USAI KEPUTUSAN CERAI
- Cemas "Jangan pandangi saya seperti itu, Pak. Tatapan Pak Tristan bisa menimbulkan banyak masalah bagi saya," ujarku pelan tapi penuh penekanan. "Saya tidak ingin permasalahan pagi tadi berkelanjutan," lanjutku memohon. Karena aku capek sekali dengan banyaknya permasalahan dalam hidupku. Tristan mengatai Mas Arham, apa ia tidak sadar kalau dirinya juga hampir seperti mantanku itu. Punya istri tapi menggoda perempuan lain. Janda pula itu. "Kalau kita saling menghindar. Malah dikira kita memang ada hubungan. Santai saja." Pria itu mencondongkan tubuhnya ke depan. Spontan aku menarik diri ke belakang. Kemudian memperhatikan sekeliling, siapa tahu ada yang melihat ke arah kami. "Pak Tristan, bisa saja santai tapi imbasnya ke saya. Tolonglah saya di sini untuk bekerja. Saya single mom, tolong hargai saya." Baru kali ini aku benar-benar memohon pada pria itu. Tak mengapa demi tetap bertahan kerja karena aku belum siap mencari pekerjaan lainnya. Di sini gaji bagus dan dekat dengan rumah. Aku tidak butuh simpati. Aku hanya ingin hidupku kembali berjalan seperti biasa. Tenang dan nyaman. "Arham nggak ngurusi anaknya?" "Masih. Tapi saya juga ada tanggung jawab lainnya. Tolong jangan mempersulit permasalahan saya. Kalau Pak Tristan tidak bisa memindahkan saya, biar saya bicara langsung pada Pak Fadlan." Lelaki dihadapanku terdiam beberapa saat. Kemudian membuka berkas. "Kita bahas mengenai projek dan laporanmu tadi pagi," ujarnya mengalihkan topik pembicaraan. Tristan memang kenal baik dengan Mas Arham. Mereka dipertemukan dalam urusan pekerjaan. Projek yang berulangkali ditangani bersama. Maka tak heran, Tristan tahu semua permasalahanku dengan Mas Arham. Ketika aku tengah serius memperhatikan pembicaraan kami, ponsel di saku baju kerjaku berdering. Namun kuabaikan. "Angkat dulu teleponmu daripada mengganggu pembahasan kerja," ujar Tristan tampak terganggu karena ponselku kembali berdering. Mbak Asmi menelepon. Ada apa? Jantungku berdebar kencang. Khawatir terjadi sesuatu di rumah. Tak biasanya dia menelepon di jam kerja. Untuk memberitahu tentang sesuatu, cukup mengirimkan pesan. "Ya, Mbak. Aku lagi meeting sama bos," jawabku lirih. "Rifky demam tinggi, Hil. Sampai 40°. Sekarang mbak bawa ke klinik dan dokter bilang harus opname." Aku mematung dan tanganku gemetar. Perlahan tubuhku lemas. "Tapi kamu jangan khawatir. Ini sudah diinfus dan Rifky nggak rewel. Dia masih mau ngemil ini. Mbak hanya ngasih tahu kamu. Nanti sepulang kerja, langsung saja ke klinik Harapan Medika." "Oh, iya." Mbak Asmi menyudahi panggilan. Degup jantungku masih berpacu hebat. Rifky. Kupikir dia sudah baik-baik saja setelah minum obat tadi pagi sebelum aku berangkat kerja. Memang sejak kemarin pagi, anak itu meriang. "Ada apa?" tanya Tristan. "Tidak ada apa-apa, Pak. Mari kita lanjutkan pembicaraan tadi supaya lekas selesai," jawabku setenang mungkin. "Pulanglah! Anakmu sakit, kan?" Rupanya dia menguping pembicaraanku. Padahal aku sudah berkata lirih dan menutupi dengan tangan. "Tidak usah, Pak. Rifky sudah ditangani sama dokter." Aku kembali fokus pada berkas. Namun lelaki itu spontan menutup berkasku. "Kamu pulang saja. Kita bisa melanjutkannya besok." Tristan memandangku. Beberapa detik kemudian aku mengangguk. "Terima kasih, Pak." Aku memberesi berkas dan membawa tablet kembali ke meja kerja. Saat merapikan mejaku, Ani menghampiri. "Kamu mau ke mana?" "Anakku opname di klinik, An. Aku pulang dulu. Pak Tristan sudah ngasih izin." "Rifky sakit apa?" Ani