USAI KEPUTUSAN CERAI- Luka Lelaki Author's POV "Kamu, Tristan. Apa nggak bisa mengurangi interaksi dengan wanita itu." Pak Ardi berkata dengan mata menyala-nyala penuh amarah."Wanita itu punya nama, Pa. Dia karyawan terbaik di kantor kami. Bagaimana saya harus mengurangi interaksi, sedangkan kami ini satu tim kerja. Kami berhubungan secara profesional. Jangan berlebih-lebihan membuat masalah ini kian runcing, Pa. Maaf, kalau ucapan saya kasar." Di akhir kalimat, suara Tristan melunak.Pak Fadlan yang sejak tadi diam, berdehem seraya menegakkan duduknya. Dengan pembawaan tenang, ia memandang sang besan. "Pak Ardi, bukankah masalah ini sudah kita bahas sebulan yang lalu. Sudah kita anggap clear, bukan. Cobalah tanyai baik-baik Aruna, maunya apa? Tristan nggak ngapa-ngapain dengan Hilya."Apa dia pernah memergoki Tristan dan Hilya berkencan atau hanya sekedar berduaan. Bahkan kalau mereka berbincang di ruang meeting pun, seringnya ada saya di sana. Ada tim, ada staf lain juga."Hilya
Zara ini sepupunya Aruna. Putri dari kakak perempuannya istri Pak Ardi. Gadis yang dipacari Tristan. Namun diam-diam Aruna menaruh hati pada Tristan dan dengan licik Pak Ardi mengancam dan meminta Zara menjauhi Tristan. Zara yang tidak berdaya karena berhutang budi pada pamannya itu, akhirnya pergi. Setelah ayahnya Zara meninggal, biaya hidup ia dan ibunya, biaya sekolah hingga kuliah ditanggung oleh Pak Ardi. Namun harus dibayar mahal dengan kehilangan lelaki yang sangat ia cintai.Tapi Zara beruntung mendapatkan suami yang baik, meski bukan lelaki kaya raya. Pria itu sangat bertanggung jawab. Dulunya dia bekerja di perusahaan Pak Ardi, tapi setelah menikahi Zara, akhirnya berhenti atas keinginannya sendiri. Dan membawa Zara bersama ibunya pergi dari kota Surabaya."Papa tahu kamu ada hati dengan Hilya."Tristan terkejut dan memandang papanya sekilas. "Papa nggak bisa kamu bohongi sekalipun kamu berkata tidak. Kamu harus ingat kalau punya istri dan anak. Bagaimanapun terpaksanya ka
Arham terbayang Hilya. Ia mengingat betapa Hilya selalu memastikan perutnya kenyang. Bahkan ketika lelah setelah seharian bekerja, tetap saja ia akan menyiapkan sesuatu. Meskipun hanya nasi goreng sederhana atau sup hangat yang selalu membuatnya merasa dihargai. Menyiapkan baju-baju kerja dan baju rumahan yang selalu rapi dan wangi.Dan sekarang?Atika lebih sering keluar dengan teman-temannya. Lebih banyak menghabiskan uang daripada mencari uang. Dua tahun lalu memilih resign dengan alasan ingin menjadi ibu rumah tangga yang fokus, tapi kenyataannya lebih sering berada di luar rumah.Arham bersandar di punggung kursi, menatap kosong ke depan. Teringat dinner malam itu. Hilya semandiri itu, sampai tidak pernah menghubunginya untuk urusan anak. Bayangan Hilya yang berdiri di atas panggung saat malam penghargaan kembali menghantui pikirannya. Dia terlihat begitu elegan. Senyum bangga menghiasi wajah cantiknya saat menerima penghargaan.Ia mendengar pidato singkat Hilya yang membuat hat
