Dia tidak tergoda dengan cumbuan panas dari istrinya. Sekarang tak lagi semembara dulu. Disaat mereka baru menikah secara diam-diam."Aku mau mandi." Arham melepaskan pelukan Atika pada lengannya. Tidak peduli pada sang istri yang kesal, Arham masuk kamar lalu mandi.🖤🖤🖤Ruang rapat terasa hening karena hanya ada Tristan dan Hilya. Tristan duduk di seberang meja, memperhatikan Hilya yang tengah menyiapkan dokumen untuk pertemuan dengan Hutama Jaya.Setiap memandang wanita itu, ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Tentang perasaannya pada Hilya. Bukan karena wanita itu cantik. Kalau soal cantik, Aruna juga cantik, mulus, karena selalu melakukan perawatan mahal. Namun tidak berhasil menggetarkan hatinya, meski sudah hampir tujuh tahun mereka bersama. Melakukan hubungan biologis hanya sekedar untuk melepaskan kebutuhannya.Terkadang Tristan merasa bersalah dan itu tidak adil buat Aruna. Namun jika mengingat kejamnya mereka pada Zara, rasa bersalah itu pun sirna.Dia tertarik pada Hil
USAI KEPUTUSAN CERAI - Yang Terpendam Author's POV Tristan tersenyum. "Nggak usah tahu, Bre."Ya, itu juga tidak penting bagi Bre. Makanya Bre tidak menanggapinya lagi. "Tadi kamu bilang mau mengajakku keluar. Mau ke mana?" "Makan siang. Sekalian ngobrol. Kamu longgar hari ini?" Tristan langsung berdiri. Bre pun sama. "Longgar. Akhir pekan ini aku baru kembali ke Malang. Sebab tanteku dari Kalimantan juga mau datang karena ada acara di rumah Om Ringgo. Di samping itu kita juga harus melanjutkan pembahasan tentang kerjasama kita.""Oke. Kita keluar pakai mobilku saja."Dua pria dengan tinggi nyaris sama itu melangkah melewati lorong samping ruang meeting menuju ke parkiran. Lantas pergi ke pusat kota dan berhenti di sebuah rumah makan."Kamu nggak ada niatan kembali ke Surabaya?" tanya Tristan setelah mereka duduk memesan makanan."Belum ada gambaran untuk menetap di sini. Aku masih fokus dengan kantor cabang Malang. Nggak mungkin aku tinggalin. Tapi akhir-akhir ini aku sering bol
Arham memarkir mobilnya di pinggir jalan, menatap kosong ke arah rumahnya yang megah tapi terasa begitu dingin.Sekarang di dalam rumah itu yang ada hanya pertengkaran."Mas, uang belanja bulan ini kurang! Aku butuh tambahan!" Atika menyambutnya dengan suara nyaring sebelum ia sempat melepas sepatu kemarin sore.Arham menghela napas panjang. "Baru minggu lalu aku kasih uang belanja, bahkan aku tambahi seperti yang kamu minta. Kamu habiskan untuk apa?""Belanja. Minggu depan ada arisan keluarga di rumah ibu. Aku nggak mungkin pakai baju yang sama kalau ada acara keluarga!""Atika, aku kerja banting tulang bukan buat kamu hambur-hamburkan. Lemarimu sudah nggak muat oleh baju-bajumu." Arham menahan nada suaranya yang tengah marah."Aku istrimu. Wajar dong aku minta ini itu."Arham menekan pelipisnya. Dulu Hilya tidak pernah menuntut seperti itu. Ia bekerja, mengurus rumah, dan tetap melayaninya dengan baik. Sekarang ia terjebak dalam rumah tangga yang penuh keributan. Dan setiap hari, k