terlihat kaget dan cemas. "Demam. Aku pulang dulu, ya." "Ya, hati-hati bawa motornya. Semoga Rifky lekas sembuh." "Aamiin." Aku bergegas melangkah melewati para staf yang sibuk. Mereka tampak kaget dan bingung melihatku tergesa. Mungkin ada yang mengira kalau aku diberhentikan kerja. Saat masih mengenakan jaket di dekat motor, tiba-tiba ada yang menghampiriku. Aroma parfum mahalnya terhidu dipenciuman. Aku menoleh ke belakang. Wanita cantik itu bersedekap memperhatikan. Wajahnya tampak puas melihatku pulang sebelum jam kerja usai. Apa dia juga berpikir kalau aku dipecat? Aruna pasti sudah tahu kalau aku tadi di sidang di ruangan Big Bos. Tahu tentang kekisruhan di ruang kerja. Pasti asistennya yang memberikan laporan. "Hmm, rupanya ini hari terakhir kamu kerja di sini," ujarnya sinis. "Kalau dapat pekerjaan baru, baik-baik ya kamu di sana. Jangan menggoda bos dan suami orang lagi," lanjutnya yang terdengar begitu menyakitkan. Aku memakai helm dan mengabaikan ucapannya. Tidak ada waktu untuk meladeni. Terserah dia mau bilang apa aku tidak peduli. Yang berkuasa di sini adalah Pak Fadlan dan Tristan. Aku akan lebih mendengarkan mereka daripada Aruna. Meski dia menantu di perusahaan ini. Senyum wanita itu kian lebar saat melihatku pergi tanpa kata-kata. Dia mungkin merasa menang karena telah berhasil membuatku dibuang. Bodo amat, Aruna. Hanya membuang waktu untuk meladenimu. Motor kupacu cepat di tengah terik matahari yang mulai condong ke barat. Musim kemarau yang membakar bumi. Aku berhenti sejenak di toko mainan. Membeli helikopter mainan kesukaan Rifky. Supaya dia senang dan lekas sembuh. Sesampainya di klinik aku melangkah cepat menuju kamar perawatannya. Saat pintu kubuka perlahan, Mbak Asmi meletakkan telunjuknya di depan bibir. Rupanya Rifky sedang tertidur. Yazid yang tengah duduk membaca buku lekas berdiri dan mencium tanganku. Dia masih memakai seragam sekolah. "Panasnya sudah turun, Mbak?" tanyaku lirih. "Alhamdulillah, sudah. Hasil tes darahnya hanya menunjukkan trombosit turun. Tapi untuk DB dan typusnya negatif. Mungkin karena radang juga, kemarin Rifky bilang tenggorokannya sakit, kan?" Aku mengangguk. "Tadi panas banget sampai mbak panik, Hil. Tapi Rifky masih berlari menyambut kakaknya pulang sekolah. Setelah mbak gendong, suhu tubuhnya tinggi banget. Akhirnya mbak bawa ke klinik. Yazid yang megangin adiknya waktu mbak boceng." Cerita Mbak Asmi membuat mataku memanas. Terharu sekaligus lega. Andai tanpa mereka, aku bisa apa. Kutarik kursi dan duduk tepat di sebelah tempat tidur Rifky. Aku hanya memandanginya. Khawatir kalau kusentuh, dia bakalan terbangun. "Arham dikabari, nggak?" tanya Mbak Asmi. Sebab dia yang mempunyai nomor ponsel mantan suamiku itu. Sudah lama nomernya kublokir. Jadi kalau ada apa-apa, Mas Arham bertanya pada Mbak Asmi. "Nggak usah, Mbak." "Kalau gitu mbak tinggal pulang dulu. Biar Yazid ganti baju sekalian mandi dan langsung kembali ke sini." "Ya." Aku mengangguk. "Bawakan baju ganti untukku." Mbak Asmi mengiyakan lantas mengajak anaknya pulang. Air mataku berjatuhan saat memandang tubuh kecil yang terbaring dengan selang infus di tangannya. Bibirnya kemerahan dan terlihat agak kering. Wajah itu milik Mas Arham semua. Seolah ingin menunjukkan pada dunia dan membungkam suara-suara sumbang dari orang yang menyudutkan dan menghakimiku kala itu. "Baru juga cerai, sekarang malah hamil sama lelaki lain." "Bisa jadi yang dikandung itu bukan anak suaminya. Makanya dicerai. Arham loh kalem, ramah, dan nggak