USAI KEPUTUSAN CERAI - Perjalanan Akhir PekanAuthor's POV Malam semakin larut, Arham masih duduk di kursi teras rumahnya. Memandang langit malam yang kelam. Pikirannya melayang. Ada banyak hal yang mengganggunya. Ada penyesalan yang menyesakkan dada, bayangan masa lalu yang terus menghantui, wajah Hilya dan Rifky yang entah kenapa selalu muncul di pikirannya. Dia dengan sadar telah menyakiti dan melepaskan permata dalam hidupnya.Tak terbayangkan bagaimana sulitnya hidup Hilya ketika baru bercerai duku. Hamil dan terus bekerja. Sementara dia bersenang-senang dengan istri barunya. Menghabiskan sepanjang malam, sepanjang hari dalam kegilaan bersama Atika.Di ujung perceraian, ia baru tahu kalau Hilya hamil."Mas Arham, apa kabar?" Suatu malam saat sedang makan di restoran sehabis bertemu klien, Arham dihampiri oleh dokter Nely.Dokter kandungan tempat ia mengantarkan Hilya untuk periksa kehamilan. Yang menangani saat Hilya keguguran. Juga tempat konsultasi pasca keguguran."Kabar ba
"Dari wajahnya saja dia nggak suka kalau mama menginap di rumahmu. Dia memang nggak ngomong, tapi mama tahu. Mama juga dengar saat dia nanya sama kamu, kapan mau nganterin mama pulang, waktu mama nginap di rumahmu tempo hari." Bu Rida berkata dengan nada sedih. Membuat Arham makin merasa bersalah."Beruntung kamu, Ham. Nyerein Hilya dapat perempuan yang nggak berguna. Sudah pernah ditinggal, eh masih juga kamu terima saat dia ingin kembali. Setelah kamu sukses bersama Hilya. Kamu ini bisa mikir nggak, sih. Heran aku sama kamu." Kakaknya juga mengomel waktu itu.Arham kembali membuka mata. Hening. Wajar kalau keluarganya pun membenci, karena ia memang tidak tahu diri.*****LS*****Sabtu pagi langit sangat cerah. Cahaya matahari terasa menghangatkan awal pagi yang agak dingin.Hilya sudah bersiap untuk berangkat ke kantor. Pagi ini perjalanan pertamnya bersama Rifky untuk family gathering. Ia memilih blouse warna biru dan celana kulot berwarna hitam, pakaian yang nyaman untuk perjalanan
Bukannya langsung pulang, Arham mengikuti taksi yang melaju ke arah kantornya Hilya. Hingga dari kejauhan, ia bisa melihat Hilya turun sambil menggendong Rifky. Kemudian tangan kanannya menarik koper kecil. Hilya tidak kesulitan melakukan semua itu sendirian.Sementara Hilya terus bergabung bersama rekan-rekan lainnya. Sebagian dari mereka mengajak suami dan anak. Ani pun sudah sampai, tapi Ika belum."Rifky, duh keren banget sih kamu, Nak," puji Ani menciumi Rifky yang sudah di turunkan oleh Hilya. Anaknya Ani langsung memeluk Rifky. Bocah perempuan umur empat tahun itu gemas melihat si cowok kecil.Mereka duduk sambil menunggu Ika. Sepuluh menit kemudian wanita itu sampai sambil menggandeng anak lelakinya yang berumur hampir lima tahun.Anak-anak bergabung dengan suka cita. Berlarian bahagia di hadapan orang tua mereka."Aku ngelihat mobil mantanmu parkir di depan sana, Hil," kata Ika sambil menoleh ke arah jalan raya depan kantor."Tadi dia nemui anaknya di rumah. Mungkin dipikirny
USAI KEPUTUSAN CERAI- Pria ItuAuthor's POV Menjelang sore hari cuaca sangat cerah. Anak-anak kembali bermain di playground. Para karyawan berjalan-jalan di sekitar penginapan menikmati suasana alam yang menyenangkan. Sebab udara yang begitu dingin, mereka memakai jaket dan sweater."Giska, ayo kembali ke kamar." Aruna meraih lengan sang anak yang tengah asyik bermain dengan Rifky, Caca, Haikal, serta anak-anak lainnya di playground. Masih sempat ia melirik tajam pada Hilya yang duduk tenang menunggui anaknya bermain. "Giska masih mau main, Ma," tolak gadis kecil itu. Namun Aruna tetap menarik tangan putrinya dan mengajak kembali ke kamar."Kenapa tuh? Anak mau bermain malah ditarik pergi. Apa nggak malu diperhatikan para karyawan. Pantesan Pak Tristan oleng, lha wong model bininya kayak gitu. Nggak elegan banget jadi istri bos. Padahal dia anak konglomerat." Ika yang duduk bersebelahan dengan Hilya berkata lirih sambil memandang pada Aruna yang memaksa anaknya masuk kamar."Ssttt
