Share

9. Maafkan Bunda

last update Last Updated: 2025-02-09 16:27:31

USAI KEPUTUSAN CERAI

- Maafkan Bunda

Duh, Tristan ini memang cari masalah. Bukankah bininya ada di kantor tadi? Maunya apa sih. Dia sama saja kayak Arham.

Kuletakkan ponsel di atas meja. Membalas pesannya hanya akan menciptakan permasalahan makin ke mana-mana.

Kembali kupandangi Rifky yang terlelap. Selang infus menancap di lengannya yang kecil, membuat hatiku perih.

Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hati yang sesak. Tangan kecil Rifky kusentuh pelan. "Sembuh, ya, Nak," bisikku.

Ponsel kembali bergetar di atas meja. Lagi-lagi nama Tristan muncul di layar. Kali ini dia menelepon. Nekat sekali orang ini. Aku mengabaikannya. Lalu menekan tombol 'silent' dan memasukkan ponsel ke dalam tas. Aku tidak ingin mendengar suara siapa pun saat ini.

Rifky menggerakkan jemari, tubuhnya menggeliat pelan. Aku langsung mendekat, menelusuri wajah mungilnya yang mulai bergerak. Matanya terbuka tampak sayu.

"Unda," suaranya serak.

"Iya, Sayang. Bunda di sini." Aku tersenyum.

Dia menatap sekeliling, lalu menoleh padaku.

Diam sejenak, lalu melihat ke tangannya yang terpasang selang infus.

Aku tersenyum dan membelai kepalanya. "Nanti kalau Rifky sudah sehat, dokter akan melepaskannya. Rifky lekas sembuh, ya."

Bocah itu menangis. Perlahan aku mengangkatnya dan menggendong. Dia sepertinya takut karena tangan kecilnya terbalut perban putih untuk mengikat supaya jarum dan selang infusnya tidak bergerak-gerak.

Rifky meletakkan dagunya di pundakku dan kulitnya yang bersentuhan denganku terasa hangat. Diam-diam aku meneteskan air mata. Dia kalau sakit masih bisa bermain. Setelah minum obat dua tiga kali pasti sembuh. Namun kali ini harus opname. Kuhapus air mata saat Rifky memandangku.

"Papa mana?" tanyanya tiba-tiba.

Aku terdiam.

"Papa, Unda." Rifky menatapku dengan mata sayu yang penuh harapan.

Aku menelan ludah, berusaha mengendalikan suara yang tiba-tiba terasa berat. "Papa kan sibuk kerja. Di sini ada Bunda dan Budhe."

Ekspresi Rifky terlihat kecewa.

Aku memeluk tubuhnya dengan erat. Kalau boleh memilih, aku tidak ingin Rifky sibuk menanyakan papanya. Cukuplah ada aku saja untuk dia. Maafkan Bunda, Nak.

"Papa, Unda," ujarnya lagi.

Jantungku seperti diremas. Aku ingin mengatakan sesuatu, ingin memberinya alasan yang bisa dimengerti oleh seorang anak kecil usia dua tahun, tapi tidak ada satu pun kata yang terasa tepat.

Rifky masih menatapku, menunggu jawaban.

Akhirnya aku menarik napas dan mencoba tersenyum. "Eh, tadi Bunda beliin helikopter buat Rifky. Yuk, kita buka."

Aku dudukkan Rifky dengan pelan di atas ranjang. Tubuhnya terasa masih gemetar. Lalu kukeluarkan mainan dari dalam kotaknya. Tatapan Rifky langsung berbinar. Helikopter berwarna putih dan hitam itu dipeluknya sambil berbaring. Dia bahagia memandangi mainannya.

Air mata yang kutahan-tahan akhirnya jatuh tanpa bisa dicegah.

Untuk pertama kalinya, aku benar-benar merasa rapuh.

***L***

Jam tujuh malam Ani datang bersama suami dan anak perempuannya yang berusia tiga tahun. Disusul oleh Ika dan suaminya. Mereka benar-benar support terbaikku setelah Mbak Asmi.

Anak-anak bermain dengan riang di temani oleh Mbak Asmi. Sementara aku duduk ngobrol dengan Ani dan Ika.

"Papanya nggak kamu kabari?" tanya Ani lirih.

"Nggak."

