USAI KEPUTUSAN CERAI- Perhatian Author's POV "Bagaimana keadaan Mbak Hilya dan putranya, Mbak?" tanya Bre menegakkan duduknya. Keseriusan yang membuat Arham memandang pria itu. Apa dia kenal dengan mantan istrinya, bahkan putranya. Namun seorang staf mempersilakannya ke ruang meeting, sehingga ia tidak sempat tahu siapa pria tampan itu. Sosok yang mendadak membuatnya cemburu."Alhamdulillah, Rifky nggak apa-apa, Pak. Cuman Hilya terkilir kaki kirinya. Tapi tadi pagi waktu saya telepon, dia bilang kalau sudah mendingan," jawab Ani."Syukurlah!"Pada saat itu muncul seorang staf lain dari dalam menghampiri mereka. "Maaf, Pak. Bapak, ditunggu oleh Pak Tristan di ruangannya.""Iya, makasih." Bre bangkit dari duduknya. "Mbak, saya nemui Pak Tristan dulu.""Silakan, Pak Bre."Bre melangkah ke ruangan Tristan. Hendak bicara tentang Hilya juga tidak bisa karena di dalam ada Pak Fadlan. Pria berkacamata itu tersenyum menyambut uluran tangan Bre, memeluk, serta menepuk bahunya. "Tambah suks
Mbak Asmi membuka pintu. Pria dengan kemeja abu-abu gelap dan celana bahan warna hitam itu berdiri tegap di depannya. Dia tersenyum ramah. Meski tampak sedikit canggung."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Mas, ingin bertemu siapa?" tanya Asmi berbasa-basi."Om," panggil Rifky yang tiba-tiba muncul dari dalam seraya membawa mainannya."Hai, Rifky." Bre tersenyum melihat bocah kecil itu. Dia tidak salah rumah. Tadi sempat bertanya pada seseorang di tikungan depan sana."Saya Bre, Mbak. Rekan bisnis di Global. Saya ingin menjenguk Mbak Hilya, waktu saya ke kantor tadi, katanya Mbak Hilya jatuh dari motor.""Oh, iya. Mari masuk, Mas. Silakan duduk. Saya panggilkan adik saya dulu." Mbak Asma menggendong Rifky dan membawanya masuk ke dalam.Bre meletakkan oleh-olehnya di atas meja, lantas duduk di kursi. Pandangannya sekilas menyapu seluruh ruangan. Rumah itu tampak sederhana, tapi bersih dan rapi. Dari ruang dalam terdengar suara televisi yang menyala.Tidak lama kemudian, muncul Hilya
Setelah Bre pergi, Mbak Asmi masuk ke rumah. "Dia tahu alamat kita dari mana, Hil?""Dari Ani, Mbak.""Dia peduli juga. Mau menjengukmu."Hilya tersenyum samar. Semoga hanya sebatas menjenguk sebagai rasa simpati karena mereka rekan kerja, bukan seperti Tristan, lelaki beristri yang menyimpan rasa terhadapnya. Dia tidak mau lagi berurusan dengan istri orang karena cemburu padanya. Bre ini istrinya pasti di Malang. Tapi bukan berarti tidak akan tahu.Dari tampangnya, dia pria baik-baik. Ah, Hilya tidak ingin terkecoh. Siapapun bisa berpotensi untuk melukai, seperti Arham yang sama sekali tidak terpikirkan oleh Hilya, sanggup menyakiti meski sudah ditemani berjuang dan menyembuhkan diri.Ponsel di saku Mbak Asmi berdering. "Arham nelepon, Hil" kata Mbak Asmi setelah melihat ponselnya."Nggak usah kasih tahu kalau kami kemarin jatuh, Mbak." Mungkin dia ingin tahu kabar anaknya. Karena kemarin tidak bisa bertemu seperti biasanya. Sengaja nelepon pagi, karena Arham pikir Hilya sedang ada
USAI KEPUTUSAN CERAI- Cemburu Author's POV "Kenapa, Pak?" tanya Hilya. Heran dengan nada suara bosnya. Ada apa dengan Bre? Kenapa membuat Tristan terdengar kaget. Apa Bre punya istri?Hmm, ternyata semua lelaki sama saja. "Pak Tristan, ada apa?" Hilya kembali bertanya dengan nada penasaran."Nggak ada apa-apa. Kaget saja Bre tahu rumahmu.""Katanya tanya ke Ani waktu di kantor tadi, Pak.""Oke. Istirahatlah dulu. Ketemu di kantor kalau kamu sudah sembuh. Misalnya ada sesuatu yang membuatmu harus periksa ke dokter, segera kabari aku.""Baik, Pak."Tanpa mengucapkan salam, Bre menutup telepon. Hilya menarik napas panjang. Apa selain Tristan, muncul lagi Bre. Pria beristri yang iseng dengan janda sepertinya.Ah, tidak. Jangan berprasangka dulu. Bre terlihat sangat sopan dan menjaga pandangannya. Ibunya juga terlihat sangat baik. Tapi Arham dan Bu Rida juga sangat baik, bukan? Dan ternyata lelaki yang dianggap baik itu telah menikamnya hingga hampir sekarat."Unda, mau syusyu." Rifky