neko-neko." Ya, orang melihat Mas Arham memang sebaik itu. Benar yang dikatakan orang, istrilah yang paling tahu siapa suaminya daripada ibu, saudara-saudaranya, apalagi orang lain. Tapi mulut-mulut itu sekarang bungkam setelah melihat Rifky adalah versi kecil dari papanya. Wajah Rifky memang bisa membungkam mulut orang-orang, tapi setiap hari aku selalu berhadapan dengan duplikat sosok yang menghancurkan hati dan perasaanku. Rifky anakku. Aku akan mencintai dan melakukan apapun demi kebahagiaannya. Lamunaku terhenti ketika ponsel dalam tas berdenting. [Bagaimana keadaan Rifky?] Next .... Selamat Membaca.USAI KEPUTUSAN CERAI - Maafkan BundaDuh, Tristan ini memang cari masalah. Bukankah bininya ada di kantor tadi? Maunya apa sih. Dia sama saja kayak Arham.Kuletakkan ponsel di atas meja. Membalas pesannya hanya akan menciptakan permasalahan makin ke mana-mana. Kembali kupandangi Rifky yang terlelap. Selang infus menancap di lengannya yang kecil, membuat hatiku perih.Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hati yang sesak. Tangan kecil Rifky kusentuh pelan. "Sembuh, ya, Nak," bisikku.Ponsel kembali bergetar di atas meja. Lagi-lagi nama Tristan muncul di layar. Kali ini dia menelepon. Nekat sekali orang ini. Aku mengabaikannya. Lalu menekan tombol 'silent' dan memasukkan ponsel ke dalam tas. Aku tidak ingin mendengar suara siapa pun saat ini.Rifky menggerakkan jemari, tubuhnya menggeliat pelan. Aku langsung mendekat, menelusuri wajah mungilnya yang mulai bergerak. Matanya terbuka tampak sayu."Unda," suaranya serak."Iya, Sayang. Bunda di sini." Aku tersenyum.Dia mena
USAI KEPUTUSAN CERAI - Bertemu "Aku suka dengan perempuan sepertimu."Aku terhenyak dan berusaha tetap tenang. Cari penyakit jika meladeni. "Mari kita lanjutkan pembahasan yang kemarin, Pak," ujarku mengalihkan pembicaraan."Saya serius!" ucapnya."Saya juga serius, Pak. Di sini saya bekerja bukan menggoda bos. Bukan menggoda suami orang. Saya cari uang bukan mencari cinta."Tristan tersenyum miring lantas menegakkan duduknya dan menyalakan laptop. Kami mulai membahas masalah keuangan dalam projek dengan serius. Dari sudut mata, aku bisa melihat lelaki kaya ini sering diam sejenak memandangku. Lima belas menit kemudian, masuk tiga orang yang menjadi tim inti kerja kami. Aku senang ada yang lainnya daripada hanya berdua dengan bos genit ini."Nggak perlu menatap curiga dengan saya dan Hilya. Kami bekerja secara profesional. Tentang gosip dan video kemarin, tolong abaikan." Tristan berkata pada timnya yang baru datang. Mencegah dan mengultimatum pada stafnya yang menatap aneh pada ka
USAI KEPUTUSAN CERAI - Maunya apa?Panggilan itu membuatku menoleh. Mas Arham berdiri menenteng godie bag di tangannya. Perlahan lelaki itu mendekat."Titip ini buat Rifky. Aku janjiin beliin robot buat dia. Nunggu hari Minggu nanti kelamaan," ujarnya seraya mengulurkan godie bag padaku."Terima kasih." Aku mengambil goodie bag itu tanpa banyak bicara. Tapi saat aku hendak berbalik, dia tiba-tiba berbicara lagi."Hilya."Aku berhenti dan kembali menoleh."Aku minta maaf."Aku menatapnya dengan dingin.Dia terdiam. Rahangnya mengencang. Seolah ada banyak hal yang ingin dia katakan, tapi tidak tahu harus mulai dari mana."Maaf, Pak Arham. Saya ingin pulang. Untuk urusan pekerjaan, bisa kita bahas dipertemuan berikutnya," kataku formal setelah dia diam tak segera bicara."Aku minta maaf, Hilya." Dia menatapku dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ada luka, ada penyesalan. Tapi aku sudah terlalu lelah untuk peduli dan itu bukan urusanku lagi. Kuletakkan godie bag di cantolan motor lantas
