"Jangan kamu kira aku nggak tahu. Walaupun Zara sendiri nggak pernah cerita karena kami memang nggak pernah bertemu lagi." Tristan menatap tajam sang istri yang tengah membisu."Aku bisa menoleransi tentang Zara yang kalian singkirkan. Tapi harus kamu ingat, aku nggak akan diam kalau sampai kamu dan papamu mengusik kehidupan Hilya. Dia nggak salah apa-apa. Dia wanita yang bekerja demi anak dan keluarganya."Hilya nggak seberuntung kamu yang hidup berkecukupan. Dia berjuang mati-matian untuk masa depan dirinya dan Rifky. Jadi jangan usik dia." Tristan bicara penuh penekanan. Hening. Untuk beberapa lama mereka saling terdiam, hingga suara panggilan masuk dari ponselnya Tristan memecah kesunyian. "Halo, iya aku keluar. Tunggu bentar."Laki-laki itu bangkit dari duduknya dan melangkah keluar kamar. Meninggalkan Aruna yang mengamuk dengan melempar bantal sofa hingga membentur dinding. Kemudian menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Bagaimana Tristan bisa tahu tentang apa yang diren
Tristan mendengkus, lalu berbalik menatap istrinya dengan tatapan tajam. "Aku sudah bilang, jangan usik dia. Dan satu hal lagi, berhenti berhubungan dengan Atika."Aruna terperanjat. "Kenapa?""Wanita itu hanya membuat masalah." Suara Tristan rendah, tapi penuh ketegasan. "Kalau kamu masih ingin rumah tangga kita aman, jauhi dia. Dan satu lagi, aku tidak ingin mendengar kau menyakiti Hilya dengan cara apa pun."Aruna diam, menggigit bibirnya. Amarah dan cemburu masih menggelegak di dada. Tapi ia tahu suaminya bukan tipe yang suka berdebat panjang.Malam itu, meski dengan perasaan yang entah bagaimana, Tristan tetap menjalankan tanggung jawabnya sebagai suami. Memberi istrinya nafkah batin. Sebab tidak ingin Aruna makin menjadi dengan prasangkanya. Setelah selesai Aruna tersenyum puas, meski dalam hatinya cemburu tetap membara. Ia meraih ponsel saat Tristan sudah terlelap dan berbalas pesan dengan Atika. Wanita itu sama sekali tidak mengindahkan larangan dari sang suami.***L***"Hily
USAI KEPUTUSAN CERAI- Mas GantengAuthor's POV Pria itu memandang Tristan yang tengah mengambil foto untuk dua stafnya. Ingat bagaimana sahabatnya bercerita kalau rumah tangganya sedang tidak baik-baik saja. Aruna curiga dan Tristan mengakui di depan temannya itu, kalau sekarang ini dia sedang jatuh cinta pada stafnya sendiri.Memang Tristan tidak memberitahu siapa wanita itu, tapi perkataan tadi sudah cukup untuk menyindir sahabatnya.Dia juga lelaki, tapi tidak suka kalau ada suami yang mendua. Dirinya saja pernah terpaksa harus menikah dengan gadis pilihan mamanya, tapi tidak pernah di sentuhnya hingga mereka bercerai. Dia memang brengsek di masa lalu, tapi bukan karena selingkuh."Makasih, Pak," ucap Ani pada Tristan seraya menerima ponselnya yang disodorkan oleh si bos.Tristan kembali menghampiri temannya yang menunggu agak jauh, sedangkan Hilya dan Ani mencari tempat duduk di batu besar. Kembali menikmati suasana alam yang menawan dan segar.Angin lembut berembus, membawa ser
