Share

8. Cemas

last update Last Updated: 2025-02-08 16:38:08

USAI KEPUTUSAN CERAI

- Cemas

"Jangan pandangi saya seperti itu, Pak. Tatapan Pak Tristan bisa menimbulkan banyak masalah bagi saya," ujarku pelan tapi penuh penekanan.

"Saya tidak ingin permasalahan pagi tadi berkelanjutan," lanjutku memohon. Karena aku capek sekali dengan banyaknya permasalahan dalam hidupku.

Tristan mengatai Mas Arham, apa ia tidak sadar kalau dirinya juga hampir seperti mantanku itu. Punya istri tapi menggoda perempuan lain. Janda pula itu.

"Kalau kita saling menghindar. Malah dikira kita memang ada hubungan. Santai saja." Pria itu mencondongkan tubuhnya ke depan. Spontan aku menarik diri ke belakang. Kemudian memperhatikan sekeliling, siapa tahu ada yang melihat ke arah kami.

"Pak Tristan, bisa saja santai tapi imbasnya ke saya. Tolonglah saya di sini untuk bekerja. Saya single mom, tolong hargai saya." Baru kali ini aku benar-benar memohon pada pria itu. Tak mengapa demi tetap bertahan kerja karena aku belum siap mencari pekerjaan lainnya. Di sini gaji bagus dan dekat dengan rumah.

Aku tidak butuh simpati. Aku hanya ingin hidupku kembali berjalan seperti biasa. Tenang dan nyaman.

"Arham nggak ngurusi anaknya?"

"Masih. Tapi saya juga ada tanggung jawab lainnya. Tolong jangan mempersulit permasalahan saya. Kalau Pak Tristan tidak bisa memindahkan saya, biar saya bicara langsung pada Pak Fadlan."

Lelaki dihadapanku terdiam beberapa saat. Kemudian membuka berkas. "Kita bahas mengenai projek dan laporanmu tadi pagi," ujarnya mengalihkan topik pembicaraan.

Tristan memang kenal baik dengan Mas Arham. Mereka dipertemukan dalam urusan pekerjaan. Projek yang berulangkali ditangani bersama.

Maka tak heran, Tristan tahu semua permasalahanku dengan Mas Arham.

Ketika aku tengah serius memperhatikan pembicaraan kami, ponsel di saku baju kerjaku berdering. Namun kuabaikan.

"Angkat dulu teleponmu daripada mengganggu pembahasan kerja," ujar Tristan tampak terganggu karena ponselku kembali berdering.

Mbak Asmi menelepon. Ada apa? Jantungku berdebar kencang. Khawatir terjadi sesuatu di rumah. Tak biasanya dia menelepon di jam kerja. Untuk memberitahu tentang sesuatu, cukup mengirimkan pesan.

"Ya, Mbak. Aku lagi meeting sama bos," jawabku lirih.

"Rifky demam tinggi, Hil. Sampai 40°. Sekarang mbak bawa ke klinik dan dokter bilang harus opname."

Aku mematung dan tanganku gemetar. Perlahan tubuhku lemas.

"Tapi kamu jangan khawatir. Ini sudah diinfus dan Rifky nggak rewel. Dia masih mau ngemil ini. Mbak hanya ngasih tahu kamu. Nanti sepulang kerja, langsung saja ke klinik Harapan Medika."

"Oh, iya."

Mbak Asmi menyudahi panggilan. Degup jantungku masih berpacu hebat. Rifky. Kupikir dia sudah baik-baik saja setelah minum obat tadi pagi sebelum aku berangkat kerja. Memang sejak kemarin pagi, anak itu meriang.

"Ada apa?" tanya Tristan.

"Tidak ada apa-apa, Pak. Mari kita lanjutkan pembicaraan tadi supaya lekas selesai," jawabku setenang mungkin.

"Pulanglah! Anakmu sakit, kan?"

Rupanya dia menguping pembicaraanku. Padahal aku sudah berkata lirih dan menutupi dengan tangan.

"Tidak usah, Pak. Rifky sudah ditangani sama dokter." Aku kembali fokus pada berkas. Namun lelaki itu spontan menutup berkasku. "Kamu pulang saja. Kita bisa melanjutkannya besok."

