Share

2. Bimbang

last update Last Updated: 2025-02-04 21:04:33

USAI KEPUTUSAN CERAI

- Bimbang

"Jangan lanjut perceraian ini kalau kamu hamil." Mama mertuaku bicara disaat usai kusalami. Wajahnya begitu memohon.

Aku tersenyum getir seraya mengelus lengannya. Mataku sudah berkabut. Beliau adalah ibu mertua yang sangat baik menurutku. Wanita yang duduk di kursi roda itu mengusap air matanya. "Maafkan saya, Ma," ujarku lantas beranjak dan duduk di kursi yang disediakan untukku di depan majelis hakim.

Seumur hidup, sekali saja aku duduk di sini.

"Kita bisa membatalkan pernikahan ini, Hilya." Mas Arham kembali menghampiriku. Aku tidak tahu arti dari sorot matanya. Penyesalan atau apa aku tidak bisa menebak.

Aku takut salah. Sebab aku pernah membuat kesalahan besar dengan begitu percaya bahwa lelaki yang mengajakku menikah empat tahun yang lalu itu, kupikir sangat mencintaiku. Ternyata tidak. Dia hanya ingin mencari pelampiasan atas rasa kecewa ditinggal kekasihnya.

Jika alasan menggagalkan perceraian ini karena aku sedang hamil, ah tidak. Aku bisa mencintai anakku sendiri.

"Menunda maksud, Mas?" tanyaku menentang matanya. "Menunda sampai aku melahirkan? Nggak perlu, Mas. Sekarang atau nanti, tetap saja kita akan bercerai.

"Tinggal selangkah lagi, nggak usah menoleh lagi ke belakang," ujarku pelan.

Wajahnya menunjukkan kebimbangan. Dan aku tidak ingin tahu akan hal itu. Aku sudah mantap untuk mengabulkan permintaannya yang menggebu tiga bulan lalu.

"Kamu sudah menikahi kekasihmu kan, Mas? Aku nggak ingin hidup dimadu. Jalani hidupmu. Aku akan menjalani hidupku."

Mas Arham tercekat. Pasti dia kaget dari mana aku tahu tentang pernikahan rahasianya.

"Sudah berapa bulan?" Pertanyaan yang kujawab dengan senyum datar. Dia memandang blouse yang menyembunyikan perut yang mulai berbentuk. Mas Arham terpaksa harus duduk karena sidang di mulai.

Suasana hening menjelang ikrar talak. Lelaki di sebelahku tampak gelisah. Berulang kali ia memandangku yang tak sekali pun menoleh ke arahnya. Jujur, dadaku bergemuruh dan sesak rasanya. Tak kusangka begini akhir dari cerita kami.

Majelis hakim, seorang pria paruh baya dengan sorot mata tajam memandang ke arah Mas Arham. "Saudara Arham, apakah Anda sudah mantap untuk mengucapkan ikrar talak?"

Aku bisa merasakan napas Mas Arham tertahan. Dia menoleh ke arahku sesaat, lalu mengalihkan pandangan.

Majelis hakim menunggu sejenak sebelum mengulangi pertanyaannya. "Saudara Arham?"

"Ya, saya siap," ucapnya terdengar berat. Aku menahan napas. Kemudian kudengar dia mengucapkan ikrar talak. "Saya Arham Adiputra bin Citro Wiryono dengan ini menjatuhkan talak satu kepada istri saya, Hilya Afifa Binti Umar."

Setelah kata-kata itu meluncur, ruangan terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Aku menutup mata, meresapi perih yang mendadak mengoyak dada.

Selesai.

Begitu mudahnya.

Begitu sederhananya mengakhiri sesuatu yang pernah kuperjuangkan dengan segenap jiwa.

Majelis hakim mengetukkan palu. "Baik, ikrar talak telah diucapkan. Sidang selesai."

Perlahan aku bangkit dari kursi, lalu membungkukkan sedikit badan ke arah majelis hakim sebagai sikap hormat. "Terima kasih, Yang Mulia," ucapku dengan suara agak serak.