Walaupun malas bicara dengan sang istri, tapi akhirnya Arham meneleponnya juga."Sudah lihat videonya, Mas?" Arham langsung disambut ucapan sinis dari Atika."Dari mana kamu dapat video itu?""Nggak usah tahu dari mana. Yang penting kamu tahu kalau mantanmu seperti itu.""Kamu kira aku percaya? Aku kenal Hilya lebih darimu, Atika. Kamu dan Aruna itu sama saja. Hilya tidak mungkin berlaku murahan. Dia tak mungkin menggoda suami orang. Dia bukan kamu."Terdengar Atika mendengkus kesal. "Kamu jangan lupa, Mas. Kamu juga yang mau sukarela kembali padaku, bukan? Jangan sok suci, Pak Arham." Selesai bicara, telepon langsung dimatikan. Arham menghela nafas berat. Betapa bodohnya ia dulu. Meninggalkan Hilya yang setia demi Atika, perempuan yang dulu tampak penuh pesona tapi ternyata hanya fatamorgana.Bahkan sekarang tidak tahu bagaimana ia bisa bertahan dalam rumah tangga ini. Ingin rasanya berakhir sampai di sini saja. Ia sudah lelah. Ia yakin, Hilya tidak mungkin menggoda Tristan. Justru
"Pokoknya kamu hebat. Aku doain kamu akan menemukan kebahagiaanmu. Dah, aku mau kerja." Ika bangkit dan keluar ruangan. Membiarkan Hilya menatapnya heran.Tidak lama kemudian intercom di mejanya berdering. Tristan yang menelepon. "Hilya, bisa menemuiku? Atau aku yang ke ruanganmu.""Saya saja yang ke ruangan, Pak Tristan.""Oke, kutunggu."Hilya berdiri pelan-pelan. Pergelangan kakinya masih terasa sakit kalau dipakai untuk berdiri mendadak. Harus diam dulu, baru melangkah."Kubantu, Hilya." Tristan buru-buru bangkit hendak memapah Hilya yang baru masuk ke ruangannya. Namun wanita itu menolak dengan isyarat tangannya. "Tidak usah, Pak.""Kalau belum sembuh benar, harusnya kamu nggak perlu maksain diri masuk kerja."Hilya tersenyum sambil duduk pelan-pelan. "Ini sudah jauh lebih baik, Pak. Saya punya tanggungjawab pada pekerjaan. Nggak mungkin saya tinggal terlalu lama. Ada yang perlu kita bahas sekarang, Pak?"Tristan tidak segera menjawab. Ia diam memandang Hilya begitu dalam. Apa Hi
USAI KEPUTUSAN CERAI - Saya Tunggu di DepanAuthor's POV "Boleh, Mbak?" tanya Bre mengulang saat Hilya masih diam. "Boleh, Pak Bre. Tapi ajak istri dan anak Bapak, ya. Jangan sendirian. Saya dan kakak saya janda. Saya nggak ingin timbul fitnah nantinya," jawab Hilya tegas. Ya, dia memang harus memperjelas dan berterus terang. Melindungi diri itu wajib. Sebab tidak ada lagi yang bisa melindungi selain dirinya sendiri.Bre tersenyum. Sikapnya tenang memandang wanita di hadapannya. "Saya tidak punya istri dan anak, Mbak Hilya."Hilya terkejut. Pria di depannya ini tidak sedang berbohong, kan? Masa iya lelaki sekeren dia tidak punya istri. "Oh, maaf Pak Bre. Saya nggak tahu.""Jadi, boleh saya mampir?"Sejenak Hilya diam. Kemarin-kemarin dia mengira Bre pria beristri, jadi agak meresahkan kalau bertamu ke rumah. Namun setelah tahu Bre single, Hilya juga waspada. Takut Bre berbohong.Ya, perempuan kalau sudah berulang kali terkena trust issue dengan kaum laki-laki, membuatnya terlalu be
Hilya tersenyum melihat ekspresi bahagia anaknya. "Wah, mobilnya bisa berubah, ya?""Bisa." Rifky mengangguk cepat, matanya berbinar.Di samping Hilya, sang kakak ikut memperhatikan keseruan anak-anak. "Sepertinya ada yang mulai perhatian sama kamu, Hil. Dia tertarik padamu. Lihat saja bagaimana dia peduli pada Rifky. Itu bukan sikap yang biasa ditunjukkan pria yang hanya ingin bersikap basa-basi. Terlebih kalian baru saling kenal."Hilya tersenyum hambar. Ia meraih cangkir teh yang sudah mulai dingin di meja, mengaduknya pelan dengan sendok kecil. "Bisa jadi dia hanya merasa kasihan. Atau sekadar bersimpati. Aku ini janda, Mbak. Dia bos besar, dari keluarga berada. Kulihat profil perusahaannya sangat bonafit. Jelas kami nggak sekufu."Untuk perempuan nggak sekufu sepertiku, biasanya mereka hanya ingin sekedar bermain-main. Kalau dia ingin menjalin hubungan serius, pasti mencari yang setara. Bukan seseorang sepertiku yang hanya seorang wanita biasa."Bre memang sosok yang tampak baik.