Arham terkesiap. Jelas dia tidak terima kalau dilarang bertemu dengan anaknya. Dia bisa gila. "Nggak bisa, Hilya. Kamu nggak bisa melarangku bertemu Rifky.""Perempuan ini, terlalu berbahaya untuk anakku. Jangan sampai aku membawa Rifky pergi dari Surabaya dan selamanya nggak bisa bertemu denganmu lagi. Didik dulu istrimu sampai dia bisa menjadi wanita tahu diri, kasih pengertian kalau lelaki yang dia rebut dari wanita lain itu juga punya anak."Hilya menarik napas panjang. Tidak ada air mata yang menggenang di netranya saat itu. Luka yang teramat sangat, tidak mengizinkannya menangis di depan orang-orang yang sudah mengkhianatinya."Selama ini aku hanya diam dan diam. Bahkan ketika kalian berdua selingkuh di belakangku, aku masih diam. Memberikan kesempatan untuk kembali, pada suami yang sekiranya hanya khilaf saat itu. Namun ternyata, kalian berdua nggak tahu diri."Setelah bercerai pun, aku nggak pernah menghalangi Mas Arham untuk bertemu dengan anaknya. Aku ngasih kesempatan semin
USAI KEPUTUSAN CERAI - Saya Single Mom Author's POV Asap rokok melayang di udara, membentuk pola acak yang menghilang begitu saja di embus angin. Seperti hidup Arham yang terasa berantakan. Ia menghela napas panjang, menekan puntung rokok ke asbak di meja teras. Suasana rumah terasa semakin menyesakkan setelah kejadian tadi.Dari dalam rumah, terdengar suara televisi yang volumenya dibiarkan tinggi. Di sofa, Atika meringkuk dengan wajah masam. Entah marah atau kelelahan setelah menangis.Arham tidak peduli. Yang ada di pikirannya saat ini hanya satu, Rifky.Setelah ulah Atika yang melabrak Hilya sore tadi, ia yakin segalanya akan semakin sulit.Ia masih ingat betapa tajamnya sorot mata Hilya saat membela diri. Tidak ada ketakutan apapun saat membenturkan punggung Atika ke dinding. Wanita itu tidak lagi seperti dulu, yang sabar dan memilih diam. Kali ini, ia membalas. Dan itu membuat Arham sadar betapa dalam luka yang telah ia tinggalkan.Dada Arham terasa sesak. Penyesalan yang dal
"Kita nggak harus pergi dari sini, Hil. Mbak yakin, semua ini lambat laun akan terabaikan dan kita akan menganggapnya hal biasa. Kamu kuat kok. Kalau kita pindah, banyak hal yang harus kamu urus dan mbak nggak bisa bantu apa-apa. Kasihan kamu nanti."Tetap tinggal saja di rumah peninggalan ibu. Mbak akan jagain Rifky. Kecuali nanti kamu bertemu seseorang yang benar-benar serius bisa menerimamu dan Rizky apa adanya. Kamu bisa ikut dia. Tapi Mbak tetap bisa jagain Rifky kalau kamu masih bekerja." Ingat ucapan sang kakak, membuat air mata Hilya semakin deras.Menikah kalau untuk mengukir luka baru buat apa?🖤LS🖤"Hilya, aku harus ke Jakarta hari ini. Penerbangan jam sepuluh nanti." Tristan mendatangi ruangan Hilya."Lalu bagaimana dengan pertemuan dengan Pak Bre siang ini, Pak? Apa harus di cancel?"Tristan diam sejenak. Dia tidak rela kalau Bre dan Hilya ketemuan berdua, walaupun mereka belum tahu status masing-masing. Tapi kalau dibatalkan, Bre sendiri sangat sibuk. Pasti pertemuan h
"Tidak ada, Pak Tristan. Minggu depan bisa Pak Tristan konfirmasikan ke Pak Bre. Atau sekarang bisa telepon beliau misalnya Pak Tristan merasa belum jelas.""Oh, nggak usah. Aku sudah ngerti. Oke, gitu aja, Hilya. Aku masih ada meeting sebentar lagi.""Ya, Pak."Hilya menaruh ponselnya kembali. Dia heran pada sikap bosnya. Tidak biasanya tampak bingung seperti hari ini. Lima belas menit kemudian, Hilya berkemas-kemas untuk pulang. Kejadian kemarin sore membuatnya tidak tenang. Khawatir kalau Atika kembali datang ke rumah dan mengacaukan keadaan. Ketika keluar ruangan, ia menghampiri Ika yang masih sibuk di depan laptopnya. Sementara meja Ani sudah kosong."Ani barusan keluar. Aku masih ngerjain ini, tinggal dikit lagi," ujar Ika seraya memandang layar komputer. Besok aku ketemu sama mantanmu lagi," lanjutnya."Kemarin ada kegaduhan di rumah. Pas aku pulang kerja." Cerita Hilya setelah duduk di depan sahabatnya."Ada apa?"Hilya menceritakan kejadian itu."Good job, Hilya. Kenapa ngg