Tristan memandangku. Beberapa detik kemudian aku mengangguk. "Terima kasih, Pak." Aku memberesi berkas dan membawa tablet kembali ke meja kerja.

Saat merapikan mejaku, Ani menghampiri. "Kamu mau ke mana?"

"Anakku opname di klinik, An. Aku pulang dulu. Pak Tristan sudah ngasih izin."

"Rifky sakit apa?" Ani terlihat kaget dan cemas.

"Demam. Aku pulang dulu, ya."

"Ya, hati-hati bawa motornya. Semoga Rifky lekas sembuh."

"Aamiin."

Aku bergegas melangkah melewati para staf yang sibuk. Mereka tampak kaget dan bingung melihatku tergesa. Mungkin ada yang mengira kalau aku diberhentikan kerja.

Saat masih mengenakan jaket di dekat motor, tiba-tiba ada yang menghampiriku. Aroma parfum mahalnya terhidu dipenciuman. Aku menoleh ke belakang.

Wanita cantik itu bersedekap memperhatikan. Wajahnya tampak puas melihatku pulang sebelum jam kerja usai. Apa dia juga berpikir kalau aku dipecat?

Aruna pasti sudah tahu kalau aku tadi di sidang di ruangan Big Bos. Tahu tentang kekisruhan di ruang kerja. Pasti asistennya yang memberikan laporan.

"Hmm, rupanya ini hari terakhir kamu kerja di sini," ujarnya sinis. "Kalau dapat pekerjaan baru, baik-baik ya kamu di sana. Jangan menggoda bos dan suami orang lagi," lanjutnya yang terdengar begitu menyakitkan.

Aku memakai helm dan mengabaikan ucapannya. Tidak ada waktu untuk meladeni. Terserah dia mau bilang apa aku tidak peduli. Yang berkuasa di sini adalah Pak Fadlan dan Tristan. Aku akan lebih mendengarkan mereka daripada Aruna. Meski dia menantu di perusahaan ini.

Senyum wanita itu kian lebar saat melihatku pergi tanpa kata-kata. Dia mungkin merasa menang karena telah berhasil membuatku dibuang. Bodo amat, Aruna. Hanya membuang waktu untuk meladenimu.

Motor kupacu cepat di tengah terik matahari yang mulai condong ke barat. Musim kemarau yang membakar bumi.

Aku berhenti sejenak di toko mainan. Membeli helikopter mainan kesukaan Rifky. Supaya dia senang dan lekas sembuh.

Sesampainya di klinik aku melangkah cepat menuju kamar perawatannya. Saat pintu kubuka perlahan, Mbak Asmi meletakkan telunjuknya di depan bibir. Rupanya Rifky sedang tertidur.

Yazid yang tengah duduk membaca buku lekas berdiri dan mencium tanganku. Dia masih memakai seragam sekolah.

"Panasnya sudah turun, Mbak?" tanyaku lirih.

"Alhamdulillah, sudah. Hasil tes darahnya hanya menunjukkan trombosit turun. Tapi untuk DB dan typusnya negatif. Mungkin karena radang juga, kemarin Rifky bilang tenggorokannya sakit, kan?"

Aku mengangguk.

"Tadi panas banget sampai mbak panik, Hil. Tapi Rifky masih berlari menyambut kakaknya pulang sekolah. Setelah mbak gendong, suhu tubuhnya tinggi banget. Akhirnya mbak bawa ke klinik. Yazid yang megangin adiknya waktu mbak boceng." Cerita Mbak Asmi membuat mataku memanas. Terharu sekaligus lega. Andai tanpa mereka, aku bisa apa.

Kutarik kursi dan duduk tepat di sebelah tempat tidur Rifky. Aku hanya memandanginya. Khawatir kalau kusentuh, dia bakalan terbangun.

"Arham dikabari, nggak?" tanya Mbak Asmi. Sebab dia yang mempunyai nomor ponsel mantan suamiku itu. Sudah lama nomernya kublokir. Jadi kalau ada apa-apa, Mas Arham bertanya pada Mbak Asmi.

"Nggak usah, Mbak."

