"Dia nangis tahu, nggak. Matanya memerah dan nggak bisa ngomong apa-apa. Aku bilang ke dia, agar bini sama bestinya itu jangan ganggu hidup kamu lagi. Sudah cukup kamu dikhianati. Kenapa nggak tahu diri banget sampai terus mengganggumu."Kamu sudah bener jadi istri. Membela dan mengimbangi perjuangan suami. Tapi sayangnya mantanmu yang nggak tahu diri. Aku yakin, sekarang ini dia pasti menyadari kekeliruannya. Toh di awal-awal dulu, waktu baru nikah sama pelakor itu dia santai saja kan, karena semuanya masih terasa manis. Saat ini, aku nggak yakin mereka bahagia. Mana ada kebahagiaan setelah berkhianat."Makanya mulai sekarang, kamu harus memperhatikan diri, Hilya. Kerja dan ngurus anak nggak harus mengabaikan diri. Nanti waktu dinner, kamu harus dandan yang cantik. Bukan untuk memikat orang, tapi untuk dirimu sendiri. Kalau Rifky sudah paham, pasti dia juga bahagia melihat mamanya merawat diri."Pasang senyum lebar, tunjukkan meski single parent, kamu bahagia. Fighting, Bestie." Ika
USAI KEPUTUSAN CERAI - Dinner Angin jalanan menjelang senja menerpa tubuhku. Terasa kering bercampur debu. Aku sudah akrab dengan semua ini sejak kecil. Dengan jalanan Surabaya yang macet dan panas Sempat mengecap naik mobil pun tidak lama. Karena kalau Mas Arham ada pekerjaan urgent di kantor, akhirnya aku berangkat sendiri naik motor. Sekarang yang menikmati jerih payah kami saat itu, cinta masa lalunya. Aku tersenyum getir dibalik masker yang kupakai. Tadi kutinggalkan saja dia di parkiran. Hendak bicara apa coba? Hubungan kami sudah selesai. Bicara hanya akan menggali luka lagi.Azan Maghrib berkumandang sesaat setelah motor memasuki rumah. "Unda." Rifky mengintip dari balik pintu ketika aku masih menaruh motor di teras rumah. Senyum manisnya menenangkanku. Dia patuh pada larangan budhenya, kalau maghrib tidak boleh keluar rumah."Assalamu'alaikum," ucapku."Wa'alaikumsalam," jawab Mbak Asmi dari dalam. Sedangkan Rifky menjawab dengan logat yang lucu karena belum bisa menguc
Seharusnya aku cuman mengurusi bagian keuangan. Tapi masuk timnya Tristan, apa-apa kuurusi. Mulai dari meneliti berkas perencanaan dan lain-lain. Seperti sekretaris pribadinya saja. Entahlah, sebenarnya jabatanku ini apa.Asisten pribadi Tristan cuman mondar-mandir mengurus ini, mengurus itu yang berkaitan di lapangan. Asistennya seorang laki-laki."Aruna masih mengganggumu?""Apa Mbak Aruna berteman dengan Atika?" Bukan menjawab pertanyaan, aku justru mengorek keterangan lainnya."Mungkin?"Aku menatap heran. "Kok mungkin? Apa Pak Tristan nggak tahu istrinya berteman dengan siapa saja?""Nggak semuanya kuketahui, Hilya. Apa yang kamu tahu sampai bertanya begitu?""Nggak apa-apa, Pak," jawabku singkat. Sudahlah tak perlu membahas lagi hingga jadinya bisa ke mana-mana. Aku juga tidak tahu pasti, sebenarnya pernikahan Tristan dan Aruna ini bagaimana. Dan itu aku tidak perlu tahu.***L***Hari-hari selanjutnya aku bekerja seperti biasa. Tidak kupedulikan tatapan memuja dari Tristan, atau