Bre menggerakkan kayu itu dengan hati-hati, mendorong bagian mulut lintah agar melepaskan gigitan. "Kita harus berhati-hati di daerah lembap seperti ini. Lintah sering berkeliaran di sekitar aliran air," ujarnya.Hilya hanya diam, masih merasa geli sekaligus jijik. Tak lama lintah itu akhirnya jatuh ke tanah. Ani buru-buru menendangnya jauh sebelum ia bisa merayap lagi ke arah mereka."Kaki Mbak sakit, nggak?" tanya Bre."Perih dan agak gatal, Mas.""Lepas sepatunya dan cuci lukanya. Tekan di bagian luka supaya darah berhenti," saran Bre."Sini, biar kugendong Rifky." Ani melepaskan gendongan dan mengambil Rifky. Hilya segera melepas sepatu dan melangkah ke aliran air diikuti oleh Bre. Sedangkan Tristan masih berdiri di sebelah Ani. Ia sengaja tidak mendekat. Jika Aruna sampai mendengar dirinya berusaha menolong Hilya, itu hanya akan menambah api dalam kecemburuan istrinya dan sangat berbahaya untuk Hilya."Cukup, Mbak. Darahnya sudah berhenti," kata Bre saat melihat area gigitan yan
Hilya segera bangkit dari duduknya dan melangkah ke arah penginapan Ririn. Belum sampai ke kamar itu, ia berpapasan dengan Tristan dan Bre yang keluar dari kafe. Mereka saling berpandangan, saling berhenti, dan Bre bertanya, "Bagaimana luka Mbak tadi?""Nggak apa-apa sih, Mas. Hanya agak nyeri. Ini saya mau minta obat ke Bu Ririn.""Iya, segera minum obat. Semoga lukanya tidak apa-apa.""Makasih ya, Mas."Bre mengangguk. Sedangkan Tristan hanya diam saja, karena ada Aruna yang menyusul dan berdiri di sebelahnya. Tatapan wanita itu begitu sinis pada Hilya. Namun Hilya tidak peduli dan mengetuk pintu kamar Bu Ririn. Kebetulan wanita itu tidak mengajak suaminya, hanya mengajak dua anaknya.Saat Hilya hendak kembali ke kamar, ia melihat Bre di antar Tristan ke mobilnya. Kemudian kendaraan itu bergerak pergi meninggalkan Resort Forest.🖤🖤🖤Jam dua siang para peserta family gathering bersiap-siap memasukkan barang bawaannya ke dalam bagasi bis. Kemudian dilanjutkan dengan acara penutupan
USAI KEPUTUSAN CERAI- Pertemuan Author's POV "Kalau dilihat dari profilnya, dia yang pegang perusahaan di Malang, Hil.""Iya.""Belum terhitung lama kantor cabang Malang dibuka. Ganteng loh dia. Ada keterangannya nggak di situ, dia jomblo apa sudah menikah?""Pasti sudah," jawab Hilya sambil fokus pada layar laptopnya. Kurang lebih seusia Tristan, pasti sudah menikah. Apalagi dia gagah, tampan, dan kaya."Oh, ya?" Ika ikut memperhatikan layar sambil terus mengunyah.Hilya melanjutkan makannya setelah mendapatkan gambaran sekilas tentang profil Hutama Jaya. Perusahaan yang didirikan oleh Hutama 42 tahun yang lalu. Sempat mengalami kemunduran sekitar delapan tahun yang lalu dan sekarang sedang berkembang pesat, terutama cabangnya yang di Malang.Dia masih kuliah saat Hutama hampir bangkrut. Hilya yang kala itu sibuk belajar dan mencari biaya kuliah, tidak tahu dengan kasus Bre yang sempat heboh di media sosial."Hilya, kamu hati-hati sekarang ini. Ada beberapa yang iri karena kamu na
Arham sadar, dirinya bagi Hilya sudah seperti bayangan masa lalu yang tak perlu diingat lagi. Luka yang ia torehkan begitu dalam dan tak tersembuhkan. Ia memperhatikan Hilya yang pergi meninggalkan mushola sambil membawa tas kecil berisi mukena.Lelaki itu hanya bisa menatap kepergiannya dengan tatapan kosong. Dadanya terasa sesak setiap kali bertemu Hilya. Ia semakin menyadari betapa bodohnya dulu. Yang menghancurkan rumah tangganya sendiri, meninggalkan wanita sebaik Hilya demi Atika.Dan kini ia terjebak dalam labirin kehidupan yang telah ia pilih sendiri."Lepasin aja Atika. Daripada kamu tersiksa dengan istri kayak gitu, toh Hilya juga belum nikah. Mungkin dia masih bisa memberimu peluang untuk kembali. Kalian juga punya Rifky," ujar teman dekatnya suatu hari.🖤🖤🖤"Unda, mau." Rifky menarik-narik kaus yang dipakainya dan minta ganti dengan kaus yang dipegang tangannya. Kaus baru dari sang papa."Besok ya, dicuci dulu." Hilya memberikan pengertian, tapi Rifky memaksa. Ah, sehar
