USAI KEPUTUSAN CERAI
- Bimbang "Jangan lanjut perceraian ini kalau kamu hamil." Mama mertuaku bicara disaat usai kusalami. Wajahnya begitu memohon. Aku tersenyum getir seraya mengelus lengannya. Mataku sudah berkabut. Beliau adalah ibu mertua yang sangat baik menurutku. Wanita yang duduk di kursi roda itu mengusap air matanya. "Maafkan saya, Ma," ujarku lantas beranjak dan duduk di kursi yang disediakan untukku di depan majelis hakim. Seumur hidup, sekali saja aku duduk di sini. "Kita bisa membatalkan pernikahan ini, Hilya." Mas Arham kembali menghampiriku. Aku tidak tahu arti dari sorot matanya. Penyesalan atau apa aku tidak bisa menebak. Aku takut salah. Sebab aku pernah membuat kesalahan besar dengan begitu percaya bahwa lelaki yang mengajakku menikah empat tahun yang lalu itu, kupikir sangat mencintaiku. Ternyata tidak. Dia hanya ingin mencari pelampiasan atas rasa kecewa ditinggal kekasihnya. Jika alasan menggagalkan perceraian ini karena aku sedang hamil, ah tidak. Aku bisa mencintai anakku sendiri. "Menunda maksud, Mas?" tanyaku menentang matanya. "Menunda sampai aku melahirkan? Nggak perlu, Mas. Sekarang atau nanti, tetap saja kita akan bercerai. "Tinggal selangkah lagi, nggak usah menoleh lagi ke belakang," ujarku pelan. Wajahnya menunjukkan kebimbangan. Dan aku tidak ingin tahu akan hal itu. Aku sudah mantap untuk mengabulkan permintaannya yang menggebu tiga bulan lalu. "Kamu sudah menikahi kekasihmu kan, Mas? Aku nggak ingin hidup dimadu. Jalani hidupmu. Aku akan menjalani hidupku." Mas Arham tercekat. Pasti dia kaget dari mana aku tahu tentang pernikahan rahasianya. "Sudah berapa bulan?" Pertanyaan yang kujawab dengan senyum datar. Dia memandang blouse yang menyembunyikan perut yang mulai berbentuk. Mas Arham terpaksa harus duduk karena sidang di mulai. Suasana hening menjelang ikrar talak. Lelaki di sebelahku tampak gelisah. Berulang kali ia memandangku yang tak sekali pun menoleh ke arahnya. Jujur, dadaku bergemuruh dan sesak rasanya. Tak kusangka begini akhir dari cerita kami. Majelis hakim, seorang pria paruh baya dengan sorot mata tajam memandang ke arah Mas Arham. "Saudara Arham, apakah Anda sudah mantap untuk mengucapkan ikrar talak?" Aku bisa merasakan napas Mas Arham tertahan. Dia menoleh ke arahku sesaat, lalu mengalihkan pandangan. Majelis hakim menunggu sejenak sebelum mengulangi pertanyaannya. "Saudara Arham?" "Ya, saya siap," ucapnya terdengar berat. Aku menahan napas. Kemudian kudengar dia mengucapkan ikrar talak. "Saya Arham Adiputra bin Citro Wiryono dengan ini menjatuhkan talak satu kepada istri saya, Hilya Afifa Binti Umar." Setelah kata-kata itu meluncur, ruangan terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Aku menutup mata, meresapi perih yang mendadak mengoyak dada. Selesai. Begitu mudahnya. Begitu sederhananya mengakhiri sesuatu yang pernah kuperjuangkan dengan segenap jiwa. Majelis hakim mengetukkan palu. "Baik, ikrar talak telah diucapkan. Sidang selesai." Perlahan aku bangkit dari kursi, lalu membungkukkan sedikit badan ke arah majelis hakim sebagai sikap hormat. "Terima kasih, Yang Mulia," ucapku dengan suara agak serak. Mbak Asmi menghampiri dan merangkul pundakku. Membimbingku pergi dari kursi paling menyakitkan di dunia ini. Kuhampiri lelaki yang pernah kupanggil suami dengan sorot mata tenang. Matanya memerah memandangku. Untuk terakhir kali aku menyalaminya. "Hilya, kuantar kamu pulang." Aku tersenyum tipis. "Nggak perlu. Terima