"Jangan kamu kira aku nggak tahu. Walaupun Zara sendiri nggak pernah cerita karena kami memang nggak pernah bertemu lagi." Tristan menatap tajam sang istri yang tengah membisu."Aku bisa menoleransi tentang Zara yang kalian singkirkan. Tapi harus kamu ingat, aku nggak akan diam kalau sampai kamu dan papamu mengusik kehidupan Hilya. Dia nggak salah apa-apa. Dia wanita yang bekerja demi anak dan keluarganya."Hilya nggak seberuntung kamu yang hidup berkecukupan. Dia berjuang mati-matian untuk masa depan dirinya dan Rifky. Jadi jangan usik dia." Tristan bicara penuh penekanan. Hening. Untuk beberapa lama mereka saling terdiam, hingga suara panggilan masuk dari ponselnya Tristan memecah kesunyian. "Halo, iya aku keluar. Tunggu bentar."Laki-laki itu bangkit dari duduknya dan melangkah keluar kamar. Meninggalkan Aruna yang mengamuk dengan melempar bantal sofa hingga membentur dinding. Kemudian menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Bagaimana Tristan bisa tahu tentang apa yang diren
Namun ia sudah terjebak ke dalam labirin yang tidak tahu di mana jalan keluarnya. Seumur hidup, sungguh terlalu lama. Sementara itu ponsel Tristan yang tergeletak di meja, layarnya menyala. Sebuah pesan masuk dari Bre.[Kamu di mana, Bro? Jadi ke Semarang.][Ya. Aku di Semarang sekarang.][Semarangnya mana?][Aku nginap Hotel Mustika.][Aku juga ada di Semarang. Bisa kita ketemuan? Aku tidak jauh dari situ.]Tristan terdiam. Bagaimana ini bisa kebetulan sekali. Bertemu di tempat yang sama padahal Semarang begitu luasnya. Beberapa hari yang lalu, ia memang memberitahu Bre kalau ada pekerjaan di Semarang. Tapi kenapa bisa sama, padahal kemarin Bre tidak bilang apa-apa.Tristan menegakkan tubuh, rahangnya mengeras. Dia ingin menghabiskan waktu dengan Hilya malam ini. Dia tidak ingin gangguan. Namun menolak Bre juga bukan pilihan. Sebab selama ini dia merahasiakan siapa wanita yang membuatnya mendua.Akhirnya Tristan mengiyakan.Setengah jam kemudian, seorang pria tinggi dengan kemeja na
Namun Bre kian resah karena belum ada pesan masuk dari Hilya. Yang pasti sekarang Hilya sudah ada di kantor yang mereka tuju. Apa sesibuk itu, hingga tidak sempat mengirimkan pesan padanya?"Hilya mau kan kamu ajak pindah ke Malang?""Kami akan membahasnya nanti. Masih banyak yang perlu kami bicarakan."Bu Rika manggut-manggut. "Kamu nggak ingin ketemu Hilya dulu sebelum berangkat ke Semarang?""Iya, nanti kami ketemuan." Bre tidak ingin menceritakan keresahannya pada sang mama. Daripada nanti jadi kepikiran. Yang jelas, dia tidak akan membiarkan Hilya terlepas."Sebelum berangkat, kamu makan siang dulu. Bentar, mama siapin." Bu Rika beranjak ke belakang. Menghampiri ART-nya yang tengah memasak. Sedangkan Bre buru-buru meraih ponselnya di atas meja saat benda pipih itu berpendar. Keresahannya spontan berubah kelegaan saat Hilya mengirimkan nama dan alamat hotel tempat mereka menginap. Juga mengirimkan informasi alamat terkini.[Oke. Kita ketemu di situ ya.][Iya.] Jawaban singkat dar
