"Belum lama. Ketemu di Malang sebulan yang lalu waktu Global Company ngadain family gathering. Aku kan datang ke lokasi, Ma. Untuk nemui Tristan. Di situ aku bertemu sama Mbak Hilya dan anaknya."Terus ketemu lagi beberapa hari yang lalu. Karena perusahaan kita mau kerjasama dengan Tristan, Ma.""Dia cantik, smart, Bre. Anaknya juga menggemaskan."Mendengar perkataan sang mama, Bre menanggapi dengan senyuman. Karena dalam pikirannya, Hilya ini istri orang. Meski tak dipungkiri, sebagai pria dewasa dia mengakui kalau Hilya memang cantik dan elegan. Anaknya juga menarik perhatiannya. Sementara Bu Rika memperhatikan reaksi sang anak yang tampak biasa saja. Tentu dia kecewa. Kenapa Bre tidak menunjukkan ketertarikan pada wanita itu. Apa hati anaknya masih beku. Benar-benar tidak mau membuka hati dan menikah lagi. Bu Rika kembali sedih. Dipikir Bu Rika, Bre sudah tahu statusnya Hilya. Padahal anaknya belum tahu sama sekali."Bre, beneran kamu nggak ingin berumah tangga lagi?"Bre terkeju
Akhir pekan biasanya ia menghabiskan waktu bertemu putranya, meski hanya beberapa jam. Namun sekarang tidak bisa menemuinya. Kangen. Sedang apa Rifky? Apa anak itu juga menunggu papanya datang?Ia meraih ponselnya di atas meja. Mengirimkan pesan pada mantan kakak iparnya. [Mbak, bisakah saya hanya video call saja sama Rifky?]Tidak menunggu lama, pesannya dibalas.[Maaf, Ham. Rifky diajak keluar sama Hilya.][Ke mana, Mbak?][Nggak tahu, Ham.][Oke, Mbak.]Arham memasukkan ponsel ke dalam celananya. Ia juga membuang rokoknya ke asbak, lalu masuk ke dalam rumah. Saat ia mengambil kunci mobil di meja, Atika menoleh dengan curiga. "Mau ke mana, Mas?" tanya Atika yang tengah menonton televisi."Pergi sebentar.""Ke mana?" Atika berdiri. Suaminya tidak menjawab dan terus melangkah ke garasi. Meninggalkan Atika yang sangat geram.Tidak lama kemudian terdengar deru mobil meninggalkan halaman rumah. Dia tidak punya tujuan hendak ke mana. Akhirnya berhenti di sebuah taman kota. Duduk di sudut
USAI KEPUTUSAN CERAI- Perhatian Author's POV "Bagaimana keadaan Mbak Hilya dan putranya, Mbak?" tanya Bre menegakkan duduknya. Keseriusan yang membuat Arham memandang pria itu. Apa dia kenal dengan mantan istrinya, bahkan putranya. Namun seorang staf mempersilakannya ke ruang meeting, sehingga ia tidak sempat tahu siapa pria tampan itu. Sosok yang mendadak membuatnya cemburu."Alhamdulillah, Rifky nggak apa-apa, Pak. Cuman Hilya terkilir kaki kirinya. Tapi tadi pagi waktu saya telepon, dia bilang kalau sudah mendingan," jawab Ani."Syukurlah!"Pada saat itu muncul seorang staf lain dari dalam menghampiri mereka. "Maaf, Pak. Bapak, ditunggu oleh Pak Tristan di ruangannya.""Iya, makasih." Bre bangkit dari duduknya. "Mbak, saya nemui Pak Tristan dulu.""Silakan, Pak Bre."Bre melangkah ke ruangan Tristan. Hendak bicara tentang Hilya juga tidak bisa karena di dalam ada Pak Fadlan. Pria berkacamata itu tersenyum menyambut uluran tangan Bre, memeluk, serta menepuk bahunya. "Tambah suks