"Rifky nggak nanyain tentang papanya. Biasa anak kecil kalau sakit pengen ditunggui papa dan bundanya," sahut Ika.

"Ya, Rifky juga tanya tadi. Tapi aku bujuk."

Ponsel di dekatku berpendar. Kali ini Tristan menelepon. Spontan ku-reject tanpa menunggu lama.

"Wow, Pak Tristan meneleponmu. Nekat banget si bos ini, Hil," kata Ika.

"Sejak siang tadi nggak kubalas dan kuterima teleponnya. Dia nanyain kabarnya Rifky. Males banget aku sama lelaki model-model kayak gini," ujarku seraya memadamkan ponsel. Biar tidak di telepon lagi.

"Dia beneran suka sama kamu." Ani memandangku.

"Padahal sudah punya istri yang cantik dan kaya," lanjut Ika.

"Kamu pikir perempuan seperti itu cukup buat lelaki seperti Pak Tristan. Lelaki sukses itu menginginkan perempuan yang cerdas, mindset bagus, punya skill dan ber-value. Bukan hanya wanita yang bisa dandan dan bergaya saja. Jalan-jalan, traveling sesuka hati mentang-mentang punya uang sendiri."

"Lalu untuk apa dia menikahi Aruna, kalau bukan seleranya," sergah Ika.

"Mereka kan dijodohkan. Orang-orang kaya biasa mengatur pernikahan anak-anaknya demi kepentingan bisnis," jawab Ani.

Aku diam. Bosan sekali mendengar hal begini. Tidak penting bagiku. Tapi aku sangat menghargai mereka yang datang membesuk Rifky. Anakku pun senang karena ada yang peduli. Supaya dia tidak menanyakan tentang papanya lagi.

***L***

"Kamu kerja saja nggak apa-apa. Biar mbak yang jagain Rifky. Dia udah nggak demam lagi. Kata perawat tadi malam, besok Rifky sudah boleh pulang kalau hari ini trombositnya naik." Mbak Asmi berkata setelah aku selesai salat subuh. Rifky masih tertidur pulas.

Semalaman dia minta gendong. Pengen dimanja. Memang setiap hari dia lebih banyak bersama Mbak Asmi daripada denganku.

"Nggak usah cemas. Rifky baik-baik saja."

"Baiklah, Mbak. Kalau gitu aku masuk kerja ya hari ini."

Mbak Asmi mengangguk. Setelah Yazid terbangun, aku mengajaknya pulang. Mandi dan bersiap-siap.

"Kak, nanti langsung pulang ke rumah Mbah Par saja, ya. Sore setelah tante pulang kerja, tante jemput ke sana dan kita langsung ke klinik." Mbah Par itu budhe. Kakak sulung ibu yang sudah sepuh.

"Yazid di rumah saja, Tan. Berani kok. Yazid janji nggak akan ke mana-mana. Nunggu sampe Tante Hilya pulang," tolak ponakanku.

"Terus kamu nanti makan siangnya gimana?"

"Aku bisa beli nasi uduk di warung dekat sekolah."

"Baiklah." Aku memberi Yazid uang saku. Bocah itu langsung pamit berangkat ke sekolah naik sepeda. Kuperhatikan hingga dia keluar dari pintu pagar.

Sejenak aku termangu. Dalam kondisi kami seperti ini, aku sangat bersyukur, anak-anak tumbuh menjadi penurut dan tidak nakal. Bahkan Yazid sudah bisa momong Rifky kalau Mbak Asmi sibuk di toko atau memasak. Rifky masih dinafkahi papanya, sedangkan Yazid?

Segera aku bersiap-siap lalu berangkat kerja.

Sampai kantor nyaris terlambat. Di parkiran sudah sepi dan kendaraan karyawan sudah berjajar di sana semua. Oh, aku yang paling terakhir tiba.

"Kutunggu di ruanganku, Hilya." Aku langsung menoleh mendengar suara itu. Ternyata Tristan yang sudah berbalik dan melangkah pergi.

Kuambil map dan tablet di meja kerja, tanpa menyapa Ani yang memandangku heran. Mungkin dia pikir aku tidak akan masuk kerja karena menunggui Rifky di klinik.

