"Tidak ada, Pak Tristan. Minggu depan bisa Pak Tristan konfirmasikan ke Pak Bre. Atau sekarang bisa telepon beliau misalnya Pak Tristan merasa belum jelas.""Oh, nggak usah. Aku sudah ngerti. Oke, gitu aja, Hilya. Aku masih ada meeting sebentar lagi.""Ya, Pak."Hilya menaruh ponselnya kembali. Dia heran pada sikap bosnya. Tidak biasanya tampak bingung seperti hari ini. Lima belas menit kemudian, Hilya berkemas-kemas untuk pulang. Kejadian kemarin sore membuatnya tidak tenang. Khawatir kalau Atika kembali datang ke rumah dan mengacaukan keadaan. Ketika keluar ruangan, ia menghampiri Ika yang masih sibuk di depan laptopnya. Sementara meja Ani sudah kosong."Ani barusan keluar. Aku masih ngerjain ini, tinggal dikit lagi," ujar Ika seraya memandang layar komputer. Besok aku ketemu sama mantanmu lagi," lanjutnya."Kemarin ada kegaduhan di rumah. Pas aku pulang kerja." Cerita Hilya setelah duduk di depan sahabatnya."Ada apa?"Hilya menceritakan kejadian itu."Good job, Hilya. Kenapa ngg
USAI KEPUTUSAN CERAI- Elegan Author's POV Hilya kaget, bisa bertemu Bre bersama mamanya di mall siang itu. "Kalian saling kenal?" tanya Bu Rika memandang Bre dan Hilya bergantian."Mbak Hilya ini CFO di Global, Ma.""Oh." Bu Rika tersenyum pada Hilya."Kenalin, ini Mama saya, Mbak Hilya." Bre mengenalkan mamanya pada Hilya. Disambut anggukan kepala oleh wanita muda itu."Hai, Ganteng." Bre berjongkok biar sejajar dengan Rifky yang berdiri dalam gandengan Hilya. Bocah lelaki kecil itu memandang Bre tak berkedip. Mungkin ingat kalau mereka pernah bertemu. Matanya begitu bening."Salim sama Pak Bre, Rifky." Hilya menyuruh anaknya bersalaman. Rifky juga nurut."Hmm, namamu Rifky, ya." Bre mengusap lembut pipi Rifky. Bocah itu diam. Biasanya dia spontan akan mencari perlindungan ibunya kalau bertemu dengan orang baru."Lagi belanja, Mbak?" tanya Bre setelah kembali berdiri. Ia memperhatikan di sekitar mereka. Tidak ada sosok lain yang mendampingi Hilya dan anaknya."Iya, Pak. Sekalian
"Belum lama. Ketemu di Malang sebulan yang lalu waktu Global Company ngadain family gathering. Aku kan datang ke lokasi, Ma. Untuk nemui Tristan. Di situ aku bertemu sama Mbak Hilya dan anaknya."Terus ketemu lagi beberapa hari yang lalu. Karena perusahaan kita mau kerjasama dengan Tristan, Ma.""Dia cantik, smart, Bre. Anaknya juga menggemaskan."Mendengar perkataan sang mama, Bre menanggapi dengan senyuman. Karena dalam pikirannya, Hilya ini istri orang. Meski tak dipungkiri, sebagai pria dewasa dia mengakui kalau Hilya memang cantik dan elegan. Anaknya juga menarik perhatiannya. Sementara Bu Rika memperhatikan reaksi sang anak yang tampak biasa saja. Tentu dia kecewa. Kenapa Bre tidak menunjukkan ketertarikan pada wanita itu. Apa hati anaknya masih beku. Benar-benar tidak mau membuka hati dan menikah lagi. Bu Rika kembali sedih. Dipikir Bu Rika, Bre sudah tahu statusnya Hilya. Padahal anaknya belum tahu sama sekali."Bre, beneran kamu nggak ingin berumah tangga lagi?"Bre terkeju