Namun ia sudah terjebak ke dalam labirin yang tidak tahu di mana jalan keluarnya. Seumur hidup, sungguh terlalu lama. Sementara itu ponsel Tristan yang tergeletak di meja, layarnya menyala. Sebuah pesan masuk dari Bre.[Kamu di mana, Bro? Jadi ke Semarang.][Ya. Aku di Semarang sekarang.][Semarangnya mana?][Aku nginap Hotel Mustika.][Aku juga ada di Semarang. Bisa kita ketemuan? Aku tidak jauh dari situ.]Tristan terdiam. Bagaimana ini bisa kebetulan sekali. Bertemu di tempat yang sama padahal Semarang begitu luasnya. Beberapa hari yang lalu, ia memang memberitahu Bre kalau ada pekerjaan di Semarang. Tapi kenapa bisa sama, padahal kemarin Bre tidak bilang apa-apa.Tristan menegakkan tubuh, rahangnya mengeras. Dia ingin menghabiskan waktu dengan Hilya malam ini. Dia tidak ingin gangguan. Namun menolak Bre juga bukan pilihan. Sebab selama ini dia merahasiakan siapa wanita yang membuatnya mendua.Akhirnya Tristan mengiyakan.Setengah jam kemudian, seorang pria tinggi dengan kemeja na
Namun Bre kian resah karena belum ada pesan masuk dari Hilya. Yang pasti sekarang Hilya sudah ada di kantor yang mereka tuju. Apa sesibuk itu, hingga tidak sempat mengirimkan pesan padanya?"Hilya mau kan kamu ajak pindah ke Malang?""Kami akan membahasnya nanti. Masih banyak yang perlu kami bicarakan."Bu Rika manggut-manggut. "Kamu nggak ingin ketemu Hilya dulu sebelum berangkat ke Semarang?""Iya, nanti kami ketemuan." Bre tidak ingin menceritakan keresahannya pada sang mama. Daripada nanti jadi kepikiran. Yang jelas, dia tidak akan membiarkan Hilya terlepas."Sebelum berangkat, kamu makan siang dulu. Bentar, mama siapin." Bu Rika beranjak ke belakang. Menghampiri ART-nya yang tengah memasak. Sedangkan Bre buru-buru meraih ponselnya di atas meja saat benda pipih itu berpendar. Keresahannya spontan berubah kelegaan saat Hilya mengirimkan nama dan alamat hotel tempat mereka menginap. Juga mengirimkan informasi alamat terkini.[Oke. Kita ketemu di situ ya.][Iya.] Jawaban singkat dar
USAI KEPUTUSAN CERAI- Tiga Hati di Semarang Author's POV "Pak Bre, saya sudah pesankan tiketnya. Penerbangan jam tiga sore ini." Seorang asisten pribadinya memberitahu Bre di ruangannya."Oke, makasih banyak," jawab Bre seraya menutup laptop. Dilihatnya jam tangan. Baru jam delapan pagi. Tadi Hilya berangkat ke Semarang jam tujuh.Dia harus berangkat sekarang dari Malang ke Juanda. Nanti mampir sebentar ke rumah mamanya. Tadi sengaja berbohong pada Hilya kalau dia sudah ada di Solo, padahal baru mau berangkat dari Malang dan naik pesawat ke Semarang dari Juanda. Jujur saja dia khawatir dengan Hilya yang pergi bersama Tristan. Walaupun Bre kenal baik sama pria itu, tapi dia tidak percaya karena sahabatnya sedang dimabuk kepayang oleh Hilya. Perempuan yang sama-sama mereka cintai.Akan ada cerita berbeda saat Tristan sudah tahu semuanya. Namun ia berharap, persahabatan dan kerjasamanya dengan pria itu tidak akan bermasalah setelah ini. Makanya lebih baik ia berpura-pura tidak tahu t