"Kenapa nggak membalas pesanku kemarin?" tanya Tristan tanpa memandangku yang duduk di hadapannya.

"Anakku baik-baik saja, Pak. Sudah saya bilang kemarin, sebaiknya Pak Tristan dan saya tidak usah berkomunikasi selain urusan kerja. Saya tidak mau ada masalah lagi," jawabku seraya membuka berkas.

"Saya peduli sama kalian."

Lelaki ini memang nekat.

"Yang saya butuhkan di sini hanya kerja dan gajian, Pak. Untuk urusan pribadi masing-masing tidak etis rasanya saling ikut campur."

"Saya pimpinan di sini dan wajar kalau saya perhatian sama kamu. Kalau terjadi sesuatu sama keluarga, terutama anakmu, pasti akan berimbas pada pekerjaan di kantor."

"Nggak akan, Pak. Saya profesional. Buktinya saya tetap masuk kerja meski anak saya sakit. Tapi saya sudah memastikan kalau Rifky baik-baik saja.

"Dulu ketika saya mengalami permasalahan hebat hingga bercerai dan saya hamil, saya tetap masuk kerja dan menyelesaikan pekerjaan saya dengan baik. Saya tetap bertanggungjawab pada pekerjaan."

Lelaki di hadapanku terdiam memandang. Tatapannya malah terlihat lebih dalam. Terkesima. Ah, aku tidak butuh rasa kagummu, Pak Tristan. Kamu sama saja seperti papanya Rifky.

"Kamu perempuan luar biasa," pujinya kemudian.

Aku bergeming tanpa memandang pria yang terkadang menyebut dirinya 'aku', kadang juga 'saya'.

"Aku suka dengan perempuan sepertimu."

Next ....

Selamat Membaca 🫶🏻

🔸Pembaca pasti bertanya-tanya. Siapakah tokoh utama lelaki di cerbung ini? Yang akan berpasangan dengan Hilya. Sebab dua pria di sini red flag semua.

🔸 Kita tunggu ya, apa cuman ada 2 lelaki itu atau akan muncul Hero baru.

Comments (36)
goodnovel comment avatar
Adfazha
km suka sm perempuan spti Hilya tp justru Hilya yg suka sm km pak Tristan kna serupa dg Arham yg Red Flag gk bgt deh
goodnovel comment avatar
Helmy Rafisqy Pambudi
Tristan km ni ya..suka dlm arti apa hayoo
goodnovel comment avatar
PiMary
Aku sih msh nunggu jodohnya Bre,mba....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Usai Keputusan Cerai   10. Bertemu

    USAI KEPUTUSAN CERAI - Bertemu "Aku suka dengan perempuan sepertimu."Aku terhenyak dan berusaha tetap tenang. Cari penyakit jika meladeni. "Mari kita lanjutkan pembahasan yang kemarin, Pak," ujarku mengalihkan pembicaraan."Saya serius!" ucapnya."Saya juga serius, Pak. Di sini saya bekerja bukan menggoda bos. Bukan menggoda suami orang. Saya cari uang bukan mencari cinta."Tristan tersenyum miring lantas menegakkan duduknya dan menyalakan laptop. Kami mulai membahas masalah keuangan dalam projek dengan serius. Dari sudut mata, aku bisa melihat lelaki kaya ini sering diam sejenak memandangku. Lima belas menit kemudian, masuk tiga orang yang menjadi tim inti kerja kami. Aku senang ada yang lainnya daripada hanya berdua dengan bos genit ini."Nggak perlu menatap curiga dengan saya dan Hilya. Kami bekerja secara profesional. Tentang gosip dan video kemarin, tolong abaikan." Tristan berkata pada timnya yang baru datang. Mencegah dan mengultimatum pada stafnya yang menatap aneh pada ka

    Last Updated : 2025-02-10
  • Usai Keputusan Cerai   11. Maunya Apa?