kasih." Lantas aku menghampiri mama mertua, wanita yang dibantu berdiri oleh ART-nya itu memelukku erat sambil terisak. Kulepaskan rengkuhannya. Tanpa kata-kata, aku melangkah meninggalkannya. Saat sudah keluar dari ruang sidang, Mas Arham tergesa mengejar dan menahan langkahku. "Aku ingin bicara sebentar saja." "Apa lagi yang mau kamu katakan, Mas? Kamu sudah menjatuhkan talak. Ini sudah selesai." Mas Arham tampak tersentak. Rahangnya mengatup erat. "Baru tadi malam aku tahu kamu hamil. Aku akan bertanggungjawab terhadap anak kita." Tanpa menjawab, aku kembali melangkah bersama Mbak Asmi menuju ke arah taksi yang memang kuminta menunggu sampai sidang selesai. "Kenapa kamu nggak bilang kalau sedang hamil di depan hakim?" Mbak Asmi bicara di perjalanan. "Nggak perlu, Mbak." "Kamu benar-benar nggak mau menuntut? Dia menceraikanmu dalam keadaan hamil, Hilya. Masa iddahmu selesai setelah kamu melahirkan." Aku tersenyum hambar. "Aku nggak mau berurusan lagi dengannya, Mbak. Jangan khawatir, aku masih punya tabungan untuk persiapan persalinan. Aku juga masih bekerja." "Masalahnya bukan itu. Bagaimana pandangan rekan kerjamu, pandangan orang terhadapmu. Kamu janda dan tiba-tiba hamil. Mereka akan tahu setelah perutmu membesar, sedangkan yang mereka tahu kamu sudah bercerai. Kamu nggak takut dikira hamil dengan lelaki lain." Mbak Asmi terlihat sangat khawatir. "Nggak, Mbak. Aku nggak berzina. Apapun omongan orang, aku siap menghadapinya." Netra Mbak Asmi berkaca-kaca memandangku. Mbak Asmi bisa kuat karena dia pun pernah menjalani proses yang sama. Tapi bagaimana dengan ibu? ---- "Hei, melamun!" Tegur Ani seraya menyenggol tanganku. Aku menoleh dan tersenyum samar. Biasanya kami bekerja naik motor, tapi kebetulan sekali motor kami rusak bersamaan sudah dua hari ini. "Kamu nggak khawatir kalau Mbak Aruna akan memperumit kejadian di kafe tadi, Hil?" "Takut apa, aku nggak punya hubungan sama suaminya. Biar saja dia kepanasan sendiri." "Sebenarnya apa sih isi chat Pak Tristan ke kamu." "Biasa saja. Tanya sudah makan apa belum? Sedang apa? Selebihnya ngobrol tentang pekerjaan di lapangan. Ada beberapa yang mengajakku makan di luar setelah urusan bertemu klien selesai. Tapi aku nggak pernah mau, kecuali kami makan bersama dengan tim." Ani menatapku lekat. "Begitu kuatnya kamu, Hil." "Aku memang harus kuat, An. Ada Rifki yang bersandar padaku, ada Mbak Asmi dan Yazid juga. Mbak Asmi sudah nggak bisa bekerja lagi karena jagain anakku." Aku kembali menerawang menatap senja yang hampir tenggelam. Mbak Asmi sudah lima tahun lalu bercerai dari suaminya. Setelah aku melahirkan, dia berhenti kerja di pabrik dan membuka toko kecil-kecilan di depan rumah peninggalan ibu. Ya, ibu tiada waktu aku hamil delapan bulan. Beliau mulai jatuh sakit setelah aku bercerai. Rasanya kian sakit kalau mengingat kegagalan itu, karenanya juga aku kehilangan ibu. "Perceraian dan kehilangan ibu jauh lebih menyakitkan dari apapun. Makanya kalau hanya sekedar dilabrak Aruna karena cemburu buta, itu bukan apa-apa bagiku." "Kalau aku jadi kamu, aku nggak akan sekuat itu, Hil." "Aku mampu karena belajar dari keadaan. Pada akhirnya apa yang terjadi membuatku kuat sendirian, tanpa ada bahu untuk bersandar. Kamu beruntung An, punya suami Mas Puji. Walaupun hanya kuli bangunan, tapi dia lelaki yang baik. "Kamu nggak salah pilih suami. Dia baik, tulus, dan setia. Uang bisa dicari, fisik bisa diubah. Namun tidak dengan kejujuran dan