Mbak Asmi menghampiri dan merangkul pundakku. Membimbingku pergi dari kursi paling menyakitkan di dunia ini.

Kuhampiri lelaki yang pernah kupanggil suami dengan sorot mata tenang. Matanya memerah memandangku. Untuk terakhir kali aku menyalaminya.

"Hilya, kuantar kamu pulang."

Aku tersenyum tipis. "Nggak perlu. Terima kasih."

Lantas aku menghampiri mama mertua, wanita yang dibantu berdiri oleh ART-nya itu memelukku erat sambil terisak. Kulepaskan rengkuhannya. Tanpa kata-kata, aku melangkah meninggalkannya.

Saat sudah keluar dari ruang sidang, Mas Arham tergesa mengejar dan menahan langkahku. "Aku ingin bicara sebentar saja."

"Apa lagi yang mau kamu katakan, Mas? Kamu sudah menjatuhkan talak. Ini sudah selesai."

Mas Arham tampak tersentak. Rahangnya mengatup erat. "Baru tadi malam aku tahu kamu hamil. Aku akan bertanggungjawab terhadap anak kita."

Tanpa menjawab, aku kembali melangkah bersama Mbak Asmi menuju ke arah taksi yang memang kuminta menunggu sampai sidang selesai.

"Kenapa kamu nggak bilang kalau sedang hamil di depan hakim?" Mbak Asmi bicara di perjalanan.

"Nggak perlu, Mbak."

"Kamu benar-benar nggak mau menuntut? Dia menceraikanmu dalam keadaan hamil, Hilya. Masa iddahmu selesai setelah kamu melahirkan."

Aku tersenyum hambar. "Aku nggak mau berurusan lagi dengannya, Mbak. Jangan khawatir, aku masih punya tabungan untuk persiapan persalinan. Aku juga masih bekerja."

"Masalahnya bukan itu. Bagaimana pandangan rekan kerjamu, pandangan orang terhadapmu. Kamu janda dan tiba-tiba hamil. Mereka akan tahu setelah perutmu membesar, sedangkan yang mereka tahu kamu sudah bercerai. Kamu nggak takut dikira hamil dengan lelaki lain." Mbak Asmi terlihat sangat khawatir.

"Nggak, Mbak. Aku nggak berzina. Apapun omongan orang, aku siap menghadapinya."

Netra Mbak Asmi berkaca-kaca memandangku. Mbak Asmi bisa kuat karena dia pun pernah menjalani proses yang sama. Tapi bagaimana dengan ibu?

----

"Hei, melamun!" Tegur Ani seraya menyenggol tanganku. Aku menoleh dan tersenyum samar. Biasanya kami bekerja naik motor, tapi kebetulan sekali motor kami rusak bersamaan sudah dua hari ini.

"Kamu nggak khawatir kalau Mbak Aruna akan memperumit kejadian di kafe tadi, Hil?"

"Takut apa, aku nggak punya hubungan sama suaminya. Biar saja dia kepanasan sendiri."

"Sebenarnya apa sih isi chat Pak Tristan ke kamu."

"Biasa saja. Tanya sudah makan apa belum? Sedang apa? Selebihnya ngobrol tentang pekerjaan di lapangan. Ada beberapa yang mengajakku makan di luar setelah urusan bertemu klien selesai. Tapi aku nggak pernah mau, kecuali kami makan bersama dengan tim."

Ani menatapku lekat. "Begitu kuatnya kamu, Hil."

"Aku memang harus kuat, An. Ada Rifki yang bersandar padaku, ada Mbak Asmi dan Yazid juga. Mbak Asmi sudah nggak bisa bekerja lagi karena jagain anakku."

Aku kembali menerawang menatap senja yang hampir tenggelam. Mbak Asmi sudah lima tahun lalu bercerai dari suaminya. Setelah aku melahirkan, dia berhenti kerja di pabrik dan membuka toko kecil-kecilan di depan rumah peninggalan ibu. Ya, ibu tiada waktu aku hamil delapan bulan. Beliau mulai jatuh sakit setelah aku bercerai. Rasanya kian sakit kalau mengingat kegagalan itu, karenanya juga aku kehilangan ibu.

