gak dapet kebahagian, kenapa gak lo ciptain sendiri?""Hidup itu sulit gak perlu ditambah rumit. Asal lo bahagia, kenapa lo harus peduli dengan apa kata orang. Mereka saja belum tentu peduli sama lo.""Lakukan apa pun yang membuat lo bahagia."Ucapan Levin terus terngiang di pikiran Vio, membangkitkan tekadnya yang telah lama mati suri. Vio memandang Levin yang tengah berjoged bersama badut mampang, tingkah lucunya membuat Vio tanpa sadar ikut tertawa.Jik
Meski sempat mengalami penurunan kesehatan selama beberapa hari lepas kepergian Keyla dan mama tirinya ke Australia, kesehatan Viona berangsur pulih berkat dukungan dari Levin yang selalu ada di sampingnya dan juga om Anton yang selalu mengupayakan berbagai opsi untuk penyembuhan. Teman-teman Levin juga selalu mengunjungi Viona, mereka sering menghibur Viona agar tidak larut dalam kesedihan.Awalnya Dokter menolak usul dari om Anton untuk segera melakukan operasi transplantasi sumsum tulang belakang dengan alasan kesehatan Viona yang belum stabil. Namun, setelah beberapa hari pemantauan dan kesehatan Viona mulai membaik. Dokter akhirnya setuju untuk segera melakukan operasi tersebut.Kini sebulan pasca operasi sumsum tulang belakang dijalani Viona. Proses pemulihan Viona juga berjalan lancar. Sekarang keadaannya jauh lebih baik, m
Reva menatap nanar alat cukur rambut di tangannya. Rasanya begitu berat ketika ia harus memakai alat tersebut. Padahal selama ini ia biasa memakai alat itu untuk mencukur rambut Sam dan teman-teman cowok di tongkrongannya yang nggak mau modal buat kebarbershopdan memilih gratisan memakai jasanya.Viona yang menyadari keterdiaman Reva, sontak menoleh ke belakang. Di mana gadis itu berdiri di belakang kursi rodanya. "Rev, kenapa?" tanyanya.Reva tersadar, dengan cepat mengubah ekspresinya. Ia tidak mau kalau sampai Viona melihat raut wajahnya yang sedih. "Eh, nggak papa kok." Reva menyengir, berharap Viona tidak curiga.Namun, bukan Viona namanya kalau langsung percaya begitu saja. Viona menatap lekat wajah Reva, menyalami pandangan gadis itu, seolah mencari kebenara
Sudah berbulan-bulan Dimas memandangi Viona yang sedang terlelap dari balik kaca yang ada di pintu ruang rawat Viona. Tak sekalipun ia berani menunjukkan batang hidungnya di depan putri kandungnya itu. Meski keinginan untuk melihat lebih dekat terus menggebu dalam dada, tapi perasaan bersalah menahannya sampai depan pintu.Dimas menyeka air matanya, hal yang sering terjadi setiap kali ia memandangi Viona yang meringis menahan sakit bahkan dalam keadaan tak sadar. Seperti yang saat ini ia saksikan, Viona terus merintih dalam tidurnya. Ingin sekali Dimas masuk ke dalam, membelai lembut kepala putrinya, menenangkan atau kalau perlu mengambil alih rasa sakit itu. Walau ia tahu, keadaannya sudah berubah dan tak ada yang bisa ia benahi lagi. Meskipun rasa penyesalan terus merongrong, tapi semua sudah terlambat, keegoisannya membuat semua yang ia lakukan saat ini pun sia-sia.