Mbak Asmi membuka pintu. Pria dengan kemeja abu-abu gelap dan celana bahan warna hitam itu berdiri tegap di depannya. Dia tersenyum ramah. Meski tampak sedikit canggung."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Mas, ingin bertemu siapa?" tanya Asmi berbasa-basi."Om," panggil Rifky yang tiba-tiba muncul dari dalam seraya membawa mainannya."Hai, Rifky." Bre tersenyum melihat bocah kecil itu. Dia tidak salah rumah. Tadi sempat bertanya pada seseorang di tikungan depan sana."Saya Bre, Mbak. Rekan bisnis di Global. Saya ingin menjenguk Mbak Hilya, waktu saya ke kantor tadi, katanya Mbak Hilya jatuh dari motor.""Oh, iya. Mari masuk, Mas. Silakan duduk. Saya panggilkan adik saya dulu." Mbak Asma menggendong Rifky dan membawanya masuk ke dalam.Bre meletakkan oleh-olehnya di atas meja, lantas duduk di kursi. Pandangannya sekilas menyapu seluruh ruangan. Rumah itu tampak sederhana, tapi bersih dan rapi. Dari ruang dalam terdengar suara televisi yang menyala.Tidak lama kemudian, muncul Hilya
Setelah Bre pergi, Mbak Asmi masuk ke rumah. "Dia tahu alamat kita dari mana, Hil?""Dari Ani, Mbak.""Dia peduli juga. Mau menjengukmu."Hilya tersenyum samar. Semoga hanya sebatas menjenguk sebagai rasa simpati karena mereka rekan kerja, bukan seperti Tristan, lelaki beristri yang menyimpan rasa terhadapnya. Dia tidak mau lagi berurusan dengan istri orang karena cemburu padanya. Bre ini istrinya pasti di Malang. Tapi bukan berarti tidak akan tahu.Dari tampangnya, dia pria baik-baik. Ah, Hilya tidak ingin terkecoh. Siapapun bisa berpotensi untuk melukai, seperti Arham yang sama sekali tidak terpikirkan oleh Hilya, sanggup menyakiti meski sudah ditemani berjuang dan menyembuhkan diri.Ponsel di saku Mbak Asmi berdering. "Arham nelepon, Hil" kata Mbak Asmi setelah melihat ponselnya."Nggak usah kasih tahu kalau kami kemarin jatuh, Mbak." Mungkin dia ingin tahu kabar anaknya. Karena kemarin tidak bisa bertemu seperti biasanya. Sengaja nelepon pagi, karena Arham pikir Hilya sedang ada
USAI KEPUTUSAN CERAI- Cemburu Author's POV "Kenapa, Pak?" tanya Hilya. Heran dengan nada suara bosnya. Ada apa dengan Bre? Kenapa membuat Tristan terdengar kaget. Apa Bre punya istri?Hmm, ternyata semua lelaki sama saja. "Pak Tristan, ada apa?" Hilya kembali bertanya dengan nada penasaran."Nggak ada apa-apa. Kaget saja Bre tahu rumahmu.""Katanya tanya ke Ani waktu di kantor tadi, Pak.""Oke. Istirahatlah dulu. Ketemu di kantor kalau kamu sudah sembuh. Misalnya ada sesuatu yang membuatmu harus periksa ke dokter, segera kabari aku.""Baik, Pak."Tanpa mengucapkan salam, Bre menutup telepon. Hilya menarik napas panjang. Apa selain Tristan, muncul lagi Bre. Pria beristri yang iseng dengan janda sepertinya.Ah, tidak. Jangan berprasangka dulu. Bre terlihat sangat sopan dan menjaga pandangannya. Ibunya juga terlihat sangat baik. Tapi Arham dan Bu Rida juga sangat baik, bukan? Dan ternyata lelaki yang dianggap baik itu telah menikamnya hingga hampir sekarat."Unda, mau syusyu." Rifky
Walaupun malas bicara dengan sang istri, tapi akhirnya Arham meneleponnya juga."Sudah lihat videonya, Mas?" Arham langsung disambut ucapan sinis dari Atika."Dari mana kamu dapat video itu?""Nggak usah tahu dari mana. Yang penting kamu tahu kalau mantanmu seperti itu.""Kamu kira aku percaya? Aku kenal Hilya lebih darimu, Atika. Kamu dan Aruna itu sama saja. Hilya tidak mungkin berlaku murahan. Dia tak mungkin menggoda suami orang. Dia bukan kamu."Terdengar Atika mendengkus kesal. "Kamu jangan lupa, Mas. Kamu juga yang mau sukarela kembali padaku, bukan? Jangan sok suci, Pak Arham." Selesai bicara, telepon langsung dimatikan. Arham menghela nafas berat. Betapa bodohnya ia dulu. Meninggalkan Hilya yang setia demi Atika, perempuan yang dulu tampak penuh pesona tapi ternyata hanya fatamorgana.Bahkan sekarang tidak tahu bagaimana ia bisa bertahan dalam rumah tangga ini. Ingin rasanya berakhir sampai di sini saja. Ia sudah lelah. Ia yakin, Hilya tidak mungkin menggoda Tristan. Justru