"Perceraian dan kehilangan ibu jauh lebih menyakitkan dari apapun. Makanya kalau hanya sekedar dilabrak Aruna karena cemburu buta, itu bukan apa-apa bagiku."

"Kalau aku jadi kamu, aku nggak akan sekuat itu, Hil."

"Aku mampu karena belajar dari keadaan. Pada akhirnya apa yang terjadi membuatku kuat sendirian, tanpa ada bahu untuk bersandar. Kamu beruntung An, punya suami Mas Puji. Walaupun hanya kuli bangunan, tapi dia lelaki yang baik.

"Kamu nggak salah pilih suami. Dia baik, tulus, dan setia. Uang bisa dicari, fisik bisa diubah. Namun tidak dengan kejujuran dan kesetiaan."

Ani tersenyum bangga. Ya, dia sebahagia itu hidupnya.

"Yuk, kita pulang." Aku berdiri dan melambaikan tangan saat angkot mendekat.

Suasana malam kian membayang. Kami tidak lagi berbincang hingga sampai di tujuan masing-masing.

Langkahku melambat saat kulihat mobil putih berhenti di depan rumah.

Next ....

Comments (10)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
kamu yg sabar Hilya ..semoga Arhan menyesal mencerai kan kmu juga dia dpt karma istri g bisa punya anak dn hidup nya g bahagia sdh menzolimi kmu
goodnovel comment avatar
Adfazha
Hilya ttplah kuat ya buanglah mantan pd tmptnya jgn dipungut lg dah bau bucuuk soale
goodnovel comment avatar
Helmy Rafisqy Pambudi
JD mewek ya..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Usai Keputusan Cerai   3. Luka 1

    USAI KEPUTUSAN CERAI- Luka"Ada Arham di dalam, Hil," kata Mbak Asmi saat aku masuk ke tokonya. Dia sibuk mencatat belanjaan. "Mbak nyuruh Yazid nemani adiknya.""Ya," jawabku singkat. Kemudian langsung melangkah lewat pintu belakang toko yang tembus ke rumah."Unda." Rifky yang asyik bermain di ruang tamu langsung berdiri dan berlari menghampiri. Usianya dua tahun, tapi dia begitu lincah, tampan, dan menggemaskan. Aku memeluk seperti biasanya. Dia menunjukkan mainan yang baru dibelikan papanya. "Hmm, bagus," ujarku memuji.Aku memandang sejenak lelaki yang menatapku. Dia tersenyum. "Baru pulang?""Ya," Lantas kembali memandang jagoanku. "Bunda mandi dulu, ya,"Rifky mengangguk dan dia kembali ke pangkuan papanya. Mas Arham selalu datang di akhir pekan sepulang kerja. Tidak pernah mengajak istrinya. Kenapa? Aku tidak tahu dan tak pernah berniat menanyakannya.Sekilas di atas meja, kulihat ada snack untuk Rifky, buah-buahan, dan makanan yang selalu ia bawa tiap datang. Di dalam kama

    Last Updated : 2025-02-04
  • Usai Keputusan Cerai   4. Luka 2

    Semua chat-nya kubaca, dan aku tetap berharap kami bisa bertahan dalam pernikahan. Sesakit apapun hatiku. Hingga pada detik itu aku sadar, yang kulakukan sia-sia. Hanya menjatuhkan harga diriku saja. Baiklah, akhirnya aku setuju dengan keinginannya. Padahal saat itu aku sedang mengandung. Aku menarik nafas dalam-dalam untuk menghalau kenangan menyakitkan. Aku tidak ingin melanjutkan mengingat kenangan itu. Sebab setelah bercerai pun, hidupku terpuruk karena hamil tanpa didampingi suami. Suara sumbang terdengar di sekitar. Namun ada juga yang bersimpati.Ah ... Aku bangkit dan mengambil baju ganti lalu keluar untuk mandi.Di ruang depan, terdengar celoteh Rifky dengan tawa bahagianya. Anak itu tidak tahu apa-apa. Tidak tahu betapa hancur perasaan bundanya karena lelaki yang dipanggilnya papa.Selesai mandi aku langsung makan."Tante." Yazid menghampiriku."Ya.""Dipanggil sama Om. Om mau pamitan.""Bilang Tante sibuk, ya. Nanti kalau Om Arham sudah pulang, ajak adek ke sini," jawabku