Akhir pekan biasanya ia menghabiskan waktu bertemu putranya, meski hanya beberapa jam. Namun sekarang tidak bisa menemuinya. Kangen. Sedang apa Rifky? Apa anak itu juga menunggu papanya datang?Ia meraih ponselnya di atas meja. Mengirimkan pesan pada mantan kakak iparnya. [Mbak, bisakah saya hanya video call saja sama Rifky?]Tidak menunggu lama, pesannya dibalas.[Maaf, Ham. Rifky diajak keluar sama Hilya.][Ke mana, Mbak?][Nggak tahu, Ham.][Oke, Mbak.]Arham memasukkan ponsel ke dalam celananya. Ia juga membuang rokoknya ke asbak, lalu masuk ke dalam rumah. Saat ia mengambil kunci mobil di meja, Atika menoleh dengan curiga. "Mau ke mana, Mas?" tanya Atika yang tengah menonton televisi."Pergi sebentar.""Ke mana?" Atika berdiri. Suaminya tidak menjawab dan terus melangkah ke garasi. Meninggalkan Atika yang sangat geram.Tidak lama kemudian terdengar deru mobil meninggalkan halaman rumah. Dia tidak punya tujuan hendak ke mana. Akhirnya berhenti di sebuah taman kota. Duduk di sudut
USAI KEPUTUSAN CERAI- Perhatian Author's POV "Bagaimana keadaan Mbak Hilya dan putranya, Mbak?" tanya Bre menegakkan duduknya. Keseriusan yang membuat Arham memandang pria itu. Apa dia kenal dengan mantan istrinya, bahkan putranya. Namun seorang staf mempersilakannya ke ruang meeting, sehingga ia tidak sempat tahu siapa pria tampan itu. Sosok yang mendadak membuatnya cemburu."Alhamdulillah, Rifky nggak apa-apa, Pak. Cuman Hilya terkilir kaki kirinya. Tapi tadi pagi waktu saya telepon, dia bilang kalau sudah mendingan," jawab Ani."Syukurlah!"Pada saat itu muncul seorang staf lain dari dalam menghampiri mereka. "Maaf, Pak. Bapak, ditunggu oleh Pak Tristan di ruangannya.""Iya, makasih." Bre bangkit dari duduknya. "Mbak, saya nemui Pak Tristan dulu.""Silakan, Pak Bre."Bre melangkah ke ruangan Tristan. Hendak bicara tentang Hilya juga tidak bisa karena di dalam ada Pak Fadlan. Pria berkacamata itu tersenyum menyambut uluran tangan Bre, memeluk, serta menepuk bahunya. "Tambah suks
Mbak Asmi membuka pintu. Pria dengan kemeja abu-abu gelap dan celana bahan warna hitam itu berdiri tegap di depannya. Dia tersenyum ramah. Meski tampak sedikit canggung."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Mas, ingin bertemu siapa?" tanya Asmi berbasa-basi."Om," panggil Rifky yang tiba-tiba muncul dari dalam seraya membawa mainannya."Hai, Rifky." Bre tersenyum melihat bocah kecil itu. Dia tidak salah rumah. Tadi sempat bertanya pada seseorang di tikungan depan sana."Saya Bre, Mbak. Rekan bisnis di Global. Saya ingin menjenguk Mbak Hilya, waktu saya ke kantor tadi, katanya Mbak Hilya jatuh dari motor.""Oh, iya. Mari masuk, Mas. Silakan duduk. Saya panggilkan adik saya dulu." Mbak Asma menggendong Rifky dan membawanya masuk ke dalam.Bre meletakkan oleh-olehnya di atas meja, lantas duduk di kursi. Pandangannya sekilas menyapu seluruh ruangan. Rumah itu tampak sederhana, tapi bersih dan rapi. Dari ruang dalam terdengar suara televisi yang menyala.Tidak lama kemudian, muncul Hilya
Setelah Bre pergi, Mbak Asmi masuk ke rumah. "Dia tahu alamat kita dari mana, Hil?""Dari Ani, Mbak.""Dia peduli juga. Mau menjengukmu."Hilya tersenyum samar. Semoga hanya sebatas menjenguk sebagai rasa simpati karena mereka rekan kerja, bukan seperti Tristan, lelaki beristri yang menyimpan rasa terhadapnya. Dia tidak mau lagi berurusan dengan istri orang karena cemburu padanya. Bre ini istrinya pasti di Malang. Tapi bukan berarti tidak akan tahu.Dari tampangnya, dia pria baik-baik. Ah, Hilya tidak ingin terkecoh. Siapapun bisa berpotensi untuk melukai, seperti Arham yang sama sekali tidak terpikirkan oleh Hilya, sanggup menyakiti meski sudah ditemani berjuang dan menyembuhkan diri.Ponsel di saku Mbak Asmi berdering. "Arham nelepon, Hil" kata Mbak Asmi setelah melihat ponselnya."Nggak usah kasih tahu kalau kami kemarin jatuh, Mbak." Mungkin dia ingin tahu kabar anaknya. Karena kemarin tidak bisa bertemu seperti biasanya. Sengaja nelepon pagi, karena Arham pikir Hilya sedang ada