"Kalau gitu mbak tinggal pulang dulu. Biar Yazid ganti baju sekalian mandi dan langsung kembali ke sini."

"Ya." Aku mengangguk. "Bawakan baju ganti untukku."

Mbak Asmi mengiyakan lantas mengajak anaknya pulang.

Air mataku berjatuhan saat memandang tubuh kecil yang terbaring dengan selang infus di tangannya. Bibirnya kemerahan dan terlihat agak kering.

Wajah itu milik Mas Arham semua. Seolah ingin menunjukkan pada dunia dan membungkam suara-suara sumbang dari orang yang menyudutkan dan menghakimiku kala itu.

"Baru juga cerai, sekarang malah hamil sama lelaki lain."

"Bisa jadi yang dikandung itu bukan anak suaminya. Makanya dicerai. Arham loh kalem, ramah, dan nggak neko-neko."

Ya, orang melihat Mas Arham memang sebaik itu. Benar yang dikatakan orang, istrilah yang paling tahu siapa suaminya daripada ibu, saudara-saudaranya, apalagi orang lain.

Tapi mulut-mulut itu sekarang bungkam setelah melihat Rifky adalah versi kecil dari papanya.

Wajah Rifky memang bisa membungkam mulut orang-orang, tapi setiap hari aku selalu berhadapan dengan duplikat sosok yang menghancurkan hati dan perasaanku.

Rifky anakku. Aku akan mencintai dan melakukan apapun demi kebahagiaannya.

Lamunaku terhenti ketika ponsel dalam tas berdenting.

[Bagaimana keadaan Rifky?]

Next ....

Selamat Membaca.

Comments (10)
goodnovel comment avatar
Adfazha
menghindari lbh baik ya drpd Aruna mkin menjadi... Tristan jg sm kyk sang istri
goodnovel comment avatar
ORTYA POI
cepat sembuh semangat Bunda untuk menjemput hari esok
goodnovel comment avatar
PiMary
Cepet sembuh ya Rifky,jgn bikin bunda nya khawatir....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Usai Keputusan Cerai   9. Maafkan Bunda

    USAI KEPUTUSAN CERAI - Maafkan BundaDuh, Tristan ini memang cari masalah. Bukankah bininya ada di kantor tadi? Maunya apa sih. Dia sama saja kayak Arham.Kuletakkan ponsel di atas meja. Membalas pesannya hanya akan menciptakan permasalahan makin ke mana-mana. Kembali kupandangi Rifky yang terlelap. Selang infus menancap di lengannya yang kecil, membuat hatiku perih.Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hati yang sesak. Tangan kecil Rifky kusentuh pelan. "Sembuh, ya, Nak," bisikku.Ponsel kembali bergetar di atas meja. Lagi-lagi nama Tristan muncul di layar. Kali ini dia menelepon. Nekat sekali orang ini. Aku mengabaikannya. Lalu menekan tombol 'silent' dan memasukkan ponsel ke dalam tas. Aku tidak ingin mendengar suara siapa pun saat ini.Rifky menggerakkan jemari, tubuhnya menggeliat pelan. Aku langsung mendekat, menelusuri wajah mungilnya yang mulai bergerak. Matanya terbuka tampak sayu."Unda," suaranya serak."Iya, Sayang. Bunda di sini." Aku tersenyum.Dia mena

    Last Updated : 2025-02-09
  • Usai Keputusan Cerai   10. Bertemu

    USAI KEPUTUSAN CERAI - Bertemu "Aku suka dengan perempuan sepertimu."Aku terhenyak dan berusaha tetap tenang. Cari penyakit jika meladeni. "Mari kita lanjutkan pembahasan yang kemarin, Pak," ujarku mengalihkan pembicaraan."Saya serius!" ucapnya."Saya juga serius, Pak. Di sini saya bekerja bukan menggoda bos. Bukan menggoda suami orang. Saya cari uang bukan mencari cinta."Tristan tersenyum miring lantas menegakkan duduknya dan menyalakan laptop. Kami mulai membahas masalah keuangan dalam projek dengan serius. Dari sudut mata, aku bisa melihat lelaki kaya ini sering diam sejenak memandangku. Lima belas menit kemudian, masuk tiga orang yang menjadi tim inti kerja kami. Aku senang ada yang lainnya daripada hanya berdua dengan bos genit ini."Nggak perlu menatap curiga dengan saya dan Hilya. Kami bekerja secara profesional. Tentang gosip dan video kemarin, tolong abaikan." Tristan berkata pada timnya yang baru datang. Mencegah dan mengultimatum pada stafnya yang menatap aneh pada ka

    Last Updated : 2025-02-10
  • Usai Keputusan Cerai   11. Maunya Apa?