USAI KEPUTUSAN CERAI- Elegan Author's POV Hilya kaget, bisa bertemu Bre bersama mamanya di mall siang itu. "Kalian saling kenal?" tanya Bu Rika memandang Bre dan Hilya bergantian."Mbak Hilya ini CFO di Global, Ma.""Oh." Bu Rika tersenyum pada Hilya."Kenalin, ini Mama saya, Mbak Hilya." Bre mengenalkan mamanya pada Hilya. Disambut anggukan kepala oleh wanita muda itu."Hai, Ganteng." Bre berjongkok biar sejajar dengan Rifky yang berdiri dalam gandengan Hilya. Bocah lelaki kecil itu memandang Bre tak berkedip. Mungkin ingat kalau mereka pernah bertemu. Matanya begitu bening."Salim sama Pak Bre, Rifky." Hilya menyuruh anaknya bersalaman. Rifky juga nurut."Hmm, namamu Rifky, ya." Bre mengusap lembut pipi Rifky. Bocah itu diam. Biasanya dia spontan akan mencari perlindungan ibunya kalau bertemu dengan orang baru."Lagi belanja, Mbak?" tanya Bre setelah kembali berdiri. Ia memperhatikan di sekitar mereka. Tidak ada sosok lain yang mendampingi Hilya dan anaknya."Iya, Pak. Sekalian
Kisah mereka menjadi perbincangan hangat di antara para kerabat. Menjadi sebuah cerita yang sangat menarik untuk di ulas. Arham, Bre, Agatha jadi pusat perhatian. "Mana mantan istrinya Arham?" tanya keluarga Agatha yang penasaran sambil mencari-cari. Namun Hilya tidak ikut hari itu. Dia tinggal menghitung hari untuk melahirkan bayi perempuannya.Bre datang bersama dua anak, mamanya, dan Mak As. Mereka duduk di antara para kerabat pengantin. Rifky dan Rafka duduk anteng dalam pakaian koko putih, seragam dengan papanya. Mak As duduk di samping Bu Rika yang tampak berkaca-kaca melihat ke arah Agatha. Akhirnya mantan menantunya menikah juga. Dua wanita itu sangat dekat dulunya. Bu Rika menjadi saksi, Agatha mencintai Bre bertahun-tahun lamanya.Suasana hening saat acara akad nikah berlangsung. Dengan sekali lafaz, Arham sah menjadi suami Agatha.Selesai akad, suasana mencair. Hidangan disajikan. Semua bersantap dalam suasana kekeluargaan.Bu Wawan menghampiri Bre. Ia memeluk pria itu era
Hilya tersenyum sambil mengangguk. "Kapan Mbak pulang dari Singapura?""Aku sudah kembali menetap di Surabaya sejak empat bulan yang lalu. Disuruh pulang sama mama karena beliau nggak ada yang menemani. Papaku meninggal sekitar tujuh bulan yang lalu." Cerita Agatha. Membuat Bre yang mendengarnya pun menoleh. "Innalilahi wa inna ilaihi raji'un," ucap Bre dan Hilya bersamaan."Jadi Pak Wawan sudah meninggal?" tanya Bre. Dia tidak tahu. Kakaknya juga tidak mengabari. Ia yakin Ferry pasti tahu hal itu."Iya.""Aku turut berduka cita, Tha."Agatha mengangguk.Kemudian mereka memasuki ruang tamu dan duduk di sofa. Anak-anak duduk sambil membuka oleh-oleh. Mereka selalu excited membongkar bingkisan."Pasti Mas Bre dan Hilya heran karena kami datang berdua ke mari." Arham membuka percakapan setelah beberapa saat duduk. Mak As keluar membawakan minum dan kue."Surprise sekali kalau Mas dan Agatha saling kenal," ujar Bre dengan sikap tenang.Arham menghela nafas panjang. Kemudian menceritakan