Dia tidak tergoda dengan cumbuan panas dari istrinya. Sekarang tak lagi semembara dulu. Disaat mereka baru menikah secara diam-diam."Aku mau mandi." Arham melepaskan pelukan Atika pada lengannya. Tidak peduli pada sang istri yang kesal, Arham masuk kamar lalu mandi.🖤🖤🖤Ruang rapat terasa hening karena hanya ada Tristan dan Hilya. Tristan duduk di seberang meja, memperhatikan Hilya yang tengah menyiapkan dokumen untuk pertemuan dengan Hutama Jaya.Setiap memandang wanita itu, ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Tentang perasaannya pada Hilya. Bukan karena wanita itu cantik. Kalau soal cantik, Aruna juga cantik, mulus, karena selalu melakukan perawatan mahal. Namun tidak berhasil menggetarkan hatinya, meski sudah hampir tujuh tahun mereka bersama. Melakukan hubungan biologis hanya sekedar untuk melepaskan kebutuhannya.Terkadang Tristan merasa bersalah dan itu tidak adil buat Aruna. Namun jika mengingat kejamnya mereka pada Zara, rasa bersalah itu pun sirna.Dia tertarik pada Hil
Kisah mereka menjadi perbincangan hangat di antara para kerabat. Menjadi sebuah cerita yang sangat menarik untuk di ulas. Arham, Bre, Agatha jadi pusat perhatian. "Mana mantan istrinya Arham?" tanya keluarga Agatha yang penasaran sambil mencari-cari. Namun Hilya tidak ikut hari itu. Dia tinggal menghitung hari untuk melahirkan bayi perempuannya.Bre datang bersama dua anak, mamanya, dan Mak As. Mereka duduk di antara para kerabat pengantin. Rifky dan Rafka duduk anteng dalam pakaian koko putih, seragam dengan papanya. Mak As duduk di samping Bu Rika yang tampak berkaca-kaca melihat ke arah Agatha. Akhirnya mantan menantunya menikah juga. Dua wanita itu sangat dekat dulunya. Bu Rika menjadi saksi, Agatha mencintai Bre bertahun-tahun lamanya.Suasana hening saat acara akad nikah berlangsung. Dengan sekali lafaz, Arham sah menjadi suami Agatha.Selesai akad, suasana mencair. Hidangan disajikan. Semua bersantap dalam suasana kekeluargaan.Bu Wawan menghampiri Bre. Ia memeluk pria itu era
Hilya tersenyum sambil mengangguk. "Kapan Mbak pulang dari Singapura?""Aku sudah kembali menetap di Surabaya sejak empat bulan yang lalu. Disuruh pulang sama mama karena beliau nggak ada yang menemani. Papaku meninggal sekitar tujuh bulan yang lalu." Cerita Agatha. Membuat Bre yang mendengarnya pun menoleh. "Innalilahi wa inna ilaihi raji'un," ucap Bre dan Hilya bersamaan."Jadi Pak Wawan sudah meninggal?" tanya Bre. Dia tidak tahu. Kakaknya juga tidak mengabari. Ia yakin Ferry pasti tahu hal itu."Iya.""Aku turut berduka cita, Tha."Agatha mengangguk.Kemudian mereka memasuki ruang tamu dan duduk di sofa. Anak-anak duduk sambil membuka oleh-oleh. Mereka selalu excited membongkar bingkisan."Pasti Mas Bre dan Hilya heran karena kami datang berdua ke mari." Arham membuka percakapan setelah beberapa saat duduk. Mak As keluar membawakan minum dan kue."Surprise sekali kalau Mas dan Agatha saling kenal," ujar Bre dengan sikap tenang.Arham menghela nafas panjang. Kemudian menceritakan