Setelah seharian mencari ke sana-sini tanpa ada kejelasan, akhirnya Lina menemukan titik terang ketika ia mendapatkan telepon dari Viona yang mengatakan kalau Keyla ada di sana. Berkali-kali Lina mengucap rasa syukur, kekalutan dalam pikiran dan benak yang berkecamuk berangsur melega seiring dengan laju mobil Dimas menuju ke rumah sakit———tempat Viona dirawat saat ini.Awalnya Lina memutuskan untuk pergi dari rumah, bahkan ia sudah mengemasi beberapa pakaiannya dan pakaian Viona untuk beberapa waktu ke depan. Ia ingin menenangkan diri sekaligus memberikan efek jera pada suaminya yang egois dan keras kepala, berharap dengan kepergiannya sesaat akan membuat Dimas paham dan mau berubah.Namun, serangkaian rencana yang sudah ia rancang dengan matang harus berakhir berantakan ketika ia menerima panggilan dari wali kelas Key
Semilir angin bertiup lambat, udara yang begitu sejuk saat menjelang sore. Hilir mudik petugas medis menjadi pemandangan yang biasa di koridor rumah sakit. Namun, mata Anton tak sedikitpun teralihkan, fokusnya masih tertuju pada Viona yang tengah duduk di taman ditemani oleh Levin. Senyumnya mengembang melihat keponakannya dapat tersenyum lagi, padahal beberapa hari yang lalu tampak sangat terpuruk. Anton bersyukur karena usahanya meyakinkan pak Tama tidak sia-sia, apalagi fakta kalau mereka merupakan relasi bisnis mempermudah semua usahanya untuk membawa Levin."Jadi, apa langkah selanjutnya Dok? Sepertinya keadaan Viona sudah mulai stabil, apa kita bisa langsung melangkah ke step selanjutnya? Bukankah lebih cepat jauh lebih baik untuk kesembuhan Viona?" Anton menolehkan kepalanya pada Dokter Bima yang berdiri di sampingnya, Dokter spesialis Hematolog yang menangani kasus Viona beberapa
Viona terbangun saat merasakan usapan lembut di pipinya, membuat kelopak matanya perlahan terbuka. Samar terlihat wajah seseorang yang selalu mengisi pikirannya akhir-akhir ini, seseorang yang selalu ia tunggu kehadirannya. Namun, ia sadar kalau orang itu tidak mungkin datang dan yang ia lihat hanyalah bayangan semu.Viona menghela napas panjang, begitu kecewa. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain. "Kamu di mana Vin, aku merindukanmu," gumam Viona seraya memejamkan matanya kembali, berharap mimpi buruk ini segera usai."Aku di sini." Suara yang sangat familiar itu menyentak Viona, matanya seketika terbuka lebar dan menatap seseorang di sampingnya yang kini terlihat lebih jelas dari sebelumnya."Levin," lirih Viona, setengah tak percaya kalau yang dilihatnya memang Levin, bukan se
Viona terbangun ketika mendengar suara dari samping, matanya perlahan terbuka bersamaan dengan harum maskulin yang menyeruak ke indera penciumannya. Samar-samar ia melihat sesosok cowok berdiri membelakangi dirinya, seakan yakin kalau itu Levin, Viona lantas memanggilnya."Levin." Suara Viona yang terdengar pelan berhasil menarik atensi cowok itu. Namun, ia harus menelan kekecewaan ketika netranya menangkap dengan jelas wajah cowok itu saat membalikkan badan dan ternyata cowok itu bukan Levin, melainkan orang lain."Hai," sapa cowok itu, menyunggingkan senyumnya seramah mungkin. "Gimana keadaan lo——""Ngapain lo ke sini?" sergah Vio, memotong ucapan cowok itu. Ekspresinya terlihat tidak menyukai kehadiran cowok itu."Ngapa
Dimas bergegas pulang lebih cepat ketika Laras—istrinya——memberitahukan kalau Viona demam. Putri kesayangannya yang baru berusia satu tahun itu mengalami demam tinggi sejak siang.Sesampainya di rumah, Dimas segera berlarian masuk menuju kamar Viona. Namun, ketika ia sampai di depan kamar, suara dari dalam menghentikan langkahnya."Stop Anton! Hentikan omongkosongmu! Dia bukan anakmu! Harus aku bilang berapa kali, dia bukan anakmu!"Dimas terkesiap kala mendengar teriakan Laras dari dalam kamar. Apalagi istrinya itu menyebut nama Anton, adik angkatnya. Dimas masih terdiam di depan pintu yang tertutup rapat, menahan rasa penasaran yang menggebu-gebutentang apa yang sedang terjadi di dalam sa
Dimas duduk termenung, memandangi Viona yang terbujur lemas tak berdaya di atas ranjang rumah sakit dengan selang infus menancap di tangannya. Sudah satu jam berlalu ia duduk tanpa melakukan aktivitas apa pun selain menatap wajah pucat Viona, seraya mengusap tangan putrinya itu yang terdapat memar."Putri Anda terkenaLeukemia limfositik kronisatau yang biasa disebut kanker darah."Ucapan Dokter yang memeriksa Viona kembali berputar-putar di kepala Dimas, seperti kaset rusak yang berhasil menghancurkan tembok kokoh dalam hatinya. Sekeras apa pun ia menahan diri untuk tidak menangis, nyatanya pertahanannya runtuh. Air mata yang ditahan di pelupuk mata seketika keluar bagaikan air bah."Maafkan papa, Viona." Dimas terisak, menutup wajahnya yang tak kuasa menu