kesetiaan." Ani tersenyum bangga. Ya, dia sebahagia itu hidupnya. "Yuk, kita pulang." Aku berdiri dan melambaikan tangan saat angkot mendekat. Suasana malam kian membayang. Kami tidak lagi berbincang hingga sampai di tujuan masing-masing. Langkahku melambat saat kulihat mobil putih berhenti di depan rumah. Next ....USAI KEPUTUSAN CERAI- Luka"Ada Arham di dalam, Hil," kata Mbak Asmi saat aku masuk ke tokonya. Dia sibuk mencatat belanjaan. "Mbak nyuruh Yazid nemani adiknya.""Ya," jawabku singkat. Kemudian langsung melangkah lewat pintu belakang toko yang tembus ke rumah."Unda." Rifky yang asyik bermain di ruang tamu langsung berdiri dan berlari menghampiri. Usianya dua tahun, tapi dia begitu lincah, tampan, dan menggemaskan. Aku memeluk seperti biasanya. Dia menunjukkan mainan yang baru dibelikan papanya. "Hmm, bagus," ujarku memuji.Aku memandang sejenak lelaki yang menatapku. Dia tersenyum. "Baru pulang?""Ya," Lantas kembali memandang jagoanku. "Bunda mandi dulu, ya,"Rifky mengangguk dan dia kembali ke pangkuan papanya. Mas Arham selalu datang di akhir pekan sepulang kerja. Tidak pernah mengajak istrinya. Kenapa? Aku tidak tahu dan tak pernah berniat menanyakannya.Sekilas di atas meja, kulihat ada snack untuk Rifky, buah-buahan, dan makanan yang selalu ia bawa tiap datang. Di dalam kama
Semua chat-nya kubaca, dan aku tetap berharap kami bisa bertahan dalam pernikahan. Sesakit apapun hatiku. Hingga pada detik itu aku sadar, yang kulakukan sia-sia. Hanya menjatuhkan harga diriku saja. Baiklah, akhirnya aku setuju dengan keinginannya. Padahal saat itu aku sedang mengandung. Aku menarik nafas dalam-dalam untuk menghalau kenangan menyakitkan. Aku tidak ingin melanjutkan mengingat kenangan itu. Sebab setelah bercerai pun, hidupku terpuruk karena hamil tanpa didampingi suami. Suara sumbang terdengar di sekitar. Namun ada juga yang bersimpati.Ah ... Aku bangkit dan mengambil baju ganti lalu keluar untuk mandi.Di ruang depan, terdengar celoteh Rifky dengan tawa bahagianya. Anak itu tidak tahu apa-apa. Tidak tahu betapa hancur perasaan bundanya karena lelaki yang dipanggilnya papa.Selesai mandi aku langsung makan."Tante." Yazid menghampiriku."Ya.""Dipanggil sama Om. Om mau pamitan.""Bilang Tante sibuk, ya. Nanti kalau Om Arham sudah pulang, ajak adek ke sini," jawabku
USAI KEPUTUSAN CERAI- Tutup Mulutmu "Beneran kamu yang sengaja menggoda Tristan?" Dengan tak sabar Pak Ardi menyerangku yang baru saja duduk. Aku sudah menduga, mereka memanggilku karena hal ini."Maaf, itu hanya salah paham, Pak," ujarku tenang meski gemetar dan amarah memenuhi dada. Aku benci dengan tuduhan itu. Untuk apa aku menggoda suami orang, sementara aku sudah muak dengan yang namanya lelaki."Kamu di sini hanya staf. Harusnya kamu tahu diri." Mata lelaki itu menyala-nyala penuh amarah. Wajahnya sangat sinis memandang pegawai rendahan sepertiku.Pak Fadlan berdehem. "Sabar, Pak Ardi. Kita bisa membicarakan hal ini baik-baik." Pria berkacamata itu memang bos yang sangat bijaksana.Lalu Pak Fadlan memandangku dengan suara tenang, beliau berkata, "Hilya, bisa kamu jelaskan tentang video itu. Aruna mengamuk pasti ada sebabnya.""Itu hanya salah paham, Pak. Pak Fadlan bisa bertanya langsung pada Pak Tristan. Kami tidak memiliki hubungan apapun selain sebagai bos dan karyawan," j