"Pokoknya kamu hebat. Aku doain kamu akan menemukan kebahagiaanmu. Dah, aku mau kerja." Ika bangkit dan keluar ruangan. Membiarkan Hilya menatapnya heran.Tidak lama kemudian intercom di mejanya berdering. Tristan yang menelepon. "Hilya, bisa menemuiku? Atau aku yang ke ruanganmu.""Saya saja yang ke ruangan, Pak Tristan.""Oke, kutunggu."Hilya berdiri pelan-pelan. Pergelangan kakinya masih terasa sakit kalau dipakai untuk berdiri mendadak. Harus diam dulu, baru melangkah."Kubantu, Hilya." Tristan buru-buru bangkit hendak memapah Hilya yang baru masuk ke ruangannya. Namun wanita itu menolak dengan isyarat tangannya. "Tidak usah, Pak.""Kalau belum sembuh benar, harusnya kamu nggak perlu maksain diri masuk kerja."Hilya tersenyum sambil duduk pelan-pelan. "Ini sudah jauh lebih baik, Pak. Saya punya tanggungjawab pada pekerjaan. Nggak mungkin saya tinggal terlalu lama. Ada yang perlu kita bahas sekarang, Pak?"Tristan tidak segera menjawab. Ia diam memandang Hilya begitu dalam. Apa Hi
"Aku tahu dari anaknya Arham. Aku masih ingat wajah anak itu yang dulu di gendong Bre saat kami ketemuan di sebuah rumah makan. Tiga setengah tahun yang lalu." Agatha mengeluarkan ponsel yang sejak tadi belum dikeluarkan dari dalam sakunya. Ia menunjukkan foto Rifky yang diambilnya di area tempat bermain."Ini anak tirinya Bre?" Bu Wawan memandang Agatha."Ya. Ganteng, kan?"Bu Wawan mengangguk. Kemudian meletakkan ponsel di atas meja. "Apa itu masalah buatmu?" tanyanya lembut pada Agatha."Aku kaget, Ma. Dikala aku siap membuka hati, harus menghadapi kenyataan seperti ini. Kalau ada jodoh antara aku dan Arham. Begitu lucunya kenyataan. Kami seolah bertukar pasangan.""Semua nggak disengaja dan ini bukan lelucon. Majulah terus, Nduk. Kalian bisa sama-sama berusaha untuk saling menyembuhkan dan membina masa depan. Apapun yang terjadi di masa lalu, kalian berhak juga mendapatkan kebahagiaan. Kalau Nak Arham memang serius, terima saja. Percayalah hati kalian akan sembuh seiring berjalann
Namun hari ini dia tahu satu kenyataan. Ternyata Arham mantan suaminya Hilya, istri Bre. Lalu bagaimana dia bisa bangkit dan melupakan semuanya kalau masih saling berkaitan begini."Dari sini Mas Arham langsung mengajak Rifky pulang ke rumah?""Aku mampir ke rumah mama dulu. Sorenya baru pulang ke rumah. Mbak Gatha, mau ikut?""Sore ini saya harus mengantarkan mama keluar, Mas. Lain kali saja.""Oke." Arham mengangguk.Mereka menemani Rifky bermain hingga satu jam kemudian. Lantas keluar mall dan berpisah di parkiran.Melihat sikap Agatha yang perhatian terhadap Rifky, Arham lega. Timbul harapan hubungan mereka akan ada peningkatan. Dia tidak mempermasalahkan usianya yang lebih muda dari Agatha. Apalagi sang mama juga menyukai wanita itu. Arham ingin mewujudkan keinginan mamanya untuk segera menikah. "Mama ingin melihatmu berumah tangga lagi, sebelum mama pergi. Lihat sekarang mama sakit-sakitan. Mama berharap kamu punya pasangan dan hidup bahagia. Toh hubunganmu dengan Hilya juga su