USAI KEPUTUSAN CERAI - Tidak Mudah "Hari ini kita pulang, Sayang," ujarku pada Rifky yang duduk di atas tempat tidur. Seorang perawat tengah melepas selang infusnya.Rifky menangis. Mungkin agak sakit. Aku buru-buru meraih dan menggendongnya. Mengusap lembut punggungnya. Sedangkan Mbak Asmi yang baru kembali mengantarkan Yazid pulang karena harus sekolah, langsung berkemas-kemas. Saat itu jarum jam menunjukkan pukul delapan pagi."Kamu sama Rifky naik taksi saja, biar mbak pulang naik motor," kata Mbak Asmi setelah barang-barang beres semua."Apa nggak Mbak saja yang naik taksi sama Rifky.""Nggak usah. Rifky mau sama kamu itu. Yuk, kita pulang sekarang."Aku menggendong Rifky, Mbak Asmi membawa barang-barang kami. Pagi itu lorong klinik lumayan ramai oleh pembesuk.Sepuluh menit kemudian, kami sudah sampai di rumah. Rifky langsung diseka dan digantikan baju oleh Mbak Asmi, sementara aku bersiap-siap berangkat ke kantor. "Assalamu'alaikum." Suara di depan membuatku terkejut. "Wa
USAI KEPUTUSAN CERAI - Tahu Diri "Assalamu'alaikum." Seorang wanita anggun berpakaian syar'i mengucap salam. Di belakangnya, Mas Arham mengikuti."Wa'alaikumsalam," jawabku dan Mbak Asmi bersamaan.Kami bersalaman dan dia memelukku erat. Namanya Mbak Yana. Kakak kandungnya Mas Arham. Mereka tiga bersaudara dan Mas Arham anak nomer dua, satu-satunya lelaki. "Apa kabar, Hilya?" tanyanya memandangku. Matanya basah saat itu. Kami sudah lama sekali tidak bertemu. Semenjak aku dan Mas Arham berpisah."Kabar baik, Mbak. Silakan duduk," jawabku sopan. Kuraih Rifky dan membimbingnya bersalaman dengan Mbak Yana. Namun Rifky memelukku erat. Dia takut karena tidak pernah bertemu."Rifky sayang. Ikut budhe, yuk. Katanya kamu baru sembuh dari sakit, ya?" Mbak Yana membujuk, tapi Rifky tetap menolak. Sampai wanita itu menangis. Rifky tidak mau memandang dan melingkarkan tangan kecilnya di leherku.Kami berbasa-basi sebentar. "Hilya, kamu nggak ikut pergi bersama kami untuk bertemu Mama?""Mbak As
Ingat semua kenangan pahit itu, aku buru-buru menyeka pipi, tapi semakin aku berusaha menahan, semakin deras alirannya. Ingatan itu datang lagi, seperti ombak yang terus menghantam.Aku pernah menahan diri untuk tidak membeli apa yang kuinginkan, hanya agar kebutuhan kami tercukupi. Aku bahkan rela memakai baju lama berulang kali untuk acara non resmi ke kantor, sementara teman-temanku sudah berganti mode setiap musim. Make-up? Aku hanya membeli yang paling murah, sekadar agar wajahku tidak terlihat pucat.Semua itu kulakukan demi Mas Arham.Kukejar mimpinya lebih dari aku mengejar mimpiku sendiri. Aku ingin dia berhasil, ingin dia bangga berdiri di puncak kariernya, sementara aku tersenyum puas di sampingnya.Tapi kenyataannya ....Dia berdiri di puncak tanpa aku di sisinya.Dan lebih menyakitkan lagi, dia berdiri bersama perempuan lain yang pernah mengkhianatinya. Mungkin ini yang benar-benar membuatku sakit.Rasa sakit ini masih saja sama seperti dulu. Aku tersenyum getir. Aku pura