"Kalau sampai video itu viral, saya tidak akan bungkam, Pak Tristan. Saya bisa membuat video untuk klarifikasi dan mengatakan kalau Mbak Aruna hanya cemburu buta dan bertindak tak tahu etika. Saya bisa menuntut balik dengan dalih pencemaran nama baik. Pak Tristan, juga harus begitu. Membuat video klarifikasi kalau di antara kita tidak ada hubungan apapun. Istri Anda yang salah paham."Mereka terkejut. Terutama Pak Ardi yang melotot tajam padaku.Sungguh ini keberanian dari mana, spontan aku mengatakan hal itu. Tidak ada rasa takut dalam hati. Aku benar. Aku tidak sedang menggoda suami orang yang notabene bosku sendiri.Padahal aku hanya debu di hadapan mereka yang berkuasa. Aku punya apa coba? Dilibas sekali saja, aku hanya tinggal nama. Bahkan aku bisa kehilangan pekerjaan. Lalu bagaimana dengan anakku? Tapi kalau aku diam, siapa yang akan membelaku. Sejauh ini aku menjaga diri dengan sebaik-baiknya, agar status janda yang kusandang tetap terhormat dan tidak mendapatkan citra buruk
USAI KEPUTUSAN CERAI- HilyaLelaki berwibawa itu berdiri tepat di hadapanku. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana.Buru-buru aku bangkit dari duduk. "Ya, Pak," ucapku sopan. Dadaku bergemuruh, apa mungkin ini hari terakhir aku bekerja di sini?"Saya suka perempuan ber-value sepertimu. Kerja baik-baik, Hilya." Ucapan singkat Pak Fadlan membuatku terkejut. Tak mengira sama sekali kalau Big Bos akan berkata seperti itu. Beliau memang sangat bijaksana sebagai pimpinan. Tapi bukankah Aruna itu menantunya? Apa nanti tindakannya ini tidak menimbulkan masalah dengan keluarga besan. Walaupun begitu aku lega. Kupikir Pak Fadlan akan memecatku, rupanya tidak. Alhamdulillah, aku masih bekerja. Mencari pekerjaan sekarang tidak gampang. "Eh, i-iya, Pak," jawabku gugup. "Terima kasih banyak dan maafkan atas kelancangan saya tadi."Pak Fadlan hanya tersenyum lantas melangkah pergi. Longgar sekali rasa dalam dadaku. Meski aku tahu ini bukan akhir dari kemelut, tapi setidaknya aku masih bisa b
USAI KEPUTUSAN CERAI- Cemas"Jangan pandangi saya seperti itu, Pak. Tatapan Pak Tristan bisa menimbulkan banyak masalah bagi saya," ujarku pelan tapi penuh penekanan."Saya tidak ingin permasalahan pagi tadi berkelanjutan," lanjutku memohon. Karena aku capek sekali dengan banyaknya permasalahan dalam hidupku.Tristan mengatai Mas Arham, apa ia tidak sadar kalau dirinya juga hampir seperti mantanku itu. Punya istri tapi menggoda perempuan lain. Janda pula itu."Kalau kita saling menghindar. Malah dikira kita memang ada hubungan. Santai saja." Pria itu mencondongkan tubuhnya ke depan. Spontan aku menarik diri ke belakang. Kemudian memperhatikan sekeliling, siapa tahu ada yang melihat ke arah kami."Pak Tristan, bisa saja santai tapi imbasnya ke saya. Tolonglah saya di sini untuk bekerja. Saya single mom, tolong hargai saya." Baru kali ini aku benar-benar memohon pada pria itu. Tak mengapa demi tetap bertahan kerja karena aku belum siap mencari pekerjaan lainnya. Di sini gaji bagus dan
USAI KEPUTUSAN CERAI - Maafkan BundaDuh, Tristan ini memang cari masalah. Bukankah bininya ada di kantor tadi? Maunya apa sih. Dia sama saja kayak Arham.Kuletakkan ponsel di atas meja. Membalas pesannya hanya akan menciptakan permasalahan makin ke mana-mana. Kembali kupandangi Rifky yang terlelap. Selang infus menancap di lengannya yang kecil, membuat hatiku perih.Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hati yang sesak. Tangan kecil Rifky kusentuh pelan. "Sembuh, ya, Nak," bisikku.Ponsel kembali bergetar di atas meja. Lagi-lagi nama Tristan muncul di layar. Kali ini dia menelepon. Nekat sekali orang ini. Aku mengabaikannya. Lalu menekan tombol 'silent' dan memasukkan ponsel ke dalam tas. Aku tidak ingin mendengar suara siapa pun saat ini.Rifky menggerakkan jemari, tubuhnya menggeliat pelan. Aku langsung mendekat, menelusuri wajah mungilnya yang mulai bergerak. Matanya terbuka tampak sayu."Unda," suaranya serak."Iya, Sayang. Bunda di sini." Aku tersenyum.Dia mena