    USAI KEPUTUSAN CERAI - Maunya apa?Panggilan itu membuatku menoleh. Mas Arham berdiri menenteng godie bag di tangannya. Perlahan lelaki itu mendekat."Titip ini buat Rifky. Aku janjiin beliin robot buat dia. Nunggu hari Minggu nanti kelamaan," ujarnya seraya mengulurkan godie bag padaku."Terima kasih." Aku mengambil goodie bag itu tanpa banyak bicara. Tapi saat aku hendak berbalik, dia tiba-tiba berbicara lagi."Hilya."Aku berhenti dan kembali menoleh."Aku minta maaf."Aku menatapnya dengan dingin.Dia terdiam. Rahangnya mengencang. Seolah ada banyak hal yang ingin dia katakan, tapi tidak tahu harus mulai dari mana."Maaf, Pak Arham. Saya ingin pulang. Untuk urusan pekerjaan, bisa kita bahas dipertemuan berikutnya," kataku formal setelah dia diam tak segera bicara."Aku minta maaf, Hilya." Dia menatapku dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ada luka, ada penyesalan. Tapi aku sudah terlalu lelah untuk peduli dan itu bukan urusanku lagi. Kuletakkan godie bag di cantolan motor lantas

    Last Updated : 2025-02-11
  • Usai Keputusan Cerai   12. Tidak Mudah

    USAI KEPUTUSAN CERAI - Tidak Mudah "Hari ini kita pulang, Sayang," ujarku pada Rifky yang duduk di atas tempat tidur. Seorang perawat tengah melepas selang infusnya.Rifky menangis. Mungkin agak sakit. Aku buru-buru meraih dan menggendongnya. Mengusap lembut punggungnya. Sedangkan Mbak Asmi yang baru kembali mengantarkan Yazid pulang karena harus sekolah, langsung berkemas-kemas. Saat itu jarum jam menunjukkan pukul delapan pagi."Kamu sama Rifky naik taksi saja, biar mbak pulang naik motor," kata Mbak Asmi setelah barang-barang beres semua."Apa nggak Mbak saja yang naik taksi sama Rifky.""Nggak usah. Rifky mau sama kamu itu. Yuk, kita pulang sekarang."Aku menggendong Rifky, Mbak Asmi membawa barang-barang kami. Pagi itu lorong klinik lumayan ramai oleh pembesuk.Sepuluh menit kemudian, kami sudah sampai di rumah. Rifky langsung diseka dan digantikan baju oleh Mbak Asmi, sementara aku bersiap-siap berangkat ke kantor. "Assalamu'alaikum." Suara di depan membuatku terkejut. "Wa

    Last Updated : 2025-02-12
  • Usai Keputusan Cerai   13. Tahu Diri 1

    USAI KEPUTUSAN CERAI - Tahu Diri "Assalamu'alaikum." Seorang wanita anggun berpakaian syar'i mengucap salam. Di belakangnya, Mas Arham mengikuti."Wa'alaikumsalam," jawabku dan Mbak Asmi bersamaan.Kami bersalaman dan dia memelukku erat. Namanya Mbak Yana. Kakak kandungnya Mas Arham. Mereka tiga bersaudara dan Mas Arham anak nomer dua, satu-satunya lelaki. "Apa kabar, Hilya?" tanyanya memandangku. Matanya basah saat itu. Kami sudah lama sekali tidak bertemu. Semenjak aku dan Mas Arham berpisah."Kabar baik, Mbak. Silakan duduk," jawabku sopan. Kuraih Rifky dan membimbingnya bersalaman dengan Mbak Yana. Namun Rifky memelukku erat. Dia takut karena tidak pernah bertemu."Rifky sayang. Ikut budhe, yuk. Katanya kamu baru sembuh dari sakit, ya?" Mbak Yana membujuk, tapi Rifky tetap menolak. Sampai wanita itu menangis. Rifky tidak mau memandang dan melingkarkan tangan kecilnya di leherku.Kami berbasa-basi sebentar. "Hilya, kamu nggak ikut pergi bersama kami untuk bertemu Mama?""Mbak As

