USAI KEPUTUSAN CERAI - Malam Penghargaan "Malam ini, perusahaan akan memberikan penghargaan kepada karyawan terbaik tahun ini. Dengan dedikasi, kerja keras, dan profesionalismenya, penghargaan ini memang layak diberikan kepada Mbak Hilya. Wanita tangguh yang luar biasa. Single mom yang hebat," pujian pembawa acara kembali menggema mengiringi langkahku menuju panggung.Jantungku berdetak lebih cepat.Tepuk tangan kembali bergemuruh. Aku berusaha tetap tenang meskipun bisa merasakan puluhan pasang mata mengarah padaku.Aku berdiri di sebelah pembawa acara setelah menyambut uluran tangannya. Pada akhirnya aku bisa berdiri di panggung kebanggaan dan impian semua karyawan."Dengan segala hormat, saya meminta Pak Tristan untuk memberikan trofi penghargaan pada Mbak Hilya."Gemuruh tepuk tangan kembali terdengar. Tristan bangkit dari duduknya seraya mengancingkan jas hitam yang dipakai. Melangkah tegap ke arah panggung. Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat tatapan tidak suka Aruna dan k
Beberapa saat kemudian, suara mikrofon kembali diketuk beberapa kali, membuat percakapan di ruangan meredup dan kembali memandang ke panggung. Pembawa acara sudah berdiri di sana, persiapan untuk acara undian berhadiah.Seluruh karyawan mengambil nomer di dalam tas masing-masing. Kertas kecil yang diberikan oleh panitia saat kami memasuki ballroom."Semoga aku dapat motor.""Aku dapat kulkas pun nggak apa-apa."Celetuk beberapa rekan yang sangat antusias menantikan undian. Seketika ruangan kembali riuh. Piring-piring yang masih berisi makanan ditaruh dulu di atas meja dan fokus ke atas panggung.Dari hadiah terkecil, hingga hadiah-hadiah mahal membuat suara orang-orang bersorak senang.Ani hanya mendapatkan kipas angin, Ika mendapatkan setrika, dan aku belum mendapatkan apa-apa. Aku tidak berharap lagi setelah mendapatkan penghargaan sebagai karyawan terbaik. Itu sudah cukup."Yang mendapatkan hadiah utama adalah nomer undian 763." MC menyebut tiga angka. Dan membuatku sangat kaget. I
Aku memandang ke arah kiri. Mas Arham membuka kaca mobilnya. Rifky menggerak-gerakkan kakinya saat melihat sang papa. "Papa.""Rifky." Mas Arham tersenyum memandang anaknya."Kalian mau ke mana?""Aku mau ngajak Rifky jalan-jalan," jawabku kembali fokus pada traffic light."Ke mana?""Maaf, kami pergi dulu!" pamitku karena lampu sudah berganti warna. Dan dari spion kulihat mobilnya mengikuti kami. Namun tidak terkejar karena aku lolos di lampu merah berikutnya, sedangkan dia terjebak dan harus berhenti.Aku langsung masuk mall sambil menunggu Ika dan Ani sampai. Kubiarkan Rifky turun dan berlarian di koridor. Kebetulan mall baru buka, jadi pengunjung belum seberapa ramai.***L***"Hilya, kamu akan mendapatkan promosi jabatan sebagai CFO. Chief Financial Officer," kata Tristan siang itu yang membuatku spontan terkejut."Benarkah, Pak? Tapi masih ada yang lebih senior dari saya.""Papa sudah memutuskan hal itu. Kamu memang layak mendapatkannya. Kami sudah serius membicarakannya. Kerja b