USAI KEPUTUSAN CERAI - Bertemu "Aku suka dengan perempuan sepertimu."Aku terhenyak dan berusaha tetap tenang. Cari penyakit jika meladeni. "Mari kita lanjutkan pembahasan yang kemarin, Pak," ujarku mengalihkan pembicaraan."Saya serius!" ucapnya."Saya juga serius, Pak. Di sini saya bekerja bukan menggoda bos. Bukan menggoda suami orang. Saya cari uang bukan mencari cinta."Tristan tersenyum miring lantas menegakkan duduknya dan menyalakan laptop. Kami mulai membahas masalah keuangan dalam projek dengan serius. Dari sudut mata, aku bisa melihat lelaki kaya ini sering diam sejenak memandangku. Lima belas menit kemudian, masuk tiga orang yang menjadi tim inti kerja kami. Aku senang ada yang lainnya daripada hanya berdua dengan bos genit ini."Nggak perlu menatap curiga dengan saya dan Hilya. Kami bekerja secara profesional. Tentang gosip dan video kemarin, tolong abaikan." Tristan berkata pada timnya yang baru datang. Mencegah dan mengultimatum pada stafnya yang menatap aneh pada ka
Mbak Asmi juga diam. Tak ada air mata yang jatuh. Justru luka yang dulu menganga terasa kembali. Ia telah memaafkan Heru, tapi luka pengkhianatan dan penelantaran itu tidak pernah benar-benar hilang. Bertahun-tahun pula ia berusaha sekuat tenaga menjadi ibu dan sekaligus ayah bagi Yazid. Begitu sulitnya waktu itu."Mas Heru, sekarang tinggal di mana?" tanya Ustadz Izam."Saya sekarang tinggal di Lamongan, Mas. Sudah dua bulan ini." Namun Heru tidak menceritakan kehancuran pernikahan keduanya. Dia hanya bilang kalau sudah menduda. Dulu setelah bercerai dari Mbak Asmi, Heru tinggal di Jakarta bersama selingkuhannya. Lamongan adalah kota asal lelaki itu."Maaf, Ibu di mana. Saya ingin bertemu dan meminta maaf." Heru bicara sambil memandang ke dalam."Ibu sudah meninggal empat tahun yang lalu," jawab Mbak Asmi dengan raut wajah sedih."Innalilahi wa inna ilaihi raji'un." Heru kaget juga. Padahal dia ingin bertemu mantan mertuanya dan memohon maaf. Tapi rupanya sudah terlambat. "Apa kabar
Lelaki itu mengangguk. Dia melangkah ke depan sambil membawa beberapa paper bag di tangannya. Memilih duduk di bangku kayu samping toko. Sedangkan Mbak Asmi masuk ke dalam dan menutup pintu. Ia menidurkan bayinya di bouncer.Dadanya berdegup kencang. Tidak mengira pada akhirnya lelaki itu mencari anaknya. Setelah bercerai, tak pernah memberi nafkah anak. Jangankan mengirim uang untuk kebutuhan anak, bertanya kabar pun tidak pernah. Dia lenyap bersama selingkuhannya seolah hilang ditelan bumi."Ayah sudah di telepon, Kak?" tanya Mbak Asmi pada Yazid yang memegang ponsel milik bundanya."Sudah, Bun. Tapi nggak diangkat. Mungkin ayah sedang diperjalanan.""Iya. Kamu jagain adek dulu ya. Bunda mau nyoba telepon ayah."Yazid mengangguk. Lalu duduk di sebelah sang adik yang tertidur pulas. Mbak Asmi membawa ponsel ke belakang untuk menelepon suaminya. Tadi Ustadz Izam pamit hendak ke rumah sepupunya sebentar. Rumahnya tidak jauh, makanya hanya naik motor.Sementara di luar rumah, Heru, ayah