USAI KEPUTUSAN CERAI- Sang MantanAuthor's POV "Rifky, salim dulu sama Tante Agatha." Rifky mengulurkan tangan kecilnya untuk menyalami wanita yang seketika itu menyondongkan tubuh padanya.Benar, tidak salah lagi. Dia anak tirinya Bre. Agatha masih ingat wajah tampannya. Untuk Rifky sendiri, tentu saja dia tidak ingat dengan Agatha. Saat bertemu kala itu baru berumur dua setengah tahun."Sudah sekolah?" tanya Agatha dengan wajah ramah."Sudah, Tante."Agatha mengusap lembut rambut Rifky. Kemudian ia berbincang dengan Arham. Namun belum membahas tentang apa yang ia ketahui. Setelah perkenalan di rest area saat itu, mereka berteman. Lumayan akrab setelah beberapa bulan kemudian. Sama-sama bekerja di bidang yang sama, jadi bertukar pengalaman. Apalagi sudah sepuluh tahun lebih Agatha meninggalkan Surabaya. Jadi dia belum begitu memahami banyaknya perubahan.Mereka sudah beberapa kali janjian makan siang di sela jam istirahat. Akan tetapi, Arham tidak banyak menceritakan tentang kehid
Hilya teringat satu malam yang berlalu begitu cepat saat sang suami menginginkannya. Malam di mana ia lupa menelan pil kecil yang biasa melindungi dari kemungkinan seperti ini. Hamil. Apa mungkin hamil hanya karena sekali saja lupa minum pil kontrasepsi? Tapi dia merasakan perubahan itu. "Sayang." Suara serak Bre terdengar dari balik selimut. Ia menggeliat lalu melihat istrinya duduk termenung."Kenapa? Kamu nggak enak badan?" tanya Bre sambil bangkit dan duduk merapat pada sang istri dan menyentuh keningnya.Hilya menoleh, menatap wajah suaminya yang terlihat masih mengantuk. Tadi malam Bre memang pulang dari Surabaya sudah jam sebelas. Hilya menarik napas panjang lalu berkata pelan, "Aku mual sudah beberapa hari ini, Mas. Tapi pagi ini malah tambah begah."Bre mengerutkan kening. Seketika matanya terbuka lebar karena ingat percakapan mereka suatu malam, di mana Hilya bilang lupa minum pil kontrasepsi. "Kamu hamil?""Mungkin. Aku sudah sebulan lebih telat haid."Napas Bre langsung t
"Kalau gitu, saya pamit dulu." Arham bangkit dari duduknya lalu menyalami Bre dan Hilya. Pria itu mendekat pada dua bocah yang masih sibuk dengan mainannya. Rifky dan Rafka langsung berdiri dan memeluk Arham. Menciuminya bergantian. Dia pun sayang pada Rafka yang tampan dan menggemaskan. Arham melangkah keluar rumah di antarkan oleh Bre, Hilya, dan anak-anak. Arham menoleh sebelum membuka pintu pagar. Melambaikan tangan yang dibalas oleh Rifky dan Rafka.Setelah itu Hilya mengajak Rifky untuk berganti pakaian ke kamarnya, sedangkan Rafka duduk bermain di karpet ditemani oleh sang papa.Sementara Arham kembali melaju di jalan utama. Sendirian lagi setelah dua hari ditemani. Namun sebenarnya dia sudah terbiasa kesepian semenjak perceraian. Hidup sendiri, kalau sakit juga sendiri. Arham tidak pernah memberitahu pada mamanya, karena Bu Rida sendiri juga sakit-sakitan. Kalau memang sudah tidak tahan, baru ia memberitahu adiknya. Itu pun setelah sangat terpaksa, karena Arham juga kasihan p
USAI KEPUTUSAN CERAI- KenalanAuthor's POV "Mas." Wanita berpakaian seragam sebuah butik itu menghampiri Arham."Tika." Arham mendekap erat Rifky.Mereka saling pandang sejenak. Wajah wanita itu berbinar. Semenjak bercerai, dia tidak pernah bertemu mantan suaminya. Berbagai cara dilakukan supaya bisa berjumpa dengan Arham, tapi tak pernah berhasil.Setiap kali melihatnya, mungkin Arham sengaja menghindar. Hubungan mereka benar-benar sudah selesai di akhir persidangan.Sudah setahun ini dia bekerja di butik yang ada di mall itu. Setahun kemarin sibuk dengan keterpurukannya. Tak ada dukungan, tak ada support karena keluarganya memang berantakan. Sudah seperti orang stres saja menghabiskan waktu ke sana ke mari tanpa teman. Karena beberapa teman dekat menjauhi, tidak peduli, dan mereka juga sibuk dengan aktivitas masing-masing.Apalagi Aruna sama sekali tidak pernah menghubunginya. Dihubungi juga tidak bisa. Ia dengar wanita itu sudah kembali bahagia dengan suami dan anaknya.Uang Idda