USAI KEPUTUSAN CERAI - Berlabuh Author's POV Dada Agatha berdebar kian hebat saat mobil keluar dari gerbang tol. Mereka sampai sebentar lagi. Ini menjadi babak baru dalam hidupnya. Lembaran baru yang kembali berkaitan dengan pria yang pernah menjadi segalanya."Kita sarapan dulu!" Arham menoleh pada Agatha."Hmm, iya."Mobil berbelok di sebuah rumah makan. Hawa dingin dan kabut pagi menyambut mereka saat turun dari kendaraan. Agatha menikmati suasana pagi yang begitu berkesan. Sejak dulu, impiannya memang tinggal di Malang. Apalagi setelah mendengar Bre pindah ke Malang, siapa tahu masih ada harapan mereka bersama. Terlebih hubungan mereka juga membaik meski hanya lewat media sosial.Namun kenyataan tak seperti harapan. Perjalanan panjang membawanya ke Malang untuk cerita yang berbeda. Agatha menarik napas dalam-dalam, memenuhi paru-parunya dengan udara segar. Hari ini dia menguji keberanian. Cerita nanti akan seperti apa."Masih jauh lagi rumah mereka, Mas?" tanya Agatha setelah
Sambil menunggu pesanan, mereka berbincang hal-hal ringan. Ngobrol tentang ini, itu, hingga merasa nyaman dan kembali enjoy. Tawa Agatha pun begitu lepas.Percakapan terhenti disaat azan Maghrib berkumandang. Mereka bergantian salat di mushola kafe. Lantas kembali duduk dan langsung memesan menu untuk makan malam.Suasana di antara mereka kian hangat. Dan Arham memanfaatkan situasi yang tepat ini untuk bicara hal serius. Kalau dirinya tidak memulai, Agatha tidak mungkin mengawali bicara. Sebab dia perempuan."Saya sudah cerita ke Mama. Tentang apa yang terjadi di antara saya, kamu, Bre, dan Hilya."Sambil menyesap jus jambu, Agatha memperhatikan Arham. "Mama awalnya kaget juga."Agatha menegakkan duduk dengan menumpukan kedua siku di atas meja. Penasaran bagaimana tanggapan Bu Rida. "Gimana reaksi beliau?""Mungkin ini takdir. Nggak ada yang tak mungkin di dunia ini. Justru Mama bilang, mungkin ini sudah menjadi garis nasib. Aku dan kamu bisa saling mengobati. Bisa menjalin silaturah
Bu Rida mengangkat cangkir teh di tangannya, ditiup sebentar lalu diseruput dengan pelan. Arham menunggu pendapat mamanya. Namun wanita itu masih diam menikmati tehnya. Usia dan pengalaman hidup, perjalanan rumit putranya, membuat Bu Rida sudah ahli mengendalikan gejolak diri. Dia ingin sehat di sisa usia, biar bisa melihat anak-anaknya bahagia. Makanya harus bisa mengontrol hati."Aku dan Agatha nggak pernah nyangka. Kami dekat, mulai cocok, saling memahami. Tapi saat tahu latar belakang masing-masing, rasanya aneh. Seperti dunia ini terlalu kecil dan sempit."Bu Rida tersenyum. "Dunia memang sempit, Ham. Tapi perasaan manusia luas sekali."Arham menatap mamanya. "Kalau aku serius dalam kedekatan kami, seperti kami bertukar pasangan. Aku mantan suami Hilya, dia mantan istrinya Bre.""Nak," ucap Bu Rida lembut. "Semua ini bukan kesengajaan. Kalian bertemu nggak sengaja di saat sudah sama-sama saling sendiri. Kamu dan Hilya sudah selesai. Agatha dan Bre pun sudah bercerai lebih dari se
USAI KEPUTUSAN CERAI - Sang Mantan 2Author's POV Arham tercekat. Ini kejutan yang sungguh luar biasa baginya. Kebetulan macam apa ini. Hening. Mereka saling pandang dalam perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan. Kenapa tidak sejak awal saja saling bercerita, biar terungkap semuanya. Ketika hati sama-sama bertaut dan ingin lebih dekat lagi, muncul kenyataan yang sangat luar biasa."Pernikahan kami hanya setahun saja. Dia pria yang baik." Agatha menarik napas panjang sambil membuang pandang ke luar lewat sekat kaca. "Kami terakhir bertemu tiga setengah tahun yang lalu. Disaat dia sudah menikah dan istrinya tengah hamil lima bulan. Rifky diajaknya saat itu."Agatha menarik napas panjang lalu melanjutkan bicara. "Makanya saya kaget melihat Rifky kemarin. Saya masih ingat betul wajahnya."Senyum getir terbit di bibir Arham. "Lucu cerita ini, Mbak.""Ya." Agatha pun ikut tersenyum. Sama-sama mengulas senyum yang terasa pahit. Setelah diam beberapa saat, Agatha kembali bicara tentang