    Last Updated : 2025-02-13
  • Usai Keputusan Cerai   14. Tahu Diri 2

    Ingat semua kenangan pahit itu, aku buru-buru menyeka pipi, tapi semakin aku berusaha menahan, semakin deras alirannya. Ingatan itu datang lagi, seperti ombak yang terus menghantam.Aku pernah menahan diri untuk tidak membeli apa yang kuinginkan, hanya agar kebutuhan kami tercukupi. Aku bahkan rela memakai baju lama berulang kali untuk acara non resmi ke kantor, sementara teman-temanku sudah berganti mode setiap musim. Make-up? Aku hanya membeli yang paling murah, sekadar agar wajahku tidak terlihat pucat.Semua itu kulakukan demi Mas Arham.Kukejar mimpinya lebih dari aku mengejar mimpiku sendiri. Aku ingin dia berhasil, ingin dia bangga berdiri di puncak kariernya, sementara aku tersenyum puas di sampingnya.Tapi kenyataannya ....Dia berdiri di puncak tanpa aku di sisinya.Dan lebih menyakitkan lagi, dia berdiri bersama perempuan lain yang pernah mengkhianatinya. Mungkin ini yang benar-benar membuatku sakit.Rasa sakit ini masih saja sama seperti dulu. Aku tersenyum getir. Aku pura

    Last Updated : 2025-02-13
  • Usai Keputusan Cerai   15. Tahu Diri 3

    Malamnya setelah anak-anak tidur. Aku dan Mbak Asmi duduk di depan televisi. Sambil mencatat barang-barang toko yang akan dipesan besok pagi, Mbak Asmi bercerita."Mbak juga bertemu Artika tadi."Dadaku perih mendengar nama itu disebut. Padahal aku tidak pernah bertemu dia setelah aku dan Mas Arham berpisah. Terakhir aku melihatnya menunggu di mobil, saat Mas Arham datang ke rumah mengantarkan susu dan mainannya Rifky."Sepertinya Atika nggak seberapa dianggap oleh keluarga Arham, Hil. Dia terlihat ceria, tertawa-tawa, sok mengakrabkan diri dengan ipar-iparnya. Namun mereka hanya menanggapi sekilas saja.""Mantan mama mertuamu, budhenya, dan buleknya Arham malah sibuk nanyain kabarmu. Bu Rida sebenarnya pengen sekali bertemu kamu sebelum berangkat ke Bali. "Hari ini tasyakuran karena Bu Rida sudah sembuh dan bisa berjalan lagi meski pelan-pelan. Pas Mbak Yana pulang juga dari Bali. Jadi keluarga berkumpul semua."Aku tetap mendengarkan seraya memandang layar televisi yang menyala."M

    Last Updated : 2025-02-13
  • Usai Keputusan Cerai   16. Akhirnya Tahu 1

    USAI KEPUTUSAN CERAI- Akhirnya TahuAku melangkah meninggalkan dua perempuan yang menatapku geram. Menunggu Ika dan Ani di depan toilet. Tidak lama kemudian mereka keluar dan kami melangkah ke arah eskalator.Sama sekali aku tidak memberitahu tentang pertemuanku dengan Aruna dan Atika. Kami hendak memanfaatkan waktu ini untuk bersenang-senang. Me time disela kesibukan sebagai perempuan pekerja dan ibu rumah tangga.Ika dan Ani juga punya permasalahan sendiri. Jadi urusan tadi tak ada hubungannya dengan mereka. Aku sendiri malas membahas apalagi mengajak teman untuk mengeroyok mereka.Dan aku tidak menoleh juga saat menaiki eskalator. Bodo amat dengan dua wanita yang ternyata bestie-an."Hilya, kamu mau makan apa?" tanya Ika setelah kami mengambil tempat duduk."Nasi goreng saja," jawabku seraya memandang stand nasi goreng yang agak sepi."Nggak deh, nasi goreng bisa kita beli di luar kalau mau. Tiap hari kita sudah sering makan nasi goreng di kantin. Apa kamu nggak bosan." Ika malah