USAI KEPUTUSAN CERAI - Berlabuh Author's POV Dada Agatha berdebar kian hebat saat mobil keluar dari gerbang tol. Mereka sampai sebentar lagi. Ini menjadi babak baru dalam hidupnya. Lembaran baru yang kembali berkaitan dengan pria yang pernah menjadi segalanya."Kita sarapan dulu!" Arham menoleh pada Agatha."Hmm, iya."Mobil berbelok di sebuah rumah makan. Hawa dingin dan kabut pagi menyambut mereka saat turun dari kendaraan. Agatha menikmati suasana pagi yang begitu berkesan. Sejak dulu, impiannya memang tinggal di Malang. Apalagi setelah mendengar Bre pindah ke Malang, siapa tahu masih ada harapan mereka bersama. Terlebih hubungan mereka juga membaik meski hanya lewat media sosial.Namun kenyataan tak seperti harapan. Perjalanan panjang membawanya ke Malang untuk cerita yang berbeda. Agatha menarik napas dalam-dalam, memenuhi paru-parunya dengan udara segar. Hari ini dia menguji keberanian. Cerita nanti akan seperti apa."Masih jauh lagi rumah mereka, Mas?" tanya Agatha setelah
Sambil menunggu pesanan, mereka berbincang hal-hal ringan. Ngobrol tentang ini, itu, hingga merasa nyaman dan kembali enjoy. Tawa Agatha pun begitu lepas.Percakapan terhenti disaat azan Maghrib berkumandang. Mereka bergantian salat di mushola kafe. Lantas kembali duduk dan langsung memesan menu untuk makan malam.Suasana di antara mereka kian hangat. Dan Arham memanfaatkan situasi yang tepat ini untuk bicara hal serius. Kalau dirinya tidak memulai, Agatha tidak mungkin mengawali bicara. Sebab dia perempuan."Saya sudah cerita ke Mama. Tentang apa yang terjadi di antara saya, kamu, Bre, dan Hilya."Sambil menyesap jus jambu, Agatha memperhatikan Arham. "Mama awalnya kaget juga."Agatha menegakkan duduk dengan menumpukan kedua siku di atas meja. Penasaran bagaimana tanggapan Bu Rida. "Gimana reaksi beliau?""Mungkin ini takdir. Nggak ada yang tak mungkin di dunia ini. Justru Mama bilang, mungkin ini sudah menjadi garis nasib. Aku dan kamu bisa saling mengobati. Bisa menjalin silaturah
Bu Rida mengangkat cangkir teh di tangannya, ditiup sebentar lalu diseruput dengan pelan. Arham menunggu pendapat mamanya. Namun wanita itu masih diam menikmati tehnya. Usia dan pengalaman hidup, perjalanan rumit putranya, membuat Bu Rida sudah ahli mengendalikan gejolak diri. Dia ingin sehat di sisa usia, biar bisa melihat anak-anaknya bahagia. Makanya harus bisa mengontrol hati."Aku dan Agatha nggak pernah nyangka. Kami dekat, mulai cocok, saling memahami. Tapi saat tahu latar belakang masing-masing, rasanya aneh. Seperti dunia ini terlalu kecil dan sempit."Bu Rida tersenyum. "Dunia memang sempit, Ham. Tapi perasaan manusia luas sekali."Arham menatap mamanya. "Kalau aku serius dalam kedekatan kami, seperti kami bertukar pasangan. Aku mantan suami Hilya, dia mantan istrinya Bre.""Nak," ucap Bu Rida lembut. "Semua ini bukan kesengajaan. Kalian bertemu nggak sengaja di saat sudah sama-sama saling sendiri. Kamu dan Hilya sudah selesai. Agatha dan Bre pun sudah bercerai lebih dari se
USAI KEPUTUSAN CERAI - Sang Mantan 2Author's POV Arham tercekat. Ini kejutan yang sungguh luar biasa baginya. Kebetulan macam apa ini. Hening. Mereka saling pandang dalam perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan. Kenapa tidak sejak awal saja saling bercerita, biar terungkap semuanya. Ketika hati sama-sama bertaut dan ingin lebih dekat lagi, muncul kenyataan yang sangat luar biasa."Pernikahan kami hanya setahun saja. Dia pria yang baik." Agatha menarik napas panjang sambil membuang pandang ke luar lewat sekat kaca. "Kami terakhir bertemu tiga setengah tahun yang lalu. Disaat dia sudah menikah dan istrinya tengah hamil lima bulan. Rifky diajaknya saat itu."Agatha menarik napas panjang lalu melanjutkan bicara. "Makanya saya kaget melihat Rifky kemarin. Saya masih ingat betul wajahnya."Senyum getir terbit di bibir Arham. "Lucu cerita ini, Mbak.""Ya." Agatha pun ikut tersenyum. Sama-sama mengulas senyum yang terasa pahit. Setelah diam beberapa saat, Agatha kembali bicara tentang