USAI KEPUTUSAN CERAI- Setelah Tujuh Tahun Author's POV Sinar keemasan mentari pagi memantul di permukaan lantai ruang santai di rumah Tristan. Aruna tengah duduk bersila di atas matras yoga. Usia kandungannya sudah delapan bulan, dan tubuhnya tampak lebih berisi sekarang. Nafasnya teratur saat mengikuti gerakan senam hamil yang rutin ia lakukan melalui panduan video di layar televisi. Sementara itu Tristan mengawasi dari sofa sambil memegang tablet, sesekali memperhatikan ke arah sang istri. Aruna terlihat lebih ceria sekarang, meski tetap jarang bicara kalau tidak benar-benar perlu. Dia masih memasang tirai tipis di antara mereka."Istirahat dulu, Runa. Sudah lama kamu senam pagi ini," seloroh Tristan.Aruna menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada gerakan stretching yang dirancang untuk memperbaiki posisi janin. Bayinya memang sungsang. Untuk menghindari lahiran secara caesar, Aruna rajin melakukan senam agar bisa melahirkan secara normal."Kalau nanti pun harus caesar, nggak a
Matahari di Minggu pagi bersinar lembut di atas pekarangan rumah rumah Bre. Langit sedikit berawan dan embun masih menetes di dedaunan yang tumbuh rapi di sekeliling taman. Di kursi kayu berlapis bantal putih, Bre duduk dengan santai memangku baby Rafka yang baru berusia dua minggu. Si kecil mengenakan topi rajut biru muda, memakai kacamata bundar untuk melindunginya dari silaunya sinar matahari.Di sebelahnya, Rifky duduk di kursi kecil berwarna hijau. Kakinya mengayun-ayun sembari menggenggam botol susu yang sudah setengah kosong. Matanya sesekali melirik adiknya, lalu menatap sang papa dan mereka bercerita."Papa, boleh Rifky cium adek?""Boleh. Pelan-pelan, ya."Rifky bangkit berdiri dan menempelkan pipinya ke pipi adiknya. Rafka bergerak lembut merespon sang kakak. Bre tersenyum melihat tingkah mereka. Dua bayi bagaikan magnet yang membuatnya ingin segera pulang ke rumah setelah urusan pekerjaan selesai.Walaupun malamnya kurang tidur kalau Rafka mengajak begadang, tapi Bre meni
"Semua sudah selesai, Run. Aku sudah memaafkan," jawab Zara sambil merangkul adik sepupunya."Terima kasih."Setelah itu Aruna hanya diam. Sama sekali tidak lagi memperhatikan entah bagaimana Tristan dan Zara berinteraksi dalam pertemuan itu. Ia sudah tidak peduli.Giska yang didampingi orang tua Tristan, hanya sebentar mendekat dan memeluk mamanya. Lalu Bu Fadlan merangkul sang cucu untuk duduk di depan.Tristan mencoba bicara saat malam tiba. Mereka duduk di kamar, Aruna mengelus perutnya pelan. Lelah dan mengantuk setelah sehari semalam nyaris tidak tidur. Perutnya juga terasa menegang beberapa kali."Runa, aku minta maaf. Seharusnya aku peduli saat kamu bilang mengkhawatirkan papa pagi kemarin. Aku tahu permintaan maaf nggak bisa mengembalikan apa pun. Tapi aku ingin kamu tahu, aku menyesal.""Nggak apa-apa," jawab Aruna datar. Tristan memandang istrinya. Perempuan itu tak marah. Tapi nada bicaranya datar dan yang terlihat hanya kelelahan dan luka. Dia tahu Aruna kecewa dan menyes
USAI KEPUTUSAN CERAI- Satu Hari di Kota Malang Author's POV Tristan menghela nafas panjang. Dia harus memberitahu istrinya daripada Aruna bakalan kaget nantinya. "Runa, kita tunggu papa di rumah. Papa akan dibawa pulang."Perasaan Aruna sudah tidak karuan. Namun masih berusaha menepis ketakutannya. Papanya masih ada. Papanya bisa tertolong dan akan pulang dalam keadaan baik-baik saja. Meski hati kecilnya merasakan pesimis.Ketika mobil memasuki halaman rumah, Aruna lemas saat melihat suasana begitu terang benderang dan beberapa kerabat sudah berkumpul di sana. Di teras dan ruang tamu duduk para saudara dan tetangga."Runa ....""Aku sudah tahu," potong Aruna cepat dengan air mata sudah membanjiri pipinya. Ketakutannya menjadi kenyataan. Ia yakin, papanya sudah tiada.Tristan turun dari mobil dan membuka pintu untuk istrinya. Aruna yang sempoyongan berusaha berjalan sendiri masuk ke rumah lewat pintu samping. Dia tidak peduli dengan Tristan yang begitu khawatir di sampingnya.Aruna