Malamnya setelah anak-anak tidur. Aku dan Mbak Asmi duduk di depan televisi. Sambil mencatat barang-barang toko yang akan dipesan besok pagi, Mbak Asmi bercerita."Mbak juga bertemu Artika tadi."Dadaku perih mendengar nama itu disebut. Padahal aku tidak pernah bertemu dia setelah aku dan Mas Arham berpisah. Terakhir aku melihatnya menunggu di mobil, saat Mas Arham datang ke rumah mengantarkan susu dan mainannya Rifky."Sepertinya Atika nggak seberapa dianggap oleh keluarga Arham, Hil. Dia terlihat ceria, tertawa-tawa, sok mengakrabkan diri dengan ipar-iparnya. Namun mereka hanya menanggapi sekilas saja.""Mantan mama mertuamu, budhenya, dan buleknya Arham malah sibuk nanyain kabarmu. Bu Rida sebenarnya pengen sekali bertemu kamu sebelum berangkat ke Bali. "Hari ini tasyakuran karena Bu Rida sudah sembuh dan bisa berjalan lagi meski pelan-pelan. Pas Mbak Yana pulang juga dari Bali. Jadi keluarga berkumpul semua."Aku tetap mendengarkan seraya memandang layar televisi yang menyala."M
USAI KEPUTUSAN CERAI- Akhirnya TahuAku melangkah meninggalkan dua perempuan yang menatapku geram. Menunggu Ika dan Ani di depan toilet. Tidak lama kemudian mereka keluar dan kami melangkah ke arah eskalator.Sama sekali aku tidak memberitahu tentang pertemuanku dengan Aruna dan Atika. Kami hendak memanfaatkan waktu ini untuk bersenang-senang. Me time disela kesibukan sebagai perempuan pekerja dan ibu rumah tangga.Ika dan Ani juga punya permasalahan sendiri. Jadi urusan tadi tak ada hubungannya dengan mereka. Aku sendiri malas membahas apalagi mengajak teman untuk mengeroyok mereka.Dan aku tidak menoleh juga saat menaiki eskalator. Bodo amat dengan dua wanita yang ternyata bestie-an."Hilya, kamu mau makan apa?" tanya Ika setelah kami mengambil tempat duduk."Nasi goreng saja," jawabku seraya memandang stand nasi goreng yang agak sepi."Nggak deh, nasi goreng bisa kita beli di luar kalau mau. Tiap hari kita sudah sering makan nasi goreng di kantin. Apa kamu nggak bosan." Ika malah
Mbak Asmi juga diam. Tak ada air mata yang jatuh. Justru luka yang dulu menganga terasa kembali. Ia telah memaafkan Heru, tapi luka pengkhianatan dan penelantaran itu tidak pernah benar-benar hilang. Bertahun-tahun pula ia berusaha sekuat tenaga menjadi ibu dan sekaligus ayah bagi Yazid. Begitu sulitnya waktu itu."Mas Heru, sekarang tinggal di mana?" tanya Ustadz Izam."Saya sekarang tinggal di Lamongan, Mas. Sudah dua bulan ini." Namun Heru tidak menceritakan kehancuran pernikahan keduanya. Dia hanya bilang kalau sudah menduda. Dulu setelah bercerai dari Mbak Asmi, Heru tinggal di Jakarta bersama selingkuhannya. Lamongan adalah kota asal lelaki itu."Maaf, Ibu di mana. Saya ingin bertemu dan meminta maaf." Heru bicara sambil memandang ke dalam."Ibu sudah meninggal empat tahun yang lalu," jawab Mbak Asmi dengan raut wajah sedih."Innalilahi wa inna ilaihi raji'un." Heru kaget juga. Padahal dia ingin bertemu mantan mertuanya dan memohon maaf. Tapi rupanya sudah terlambat. "Apa kabar
Lelaki itu mengangguk. Dia melangkah ke depan sambil membawa beberapa paper bag di tangannya. Memilih duduk di bangku kayu samping toko. Sedangkan Mbak Asmi masuk ke dalam dan menutup pintu. Ia menidurkan bayinya di bouncer.Dadanya berdegup kencang. Tidak mengira pada akhirnya lelaki itu mencari anaknya. Setelah bercerai, tak pernah memberi nafkah anak. Jangankan mengirim uang untuk kebutuhan anak, bertanya kabar pun tidak pernah. Dia lenyap bersama selingkuhannya seolah hilang ditelan bumi."Ayah sudah di telepon, Kak?" tanya Mbak Asmi pada Yazid yang memegang ponsel milik bundanya."Sudah, Bun. Tapi nggak diangkat. Mungkin ayah sedang diperjalanan.""Iya. Kamu jagain adek dulu ya. Bunda mau nyoba telepon ayah."Yazid mengangguk. Lalu duduk di sebelah sang adik yang tertidur pulas. Mbak Asmi membawa ponsel ke belakang untuk menelepon suaminya. Tadi Ustadz Izam pamit hendak ke rumah sepupunya sebentar. Rumahnya tidak jauh, makanya hanya naik motor.Sementara di luar rumah, Heru, ayah