    Last Updated : 2025-02-04
  • Usai Keputusan Cerai   5 Tutup Mulutmu 1

    USAI KEPUTUSAN CERAI- Tutup Mulutmu "Beneran kamu yang sengaja menggoda Tristan?" Dengan tak sabar Pak Ardi menyerangku yang baru saja duduk. Aku sudah menduga, mereka memanggilku karena hal ini."Maaf, itu hanya salah paham, Pak," ujarku tenang meski gemetar dan amarah memenuhi dada. Aku benci dengan tuduhan itu. Untuk apa aku menggoda suami orang, sementara aku sudah muak dengan yang namanya lelaki."Kamu di sini hanya staf. Harusnya kamu tahu diri." Mata lelaki itu menyala-nyala penuh amarah. Wajahnya sangat sinis memandang pegawai rendahan sepertiku.Pak Fadlan berdehem. "Sabar, Pak Ardi. Kita bisa membicarakan hal ini baik-baik." Pria berkacamata itu memang bos yang sangat bijaksana.Lalu Pak Fadlan memandangku dengan suara tenang, beliau berkata, "Hilya, bisa kamu jelaskan tentang video itu. Aruna mengamuk pasti ada sebabnya.""Itu hanya salah paham, Pak. Pak Fadlan bisa bertanya langsung pada Pak Tristan. Kami tidak memiliki hubungan apapun selain sebagai bos dan karyawan," j

    Last Updated : 2025-02-04
  • Usai Keputusan Cerai   6. Tutup Mulutmu 2

    "Kalau sampai video itu viral, saya tidak akan bungkam, Pak Tristan. Saya bisa membuat video untuk klarifikasi dan mengatakan kalau Mbak Aruna hanya cemburu buta dan bertindak tak tahu etika. Saya bisa menuntut balik dengan dalih pencemaran nama baik. Pak Tristan, juga harus begitu. Membuat video klarifikasi kalau di antara kita tidak ada hubungan apapun. Istri Anda yang salah paham."Mereka terkejut. Terutama Pak Ardi yang melotot tajam padaku.Sungguh ini keberanian dari mana, spontan aku mengatakan hal itu. Tidak ada rasa takut dalam hati. Aku benar. Aku tidak sedang menggoda suami orang yang notabene bosku sendiri.Padahal aku hanya debu di hadapan mereka yang berkuasa. Aku punya apa coba? Dilibas sekali saja, aku hanya tinggal nama. Bahkan aku bisa kehilangan pekerjaan. Lalu bagaimana dengan anakku? Tapi kalau aku diam, siapa yang akan membelaku. Sejauh ini aku menjaga diri dengan sebaik-baiknya, agar status janda yang kusandang tetap terhormat dan tidak mendapatkan citra buruk

    Last Updated : 2025-02-04
  • Usai Keputusan Cerai   7. Hilya

    USAI KEPUTUSAN CERAI- HilyaLelaki berwibawa itu berdiri tepat di hadapanku. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana.Buru-buru aku bangkit dari duduk. "Ya, Pak," ucapku sopan. Dadaku bergemuruh, apa mungkin ini hari terakhir aku bekerja di sini?"Saya suka perempuan ber-value sepertimu. Kerja baik-baik, Hilya." Ucapan singkat Pak Fadlan membuatku terkejut. Tak mengira sama sekali kalau Big Bos akan berkata seperti itu. Beliau memang sangat bijaksana sebagai pimpinan. Tapi bukankah Aruna itu menantunya? Apa nanti tindakannya ini tidak menimbulkan masalah dengan keluarga besan. Walaupun begitu aku lega. Kupikir Pak Fadlan akan memecatku, rupanya tidak. Alhamdulillah, aku masih bekerja. Mencari pekerjaan sekarang tidak gampang. "Eh, i-iya, Pak," jawabku gugup. "Terima kasih banyak dan maafkan atas kelancangan saya tadi."Pak Fadlan hanya tersenyum lantas melangkah pergi. Longgar sekali rasa dalam dadaku. Meski aku tahu ini bukan akhir dari kemelut, tapi setidaknya aku masih bisa b