    USAI KEPUTUSAN CERAI - Maunya apa?Panggilan itu membuatku menoleh. Mas Arham berdiri menenteng godie bag di tangannya. Perlahan lelaki itu mendekat."Titip ini buat Rifky. Aku janjiin beliin robot buat dia. Nunggu hari Minggu nanti kelamaan," ujarnya seraya mengulurkan godie bag padaku."Terima kasih." Aku mengambil goodie bag itu tanpa banyak bicara. Tapi saat aku hendak berbalik, dia tiba-tiba berbicara lagi."Hilya."Aku berhenti dan kembali menoleh."Aku minta maaf."Aku menatapnya dengan dingin.Dia terdiam. Rahangnya mengencang. Seolah ada banyak hal yang ingin dia katakan, tapi tidak tahu harus mulai dari mana."Maaf, Pak Arham. Saya ingin pulang. Untuk urusan pekerjaan, bisa kita bahas dipertemuan berikutnya," kataku formal setelah dia diam tak segera bicara."Aku minta maaf, Hilya." Dia menatapku dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ada luka, ada penyesalan. Tapi aku sudah terlalu lelah untuk peduli dan itu bukan urusanku lagi. Kuletakkan godie bag di cantolan motor lantas

    Last Updated : 2025-02-11
  • Usai Keputusan Cerai   12. Tidak Mudah

    USAI KEPUTUSAN CERAI - Tidak Mudah "Hari ini kita pulang, Sayang," ujarku pada Rifky yang duduk di atas tempat tidur. Seorang perawat tengah melepas selang infusnya.Rifky menangis. Mungkin agak sakit. Aku buru-buru meraih dan menggendongnya. Mengusap lembut punggungnya. Sedangkan Mbak Asmi yang baru kembali mengantarkan Yazid pulang karena harus sekolah, langsung berkemas-kemas. Saat itu jarum jam menunjukkan pukul delapan pagi."Kamu sama Rifky naik taksi saja, biar mbak pulang naik motor," kata Mbak Asmi setelah barang-barang beres semua."Apa nggak Mbak saja yang naik taksi sama Rifky.""Nggak usah. Rifky mau sama kamu itu. Yuk, kita pulang sekarang."Aku menggendong Rifky, Mbak Asmi membawa barang-barang kami. Pagi itu lorong klinik lumayan ramai oleh pembesuk.Sepuluh menit kemudian, kami sudah sampai di rumah. Rifky langsung diseka dan digantikan baju oleh Mbak Asmi, sementara aku bersiap-siap berangkat ke kantor. "Assalamu'alaikum." Suara di depan membuatku terkejut. "Wa

    Last Updated : 2025-02-12
  • Usai Keputusan Cerai   13. Tahu Diri 1

    USAI KEPUTUSAN CERAI - Tahu Diri "Assalamu'alaikum." Seorang wanita anggun berpakaian syar'i mengucap salam. Di belakangnya, Mas Arham mengikuti."Wa'alaikumsalam," jawabku dan Mbak Asmi bersamaan.Kami bersalaman dan dia memelukku erat. Namanya Mbak Yana. Kakak kandungnya Mas Arham. Mereka tiga bersaudara dan Mas Arham anak nomer dua, satu-satunya lelaki. "Apa kabar, Hilya?" tanyanya memandangku. Matanya basah saat itu. Kami sudah lama sekali tidak bertemu. Semenjak aku dan Mas Arham berpisah."Kabar baik, Mbak. Silakan duduk," jawabku sopan. Kuraih Rifky dan membimbingnya bersalaman dengan Mbak Yana. Namun Rifky memelukku erat. Dia takut karena tidak pernah bertemu."Rifky sayang. Ikut budhe, yuk. Katanya kamu baru sembuh dari sakit, ya?" Mbak Yana membujuk, tapi Rifky tetap menolak. Sampai wanita itu menangis. Rifky tidak mau memandang dan melingkarkan tangan kecilnya di leherku.Kami berbasa-basi sebentar. "Hilya, kamu nggak ikut pergi bersama kami untuk bertemu Mama?""Mbak As