USAI KEPUTUSAN CERAI- Luka Lelaki Author's POV "Kamu, Tristan. Apa nggak bisa mengurangi interaksi dengan wanita itu." Pak Ardi berkata dengan mata menyala-nyala penuh amarah."Wanita itu punya nama, Pa. Dia karyawan terbaik di kantor kami. Bagaimana saya harus mengurangi interaksi, sedangkan kami ini satu tim kerja. Kami berhubungan secara profesional. Jangan berlebih-lebihan membuat masalah ini kian runcing, Pa. Maaf, kalau ucapan saya kasar." Di akhir kalimat, suara Tristan melunak.Pak Fadlan yang sejak tadi diam, berdehem seraya menegakkan duduknya. Dengan pembawaan tenang, ia memandang sang besan. "Pak Ardi, bukankah masalah ini sudah kita bahas sebulan yang lalu. Sudah kita anggap clear, bukan. Cobalah tanyai baik-baik Aruna, maunya apa? Tristan nggak ngapa-ngapain dengan Hilya."Apa dia pernah memergoki Tristan dan Hilya berkencan atau hanya sekedar berduaan. Bahkan kalau mereka berbincang di ruang meeting pun, seringnya ada saya di sana. Ada tim, ada staf lain juga."Hilya
Zara ini sepupunya Aruna. Putri dari kakak perempuannya istri Pak Ardi. Gadis yang dipacari Tristan. Namun diam-diam Aruna menaruh hati pada Tristan dan dengan licik Pak Ardi mengancam dan meminta Zara menjauhi Tristan. Zara yang tidak berdaya karena berhutang budi pada pamannya itu, akhirnya pergi. Setelah ayahnya Zara meninggal, biaya hidup ia dan ibunya, biaya sekolah hingga kuliah ditanggung oleh Pak Ardi. Namun harus dibayar mahal dengan kehilangan lelaki yang sangat ia cintai.Tapi Zara beruntung mendapatkan suami yang baik, meski bukan lelaki kaya raya. Pria itu sangat bertanggung jawab. Dulunya dia bekerja di perusahaan Pak Ardi, tapi setelah menikahi Zara, akhirnya berhenti atas keinginannya sendiri. Dan membawa Zara bersama ibunya pergi dari kota Surabaya."Papa tahu kamu ada hati dengan Hilya."Tristan terkejut dan memandang papanya sekilas. "Papa nggak bisa kamu bohongi sekalipun kamu berkata tidak. Kamu harus ingat kalau punya istri dan anak. Bagaimanapun terpaksanya ka
Arham terbayang Hilya. Ia mengingat betapa Hilya selalu memastikan perutnya kenyang. Bahkan ketika lelah setelah seharian bekerja, tetap saja ia akan menyiapkan sesuatu. Meskipun hanya nasi goreng sederhana atau sup hangat yang selalu membuatnya merasa dihargai. Menyiapkan baju-baju kerja dan baju rumahan yang selalu rapi dan wangi.Dan sekarang?Atika lebih sering keluar dengan teman-temannya. Lebih banyak menghabiskan uang daripada mencari uang. Dua tahun lalu memilih resign dengan alasan ingin menjadi ibu rumah tangga yang fokus, tapi kenyataannya lebih sering berada di luar rumah.Arham bersandar di punggung kursi, menatap kosong ke depan. Teringat dinner malam itu. Hilya semandiri itu, sampai tidak pernah menghubunginya untuk urusan anak. Bayangan Hilya yang berdiri di atas panggung saat malam penghargaan kembali menghantui pikirannya. Dia terlihat begitu elegan. Senyum bangga menghiasi wajah cantiknya saat menerima penghargaan.Ia mendengar pidato singkat Hilya yang membuat hat
USAI KEPUTUSAN CERAI - Perjalanan Akhir PekanAuthor's POV Malam semakin larut, Arham masih duduk di kursi teras rumahnya. Memandang langit malam yang kelam. Pikirannya melayang. Ada banyak hal yang mengganggunya. Ada penyesalan yang menyesakkan dada, bayangan masa lalu yang terus menghantui, wajah Hilya dan Rifky yang entah kenapa selalu muncul di pikirannya. Dia dengan sadar telah menyakiti dan melepaskan permata dalam hidupnya.Tak terbayangkan bagaimana sulitnya hidup Hilya ketika baru bercerai duku. Hamil dan terus bekerja. Sementara dia bersenang-senang dengan istri barunya. Menghabiskan sepanjang malam, sepanjang hari dalam kegilaan bersama Atika.Di ujung perceraian, ia baru tahu kalau Hilya hamil."Mas Arham, apa kabar?" Suatu malam saat sedang makan di restoran sehabis bertemu klien, Arham dihampiri oleh dokter Nely.Dokter kandungan tempat ia mengantarkan Hilya untuk periksa kehamilan. Yang menangani saat Hilya keguguran. Juga tempat konsultasi pasca keguguran."Kabar ba