    Last Updated : 2025-02-04
  • Usai Keputusan Cerai   8. Cemas

    USAI KEPUTUSAN CERAI- Cemas"Jangan pandangi saya seperti itu, Pak. Tatapan Pak Tristan bisa menimbulkan banyak masalah bagi saya," ujarku pelan tapi penuh penekanan."Saya tidak ingin permasalahan pagi tadi berkelanjutan," lanjutku memohon. Karena aku capek sekali dengan banyaknya permasalahan dalam hidupku.Tristan mengatai Mas Arham, apa ia tidak sadar kalau dirinya juga hampir seperti mantanku itu. Punya istri tapi menggoda perempuan lain. Janda pula itu."Kalau kita saling menghindar. Malah dikira kita memang ada hubungan. Santai saja." Pria itu mencondongkan tubuhnya ke depan. Spontan aku menarik diri ke belakang. Kemudian memperhatikan sekeliling, siapa tahu ada yang melihat ke arah kami."Pak Tristan, bisa saja santai tapi imbasnya ke saya. Tolonglah saya di sini untuk bekerja. Saya single mom, tolong hargai saya." Baru kali ini aku benar-benar memohon pada pria itu. Tak mengapa demi tetap bertahan kerja karena aku belum siap mencari pekerjaan lainnya. Di sini gaji bagus dan

    Last Updated : 2025-02-08
  • Usai Keputusan Cerai   9. Maafkan Bunda

    USAI KEPUTUSAN CERAI - Maafkan BundaDuh, Tristan ini memang cari masalah. Bukankah bininya ada di kantor tadi? Maunya apa sih. Dia sama saja kayak Arham.Kuletakkan ponsel di atas meja. Membalas pesannya hanya akan menciptakan permasalahan makin ke mana-mana. Kembali kupandangi Rifky yang terlelap. Selang infus menancap di lengannya yang kecil, membuat hatiku perih.Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hati yang sesak. Tangan kecil Rifky kusentuh pelan. "Sembuh, ya, Nak," bisikku.Ponsel kembali bergetar di atas meja. Lagi-lagi nama Tristan muncul di layar. Kali ini dia menelepon. Nekat sekali orang ini. Aku mengabaikannya. Lalu menekan tombol 'silent' dan memasukkan ponsel ke dalam tas. Aku tidak ingin mendengar suara siapa pun saat ini.Rifky menggerakkan jemari, tubuhnya menggeliat pelan. Aku langsung mendekat, menelusuri wajah mungilnya yang mulai bergerak. Matanya terbuka tampak sayu."Unda," suaranya serak."Iya, Sayang. Bunda di sini." Aku tersenyum.Dia mena

    Last Updated : 2025-02-09
  • Usai Keputusan Cerai   10. Bertemu

    USAI KEPUTUSAN CERAI - Bertemu "Aku suka dengan perempuan sepertimu."Aku terhenyak dan berusaha tetap tenang. Cari penyakit jika meladeni. "Mari kita lanjutkan pembahasan yang kemarin, Pak," ujarku mengalihkan pembicaraan."Saya serius!" ucapnya."Saya juga serius, Pak. Di sini saya bekerja bukan menggoda bos. Bukan menggoda suami orang. Saya cari uang bukan mencari cinta."Tristan tersenyum miring lantas menegakkan duduknya dan menyalakan laptop. Kami mulai membahas masalah keuangan dalam projek dengan serius. Dari sudut mata, aku bisa melihat lelaki kaya ini sering diam sejenak memandangku. Lima belas menit kemudian, masuk tiga orang yang menjadi tim inti kerja kami. Aku senang ada yang lainnya daripada hanya berdua dengan bos genit ini."Nggak perlu menatap curiga dengan saya dan Hilya. Kami bekerja secara profesional. Tentang gosip dan video kemarin, tolong abaikan." Tristan berkata pada timnya yang baru datang. Mencegah dan mengultimatum pada stafnya yang menatap aneh pada ka