USAI KEPUTUSAN CERAI- Cemburu Author's POV "Kenapa, Pak?" tanya Hilya. Heran dengan nada suara bosnya. Ada apa dengan Bre? Kenapa membuat Tristan terdengar kaget. Apa Bre punya istri?Hmm, ternyata semua lelaki sama saja. "Pak Tristan, ada apa?" Hilya kembali bertanya dengan nada penasaran."Nggak ada apa-apa. Kaget saja Bre tahu rumahmu.""Katanya tanya ke Ani waktu di kantor tadi, Pak.""Oke. Istirahatlah dulu. Ketemu di kantor kalau kamu sudah sembuh. Misalnya ada sesuatu yang membuatmu harus periksa ke dokter, segera kabari aku.""Baik, Pak."Tanpa mengucapkan salam, Bre menutup telepon. Hilya menarik napas panjang. Apa selain Tristan, muncul lagi Bre. Pria beristri yang iseng dengan janda sepertinya.Ah, tidak. Jangan berprasangka dulu. Bre terlihat sangat sopan dan menjaga pandangannya. Ibunya juga terlihat sangat baik. Tapi Arham dan Bu Rida juga sangat baik, bukan? Dan ternyata lelaki yang dianggap baik itu telah menikamnya hingga hampir sekarat."Unda, mau syusyu." Rifky
Sambil menunggu pesanan, mereka berbincang hal-hal ringan. Ngobrol tentang ini, itu, hingga merasa nyaman dan kembali enjoy. Tawa Agatha pun begitu lepas.Percakapan terhenti disaat azan Maghrib berkumandang. Mereka bergantian salat di mushola kafe. Lantas kembali duduk dan langsung memesan menu untuk makan malam.Suasana di antara mereka kian hangat. Dan Arham memanfaatkan situasi yang tepat ini untuk bicara hal serius. Kalau dirinya tidak memulai, Agatha tidak mungkin mengawali bicara. Sebab dia perempuan."Saya sudah cerita ke Mama. Tentang apa yang terjadi di antara saya, kamu, Bre, dan Hilya."Sambil menyesap jus jambu, Agatha memperhatikan Arham. "Mama awalnya kaget juga."Agatha menegakkan duduk dengan menumpukan kedua siku di atas meja. Penasaran bagaimana tanggapan Bu Rida. "Gimana reaksi beliau?""Mungkin ini takdir. Nggak ada yang tak mungkin di dunia ini. Justru Mama bilang, mungkin ini sudah menjadi garis nasib. Aku dan kamu bisa saling mengobati. Bisa menjalin silaturah
Bu Rida mengangkat cangkir teh di tangannya, ditiup sebentar lalu diseruput dengan pelan. Arham menunggu pendapat mamanya. Namun wanita itu masih diam menikmati tehnya. Usia dan pengalaman hidup, perjalanan rumit putranya, membuat Bu Rida sudah ahli mengendalikan gejolak diri. Dia ingin sehat di sisa usia, biar bisa melihat anak-anaknya bahagia. Makanya harus bisa mengontrol hati."Aku dan Agatha nggak pernah nyangka. Kami dekat, mulai cocok, saling memahami. Tapi saat tahu latar belakang masing-masing, rasanya aneh. Seperti dunia ini terlalu kecil dan sempit."Bu Rida tersenyum. "Dunia memang sempit, Ham. Tapi perasaan manusia luas sekali."Arham menatap mamanya. "Kalau aku serius dalam kedekatan kami, seperti kami bertukar pasangan. Aku mantan suami Hilya, dia mantan istrinya Bre.""Nak," ucap Bu Rida lembut. "Semua ini bukan kesengajaan. Kalian bertemu nggak sengaja di saat sudah sama-sama saling sendiri. Kamu dan Hilya sudah selesai. Agatha dan Bre pun sudah bercerai lebih dari se