USAI KEPUTUSAN CERAI- Tiga Hati di Semarang Author's POV "Pak Bre, saya sudah pesankan tiketnya. Penerbangan jam tiga sore ini." Seorang asisten pribadinya memberitahu Bre di ruangannya."Oke, makasih banyak," jawab Bre seraya menutup laptop. Dilihatnya jam tangan. Baru jam delapan pagi. Tadi Hilya berangkat ke Semarang jam tujuh.Dia harus berangkat sekarang dari Malang ke Juanda. Nanti mampir sebentar ke rumah mamanya. Tadi sengaja berbohong pada Hilya kalau dia sudah ada di Solo, padahal baru mau berangkat dari Malang dan naik pesawat ke Semarang dari Juanda. Jujur saja dia khawatir dengan Hilya yang pergi bersama Tristan. Walaupun Bre kenal baik sama pria itu, tapi dia tidak percaya karena sahabatnya sedang dimabuk kepayang oleh Hilya. Perempuan yang sama-sama mereka cintai.Akan ada cerita berbeda saat Tristan sudah tahu semuanya. Namun ia berharap, persahabatan dan kerjasamanya dengan pria itu tidak akan bermasalah setelah ini. Makanya lebih baik ia berpura-pura tidak tahu t
"Mbak, lusa aku jadi ke Semarang. Sebenarnya ini sudah dijadwalkan Minggu kemarin, tapi di undur lusa. Mungkin dua sampai tiga hari aku di sana. Rifky kira-kira rewel nggak, ya?""Nggak. Kamu tenang saja. Dia manut sama Mbak."Hilya kepikiran Rifky saja kalau dia pergi ke luar kota. Biasanya hanya dua hari saja dia pergi, sekarang tiga hari."Untuk Bre, kalau menurut mbak. Jangan ragu, pandang dia yang sekarang, jangan lihat masa lalunya. Ayo, tidur. Mbak sudah ngantuk."Keduanya bangkit dari karpet dan masuk ke kamar masing-masing. Hilya berbaring menghadap Rifky yang memeluk guling. Diusapnya pelan pipi halusnya. Dialah cinta sejati bagi Hilya. Yang bisa mengobati rasa lelah hanya dengan tatapan matanya yang bening. Hilya bergerak pelan untuk mengecup kening Rifky. Kemudian memeluk kaki kecil itu dan dia pun memejam.🖤LS🖤"Hilya, ada pesan dari Arham." Mbak Asmi menunjukkan ponselnya pada Hilya.[Mbak, maaf kalau dalam beberapa waktu ke depan saya nggak datang menjenguk Rifky. Na
Omongan Pak Ardi yang ngelantur membuat Tristan menghela nafas panjang. "Saya tegaskan, Pa. Hubungan saya dengan Hilya, hanya sebatas tentang pekerjaan."Aruna yang sejak tadi diam saja, akhirnya juga ikut bicara. "Sudah, Pa. Jangan membahas hal ini lagi. Kami baik-baik saja, Papa nggak perlu khawatir." "Kamu tahu apa, Runa. Jangan sampai suamimu direbut perempuan lain, baru kamu nangis-nangis.""Aku nggak mau membahas ini lagi, Pa," sangkal Aruna. Dia ingat ucapan suaminya, kalau sampai mengusik Hilya, maka hubungan mereka yang menjadi taruhannya. "Lihat ini, Pa. Mas Tristan barusan ngasih hadiah." Aruna menunjukkan cincin berlian di jari manisnya. Pak Ardi dan istrinya memperhatikan.Selesai bicara, Aruna bangkit dari duduknya dan mengajak suaminya pamitan. "Kami pulang dulu, Pa. Aku lega Papa sudah jauh lebih baik." Aruna mencium tangan papa dan mamanya. Begitu juga dengan Tristan. Lantas mereka melangkah keluar kamar.Pak Ardi tampak kecewa. Anak yang dibelanya agar tidak diseli
USAI KEPUTUSAN CERAI - Cincin di Mobil Author's POV "Mas, beli ini untukku?" Aruna terbeliak kaget, sekaligus berbinar menemukan kotak perhiasan berbentuk hati warna merah jambu yang terletak di dasbor mobilnya Tristan.Senyumnya lebar saat ia membuka dan melihat ada sebentuk cincin berlian di dalamnya.Tristan yang baru duduk dan menutup pintu pun terkejut. Tidak mengira kalau istrinya membuka dasbor mobil, di mana ia menyimpan hadiah ulang tahun yang akan diberikan pada Hilya."Ini untukku, kan? Atau untuk selingkuhanmu?" tanya Aruna yang mulai tidak yakin kalau itu dibeli Tristan untuknya. Karena Tristan jarang memberikan kejutan. Kalau menginginkan sesuatu, Aruna hanya memberitahu suaminya, setelah itu pergi beli sendiri. Tristan berdecak jengkel. "Aku nggak punya selingkuhan. Nggak usah mengada-ada, Runa. Itu kubeli untukmu. Pas nggak di jarimu?" jawab Tristan seraya menyalakan mesin mobil dan bergerak pelan meninggalkan garasi. Mereka hendak ke rumah orang tua Aruna. Menjeng