    Last Updated : 2025-02-10

Latest chapter

  • Usai Keputusan Cerai   88. Tiga Hati di Semarang 1

    USAI KEPUTUSAN CERAI- Tiga Hati di Semarang Author's POV "Pak Bre, saya sudah pesankan tiketnya. Penerbangan jam tiga sore ini." Seorang asisten pribadinya memberitahu Bre di ruangannya."Oke, makasih banyak," jawab Bre seraya menutup laptop. Dilihatnya jam tangan. Baru jam delapan pagi. Tadi Hilya berangkat ke Semarang jam tujuh.Dia harus berangkat sekarang dari Malang ke Juanda. Nanti mampir sebentar ke rumah mamanya. Tadi sengaja berbohong pada Hilya kalau dia sudah ada di Solo, padahal baru mau berangkat dari Malang dan naik pesawat ke Semarang dari Juanda. Jujur saja dia khawatir dengan Hilya yang pergi bersama Tristan. Walaupun Bre kenal baik sama pria itu, tapi dia tidak percaya karena sahabatnya sedang dimabuk kepayang oleh Hilya. Perempuan yang sama-sama mereka cintai.Akan ada cerita berbeda saat Tristan sudah tahu semuanya. Namun ia berharap, persahabatan dan kerjasamanya dengan pria itu tidak akan bermasalah setelah ini. Makanya lebih baik ia berpura-pura tidak tahu t

  • Usai Keputusan Cerai   87. Cincin di Mobil 3

    "Mbak, lusa aku jadi ke Semarang. Sebenarnya ini sudah dijadwalkan Minggu kemarin, tapi di undur lusa. Mungkin dua sampai tiga hari aku di sana. Rifky kira-kira rewel nggak, ya?""Nggak. Kamu tenang saja. Dia manut sama Mbak."Hilya kepikiran Rifky saja kalau dia pergi ke luar kota. Biasanya hanya dua hari saja dia pergi, sekarang tiga hari."Untuk Bre, kalau menurut mbak. Jangan ragu, pandang dia yang sekarang, jangan lihat masa lalunya. Ayo, tidur. Mbak sudah ngantuk."Keduanya bangkit dari karpet dan masuk ke kamar masing-masing. Hilya berbaring menghadap Rifky yang memeluk guling. Diusapnya pelan pipi halusnya. Dialah cinta sejati bagi Hilya. Yang bisa mengobati rasa lelah hanya dengan tatapan matanya yang bening. Hilya bergerak pelan untuk mengecup kening Rifky. Kemudian memeluk kaki kecil itu dan dia pun memejam.đź–¤LSđź–¤"Hilya, ada pesan dari Arham." Mbak Asmi menunjukkan ponselnya pada Hilya.[Mbak, maaf kalau dalam beberapa waktu ke depan saya nggak datang menjenguk Rifky. Na

  • Usai Keputusan Cerai   86. Cincin di Mobil 2

    Omongan Pak Ardi yang ngelantur membuat Tristan menghela nafas panjang. "Saya tegaskan, Pa. Hubungan saya dengan Hilya, hanya sebatas tentang pekerjaan."Aruna yang sejak tadi diam saja, akhirnya juga ikut bicara. "Sudah, Pa. Jangan membahas hal ini lagi. Kami baik-baik saja, Papa nggak perlu khawatir." "Kamu tahu apa, Runa. Jangan sampai suamimu direbut perempuan lain, baru kamu nangis-nangis.""Aku nggak mau membahas ini lagi, Pa," sangkal Aruna. Dia ingat ucapan suaminya, kalau sampai mengusik Hilya, maka hubungan mereka yang menjadi taruhannya. "Lihat ini, Pa. Mas Tristan barusan ngasih hadiah." Aruna menunjukkan cincin berlian di jari manisnya. Pak Ardi dan istrinya memperhatikan.Selesai bicara, Aruna bangkit dari duduknya dan mengajak suaminya pamitan. "Kami pulang dulu, Pa. Aku lega Papa sudah jauh lebih baik." Aruna mencium tangan papa dan mamanya. Begitu juga dengan Tristan. Lantas mereka melangkah keluar kamar.Pak Ardi tampak kecewa. Anak yang dibelanya agar tidak diseli