    Last Updated : 2025-02-14

Latest chapter

  • Usai Keputusan Cerai   90. Tiga Hati di Semarang 3

    Namun ia sudah terjebak ke dalam labirin yang tidak tahu di mana jalan keluarnya. Seumur hidup, sungguh terlalu lama. Sementara itu ponsel Tristan yang tergeletak di meja, layarnya menyala. Sebuah pesan masuk dari Bre.[Kamu di mana, Bro? Jadi ke Semarang.][Ya. Aku di Semarang sekarang.][Semarangnya mana?][Aku nginap Hotel Mustika.][Aku juga ada di Semarang. Bisa kita ketemuan? Aku tidak jauh dari situ.]Tristan terdiam. Bagaimana ini bisa kebetulan sekali. Bertemu di tempat yang sama padahal Semarang begitu luasnya. Beberapa hari yang lalu, ia memang memberitahu Bre kalau ada pekerjaan di Semarang. Tapi kenapa bisa sama, padahal kemarin Bre tidak bilang apa-apa.Tristan menegakkan tubuh, rahangnya mengeras. Dia ingin menghabiskan waktu dengan Hilya malam ini. Dia tidak ingin gangguan. Namun menolak Bre juga bukan pilihan. Sebab selama ini dia merahasiakan siapa wanita yang membuatnya mendua.Akhirnya Tristan mengiyakan.Setengah jam kemudian, seorang pria tinggi dengan kemeja na

  • Usai Keputusan Cerai   89. Tiga Hati di Semarang 2

    Namun Bre kian resah karena belum ada pesan masuk dari Hilya. Yang pasti sekarang Hilya sudah ada di kantor yang mereka tuju. Apa sesibuk itu, hingga tidak sempat mengirimkan pesan padanya?"Hilya mau kan kamu ajak pindah ke Malang?""Kami akan membahasnya nanti. Masih banyak yang perlu kami bicarakan."Bu Rika manggut-manggut. "Kamu nggak ingin ketemu Hilya dulu sebelum berangkat ke Semarang?""Iya, nanti kami ketemuan." Bre tidak ingin menceritakan keresahannya pada sang mama. Daripada nanti jadi kepikiran. Yang jelas, dia tidak akan membiarkan Hilya terlepas."Sebelum berangkat, kamu makan siang dulu. Bentar, mama siapin." Bu Rika beranjak ke belakang. Menghampiri ART-nya yang tengah memasak. Sedangkan Bre buru-buru meraih ponselnya di atas meja saat benda pipih itu berpendar. Keresahannya spontan berubah kelegaan saat Hilya mengirimkan nama dan alamat hotel tempat mereka menginap. Juga mengirimkan informasi alamat terkini.[Oke. Kita ketemu di situ ya.][Iya.] Jawaban singkat dar

  • Usai Keputusan Cerai   88. Tiga Hati di Semarang 1

    USAI KEPUTUSAN CERAI- Tiga Hati di Semarang Author's POV "Pak Bre, saya sudah pesankan tiketnya. Penerbangan jam tiga sore ini." Seorang asisten pribadinya memberitahu Bre di ruangannya."Oke, makasih banyak," jawab Bre seraya menutup laptop. Dilihatnya jam tangan. Baru jam delapan pagi. Tadi Hilya berangkat ke Semarang jam tujuh.Dia harus berangkat sekarang dari Malang ke Juanda. Nanti mampir sebentar ke rumah mamanya. Tadi sengaja berbohong pada Hilya kalau dia sudah ada di Solo, padahal baru mau berangkat dari Malang dan naik pesawat ke Semarang dari Juanda. Jujur saja dia khawatir dengan Hilya yang pergi bersama Tristan. Walaupun Bre kenal baik sama pria itu, tapi dia tidak percaya karena sahabatnya sedang dimabuk kepayang oleh Hilya. Perempuan yang sama-sama mereka cintai.Akan ada cerita berbeda saat Tristan sudah tahu semuanya. Namun ia berharap, persahabatan dan kerjasamanya dengan pria itu tidak akan bermasalah setelah ini. Makanya lebih baik ia berpura-pura tidak tahu t