Dapur dalam kondisi urgent juga dan harus dibenahi. Kasihan anak-anak kalau sampai kayu lapuk, jatuh, dan menimpa mereka, sedangkan aku tidak ada di rumah. Semoga Pak Tristan memang sebaik itu."Sepuluh juta?" Mbak Asmi seolah tak percaya."Iya. Sisanya masih kusimpan. Nanti liburan sekolah, kita ajak anak-anak berlibur. Aku sudah cari tahu tiket kereta api ke Jogja. Agnes kemarin nelepon, suruh main ke sana. Nanti diajak jalan-jalan."Netra Mbak Asmi berkaca-kaca. "Bosmu baik banget, Hil. Semoga nggak ada maksud dibaliknya.""Nggak ada, Mbak. Pak Tristan baik orangnya. Mbak, tenang saja. Bonus itu untuk menghargai kerja kerasku dan konstribusiku pada perusahaan. Pak Tristan ...." Aku spontan berhenti bicara, karena baru sadar kalau Mas Arham ada dibelakang kami. Apa dia mendengar percakapan tadi?"Ada apa, Mas?" tanyaku tak suka. Karena tiba-tiba saja dia masuk ke dalam."Rifky pup. Aku gantiin di kamar mandi, ya.""Nggak usah. Ayo, Rifky sama bunda." Aku mengambil anakku dari gendon
USAI KEPUTUSAN CERAI - Malam Penghargaan "Malam ini, perusahaan akan memberikan penghargaan kepada karyawan terbaik tahun ini. Dengan dedikasi, kerja keras, dan profesionalismenya, penghargaan ini memang layak diberikan kepada Mbak Hilya. Wanita tangguh yang luar biasa. Single mom yang hebat," pujian pembawa acara kembali menggema mengiringi langkahku menuju panggung.Jantungku berdetak lebih cepat.Tepuk tangan kembali bergemuruh. Aku berusaha tetap tenang meskipun bisa merasakan puluhan pasang mata mengarah padaku.Aku berdiri di sebelah pembawa acara setelah menyambut uluran tangannya. Pada akhirnya aku bisa berdiri di panggung kebanggaan dan impian semua karyawan."Dengan segala hormat, saya meminta Pak Tristan untuk memberikan trofi penghargaan pada Mbak Hilya."Gemuruh tepuk tangan kembali terdengar. Tristan bangkit dari duduknya seraya mengancingkan jas hitam yang dipakai. Melangkah tegap ke arah panggung. Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat tatapan tidak suka Aruna dan k
Beberapa saat kemudian, suara mikrofon kembali diketuk beberapa kali, membuat percakapan di ruangan meredup dan kembali memandang ke panggung. Pembawa acara sudah berdiri di sana, persiapan untuk acara undian berhadiah.Seluruh karyawan mengambil nomer di dalam tas masing-masing. Kertas kecil yang diberikan oleh panitia saat kami memasuki ballroom."Semoga aku dapat motor.""Aku dapat kulkas pun nggak apa-apa."Celetuk beberapa rekan yang sangat antusias menantikan undian. Seketika ruangan kembali riuh. Piring-piring yang masih berisi makanan ditaruh dulu di atas meja dan fokus ke atas panggung.Dari hadiah terkecil, hingga hadiah-hadiah mahal membuat suara orang-orang bersorak senang.Ani hanya mendapatkan kipas angin, Ika mendapatkan setrika, dan aku belum mendapatkan apa-apa. Aku tidak berharap lagi setelah mendapatkan penghargaan sebagai karyawan terbaik. Itu sudah cukup."Yang mendapatkan hadiah utama adalah nomer undian 763." MC menyebut tiga angka. Dan membuatku sangat kaget. I
Aku memandang ke arah kiri. Mas Arham membuka kaca mobilnya. Rifky menggerak-gerakkan kakinya saat melihat sang papa. "Papa.""Rifky." Mas Arham tersenyum memandang anaknya."Kalian mau ke mana?""Aku mau ngajak Rifky jalan-jalan," jawabku kembali fokus pada traffic light."Ke mana?""Maaf, kami pergi dulu!" pamitku karena lampu sudah berganti warna. Dan dari spion kulihat mobilnya mengikuti kami. Namun tidak terkejar karena aku lolos di lampu merah berikutnya, sedangkan dia terjebak dan harus berhenti.Aku langsung masuk mall sambil menunggu Ika dan Ani sampai. Kubiarkan Rifky turun dan berlarian di koridor. Kebetulan mall baru buka, jadi pengunjung belum seberapa ramai.***L***"Hilya, kamu akan mendapatkan promosi jabatan sebagai CFO. Chief Financial Officer," kata Tristan siang itu yang membuatku spontan terkejut."Benarkah, Pak? Tapi masih ada yang lebih senior dari saya.""Papa sudah memutuskan hal itu. Kamu memang layak mendapatkannya. Kami sudah serius membicarakannya. Kerja b