Malang ....Hawa dingin terasa begitu menusuk ke tulang. Gerimis di luar belum berhenti. Tristan membawakan segelas teh hangat dan di letakkan di meja depan Aruna. Lelaki itu juga menangkupkan selimut ke tubuh sang istri yang tengah duduk menikmati pemandangan di luar, dari balik jendela kaca."Mau kupesankan roti bakar?" tanya Tristan sambil duduk merapat pada istrinya. Lengannya merangkul bahu Aruna yang ringkih."Nggak usah. Aku masih kenyang."Keduanya memandang jauh keluar. Sebenarnya Aruna kepikiran tentang papanya. Kesehatannya makin menurun dari hari ke hari. Namun Aruna tidak pernah membahas hal itu dengan Tristan.Sejak awal, Tristan memang tidak cocok dengan papa mertuanya. Untuk itu Aruna pun tidak ingin membicarakan tentang sang papa dengan suaminya. Ia sadar kesalahan papanya waktu itu sangat menyakitkan bagi Tristan. Meski mereka sudah bisa saling menerima dan memaafkan. Aruna sekarang benar-benar menjaga diri dan berhati-hati."Kamu nggak ngantuk?" Tristan mengecup ke
Tristan duduk menunggu di sisi tempat tidur. Memperhatikan perut Aruna yang membuncit. Karena kehamilannya, Aruna mengurangi banyak kegiatan di luar. Termasuk melanjutkan ikut pelatihan. Trimester pertama waktu itu membuatnya harus banyak bed rest karena tubuhnya terasa sangat lemah. Sempat opname tiga hari karena kondisinya yang ngedrop.Ada perasaan lega, tapi juga getir di dada Tristan. Ia tahu Aruna berusaha keras untuk menyesuaikan diri dengan keadaan, meski hatinya telah remuk oleh kondisi mereka saat itu. Namun Aruna sekarang terlihat lebih baik daripada beberapa bulan yang lalu.Tristan sendiri membuktikan untuk berubah. Memperbaiki diri dan banyak belajar dari kesalahannya. Memprioritaskan istri dan anak-anaknya."Yuk, kita berangkat sekarang!" Tristan bangkit dari duduk lalu mengangkat koper kecil keluar kamar. Aruna mengikuti sambil menutup pintu kamar. Pria itu meraih tangan sang istri dan mereka menuruni tangga bersama-sama."Aku sebenarnya khawatir dengan kondisi papa,"
USAI KEPUTUSAN CERAI- Kehilangan Author's POV "Kamu nggak nyoba telepon Bre dulu, Ham?" Bu Rida yang menenteng kado mengingatkan putranya."Sudah kukirim pesan, Ma. Dijawab agar kita langsung ke sini."Sebenarnya Arham tidak sengaja datang di waktu Hilya lahiran. Dia sudah janjian dengan Bre tiga hari yang lalu, kalau akan ke Malang bersama mamanya untuk bertemu Rifky. Kebetulan Bu Rida juga baru sembuh dari sakit dan dia ingin sekali bertemu cucunya.Tadi pas datang ke rumah mereka, ART di sana memberitahu kalau Hilya melahirkan. Bre juga membalas pesannya agar Arham mengajak sang mama langsung ke klinik saja. Bu Rida tadi sempat meminta mampir ke toko untuk membeli kado.Ketika mereka tengah melangkah di lorong, ponsel Arham berdering. Bre yang menelepon. "Halo, Mas. Saya dan mama sudah sampai di klinik.""Kami tunggu, Mas. Saya di depan kamar perawatan. Paviliun 302.""Iya." Arham menyimpan kembali ponselnya dan mengajak sang mama melangkah mencari paviliun yang dimaksud oleh B