    Last Updated : 2025-02-13
  • Usai Keputusan Cerai   14. Tahu Diri 2

    Ingat semua kenangan pahit itu, aku buru-buru menyeka pipi, tapi semakin aku berusaha menahan, semakin deras alirannya. Ingatan itu datang lagi, seperti ombak yang terus menghantam.Aku pernah menahan diri untuk tidak membeli apa yang kuinginkan, hanya agar kebutuhan kami tercukupi. Aku bahkan rela memakai baju lama berulang kali untuk acara non resmi ke kantor, sementara teman-temanku sudah berganti mode setiap musim. Make-up? Aku hanya membeli yang paling murah, sekadar agar wajahku tidak terlihat pucat.Semua itu kulakukan demi Mas Arham.Kukejar mimpinya lebih dari aku mengejar mimpiku sendiri. Aku ingin dia berhasil, ingin dia bangga berdiri di puncak kariernya, sementara aku tersenyum puas di sampingnya.Tapi kenyataannya ....Dia berdiri di puncak tanpa aku di sisinya.Dan lebih menyakitkan lagi, dia berdiri bersama perempuan lain yang pernah mengkhianatinya. Mungkin ini yang benar-benar membuatku sakit.Rasa sakit ini masih saja sama seperti dulu. Aku tersenyum getir. Aku pura

    Last Updated : 2025-02-13
  • Usai Keputusan Cerai   15. Tahu Diri 3

    Malamnya setelah anak-anak tidur. Aku dan Mbak Asmi duduk di depan televisi. Sambil mencatat barang-barang toko yang akan dipesan besok pagi, Mbak Asmi bercerita."Mbak juga bertemu Artika tadi."Dadaku perih mendengar nama itu disebut. Padahal aku tidak pernah bertemu dia setelah aku dan Mas Arham berpisah. Terakhir aku melihatnya menunggu di mobil, saat Mas Arham datang ke rumah mengantarkan susu dan mainannya Rifky."Sepertinya Atika nggak seberapa dianggap oleh keluarga Arham, Hil. Dia terlihat ceria, tertawa-tawa, sok mengakrabkan diri dengan ipar-iparnya. Namun mereka hanya menanggapi sekilas saja.""Mantan mama mertuamu, budhenya, dan buleknya Arham malah sibuk nanyain kabarmu. Bu Rida sebenarnya pengen sekali bertemu kamu sebelum berangkat ke Bali. "Hari ini tasyakuran karena Bu Rida sudah sembuh dan bisa berjalan lagi meski pelan-pelan. Pas Mbak Yana pulang juga dari Bali. Jadi keluarga berkumpul semua."Aku tetap mendengarkan seraya memandang layar televisi yang menyala."M

    Last Updated : 2025-02-13
  • Usai Keputusan Cerai   16. Akhirnya Tahu 1

    USAI KEPUTUSAN CERAI- Akhirnya TahuAku melangkah meninggalkan dua perempuan yang menatapku geram. Menunggu Ika dan Ani di depan toilet. Tidak lama kemudian mereka keluar dan kami melangkah ke arah eskalator.Sama sekali aku tidak memberitahu tentang pertemuanku dengan Aruna dan Atika. Kami hendak memanfaatkan waktu ini untuk bersenang-senang. Me time disela kesibukan sebagai perempuan pekerja dan ibu rumah tangga.Ika dan Ani juga punya permasalahan sendiri. Jadi urusan tadi tak ada hubungannya dengan mereka. Aku sendiri malas membahas apalagi mengajak teman untuk mengeroyok mereka.Dan aku tidak menoleh juga saat menaiki eskalator. Bodo amat dengan dua wanita yang ternyata bestie-an."Hilya, kamu mau makan apa?" tanya Ika setelah kami mengambil tempat duduk."Nasi goreng saja," jawabku seraya memandang stand nasi goreng yang agak sepi."Nggak deh, nasi goreng bisa kita beli di luar kalau mau. Tiap hari kita sudah sering makan nasi goreng di kantin. Apa kamu nggak bosan." Ika malah

    Last Updated : 2025-02-14
  • Usai Keputusan Cerai   17. Akhirnya Tahu 2

    Kami melangkah ke parkiran. Tanpa sengaja, kami melihat Mas Arham yang baru turun dari mobilnya. Masih mengenakan pakaian kerja. "Mantanmu, Hil. Jemput bininya mungkin," ujar Ika lirih sambil terus melangkah. "Dia mandangin kita."Aku tak menjawab. Ika dan Ani menuju ke arah 'mercedeznya' Ika. Sedangkan aku ke arah motor yang kuparkir tidak jauh mobil itu."Hilya, hati-hati, ya!" Ani melambaikan tangan."Iya," jawabku sambil tersenyum. Kemudian segera memakai jaket dan helm. Saat itu suasana sudah gelap karena memang sudah malam. Kami sampai mall tadi langsung salat Maghrib dulu baru belanja.Kubunyikan klakson lantas melaju pergi.***L***[Besok kita meeting pagi saja, Hilya. Bahas projek Indonusa.] pesan dari Tristan jam sembilan malam. Saat aku sedang menidurkan Rifky di kamar.Hanya kubaca pesan itu tanpa membalasnya. Apa dia tidak sedang bersama istri dan anaknya? Sempat-sempatnya mengirimkan pesan padaku. Tristan sudah memiliki anak perempuan umur enam tahun. Aku mencium kenin