  • Usai Keputusan Cerai   87. Cincin di Mobil 3

    "Mbak, lusa aku jadi ke Semarang. Sebenarnya ini sudah dijadwalkan Minggu kemarin, tapi di undur lusa. Mungkin dua sampai tiga hari aku di sana. Rifky kira-kira rewel nggak, ya?""Nggak. Kamu tenang saja. Dia manut sama Mbak."Hilya kepikiran Rifky saja kalau dia pergi ke luar kota. Biasanya hanya dua hari saja dia pergi, sekarang tiga hari."Untuk Bre, kalau menurut mbak. Jangan ragu, pandang dia yang sekarang, jangan lihat masa lalunya. Ayo, tidur. Mbak sudah ngantuk."Keduanya bangkit dari karpet dan masuk ke kamar masing-masing. Hilya berbaring menghadap Rifky yang memeluk guling. Diusapnya pelan pipi halusnya. Dialah cinta sejati bagi Hilya. Yang bisa mengobati rasa lelah hanya dengan tatapan matanya yang bening. Hilya bergerak pelan untuk mengecup kening Rifky. Kemudian memeluk kaki kecil itu dan dia pun memejam.🖤LS🖤"Hilya, ada pesan dari Arham." Mbak Asmi menunjukkan ponselnya pada Hilya.[Mbak, maaf kalau dalam beberapa waktu ke depan saya nggak datang menjenguk Rifky. Na

  • Usai Keputusan Cerai   86. Cincin di Mobil 2

    Omongan Pak Ardi yang ngelantur membuat Tristan menghela nafas panjang. "Saya tegaskan, Pa. Hubungan saya dengan Hilya, hanya sebatas tentang pekerjaan."Aruna yang sejak tadi diam saja, akhirnya juga ikut bicara. "Sudah, Pa. Jangan membahas hal ini lagi. Kami baik-baik saja, Papa nggak perlu khawatir." "Kamu tahu apa, Runa. Jangan sampai suamimu direbut perempuan lain, baru kamu nangis-nangis.""Aku nggak mau membahas ini lagi, Pa," sangkal Aruna. Dia ingat ucapan suaminya, kalau sampai mengusik Hilya, maka hubungan mereka yang menjadi taruhannya. "Lihat ini, Pa. Mas Tristan barusan ngasih hadiah." Aruna menunjukkan cincin berlian di jari manisnya. Pak Ardi dan istrinya memperhatikan.Selesai bicara, Aruna bangkit dari duduknya dan mengajak suaminya pamitan. "Kami pulang dulu, Pa. Aku lega Papa sudah jauh lebih baik." Aruna mencium tangan papa dan mamanya. Begitu juga dengan Tristan. Lantas mereka melangkah keluar kamar.Pak Ardi tampak kecewa. Anak yang dibelanya agar tidak diseli

  • Usai Keputusan Cerai   85. Cincin di Mobil 1

    USAI KEPUTUSAN CERAI - Cincin di Mobil Author's POV "Mas, beli ini untukku?" Aruna terbeliak kaget, sekaligus berbinar menemukan kotak perhiasan berbentuk hati warna merah jambu yang terletak di dasbor mobilnya Tristan.Senyumnya lebar saat ia membuka dan melihat ada sebentuk cincin berlian di dalamnya.Tristan yang baru duduk dan menutup pintu pun terkejut. Tidak mengira kalau istrinya membuka dasbor mobil, di mana ia menyimpan hadiah ulang tahun yang akan diberikan pada Hilya."Ini untukku, kan? Atau untuk selingkuhanmu?" tanya Aruna yang mulai tidak yakin kalau itu dibeli Tristan untuknya. Karena Tristan jarang memberikan kejutan. Kalau menginginkan sesuatu, Aruna hanya memberitahu suaminya, setelah itu pergi beli sendiri. Tristan berdecak jengkel. "Aku nggak punya selingkuhan. Nggak usah mengada-ada, Runa. Itu kubeli untukmu. Pas nggak di jarimu?" jawab Tristan seraya menyalakan mesin mobil dan bergerak pelan meninggalkan garasi. Mereka hendak ke rumah orang tua Aruna. Menjeng