USAI KEPUTUSAN CERAI - Sang Mantan 2Author's POV Arham tercekat. Ini kejutan yang sungguh luar biasa baginya. Kebetulan macam apa ini. Hening. Mereka saling pandang dalam perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan. Kenapa tidak sejak awal saja saling bercerita, biar terungkap semuanya. Ketika hati sama-sama bertaut dan ingin lebih dekat lagi, muncul kenyataan yang sangat luar biasa."Pernikahan kami hanya setahun saja. Dia pria yang baik." Agatha menarik napas panjang sambil membuang pandang ke luar lewat sekat kaca. "Kami terakhir bertemu tiga setengah tahun yang lalu. Disaat dia sudah menikah dan istrinya tengah hamil lima bulan. Rifky diajaknya saat itu."Agatha menarik napas panjang lalu melanjutkan bicara. "Makanya saya kaget melihat Rifky kemarin. Saya masih ingat betul wajahnya."Senyum getir terbit di bibir Arham. "Lucu cerita ini, Mbak.""Ya." Agatha pun ikut tersenyum. Sama-sama mengulas senyum yang terasa pahit. Setelah diam beberapa saat, Agatha kembali bicara tentang
"Aku tahu dari anaknya Arham. Aku masih ingat wajah anak itu yang dulu di gendong Bre saat kami ketemuan di sebuah rumah makan. Tiga setengah tahun yang lalu." Agatha mengeluarkan ponsel yang sejak tadi belum dikeluarkan dari dalam sakunya. Ia menunjukkan foto Rifky yang diambilnya di area tempat bermain."Ini anak tirinya Bre?" Bu Wawan memandang Agatha."Ya. Ganteng, kan?"Bu Wawan mengangguk. Kemudian meletakkan ponsel di atas meja. "Apa itu masalah buatmu?" tanyanya lembut pada Agatha."Aku kaget, Ma. Dikala aku siap membuka hati, harus menghadapi kenyataan seperti ini. Kalau ada jodoh antara aku dan Arham. Begitu lucunya kenyataan. Kami seolah bertukar pasangan.""Semua nggak disengaja dan ini bukan lelucon. Majulah terus, Nduk. Kalian bisa sama-sama berusaha untuk saling menyembuhkan dan membina masa depan. Apapun yang terjadi di masa lalu, kalian berhak juga mendapatkan kebahagiaan. Kalau Nak Arham memang serius, terima saja. Percayalah hati kalian akan sembuh seiring berjalann
Namun hari ini dia tahu satu kenyataan. Ternyata Arham mantan suaminya Hilya, istri Bre. Lalu bagaimana dia bisa bangkit dan melupakan semuanya kalau masih saling berkaitan begini."Dari sini Mas Arham langsung mengajak Rifky pulang ke rumah?""Aku mampir ke rumah mama dulu. Sorenya baru pulang ke rumah. Mbak Gatha, mau ikut?""Sore ini saya harus mengantarkan mama keluar, Mas. Lain kali saja.""Oke." Arham mengangguk.Mereka menemani Rifky bermain hingga satu jam kemudian. Lantas keluar mall dan berpisah di parkiran.Melihat sikap Agatha yang perhatian terhadap Rifky, Arham lega. Timbul harapan hubungan mereka akan ada peningkatan. Dia tidak mempermasalahkan usianya yang lebih muda dari Agatha. Apalagi sang mama juga menyukai wanita itu. Arham ingin mewujudkan keinginan mamanya untuk segera menikah. "Mama ingin melihatmu berumah tangga lagi, sebelum mama pergi. Lihat sekarang mama sakit-sakitan. Mama berharap kamu punya pasangan dan hidup bahagia. Toh hubunganmu dengan Hilya juga su
USAI KEPUTUSAN CERAI- Sang MantanAuthor's POV "Rifky, salim dulu sama Tante Agatha." Rifky mengulurkan tangan kecilnya untuk menyalami wanita yang seketika itu menyondongkan tubuh padanya.Benar, tidak salah lagi. Dia anak tirinya Bre. Agatha masih ingat wajah tampannya. Untuk Rifky sendiri, tentu saja dia tidak ingat dengan Agatha. Saat bertemu kala itu baru berumur dua setengah tahun."Sudah sekolah?" tanya Agatha dengan wajah ramah."Sudah, Tante."Agatha mengusap lembut rambut Rifky. Kemudian ia berbincang dengan Arham. Namun belum membahas tentang apa yang ia ketahui. Setelah perkenalan di rest area saat itu, mereka berteman. Lumayan akrab setelah beberapa bulan kemudian. Sama-sama bekerja di bidang yang sama, jadi bertukar pengalaman. Apalagi sudah sepuluh tahun lebih Agatha meninggalkan Surabaya. Jadi dia belum begitu memahami banyaknya perubahan.Mereka sudah beberapa kali janjian makan siang di sela jam istirahat. Akan tetapi, Arham tidak banyak menceritakan tentang kehid