USAI KEPUTUSAN CERAI- Luka Lelaki Author's POV "Kamu, Tristan. Apa nggak bisa mengurangi interaksi dengan wanita itu." Pak Ardi berkata dengan mata menyala-nyala penuh amarah."Wanita itu punya nama, Pa. Dia karyawan terbaik di kantor kami. Bagaimana saya harus mengurangi interaksi, sedangkan kami ini satu tim kerja. Kami berhubungan secara profesional. Jangan berlebih-lebihan membuat masalah ini kian runcing, Pa. Maaf, kalau ucapan saya kasar." Di akhir kalimat, suara Tristan melunak.Pak Fadlan yang sejak tadi diam, berdehem seraya menegakkan duduknya. Dengan pembawaan tenang, ia memandang sang besan. "Pak Ardi, bukankah masalah ini sudah kita bahas sebulan yang lalu. Sudah kita anggap clear, bukan. Cobalah tanyai baik-baik Aruna, maunya apa? Tristan nggak ngapa-ngapain dengan Hilya."Apa dia pernah memergoki Tristan dan Hilya berkencan atau hanya sekedar berduaan. Bahkan kalau mereka berbincang di ruang meeting pun, seringnya ada saya di sana. Ada tim, ada staf lain juga."Hilya
Sambil menunggu pesanan, mereka berbincang hal-hal ringan. Ngobrol tentang ini, itu, hingga merasa nyaman dan kembali enjoy. Tawa Agatha pun begitu lepas.Percakapan terhenti disaat azan Maghrib berkumandang. Mereka bergantian salat di mushola kafe. Lantas kembali duduk dan langsung memesan menu untuk makan malam.Suasana di antara mereka kian hangat. Dan Arham memanfaatkan situasi yang tepat ini untuk bicara hal serius. Kalau dirinya tidak memulai, Agatha tidak mungkin mengawali bicara. Sebab dia perempuan."Saya sudah cerita ke Mama. Tentang apa yang terjadi di antara saya, kamu, Bre, dan Hilya."Sambil menyesap jus jambu, Agatha memperhatikan Arham. "Mama awalnya kaget juga."Agatha menegakkan duduk dengan menumpukan kedua siku di atas meja. Penasaran bagaimana tanggapan Bu Rida. "Gimana reaksi beliau?""Mungkin ini takdir. Nggak ada yang tak mungkin di dunia ini. Justru Mama bilang, mungkin ini sudah menjadi garis nasib. Aku dan kamu bisa saling mengobati. Bisa menjalin silaturah
Bu Rida mengangkat cangkir teh di tangannya, ditiup sebentar lalu diseruput dengan pelan. Arham menunggu pendapat mamanya. Namun wanita itu masih diam menikmati tehnya. Usia dan pengalaman hidup, perjalanan rumit putranya, membuat Bu Rida sudah ahli mengendalikan gejolak diri. Dia ingin sehat di sisa usia, biar bisa melihat anak-anaknya bahagia. Makanya harus bisa mengontrol hati."Aku dan Agatha nggak pernah nyangka. Kami dekat, mulai cocok, saling memahami. Tapi saat tahu latar belakang masing-masing, rasanya aneh. Seperti dunia ini terlalu kecil dan sempit."Bu Rida tersenyum. "Dunia memang sempit, Ham. Tapi perasaan manusia luas sekali."Arham menatap mamanya. "Kalau aku serius dalam kedekatan kami, seperti kami bertukar pasangan. Aku mantan suami Hilya, dia mantan istrinya Bre.""Nak," ucap Bu Rida lembut. "Semua ini bukan kesengajaan. Kalian bertemu nggak sengaja di saat sudah sama-sama saling sendiri. Kamu dan Hilya sudah selesai. Agatha dan Bre pun sudah bercerai lebih dari se