"Aku tahu dari anaknya Arham. Aku masih ingat wajah anak itu yang dulu di gendong Bre saat kami ketemuan di sebuah rumah makan. Tiga setengah tahun yang lalu." Agatha mengeluarkan ponsel yang sejak tadi belum dikeluarkan dari dalam sakunya. Ia menunjukkan foto Rifky yang diambilnya di area tempat bermain."Ini anak tirinya Bre?" Bu Wawan memandang Agatha."Ya. Ganteng, kan?"Bu Wawan mengangguk. Kemudian meletakkan ponsel di atas meja. "Apa itu masalah buatmu?" tanyanya lembut pada Agatha."Aku kaget, Ma. Dikala aku siap membuka hati, harus menghadapi kenyataan seperti ini. Kalau ada jodoh antara aku dan Arham. Begitu lucunya kenyataan. Kami seolah bertukar pasangan.""Semua nggak disengaja dan ini bukan lelucon. Majulah terus, Nduk. Kalian bisa sama-sama berusaha untuk saling menyembuhkan dan membina masa depan. Apapun yang terjadi di masa lalu, kalian berhak juga mendapatkan kebahagiaan. Kalau Nak Arham memang serius, terima saja. Percayalah hati kalian akan sembuh seiring berjalann
Namun hari ini dia tahu satu kenyataan. Ternyata Arham mantan suaminya Hilya, istri Bre. Lalu bagaimana dia bisa bangkit dan melupakan semuanya kalau masih saling berkaitan begini."Dari sini Mas Arham langsung mengajak Rifky pulang ke rumah?""Aku mampir ke rumah mama dulu. Sorenya baru pulang ke rumah. Mbak Gatha, mau ikut?""Sore ini saya harus mengantarkan mama keluar, Mas. Lain kali saja.""Oke." Arham mengangguk.Mereka menemani Rifky bermain hingga satu jam kemudian. Lantas keluar mall dan berpisah di parkiran.Melihat sikap Agatha yang perhatian terhadap Rifky, Arham lega. Timbul harapan hubungan mereka akan ada peningkatan. Dia tidak mempermasalahkan usianya yang lebih muda dari Agatha. Apalagi sang mama juga menyukai wanita itu. Arham ingin mewujudkan keinginan mamanya untuk segera menikah. "Mama ingin melihatmu berumah tangga lagi, sebelum mama pergi. Lihat sekarang mama sakit-sakitan. Mama berharap kamu punya pasangan dan hidup bahagia. Toh hubunganmu dengan Hilya juga su
USAI KEPUTUSAN CERAI- Sang MantanAuthor's POV "Rifky, salim dulu sama Tante Agatha." Rifky mengulurkan tangan kecilnya untuk menyalami wanita yang seketika itu menyondongkan tubuh padanya.Benar, tidak salah lagi. Dia anak tirinya Bre. Agatha masih ingat wajah tampannya. Untuk Rifky sendiri, tentu saja dia tidak ingat dengan Agatha. Saat bertemu kala itu baru berumur dua setengah tahun."Sudah sekolah?" tanya Agatha dengan wajah ramah."Sudah, Tante."Agatha mengusap lembut rambut Rifky. Kemudian ia berbincang dengan Arham. Namun belum membahas tentang apa yang ia ketahui. Setelah perkenalan di rest area saat itu, mereka berteman. Lumayan akrab setelah beberapa bulan kemudian. Sama-sama bekerja di bidang yang sama, jadi bertukar pengalaman. Apalagi sudah sepuluh tahun lebih Agatha meninggalkan Surabaya. Jadi dia belum begitu memahami banyaknya perubahan.Mereka sudah beberapa kali janjian makan siang di sela jam istirahat. Akan tetapi, Arham tidak banyak menceritakan tentang kehid