  • Usai Keputusan Cerai   85. Cincin di Mobil 1

    USAI KEPUTUSAN CERAI - Cincin di Mobil Author's POV "Mas, beli ini untukku?" Aruna terbeliak kaget, sekaligus berbinar menemukan kotak perhiasan berbentuk hati warna merah jambu yang terletak di dasbor mobilnya Tristan.Senyumnya lebar saat ia membuka dan melihat ada sebentuk cincin berlian di dalamnya.Tristan yang baru duduk dan menutup pintu pun terkejut. Tidak mengira kalau istrinya membuka dasbor mobil, di mana ia menyimpan hadiah ulang tahun yang akan diberikan pada Hilya."Ini untukku, kan? Atau untuk selingkuhanmu?" tanya Aruna yang mulai tidak yakin kalau itu dibeli Tristan untuknya. Karena Tristan jarang memberikan kejutan. Kalau menginginkan sesuatu, Aruna hanya memberitahu suaminya, setelah itu pergi beli sendiri. Tristan berdecak jengkel. "Aku nggak punya selingkuhan. Nggak usah mengada-ada, Runa. Itu kubeli untukmu. Pas nggak di jarimu?" jawab Tristan seraya menyalakan mesin mobil dan bergerak pelan meninggalkan garasi. Mereka hendak ke rumah orang tua Aruna. Menjeng

  • Usai Keputusan Cerai   84. Hanya Berdua 3

    Bre juga menceritakan sekilas tentang berbagai kecurangan dan permusuhan dengan keluarga Livia. Kemudian hubungan mereka kembali membaik setelah beberapa tahun kemudian. Pria itu juga menceritakan pernikahan keduanya dengan Agatha. Ini yang mengejutkan bagi Hilya. Karena ia berpikir, Bre hanya pernah menikah sekali saja."Saya tidak pernah menyentuh Agatha selama menikah. Biar dia bisa merasakan kebahagiaan dengan lelaki yang akan mencintainya setulus hati. Agar Agatha tidak seperti mama, yang diperlakukan seperti istri tapi tidak diberi hati sama sekali."Kalau ikutkan nafsu, lelaki pasti bernafsu. Tapi saya tidak ingin melakukan itu. Supaya dia bisa bahagia dengan pasangan barunya.""Sekarang Mbak Agatha sudah menikah?""Belum. Dia tinggal di Singapura hanya sesekali pulang ke Surabaya. Tapi kamu tidak usah khawatir, saya dan Agatha benar-benar sudah berakhir di saat putusan cerai dari pengadilan agama. Hubungan kami membaik, tapi tidak akrab juga. Dengan Livia, Hutama Jaya ada hubu

  • Usai Keputusan Cerai   83. Hanya Berdua 2

    Dari jendela taksi yang membawanya malam itu, Hilya memperhatikan sepanjang perjalanan menuju kafe tempat ia akan bertemu Bre. Hanya berdua saja."Yakinkan hatimu, bahwa langkah yang kamu ambil ini tepat. Mbak 100% mendukungmu. Budhe juga mendukung. Mbak sudah cerita pada beliau tadi pagi." Mbak Asmi yang menungguinya bersiap berkata seperti itu tadi."Sebenarnya aku juga pengen Mbak Asmi juga menikah lagi." Hilya memandang sang kakak."Jangan tunggu mbak. Pokoknya kamu jangan abaikan kesempatan ini. Pria seperti Bre nggak akan datang dua kali, Hilya."Hilya sebenarnya tidak sampai hati kalau harus menikah lebih dulu. Namun kakaknya yang justru mendesak agar Hilya segera menerima Bre.Akhirnya taksi berhenti di depan sebuah kafe dua lantai di salah satu sudut kota Surabaya. Bre sudah menunggunya di teras. Kemudian langsung mengajaknya naik ke lantai dua. Mereka disambut dengan lampu-lampu redup yang menciptakan nuansa romantis. Dinding interior dihiasi dengan lukisan abstrak berwarna