USAI KEPUTUSAN CERAI - Sang Mantan 2Author's POV Arham tercekat. Ini kejutan yang sungguh luar biasa baginya. Kebetulan macam apa ini. Hening. Mereka saling pandang dalam perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan. Kenapa tidak sejak awal saja saling bercerita, biar terungkap semuanya. Ketika hati sama-sama bertaut dan ingin lebih dekat lagi, muncul kenyataan yang sangat luar biasa."Pernikahan kami hanya setahun saja. Dia pria yang baik." Agatha menarik napas panjang sambil membuang pandang ke luar lewat sekat kaca. "Kami terakhir bertemu tiga setengah tahun yang lalu. Disaat dia sudah menikah dan istrinya tengah hamil lima bulan. Rifky diajaknya saat itu."Agatha menarik napas panjang lalu melanjutkan bicara. "Makanya saya kaget melihat Rifky kemarin. Saya masih ingat betul wajahnya."Senyum getir terbit di bibir Arham. "Lucu cerita ini, Mbak.""Ya." Agatha pun ikut tersenyum. Sama-sama mengulas senyum yang terasa pahit. Setelah diam beberapa saat, Agatha kembali bicara tentang
"Aku tahu dari anaknya Arham. Aku masih ingat wajah anak itu yang dulu di gendong Bre saat kami ketemuan di sebuah rumah makan. Tiga setengah tahun yang lalu." Agatha mengeluarkan ponsel yang sejak tadi belum dikeluarkan dari dalam sakunya. Ia menunjukkan foto Rifky yang diambilnya di area tempat bermain."Ini anak tirinya Bre?" Bu Wawan memandang Agatha."Ya. Ganteng, kan?"Bu Wawan mengangguk. Kemudian meletakkan ponsel di atas meja. "Apa itu masalah buatmu?" tanyanya lembut pada Agatha."Aku kaget, Ma. Dikala aku siap membuka hati, harus menghadapi kenyataan seperti ini. Kalau ada jodoh antara aku dan Arham. Begitu lucunya kenyataan. Kami seolah bertukar pasangan.""Semua nggak disengaja dan ini bukan lelucon. Majulah terus, Nduk. Kalian bisa sama-sama berusaha untuk saling menyembuhkan dan membina masa depan. Apapun yang terjadi di masa lalu, kalian berhak juga mendapatkan kebahagiaan. Kalau Nak Arham memang serius, terima saja. Percayalah hati kalian akan sembuh seiring berjalann
Namun hari ini dia tahu satu kenyataan. Ternyata Arham mantan suaminya Hilya, istri Bre. Lalu bagaimana dia bisa bangkit dan melupakan semuanya kalau masih saling berkaitan begini."Dari sini Mas Arham langsung mengajak Rifky pulang ke rumah?""Aku mampir ke rumah mama dulu. Sorenya baru pulang ke rumah. Mbak Gatha, mau ikut?""Sore ini saya harus mengantarkan mama keluar, Mas. Lain kali saja.""Oke." Arham mengangguk.Mereka menemani Rifky bermain hingga satu jam kemudian. Lantas keluar mall dan berpisah di parkiran.Melihat sikap Agatha yang perhatian terhadap Rifky, Arham lega. Timbul harapan hubungan mereka akan ada peningkatan. Dia tidak mempermasalahkan usianya yang lebih muda dari Agatha. Apalagi sang mama juga menyukai wanita itu. Arham ingin mewujudkan keinginan mamanya untuk segera menikah. "Mama ingin melihatmu berumah tangga lagi, sebelum mama pergi. Lihat sekarang mama sakit-sakitan. Mama berharap kamu punya pasangan dan hidup bahagia. Toh hubunganmu dengan Hilya juga su
USAI KEPUTUSAN CERAI- Sang MantanAuthor's POV "Rifky, salim dulu sama Tante Agatha." Rifky mengulurkan tangan kecilnya untuk menyalami wanita yang seketika itu menyondongkan tubuh padanya.Benar, tidak salah lagi. Dia anak tirinya Bre. Agatha masih ingat wajah tampannya. Untuk Rifky sendiri, tentu saja dia tidak ingat dengan Agatha. Saat bertemu kala itu baru berumur dua setengah tahun."Sudah sekolah?" tanya Agatha dengan wajah ramah."Sudah, Tante."Agatha mengusap lembut rambut Rifky. Kemudian ia berbincang dengan Arham. Namun belum membahas tentang apa yang ia ketahui. Setelah perkenalan di rest area saat itu, mereka berteman. Lumayan akrab setelah beberapa bulan kemudian. Sama-sama bekerja di bidang yang sama, jadi bertukar pengalaman. Apalagi sudah sepuluh tahun lebih Agatha meninggalkan Surabaya. Jadi dia belum begitu memahami banyaknya perubahan.Mereka sudah beberapa kali janjian makan siang di sela jam istirahat. Akan tetapi, Arham tidak banyak menceritakan tentang kehid