"Dari wajahnya saja dia nggak suka kalau mama menginap di rumahmu. Dia memang nggak ngomong, tapi mama tahu. Mama juga dengar saat dia nanya sama kamu, kapan mau nganterin mama pulang, waktu mama nginap di rumahmu tempo hari." Bu Rida berkata dengan nada sedih. Membuat Arham makin merasa bersalah."Beruntung kamu, Ham. Nyerein Hilya dapat perempuan yang nggak berguna. Sudah pernah ditinggal, eh masih juga kamu terima saat dia ingin kembali. Setelah kamu sukses bersama Hilya. Kamu ini bisa mikir nggak, sih. Heran aku sama kamu." Kakaknya juga mengomel waktu itu.Arham kembali membuka mata. Hening. Wajar kalau keluarganya pun membenci, karena ia memang tidak tahu diri.*****LS*****Sabtu pagi langit sangat cerah. Cahaya matahari terasa menghangatkan awal pagi yang agak dingin.Hilya sudah bersiap untuk berangkat ke kantor. Pagi ini perjalanan pertamnya bersama Rifky untuk family gathering. Ia memilih blouse warna biru dan celana kulot berwarna hitam, pakaian yang nyaman untuk perjalanan
"Aku tahu dari anaknya Arham. Aku masih ingat wajah anak itu yang dulu di gendong Bre saat kami ketemuan di sebuah rumah makan. Tiga setengah tahun yang lalu." Agatha mengeluarkan ponsel yang sejak tadi belum dikeluarkan dari dalam sakunya. Ia menunjukkan foto Rifky yang diambilnya di area tempat bermain."Ini anak tirinya Bre?" Bu Wawan memandang Agatha."Ya. Ganteng, kan?"Bu Wawan mengangguk. Kemudian meletakkan ponsel di atas meja. "Apa itu masalah buatmu?" tanyanya lembut pada Agatha."Aku kaget, Ma. Dikala aku siap membuka hati, harus menghadapi kenyataan seperti ini. Kalau ada jodoh antara aku dan Arham. Begitu lucunya kenyataan. Kami seolah bertukar pasangan.""Semua nggak disengaja dan ini bukan lelucon. Majulah terus, Nduk. Kalian bisa sama-sama berusaha untuk saling menyembuhkan dan membina masa depan. Apapun yang terjadi di masa lalu, kalian berhak juga mendapatkan kebahagiaan. Kalau Nak Arham memang serius, terima saja. Percayalah hati kalian akan sembuh seiring berjalann
Namun hari ini dia tahu satu kenyataan. Ternyata Arham mantan suaminya Hilya, istri Bre. Lalu bagaimana dia bisa bangkit dan melupakan semuanya kalau masih saling berkaitan begini."Dari sini Mas Arham langsung mengajak Rifky pulang ke rumah?""Aku mampir ke rumah mama dulu. Sorenya baru pulang ke rumah. Mbak Gatha, mau ikut?""Sore ini saya harus mengantarkan mama keluar, Mas. Lain kali saja.""Oke." Arham mengangguk.Mereka menemani Rifky bermain hingga satu jam kemudian. Lantas keluar mall dan berpisah di parkiran.Melihat sikap Agatha yang perhatian terhadap Rifky, Arham lega. Timbul harapan hubungan mereka akan ada peningkatan. Dia tidak mempermasalahkan usianya yang lebih muda dari Agatha. Apalagi sang mama juga menyukai wanita itu. Arham ingin mewujudkan keinginan mamanya untuk segera menikah. "Mama ingin melihatmu berumah tangga lagi, sebelum mama pergi. Lihat sekarang mama sakit-sakitan. Mama berharap kamu punya pasangan dan hidup bahagia. Toh hubunganmu dengan Hilya juga su