  • Usai Keputusan Cerai   82. Hanya Berdua 1

    USAI KEPUTUSAN CERAI- Hanya Berdua Author's POV "Bagaimana rasanya diperjuangkan, Hilya? Selama ini kamu yang selalu berjuang dan bertahan. Dengan Arham sebagai suami atau dengan mantan pacarmu yang sama-sama nggak tahu diri itu. Sekarang kamu tahu bagaimana seorang laki-laki itu berjuang untuk mendapatkanmu. Bahkan sepaket dengan keluargamu juga, bisa diterima dia apa adanya."Hilya tersenyum sambil mengunyah nasi. Kalau dibilang 100% ia percaya Bre, tidak juga. Sudah berulang kali terluka, membuat Hilya tidak segampang itu memberikan semua kepercayaannya. Namun ia tetap berusaha untuk menghargai seseorang yang telah berupaya memperjuangkannya."Tapi kita akan berpisah, Hil," ujar Ani memicu kesedihan mereka lagi."Nggak mungkin kamu akan bertahan di Global, sedangkan Mas Bre juga memiliki perusahaan sendiri," lanjut Ani."Tapi sesekali kita masih bisa bertemu, An. Kita kan bisa berkunjung ke Malang atau sebaliknya. Via tol kan cepat," kata Ika."Arham bakalan berjauhan sama anakn

  • Usai Keputusan Cerai   81. Hari Spesial 3

    Beberapa hari setelah pengakuan Bre di depan Pak RT, kabar itu segera menyebar ke lingkungan tempat tinggal Hilya. Heboh dan bisik‑bisik pun mulai terdengar. Tetangga-tetangga saling bertanya satu sama lain. "Kau dengar belum? Hilya itu hendak menikah!""Iya, Pak RT yang bilang.""Padahal mantan suaminya juga masih sering datang mengunjungi anaknya. Tapi nggak mungkin mereka rujuk. Kalau aku jadi Hilya, juga nggak sudi. Memberikan kesempatan pada pengkhianat itu, seperti menggiring kita untuk disakiti lagi."Begitu bisik-bisik tetangga.Mbak Asmi pun sibuk menjawab pertanyaan mereka. Sebab dia yang selalu ada di rumah. Apalagi ada toko yang setiap hari orang datang ke sana untuk belanja. Kabar itu membuat suasana di lingkungan semakin ramai, sebagian orang mendukung, ada yang terlalu ingin tahu, dan sebagian lagi hanya bersikap biasa aja. Yang ingin tahu, karena mereka mendapatkan cerita dari Pak RT dan tetangga dekat rumah Hilya, kalau calon suami Hilya sangat gagah dan tampan, juga

  • Usai Keputusan Cerai   80. Hari Spesial 2

    "Minumlah!" Bu Rida meletakkan kopi di meja teras, di depan Arham. Wanita itu kemudian duduk di kursi kosong samping putranya."Aku ingin bercerai saja, Ma. Hubunganku dengan Atika semakin memburuk. Berapa kali kuajak datang ke sini saja menolak. Kami selalu berakhir dengan pertengkaran. Apalagi jika membicarakan tentang Rifky." Arham terlihat sangat lelah. Bu Rida menghela nafas panjang. Dia sendiri merasa sangat lelah mendengar cerita sang anak. Hendak bilang kalau itu kesalahan Arham sendiri, tapi sudah tidak tega. Berulang kali ia menyalahkan anaknya."Mama nggak tahu lagi harus bilang bagaimana. Terserah kamu, Ham. Sebenarnya mama nggak ingin kamu kawin cerai. Tapi kamu yang jalanin. Sekuat mana, kamu yang lebih tahu. Mama bisanya hanya mendoakan yang terbaik buatmu, buat rumah tanggamu."Arham menekan ujung rokoknya di asbak. Kemudian menerawang memandang hujan. Dia belum mengirim pesan lagi pada mantan kakak iparnya, apakah sudah pulang dari Malang atau belum.Perasaannya tak

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status