    Last Updated : 2025-02-14

Latest chapter

  • Usai Keputusan Cerai   88. Tiga Hati di Semarang 1

    USAI KEPUTUSAN CERAI- Tiga Hati di Semarang Author's POV "Pak Bre, saya sudah pesankan tiketnya. Penerbangan jam tiga sore ini." Seorang asisten pribadinya memberitahu Bre di ruangannya."Oke, makasih banyak," jawab Bre seraya menutup laptop. Dilihatnya jam tangan. Baru jam delapan pagi. Tadi Hilya berangkat ke Semarang jam tujuh.Dia harus berangkat sekarang dari Malang ke Juanda. Nanti mampir sebentar ke rumah mamanya. Tadi sengaja berbohong pada Hilya kalau dia sudah ada di Solo, padahal baru mau berangkat dari Malang dan naik pesawat ke Semarang dari Juanda. Jujur saja dia khawatir dengan Hilya yang pergi bersama Tristan. Walaupun Bre kenal baik sama pria itu, tapi dia tidak percaya karena sahabatnya sedang dimabuk kepayang oleh Hilya. Perempuan yang sama-sama mereka cintai.Akan ada cerita berbeda saat Tristan sudah tahu semuanya. Namun ia berharap, persahabatan dan kerjasamanya dengan pria itu tidak akan bermasalah setelah ini. Makanya lebih baik ia berpura-pura tidak tahu t

  • Usai Keputusan Cerai   87. Cincin di Mobil 3

    "Mbak, lusa aku jadi ke Semarang. Sebenarnya ini sudah dijadwalkan Minggu kemarin, tapi di undur lusa. Mungkin dua sampai tiga hari aku di sana. Rifky kira-kira rewel nggak, ya?""Nggak. Kamu tenang saja. Dia manut sama Mbak."Hilya kepikiran Rifky saja kalau dia pergi ke luar kota. Biasanya hanya dua hari saja dia pergi, sekarang tiga hari."Untuk Bre, kalau menurut mbak. Jangan ragu, pandang dia yang sekarang, jangan lihat masa lalunya. Ayo, tidur. Mbak sudah ngantuk."Keduanya bangkit dari karpet dan masuk ke kamar masing-masing. Hilya berbaring menghadap Rifky yang memeluk guling. Diusapnya pelan pipi halusnya. Dialah cinta sejati bagi Hilya. Yang bisa mengobati rasa lelah hanya dengan tatapan matanya yang bening. Hilya bergerak pelan untuk mengecup kening Rifky. Kemudian memeluk kaki kecil itu dan dia pun memejam.🖤LS🖤"Hilya, ada pesan dari Arham." Mbak Asmi menunjukkan ponselnya pada Hilya.[Mbak, maaf kalau dalam beberapa waktu ke depan saya nggak datang menjenguk Rifky. Na

  • Usai Keputusan Cerai   86. Cincin di Mobil 2

    Omongan Pak Ardi yang ngelantur membuat Tristan menghela nafas panjang. "Saya tegaskan, Pa. Hubungan saya dengan Hilya, hanya sebatas tentang pekerjaan."Aruna yang sejak tadi diam saja, akhirnya juga ikut bicara. "Sudah, Pa. Jangan membahas hal ini lagi. Kami baik-baik saja, Papa nggak perlu khawatir." "Kamu tahu apa, Runa. Jangan sampai suamimu direbut perempuan lain, baru kamu nangis-nangis.""Aku nggak mau membahas ini lagi, Pa," sangkal Aruna. Dia ingat ucapan suaminya, kalau sampai mengusik Hilya, maka hubungan mereka yang menjadi taruhannya. "Lihat ini, Pa. Mas Tristan barusan ngasih hadiah." Aruna menunjukkan cincin berlian di jari manisnya. Pak Ardi dan istrinya memperhatikan.Selesai bicara, Aruna bangkit dari duduknya dan mengajak suaminya pamitan. "Kami pulang dulu, Pa. Aku lega Papa sudah jauh lebih baik." Aruna mencium tangan papa dan mamanya. Begitu juga dengan Tristan. Lantas mereka melangkah keluar kamar.Pak Ardi tampak kecewa. Anak yang dibelanya agar tidak diseli