USAI KEPUTUSAN CERAI- Sang MantanAuthor's POV "Rifky, salim dulu sama Tante Agatha." Rifky mengulurkan tangan kecilnya untuk menyalami wanita yang seketika itu menyondongkan tubuh padanya.Benar, tidak salah lagi. Dia anak tirinya Bre. Agatha masih ingat wajah tampannya. Untuk Rifky sendiri, tentu saja dia tidak ingat dengan Agatha. Saat bertemu kala itu baru berumur dua setengah tahun."Sudah sekolah?" tanya Agatha dengan wajah ramah."Sudah, Tante."Agatha mengusap lembut rambut Rifky. Kemudian ia berbincang dengan Arham. Namun belum membahas tentang apa yang ia ketahui. Setelah perkenalan di rest area saat itu, mereka berteman. Lumayan akrab setelah beberapa bulan kemudian. Sama-sama bekerja di bidang yang sama, jadi bertukar pengalaman. Apalagi sudah sepuluh tahun lebih Agatha meninggalkan Surabaya. Jadi dia belum begitu memahami banyaknya perubahan.Mereka sudah beberapa kali janjian makan siang di sela jam istirahat. Akan tetapi, Arham tidak banyak menceritakan tentang kehid
Hilya teringat satu malam yang berlalu begitu cepat saat sang suami menginginkannya. Malam di mana ia lupa menelan pil kecil yang biasa melindungi dari kemungkinan seperti ini. Hamil. Apa mungkin hamil hanya karena sekali saja lupa minum pil kontrasepsi? Tapi dia merasakan perubahan itu. "Sayang." Suara serak Bre terdengar dari balik selimut. Ia menggeliat lalu melihat istrinya duduk termenung."Kenapa? Kamu nggak enak badan?" tanya Bre sambil bangkit dan duduk merapat pada sang istri dan menyentuh keningnya.Hilya menoleh, menatap wajah suaminya yang terlihat masih mengantuk. Tadi malam Bre memang pulang dari Surabaya sudah jam sebelas. Hilya menarik napas panjang lalu berkata pelan, "Aku mual sudah beberapa hari ini, Mas. Tapi pagi ini malah tambah begah."Bre mengerutkan kening. Seketika matanya terbuka lebar karena ingat percakapan mereka suatu malam, di mana Hilya bilang lupa minum pil kontrasepsi. "Kamu hamil?""Mungkin. Aku sudah sebulan lebih telat haid."Napas Bre langsung t
"Kalau gitu, saya pamit dulu." Arham bangkit dari duduknya lalu menyalami Bre dan Hilya. Pria itu mendekat pada dua bocah yang masih sibuk dengan mainannya. Rifky dan Rafka langsung berdiri dan memeluk Arham. Menciuminya bergantian. Dia pun sayang pada Rafka yang tampan dan menggemaskan. Arham melangkah keluar rumah di antarkan oleh Bre, Hilya, dan anak-anak. Arham menoleh sebelum membuka pintu pagar. Melambaikan tangan yang dibalas oleh Rifky dan Rafka.Setelah itu Hilya mengajak Rifky untuk berganti pakaian ke kamarnya, sedangkan Rafka duduk bermain di karpet ditemani oleh sang papa.Sementara Arham kembali melaju di jalan utama. Sendirian lagi setelah dua hari ditemani. Namun sebenarnya dia sudah terbiasa kesepian semenjak perceraian. Hidup sendiri, kalau sakit juga sendiri. Arham tidak pernah memberitahu pada mamanya, karena Bu Rida sendiri juga sakit-sakitan. Kalau memang sudah tidak tahan, baru ia memberitahu adiknya. Itu pun setelah sangat terpaksa, karena Arham juga kasihan p
USAI KEPUTUSAN CERAI- KenalanAuthor's POV "Mas." Wanita berpakaian seragam sebuah butik itu menghampiri Arham."Tika." Arham mendekap erat Rifky.Mereka saling pandang sejenak. Wajah wanita itu berbinar. Semenjak bercerai, dia tidak pernah bertemu mantan suaminya. Berbagai cara dilakukan supaya bisa berjumpa dengan Arham, tapi tak pernah berhasil.Setiap kali melihatnya, mungkin Arham sengaja menghindar. Hubungan mereka benar-benar sudah selesai di akhir persidangan.Sudah setahun ini dia bekerja di butik yang ada di mall itu. Setahun kemarin sibuk dengan keterpurukannya. Tak ada dukungan, tak ada support karena keluarganya memang berantakan. Sudah seperti orang stres saja menghabiskan waktu ke sana ke mari tanpa teman. Karena beberapa teman dekat menjauhi, tidak peduli, dan mereka juga sibuk dengan aktivitas masing-masing.Apalagi Aruna sama sekali tidak pernah menghubunginya. Dihubungi juga tidak bisa. Ia dengar wanita itu sudah kembali bahagia dengan suami dan anaknya.Uang Idda