  • Usai Keputusan Cerai   84. Hanya Berdua 3

    Bre juga menceritakan sekilas tentang berbagai kecurangan dan permusuhan dengan keluarga Livia. Kemudian hubungan mereka kembali membaik setelah beberapa tahun kemudian. Pria itu juga menceritakan pernikahan keduanya dengan Agatha. Ini yang mengejutkan bagi Hilya. Karena ia berpikir, Bre hanya pernah menikah sekali saja."Saya tidak pernah menyentuh Agatha selama menikah. Biar dia bisa merasakan kebahagiaan dengan lelaki yang akan mencintainya setulus hati. Agar Agatha tidak seperti mama, yang diperlakukan seperti istri tapi tidak diberi hati sama sekali."Kalau ikutkan nafsu, lelaki pasti bernafsu. Tapi saya tidak ingin melakukan itu. Supaya dia bisa bahagia dengan pasangan barunya.""Sekarang Mbak Agatha sudah menikah?""Belum. Dia tinggal di Singapura hanya sesekali pulang ke Surabaya. Tapi kamu tidak usah khawatir, saya dan Agatha benar-benar sudah berakhir di saat putusan cerai dari pengadilan agama. Hubungan kami membaik, tapi tidak akrab juga. Dengan Livia, Hutama Jaya ada hubu

  • Usai Keputusan Cerai   83. Hanya Berdua 2

    Dari jendela taksi yang membawanya malam itu, Hilya memperhatikan sepanjang perjalanan menuju kafe tempat ia akan bertemu Bre. Hanya berdua saja."Yakinkan hatimu, bahwa langkah yang kamu ambil ini tepat. Mbak 100% mendukungmu. Budhe juga mendukung. Mbak sudah cerita pada beliau tadi pagi." Mbak Asmi yang menungguinya bersiap berkata seperti itu tadi."Sebenarnya aku juga pengen Mbak Asmi juga menikah lagi." Hilya memandang sang kakak."Jangan tunggu mbak. Pokoknya kamu jangan abaikan kesempatan ini. Pria seperti Bre nggak akan datang dua kali, Hilya."Hilya sebenarnya tidak sampai hati kalau harus menikah lebih dulu. Namun kakaknya yang justru mendesak agar Hilya segera menerima Bre.Akhirnya taksi berhenti di depan sebuah kafe dua lantai di salah satu sudut kota Surabaya. Bre sudah menunggunya di teras. Kemudian langsung mengajaknya naik ke lantai dua. Mereka disambut dengan lampu-lampu redup yang menciptakan nuansa romantis. Dinding interior dihiasi dengan lukisan abstrak berwarna

  • Usai Keputusan Cerai   82. Hanya Berdua 1

    USAI KEPUTUSAN CERAI- Hanya Berdua Author's POV "Bagaimana rasanya diperjuangkan, Hilya? Selama ini kamu yang selalu berjuang dan bertahan. Dengan Arham sebagai suami atau dengan mantan pacarmu yang sama-sama nggak tahu diri itu. Sekarang kamu tahu bagaimana seorang laki-laki itu berjuang untuk mendapatkanmu. Bahkan sepaket dengan keluargamu juga, bisa diterima dia apa adanya."Hilya tersenyum sambil mengunyah nasi. Kalau dibilang 100% ia percaya Bre, tidak juga. Sudah berulang kali terluka, membuat Hilya tidak segampang itu memberikan semua kepercayaannya. Namun ia tetap berusaha untuk menghargai seseorang yang telah berupaya memperjuangkannya."Tapi kita akan berpisah, Hil," ujar Ani memicu kesedihan mereka lagi."Nggak mungkin kamu akan bertahan di Global, sedangkan Mas Bre juga memiliki perusahaan sendiri," lanjut Ani."Tapi sesekali kita masih bisa bertemu, An. Kita kan bisa berkunjung ke Malang atau sebaliknya. Via tol kan cepat," kata Ika."Arham bakalan berjauhan sama anakn

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status