"Aku tahu dari anaknya Arham. Aku masih ingat wajah anak itu yang dulu di gendong Bre saat kami ketemuan di sebuah rumah makan. Tiga setengah tahun yang lalu." Agatha mengeluarkan ponsel yang sejak tadi belum dikeluarkan dari dalam sakunya. Ia menunjukkan foto Rifky yang diambilnya di area tempat bermain."Ini anak tirinya Bre?" Bu Wawan memandang Agatha."Ya. Ganteng, kan?"Bu Wawan mengangguk. Kemudian meletakkan ponsel di atas meja. "Apa itu masalah buatmu?" tanyanya lembut pada Agatha."Aku kaget, Ma. Dikala aku siap membuka hati, harus menghadapi kenyataan seperti ini. Kalau ada jodoh antara aku dan Arham. Begitu lucunya kenyataan. Kami seolah bertukar pasangan.""Semua nggak disengaja dan ini bukan lelucon. Majulah terus, Nduk. Kalian bisa sama-sama berusaha untuk saling menyembuhkan dan membina masa depan. Apapun yang terjadi di masa lalu, kalian berhak juga mendapatkan kebahagiaan. Kalau Nak Arham memang serius, terima saja. Percayalah hati kalian akan sembuh seiring berjalann
Namun hari ini dia tahu satu kenyataan. Ternyata Arham mantan suaminya Hilya, istri Bre. Lalu bagaimana dia bisa bangkit dan melupakan semuanya kalau masih saling berkaitan begini."Dari sini Mas Arham langsung mengajak Rifky pulang ke rumah?""Aku mampir ke rumah mama dulu. Sorenya baru pulang ke rumah. Mbak Gatha, mau ikut?""Sore ini saya harus mengantarkan mama keluar, Mas. Lain kali saja.""Oke." Arham mengangguk.Mereka menemani Rifky bermain hingga satu jam kemudian. Lantas keluar mall dan berpisah di parkiran.Melihat sikap Agatha yang perhatian terhadap Rifky, Arham lega. Timbul harapan hubungan mereka akan ada peningkatan. Dia tidak mempermasalahkan usianya yang lebih muda dari Agatha. Apalagi sang mama juga menyukai wanita itu. Arham ingin mewujudkan keinginan mamanya untuk segera menikah. "Mama ingin melihatmu berumah tangga lagi, sebelum mama pergi. Lihat sekarang mama sakit-sakitan. Mama berharap kamu punya pasangan dan hidup bahagia. Toh hubunganmu dengan Hilya juga su
USAI KEPUTUSAN CERAI- Sang MantanAuthor's POV "Rifky, salim dulu sama Tante Agatha." Rifky mengulurkan tangan kecilnya untuk menyalami wanita yang seketika itu menyondongkan tubuh padanya.Benar, tidak salah lagi. Dia anak tirinya Bre. Agatha masih ingat wajah tampannya. Untuk Rifky sendiri, tentu saja dia tidak ingat dengan Agatha. Saat bertemu kala itu baru berumur dua setengah tahun."Sudah sekolah?" tanya Agatha dengan wajah ramah."Sudah, Tante."Agatha mengusap lembut rambut Rifky. Kemudian ia berbincang dengan Arham. Namun belum membahas tentang apa yang ia ketahui. Setelah perkenalan di rest area saat itu, mereka berteman. Lumayan akrab setelah beberapa bulan kemudian. Sama-sama bekerja di bidang yang sama, jadi bertukar pengalaman. Apalagi sudah sepuluh tahun lebih Agatha meninggalkan Surabaya. Jadi dia belum begitu memahami banyaknya perubahan.Mereka sudah beberapa kali janjian makan siang di sela jam istirahat. Akan tetapi, Arham tidak banyak menceritakan tentang kehid