USAI KEPUTUSAN CERAI- Setelah Tujuh Tahun Author's POV Sinar keemasan mentari pagi memantul di permukaan lantai ruang santai di rumah Tristan. Aruna tengah duduk bersila di atas matras yoga. Usia kandungannya sudah delapan bulan, dan tubuhnya tampak lebih berisi sekarang. Nafasnya teratur saat mengikuti gerakan senam hamil yang rutin ia lakukan melalui panduan video di layar televisi. Sementara itu Tristan mengawasi dari sofa sambil memegang tablet, sesekali memperhatikan ke arah sang istri. Aruna terlihat lebih ceria sekarang, meski tetap jarang bicara kalau tidak benar-benar perlu. Dia masih memasang tirai tipis di antara mereka."Istirahat dulu, Runa. Sudah lama kamu senam pagi ini," seloroh Tristan.Aruna menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada gerakan stretching yang dirancang untuk memperbaiki posisi janin. Bayinya memang sungsang. Untuk menghindari lahiran secara caesar, Aruna rajin melakukan senam agar bisa melahirkan secara normal."Kalau nanti pun harus caesar, nggak a
Matahari di Minggu pagi bersinar lembut di atas pekarangan rumah rumah Bre. Langit sedikit berawan dan embun masih menetes di dedaunan yang tumbuh rapi di sekeliling taman. Di kursi kayu berlapis bantal putih, Bre duduk dengan santai memangku baby Rafka yang baru berusia dua minggu. Si kecil mengenakan topi rajut biru muda, memakai kacamata bundar untuk melindunginya dari silaunya sinar matahari.Di sebelahnya, Rifky duduk di kursi kecil berwarna hijau. Kakinya mengayun-ayun sembari menggenggam botol susu yang sudah setengah kosong. Matanya sesekali melirik adiknya, lalu menatap sang papa dan mereka bercerita."Papa, boleh Rifky cium adek?""Boleh. Pelan-pelan, ya."Rifky bangkit berdiri dan menempelkan pipinya ke pipi adiknya. Rafka bergerak lembut merespon sang kakak. Bre tersenyum melihat tingkah mereka. Dua bayi bagaikan magnet yang membuatnya ingin segera pulang ke rumah setelah urusan pekerjaan selesai.Walaupun malamnya kurang tidur kalau Rafka mengajak begadang, tapi Bre meni
"Semua sudah selesai, Run. Aku sudah memaafkan," jawab Zara sambil merangkul adik sepupunya."Terima kasih."Setelah itu Aruna hanya diam. Sama sekali tidak lagi memperhatikan entah bagaimana Tristan dan Zara berinteraksi dalam pertemuan itu. Ia sudah tidak peduli.Giska yang didampingi orang tua Tristan, hanya sebentar mendekat dan memeluk mamanya. Lalu Bu Fadlan merangkul sang cucu untuk duduk di depan.Tristan mencoba bicara saat malam tiba. Mereka duduk di kamar, Aruna mengelus perutnya pelan. Lelah dan mengantuk setelah sehari semalam nyaris tidak tidur. Perutnya juga terasa menegang beberapa kali."Runa, aku minta maaf. Seharusnya aku peduli saat kamu bilang mengkhawatirkan papa pagi kemarin. Aku tahu permintaan maaf nggak bisa mengembalikan apa pun. Tapi aku ingin kamu tahu, aku menyesal.""Nggak apa-apa," jawab Aruna datar. Tristan memandang istrinya. Perempuan itu tak marah. Tapi nada bicaranya datar dan yang terlihat hanya kelelahan dan luka. Dia tahu Aruna kecewa dan menyes