  • Usai Keputusan Cerai   85. Cincin di Mobil 1

    USAI KEPUTUSAN CERAI - Cincin di Mobil Author's POV "Mas, beli ini untukku?" Aruna terbeliak kaget, sekaligus berbinar menemukan kotak perhiasan berbentuk hati warna merah jambu yang terletak di dasbor mobilnya Tristan.Senyumnya lebar saat ia membuka dan melihat ada sebentuk cincin berlian di dalamnya.Tristan yang baru duduk dan menutup pintu pun terkejut. Tidak mengira kalau istrinya membuka dasbor mobil, di mana ia menyimpan hadiah ulang tahun yang akan diberikan pada Hilya."Ini untukku, kan? Atau untuk selingkuhanmu?" tanya Aruna yang mulai tidak yakin kalau itu dibeli Tristan untuknya. Karena Tristan jarang memberikan kejutan. Kalau menginginkan sesuatu, Aruna hanya memberitahu suaminya, setelah itu pergi beli sendiri. Tristan berdecak jengkel. "Aku nggak punya selingkuhan. Nggak usah mengada-ada, Runa. Itu kubeli untukmu. Pas nggak di jarimu?" jawab Tristan seraya menyalakan mesin mobil dan bergerak pelan meninggalkan garasi. Mereka hendak ke rumah orang tua Aruna. Menjeng

  • Usai Keputusan Cerai   84. Hanya Berdua 3

    Bre juga menceritakan sekilas tentang berbagai kecurangan dan permusuhan dengan keluarga Livia. Kemudian hubungan mereka kembali membaik setelah beberapa tahun kemudian. Pria itu juga menceritakan pernikahan keduanya dengan Agatha. Ini yang mengejutkan bagi Hilya. Karena ia berpikir, Bre hanya pernah menikah sekali saja."Saya tidak pernah menyentuh Agatha selama menikah. Biar dia bisa merasakan kebahagiaan dengan lelaki yang akan mencintainya setulus hati. Agar Agatha tidak seperti mama, yang diperlakukan seperti istri tapi tidak diberi hati sama sekali."Kalau ikutkan nafsu, lelaki pasti bernafsu. Tapi saya tidak ingin melakukan itu. Supaya dia bisa bahagia dengan pasangan barunya.""Sekarang Mbak Agatha sudah menikah?""Belum. Dia tinggal di Singapura hanya sesekali pulang ke Surabaya. Tapi kamu tidak usah khawatir, saya dan Agatha benar-benar sudah berakhir di saat putusan cerai dari pengadilan agama. Hubungan kami membaik, tapi tidak akrab juga. Dengan Livia, Hutama Jaya ada hubu

  • Usai Keputusan Cerai   83. Hanya Berdua 2

    Dari jendela taksi yang membawanya malam itu, Hilya memperhatikan sepanjang perjalanan menuju kafe tempat ia akan bertemu Bre. Hanya berdua saja."Yakinkan hatimu, bahwa langkah yang kamu ambil ini tepat. Mbak 100% mendukungmu. Budhe juga mendukung. Mbak sudah cerita pada beliau tadi pagi." Mbak Asmi yang menungguinya bersiap berkata seperti itu tadi."Sebenarnya aku juga pengen Mbak Asmi juga menikah lagi." Hilya memandang sang kakak."Jangan tunggu mbak. Pokoknya kamu jangan abaikan kesempatan ini. Pria seperti Bre nggak akan datang dua kali, Hilya."Hilya sebenarnya tidak sampai hati kalau harus menikah lebih dulu. Namun kakaknya yang justru mendesak agar Hilya segera menerima Bre.Akhirnya taksi berhenti di depan sebuah kafe dua lantai di salah satu sudut kota Surabaya. Bre sudah menunggunya di teras. Kemudian langsung mengajaknya naik ke lantai dua. Mereka disambut dengan lampu-lampu redup yang menciptakan nuansa romantis. Dinding interior dihiasi dengan lukisan abstrak berwarna