"Kita masuk dulu dan lihat-lihat di dalam. Nanti beliin juga buat adek."Rifky mengangguk. Arham menggandengnya masuk ke dalam. Berjalan melihat mainan yang dipajang. Akhirnya Rifky mengambil dua mobilan untuk dirinya dan Rafka.Setelah puas berkeliling dan bermain, mereka menuju food court. Arham membiarkan Rifky memilih sendiri apa yang ingin dia makan. Bocah itu menunjuk chicken nugget, bakso, dan kentang goreng. Mereka duduk di meja dekat jendela, menikmati makanan sambil bercakap ringan.Arham bahagia, tapi Rifky berusaha menyesuaikan dengan kondisi. Belum lama berpisah dari adik, bunda, dan Papa Bre, ia sudah merasa kangen. Dia belum pernah berjauhan dari mereka. Bocah itu agak terhibur karena Arham terus mengajaknya bicara dan bercanda.Setelah itu Arham mengajak putranya pulang. Kali ini bukan langsung pulang ke rumah, tapi singgah dulu ke rumah Bu Rida."Kita mampir ke rumah nenek dulu, ya!""Ini rumah nenek, Pa?""Ya. Rumah Nenek Rida. Ayo, kita ketemu nenek dulu sebelum pul
Dua anak itu tidur dalam satu kamar, di kamar berbeda dari kedua orang tuanya. Dijaga oleh Mak As. Tapi Hilya juga berperan penuh menjaga anak-anaknya. Dia belum kembali ke kantor seperti harapannya. Mungkin nanti jika anak-anak sudah sekolah semua. Bre pun memberikan kebebasan Hilya untuk menentukan. Dia senang kalau bisa setiap waktu bersama sang istri di kantor, tapi dia juga lega karena anak-anak dijaga bundanya sendiri dan tidak menyerahkan sepenuhnya pada pengasuh."Kak, mau ana?" Rafka yang sudah terbangun heran melihat sang kakak yang sedang digantikan baju rapi oleh bundanya. Bocah yang berusia dua tahun setengah itu mendekat dan memandangi sang kakak."Kak Rifky mau ke Surabaya. Besok kakak sudah pulang lagi." Sambil menyisir rambutnya Rifky, Hilya menjawab pertanyaan anak keduanya."Ikut," celetuk Rafka."Adek sama bunda dan papa di rumah. Kalau adek sudah besar, baru boleh ikut." Hilya memberikan pengertian.Bukannya mengerti, Rafka malah merengek. Rifky menangkupkan kedua
USAI KEPUTUSAN CERAI- IzinAuthor's POV Pagi itu langit di sepanjang jalan menuju Malang masih menyisakan kabut tipis. Di kejauhan terlihat seperti tirai putih yang menampilkan bayang pepohonan di latar belakang. Hawa pastinya masih terasa begitu dingin.Arham sengaja berangkat sehabis salat subuh tadi agar sampai kota Malang masih pagi. Dia sangat antusias ketika mendapatkan izin untuk mengajak Rifky ke Surabaya selama dua hari.Ini untuk pertama kalinya Arham diberi kesempatan membawa putranya menginap. Itu pun setelah Rifky sendiri ditanyai oleh bundanya, bersedia ikut papanya apa tidak. Ternyata Rifky mau. Akhirnya Bre yang menelepon Arham untuk bicara.Kebahagiaan Arham tidak terlukiskan dengan kata-kata. Dia harus berterima kasih pada Bre, telah begitu pengertian dan bijaksana menyikapi hubungan antara dirinya dengan Rifky. Walaupun ayah tiri, Bre menjadi ayah yang luar biasa. Mereka mendidik putranya begitu baik.Ketika mobil Arham sampai di depan pagar rumah Bre, suasana ma