USAI KEPUTUSAN CERAI- Satu Hari di Kota Malang Author's POV Tristan menghela nafas panjang. Dia harus memberitahu istrinya daripada Aruna bakalan kaget nantinya. "Runa, kita tunggu papa di rumah. Papa akan dibawa pulang."Perasaan Aruna sudah tidak karuan. Namun masih berusaha menepis ketakutannya. Papanya masih ada. Papanya bisa tertolong dan akan pulang dalam keadaan baik-baik saja. Meski hati kecilnya merasakan pesimis.Ketika mobil memasuki halaman rumah, Aruna lemas saat melihat suasana begitu terang benderang dan beberapa kerabat sudah berkumpul di sana. Di teras dan ruang tamu duduk para saudara dan tetangga."Runa ....""Aku sudah tahu," potong Aruna cepat dengan air mata sudah membanjiri pipinya. Ketakutannya menjadi kenyataan. Ia yakin, papanya sudah tiada.Tristan turun dari mobil dan membuka pintu untuk istrinya. Aruna yang sempoyongan berusaha berjalan sendiri masuk ke rumah lewat pintu samping. Dia tidak peduli dengan Tristan yang begitu khawatir di sampingnya.Aruna
Malang ....Hawa dingin terasa begitu menusuk ke tulang. Gerimis di luar belum berhenti. Tristan membawakan segelas teh hangat dan di letakkan di meja depan Aruna. Lelaki itu juga menangkupkan selimut ke tubuh sang istri yang tengah duduk menikmati pemandangan di luar, dari balik jendela kaca."Mau kupesankan roti bakar?" tanya Tristan sambil duduk merapat pada istrinya. Lengannya merangkul bahu Aruna yang ringkih."Nggak usah. Aku masih kenyang."Keduanya memandang jauh keluar. Sebenarnya Aruna kepikiran tentang papanya. Kesehatannya makin menurun dari hari ke hari. Namun Aruna tidak pernah membahas hal itu dengan Tristan.Sejak awal, Tristan memang tidak cocok dengan papa mertuanya. Untuk itu Aruna pun tidak ingin membicarakan tentang sang papa dengan suaminya. Ia sadar kesalahan papanya waktu itu sangat menyakitkan bagi Tristan. Meski mereka sudah bisa saling menerima dan memaafkan. Aruna sekarang benar-benar menjaga diri dan berhati-hati."Kamu nggak ngantuk?" Tristan mengecup ke
Tristan duduk menunggu di sisi tempat tidur. Memperhatikan perut Aruna yang membuncit. Karena kehamilannya, Aruna mengurangi banyak kegiatan di luar. Termasuk melanjutkan ikut pelatihan. Trimester pertama waktu itu membuatnya harus banyak bed rest karena tubuhnya terasa sangat lemah. Sempat opname tiga hari karena kondisinya yang ngedrop.Ada perasaan lega, tapi juga getir di dada Tristan. Ia tahu Aruna berusaha keras untuk menyesuaikan diri dengan keadaan, meski hatinya telah remuk oleh kondisi mereka saat itu. Namun Aruna sekarang terlihat lebih baik daripada beberapa bulan yang lalu.Tristan sendiri membuktikan untuk berubah. Memperbaiki diri dan banyak belajar dari kesalahannya. Memprioritaskan istri dan anak-anaknya."Yuk, kita berangkat sekarang!" Tristan bangkit dari duduk lalu mengangkat koper kecil keluar kamar. Aruna mengikuti sambil menutup pintu kamar. Pria itu meraih tangan sang istri dan mereka menuruni tangga bersama-sama."Aku sebenarnya khawatir dengan kondisi papa,"
USAI KEPUTUSAN CERAI- Kehilangan Author's POV "Kamu nggak nyoba telepon Bre dulu, Ham?" Bu Rida yang menenteng kado mengingatkan putranya."Sudah kukirim pesan, Ma. Dijawab agar kita langsung ke sini."Sebenarnya Arham tidak sengaja datang di waktu Hilya lahiran. Dia sudah janjian dengan Bre tiga hari yang lalu, kalau akan ke Malang bersama mamanya untuk bertemu Rifky. Kebetulan Bu Rida juga baru sembuh dari sakit dan dia ingin sekali bertemu cucunya.Tadi pas datang ke rumah mereka, ART di sana memberitahu kalau Hilya melahirkan. Bre juga membalas pesannya agar Arham mengajak sang mama langsung ke klinik saja. Bu Rida tadi sempat meminta mampir ke toko untuk membeli kado.Ketika mereka tengah melangkah di lorong, ponsel Arham berdering. Bre yang menelepon. "Halo, Mas. Saya dan mama sudah sampai di klinik.""Kami tunggu, Mas. Saya di depan kamar perawatan. Paviliun 302.""Iya." Arham menyimpan kembali ponselnya dan mengajak sang mama melangkah mencari paviliun yang dimaksud oleh B