Hilya teringat satu malam yang berlalu begitu cepat saat sang suami menginginkannya. Malam di mana ia lupa menelan pil kecil yang biasa melindungi dari kemungkinan seperti ini. Hamil. Apa mungkin hamil hanya karena sekali saja lupa minum pil kontrasepsi? Tapi dia merasakan perubahan itu. "Sayang." Suara serak Bre terdengar dari balik selimut. Ia menggeliat lalu melihat istrinya duduk termenung."Kenapa? Kamu nggak enak badan?" tanya Bre sambil bangkit dan duduk merapat pada sang istri dan menyentuh keningnya.Hilya menoleh, menatap wajah suaminya yang terlihat masih mengantuk. Tadi malam Bre memang pulang dari Surabaya sudah jam sebelas. Hilya menarik napas panjang lalu berkata pelan, "Aku mual sudah beberapa hari ini, Mas. Tapi pagi ini malah tambah begah."Bre mengerutkan kening. Seketika matanya terbuka lebar karena ingat percakapan mereka suatu malam, di mana Hilya bilang lupa minum pil kontrasepsi. "Kamu hamil?""Mungkin. Aku sudah sebulan lebih telat haid."Napas Bre langsung t
"Kalau gitu, saya pamit dulu." Arham bangkit dari duduknya lalu menyalami Bre dan Hilya. Pria itu mendekat pada dua bocah yang masih sibuk dengan mainannya. Rifky dan Rafka langsung berdiri dan memeluk Arham. Menciuminya bergantian. Dia pun sayang pada Rafka yang tampan dan menggemaskan. Arham melangkah keluar rumah di antarkan oleh Bre, Hilya, dan anak-anak. Arham menoleh sebelum membuka pintu pagar. Melambaikan tangan yang dibalas oleh Rifky dan Rafka.Setelah itu Hilya mengajak Rifky untuk berganti pakaian ke kamarnya, sedangkan Rafka duduk bermain di karpet ditemani oleh sang papa.Sementara Arham kembali melaju di jalan utama. Sendirian lagi setelah dua hari ditemani. Namun sebenarnya dia sudah terbiasa kesepian semenjak perceraian. Hidup sendiri, kalau sakit juga sendiri. Arham tidak pernah memberitahu pada mamanya, karena Bu Rida sendiri juga sakit-sakitan. Kalau memang sudah tidak tahan, baru ia memberitahu adiknya. Itu pun setelah sangat terpaksa, karena Arham juga kasihan p
USAI KEPUTUSAN CERAI- KenalanAuthor's POV "Mas." Wanita berpakaian seragam sebuah butik itu menghampiri Arham."Tika." Arham mendekap erat Rifky.Mereka saling pandang sejenak. Wajah wanita itu berbinar. Semenjak bercerai, dia tidak pernah bertemu mantan suaminya. Berbagai cara dilakukan supaya bisa berjumpa dengan Arham, tapi tak pernah berhasil.Setiap kali melihatnya, mungkin Arham sengaja menghindar. Hubungan mereka benar-benar sudah selesai di akhir persidangan.Sudah setahun ini dia bekerja di butik yang ada di mall itu. Setahun kemarin sibuk dengan keterpurukannya. Tak ada dukungan, tak ada support karena keluarganya memang berantakan. Sudah seperti orang stres saja menghabiskan waktu ke sana ke mari tanpa teman. Karena beberapa teman dekat menjauhi, tidak peduli, dan mereka juga sibuk dengan aktivitas masing-masing.Apalagi Aruna sama sekali tidak pernah menghubunginya. Dihubungi juga tidak bisa. Ia dengar wanita itu sudah kembali bahagia dengan suami dan anaknya.Uang Idda