Bre juga menceritakan sekilas tentang berbagai kecurangan dan permusuhan dengan keluarga Livia. Kemudian hubungan mereka kembali membaik setelah beberapa tahun kemudian. Pria itu juga menceritakan pernikahan keduanya dengan Agatha. Ini yang mengejutkan bagi Hilya. Karena ia berpikir, Bre hanya pernah menikah sekali saja."Saya tidak pernah menyentuh Agatha selama menikah. Biar dia bisa merasakan kebahagiaan dengan lelaki yang akan mencintainya setulus hati. Agar Agatha tidak seperti mama, yang diperlakukan seperti istri tapi tidak diberi hati sama sekali."Kalau ikutkan nafsu, lelaki pasti bernafsu. Tapi saya tidak ingin melakukan itu. Supaya dia bisa bahagia dengan pasangan barunya.""Sekarang Mbak Agatha sudah menikah?""Belum. Dia tinggal di Singapura hanya sesekali pulang ke Surabaya. Tapi kamu tidak usah khawatir, saya dan Agatha benar-benar sudah berakhir di saat putusan cerai dari pengadilan agama. Hubungan kami membaik, tapi tidak akrab juga. Dengan Livia, Hutama Jaya ada hubu
Dari jendela taksi yang membawanya malam itu, Hilya memperhatikan sepanjang perjalanan menuju kafe tempat ia akan bertemu Bre. Hanya berdua saja."Yakinkan hatimu, bahwa langkah yang kamu ambil ini tepat. Mbak 100% mendukungmu. Budhe juga mendukung. Mbak sudah cerita pada beliau tadi pagi." Mbak Asmi yang menungguinya bersiap berkata seperti itu tadi."Sebenarnya aku juga pengen Mbak Asmi juga menikah lagi." Hilya memandang sang kakak."Jangan tunggu mbak. Pokoknya kamu jangan abaikan kesempatan ini. Pria seperti Bre nggak akan datang dua kali, Hilya."Hilya sebenarnya tidak sampai hati kalau harus menikah lebih dulu. Namun kakaknya yang justru mendesak agar Hilya segera menerima Bre.Akhirnya taksi berhenti di depan sebuah kafe dua lantai di salah satu sudut kota Surabaya. Bre sudah menunggunya di teras. Kemudian langsung mengajaknya naik ke lantai dua. Mereka disambut dengan lampu-lampu redup yang menciptakan nuansa romantis. Dinding interior dihiasi dengan lukisan abstrak berwarna
USAI KEPUTUSAN CERAI- Hanya Berdua Author's POV "Bagaimana rasanya diperjuangkan, Hilya? Selama ini kamu yang selalu berjuang dan bertahan. Dengan Arham sebagai suami atau dengan mantan pacarmu yang sama-sama nggak tahu diri itu. Sekarang kamu tahu bagaimana seorang laki-laki itu berjuang untuk mendapatkanmu. Bahkan sepaket dengan keluargamu juga, bisa diterima dia apa adanya."Hilya tersenyum sambil mengunyah nasi. Kalau dibilang 100% ia percaya Bre, tidak juga. Sudah berulang kali terluka, membuat Hilya tidak segampang itu memberikan semua kepercayaannya. Namun ia tetap berusaha untuk menghargai seseorang yang telah berupaya memperjuangkannya."Tapi kita akan berpisah, Hil," ujar Ani memicu kesedihan mereka lagi."Nggak mungkin kamu akan bertahan di Global, sedangkan Mas Bre juga memiliki perusahaan sendiri," lanjut Ani."Tapi sesekali kita masih bisa bertemu, An. Kita kan bisa berkunjung ke Malang atau sebaliknya. Via tol kan cepat," kata Ika."Arham bakalan berjauhan sama anakn