"Kita masuk dulu dan lihat-lihat di dalam. Nanti beliin juga buat adek."Rifky mengangguk. Arham menggandengnya masuk ke dalam. Berjalan melihat mainan yang dipajang. Akhirnya Rifky mengambil dua mobilan untuk dirinya dan Rafka.Setelah puas berkeliling dan bermain, mereka menuju food court. Arham membiarkan Rifky memilih sendiri apa yang ingin dia makan. Bocah itu menunjuk chicken nugget, bakso, dan kentang goreng. Mereka duduk di meja dekat jendela, menikmati makanan sambil bercakap ringan.Arham bahagia, tapi Rifky berusaha menyesuaikan dengan kondisi. Belum lama berpisah dari adik, bunda, dan Papa Bre, ia sudah merasa kangen. Dia belum pernah berjauhan dari mereka. Bocah itu agak terhibur karena Arham terus mengajaknya bicara dan bercanda.Setelah itu Arham mengajak putranya pulang. Kali ini bukan langsung pulang ke rumah, tapi singgah dulu ke rumah Bu Rida."Kita mampir ke rumah nenek dulu, ya!""Ini rumah nenek, Pa?""Ya. Rumah Nenek Rida. Ayo, kita ketemu nenek dulu sebelum pul
Dua anak itu tidur dalam satu kamar, di kamar berbeda dari kedua orang tuanya. Dijaga oleh Mak As. Tapi Hilya juga berperan penuh menjaga anak-anaknya. Dia belum kembali ke kantor seperti harapannya. Mungkin nanti jika anak-anak sudah sekolah semua. Bre pun memberikan kebebasan Hilya untuk menentukan. Dia senang kalau bisa setiap waktu bersama sang istri di kantor, tapi dia juga lega karena anak-anak dijaga bundanya sendiri dan tidak menyerahkan sepenuhnya pada pengasuh."Kak, mau ana?" Rafka yang sudah terbangun heran melihat sang kakak yang sedang digantikan baju rapi oleh bundanya. Bocah yang berusia dua tahun setengah itu mendekat dan memandangi sang kakak."Kak Rifky mau ke Surabaya. Besok kakak sudah pulang lagi." Sambil menyisir rambutnya Rifky, Hilya menjawab pertanyaan anak keduanya."Ikut," celetuk Rafka."Adek sama bunda dan papa di rumah. Kalau adek sudah besar, baru boleh ikut." Hilya memberikan pengertian.Bukannya mengerti, Rafka malah merengek. Rifky menangkupkan kedua
USAI KEPUTUSAN CERAI- IzinAuthor's POV Pagi itu langit di sepanjang jalan menuju Malang masih menyisakan kabut tipis. Di kejauhan terlihat seperti tirai putih yang menampilkan bayang pepohonan di latar belakang. Hawa pastinya masih terasa begitu dingin.Arham sengaja berangkat sehabis salat subuh tadi agar sampai kota Malang masih pagi. Dia sangat antusias ketika mendapatkan izin untuk mengajak Rifky ke Surabaya selama dua hari.Ini untuk pertama kalinya Arham diberi kesempatan membawa putranya menginap. Itu pun setelah Rifky sendiri ditanyai oleh bundanya, bersedia ikut papanya apa tidak. Ternyata Rifky mau. Akhirnya Bre yang menelepon Arham untuk bicara.Kebahagiaan Arham tidak terlukiskan dengan kata-kata. Dia harus berterima kasih pada Bre, telah begitu pengertian dan bijaksana menyikapi hubungan antara dirinya dengan Rifky. Walaupun ayah tiri, Bre menjadi ayah yang luar biasa. Mereka mendidik putranya begitu baik.Ketika mobil Arham sampai di depan pagar rumah Bre, suasana ma