Hilya teringat satu malam yang berlalu begitu cepat saat sang suami menginginkannya. Malam di mana ia lupa menelan pil kecil yang biasa melindungi dari kemungkinan seperti ini. Hamil. Apa mungkin hamil hanya karena sekali saja lupa minum pil kontrasepsi? Tapi dia merasakan perubahan itu. "Sayang." Suara serak Bre terdengar dari balik selimut. Ia menggeliat lalu melihat istrinya duduk termenung."Kenapa? Kamu nggak enak badan?" tanya Bre sambil bangkit dan duduk merapat pada sang istri dan menyentuh keningnya.Hilya menoleh, menatap wajah suaminya yang terlihat masih mengantuk. Tadi malam Bre memang pulang dari Surabaya sudah jam sebelas. Hilya menarik napas panjang lalu berkata pelan, "Aku mual sudah beberapa hari ini, Mas. Tapi pagi ini malah tambah begah."Bre mengerutkan kening. Seketika matanya terbuka lebar karena ingat percakapan mereka suatu malam, di mana Hilya bilang lupa minum pil kontrasepsi. "Kamu hamil?""Mungkin. Aku sudah sebulan lebih telat haid."Napas Bre langsung t
"Kalau gitu, saya pamit dulu." Arham bangkit dari duduknya lalu menyalami Bre dan Hilya. Pria itu mendekat pada dua bocah yang masih sibuk dengan mainannya. Rifky dan Rafka langsung berdiri dan memeluk Arham. Menciuminya bergantian. Dia pun sayang pada Rafka yang tampan dan menggemaskan. Arham melangkah keluar rumah di antarkan oleh Bre, Hilya, dan anak-anak. Arham menoleh sebelum membuka pintu pagar. Melambaikan tangan yang dibalas oleh Rifky dan Rafka.Setelah itu Hilya mengajak Rifky untuk berganti pakaian ke kamarnya, sedangkan Rafka duduk bermain di karpet ditemani oleh sang papa.Sementara Arham kembali melaju di jalan utama. Sendirian lagi setelah dua hari ditemani. Namun sebenarnya dia sudah terbiasa kesepian semenjak perceraian. Hidup sendiri, kalau sakit juga sendiri. Arham tidak pernah memberitahu pada mamanya, karena Bu Rida sendiri juga sakit-sakitan. Kalau memang sudah tidak tahan, baru ia memberitahu adiknya. Itu pun setelah sangat terpaksa, karena Arham juga kasihan p
USAI KEPUTUSAN CERAI- KenalanAuthor's POV "Mas." Wanita berpakaian seragam sebuah butik itu menghampiri Arham."Tika." Arham mendekap erat Rifky.Mereka saling pandang sejenak. Wajah wanita itu berbinar. Semenjak bercerai, dia tidak pernah bertemu mantan suaminya. Berbagai cara dilakukan supaya bisa berjumpa dengan Arham, tapi tak pernah berhasil.Setiap kali melihatnya, mungkin Arham sengaja menghindar. Hubungan mereka benar-benar sudah selesai di akhir persidangan.Sudah setahun ini dia bekerja di butik yang ada di mall itu. Setahun kemarin sibuk dengan keterpurukannya. Tak ada dukungan, tak ada support karena keluarganya memang berantakan. Sudah seperti orang stres saja menghabiskan waktu ke sana ke mari tanpa teman. Karena beberapa teman dekat menjauhi, tidak peduli, dan mereka juga sibuk dengan aktivitas masing-masing.Apalagi Aruna sama sekali tidak pernah menghubunginya. Dihubungi juga tidak bisa. Ia dengar wanita itu sudah kembali bahagia dengan suami dan anaknya.Uang Idda