  • Usai Keputusan Cerai   82. Hanya Berdua 1

    USAI KEPUTUSAN CERAI- Hanya Berdua Author's POV "Bagaimana rasanya diperjuangkan, Hilya? Selama ini kamu yang selalu berjuang dan bertahan. Dengan Arham sebagai suami atau dengan mantan pacarmu yang sama-sama nggak tahu diri itu. Sekarang kamu tahu bagaimana seorang laki-laki itu berjuang untuk mendapatkanmu. Bahkan sepaket dengan keluargamu juga, bisa diterima dia apa adanya."Hilya tersenyum sambil mengunyah nasi. Kalau dibilang 100% ia percaya Bre, tidak juga. Sudah berulang kali terluka, membuat Hilya tidak segampang itu memberikan semua kepercayaannya. Namun ia tetap berusaha untuk menghargai seseorang yang telah berupaya memperjuangkannya."Tapi kita akan berpisah, Hil," ujar Ani memicu kesedihan mereka lagi."Nggak mungkin kamu akan bertahan di Global, sedangkan Mas Bre juga memiliki perusahaan sendiri," lanjut Ani."Tapi sesekali kita masih bisa bertemu, An. Kita kan bisa berkunjung ke Malang atau sebaliknya. Via tol kan cepat," kata Ika."Arham bakalan berjauhan sama anakn

  • Usai Keputusan Cerai   81. Hari Spesial 3

    Beberapa hari setelah pengakuan Bre di depan Pak RT, kabar itu segera menyebar ke lingkungan tempat tinggal Hilya. Heboh dan bisik‑bisik pun mulai terdengar. Tetangga-tetangga saling bertanya satu sama lain. "Kau dengar belum? Hilya itu hendak menikah!""Iya, Pak RT yang bilang.""Padahal mantan suaminya juga masih sering datang mengunjungi anaknya. Tapi nggak mungkin mereka rujuk. Kalau aku jadi Hilya, juga nggak sudi. Memberikan kesempatan pada pengkhianat itu, seperti menggiring kita untuk disakiti lagi."Begitu bisik-bisik tetangga.Mbak Asmi pun sibuk menjawab pertanyaan mereka. Sebab dia yang selalu ada di rumah. Apalagi ada toko yang setiap hari orang datang ke sana untuk belanja. Kabar itu membuat suasana di lingkungan semakin ramai, sebagian orang mendukung, ada yang terlalu ingin tahu, dan sebagian lagi hanya bersikap biasa aja. Yang ingin tahu, karena mereka mendapatkan cerita dari Pak RT dan tetangga dekat rumah Hilya, kalau calon suami Hilya sangat gagah dan tampan, juga

  • Usai Keputusan Cerai   80. Hari Spesial 2

    "Minumlah!" Bu Rida meletakkan kopi di meja teras, di depan Arham. Wanita itu kemudian duduk di kursi kosong samping putranya."Aku ingin bercerai saja, Ma. Hubunganku dengan Atika semakin memburuk. Berapa kali kuajak datang ke sini saja menolak. Kami selalu berakhir dengan pertengkaran. Apalagi jika membicarakan tentang Rifky." Arham terlihat sangat lelah. Bu Rida menghela nafas panjang. Dia sendiri merasa sangat lelah mendengar cerita sang anak. Hendak bilang kalau itu kesalahan Arham sendiri, tapi sudah tidak tega. Berulang kali ia menyalahkan anaknya."Mama nggak tahu lagi harus bilang bagaimana. Terserah kamu, Ham. Sebenarnya mama nggak ingin kamu kawin cerai. Tapi kamu yang jalanin. Sekuat mana, kamu yang lebih tahu. Mama bisanya hanya mendoakan yang terbaik buatmu, buat rumah tanggamu."Arham menekan ujung rokoknya di asbak. Kemudian menerawang memandang hujan. Dia belum mengirim pesan lagi pada mantan kakak iparnya, apakah sudah pulang dari Malang atau belum.Perasaannya tak

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status