"Mbak, lusa aku jadi ke Semarang. Sebenarnya ini sudah dijadwalkan Minggu kemarin, tapi di undur lusa. Mungkin dua sampai tiga hari aku di sana. Rifky kira-kira rewel nggak, ya?""Nggak. Kamu tenang saja. Dia manut sama Mbak."Hilya kepikiran Rifky saja kalau dia pergi ke luar kota. Biasanya hanya dua hari saja dia pergi, sekarang tiga hari."Untuk Bre, kalau menurut mbak. Jangan ragu, pandang dia yang sekarang, jangan lihat masa lalunya. Ayo, tidur. Mbak sudah ngantuk."Keduanya bangkit dari karpet dan masuk ke kamar masing-masing. Hilya berbaring menghadap Rifky yang memeluk guling. Diusapnya pelan pipi halusnya. Dialah cinta sejati bagi Hilya. Yang bisa mengobati rasa lelah hanya dengan tatapan matanya yang bening. Hilya bergerak pelan untuk mengecup kening Rifky. Kemudian memeluk kaki kecil itu dan dia pun memejam.🖤LS🖤"Hilya, ada pesan dari Arham." Mbak Asmi menunjukkan ponselnya pada Hilya.[Mbak, maaf kalau dalam beberapa waktu ke depan saya nggak datang menjenguk Rifky. Na
Omongan Pak Ardi yang ngelantur membuat Tristan menghela nafas panjang. "Saya tegaskan, Pa. Hubungan saya dengan Hilya, hanya sebatas tentang pekerjaan."Aruna yang sejak tadi diam saja, akhirnya juga ikut bicara. "Sudah, Pa. Jangan membahas hal ini lagi. Kami baik-baik saja, Papa nggak perlu khawatir." "Kamu tahu apa, Runa. Jangan sampai suamimu direbut perempuan lain, baru kamu nangis-nangis.""Aku nggak mau membahas ini lagi, Pa," sangkal Aruna. Dia ingat ucapan suaminya, kalau sampai mengusik Hilya, maka hubungan mereka yang menjadi taruhannya. "Lihat ini, Pa. Mas Tristan barusan ngasih hadiah." Aruna menunjukkan cincin berlian di jari manisnya. Pak Ardi dan istrinya memperhatikan.Selesai bicara, Aruna bangkit dari duduknya dan mengajak suaminya pamitan. "Kami pulang dulu, Pa. Aku lega Papa sudah jauh lebih baik." Aruna mencium tangan papa dan mamanya. Begitu juga dengan Tristan. Lantas mereka melangkah keluar kamar.Pak Ardi tampak kecewa. Anak yang dibelanya agar tidak diseli
USAI KEPUTUSAN CERAI - Cincin di Mobil Author's POV "Mas, beli ini untukku?" Aruna terbeliak kaget, sekaligus berbinar menemukan kotak perhiasan berbentuk hati warna merah jambu yang terletak di dasbor mobilnya Tristan.Senyumnya lebar saat ia membuka dan melihat ada sebentuk cincin berlian di dalamnya.Tristan yang baru duduk dan menutup pintu pun terkejut. Tidak mengira kalau istrinya membuka dasbor mobil, di mana ia menyimpan hadiah ulang tahun yang akan diberikan pada Hilya."Ini untukku, kan? Atau untuk selingkuhanmu?" tanya Aruna yang mulai tidak yakin kalau itu dibeli Tristan untuknya. Karena Tristan jarang memberikan kejutan. Kalau menginginkan sesuatu, Aruna hanya memberitahu suaminya, setelah itu pergi beli sendiri. Tristan berdecak jengkel. "Aku nggak punya selingkuhan. Nggak usah mengada-ada, Runa. Itu kubeli untukmu. Pas nggak di jarimu?" jawab Tristan seraya menyalakan mesin mobil dan bergerak pelan meninggalkan garasi. Mereka hendak ke rumah orang tua Aruna. Menjeng
Bre juga menceritakan sekilas tentang berbagai kecurangan dan permusuhan dengan keluarga Livia. Kemudian hubungan mereka kembali membaik setelah beberapa tahun kemudian. Pria itu juga menceritakan pernikahan keduanya dengan Agatha. Ini yang mengejutkan bagi Hilya. Karena ia berpikir, Bre hanya pernah menikah sekali saja."Saya tidak pernah menyentuh Agatha selama menikah. Biar dia bisa merasakan kebahagiaan dengan lelaki yang akan mencintainya setulus hati. Agar Agatha tidak seperti mama, yang diperlakukan seperti istri tapi tidak diberi hati sama sekali."Kalau ikutkan nafsu, lelaki pasti bernafsu. Tapi saya tidak ingin melakukan itu. Supaya dia bisa bahagia dengan pasangan barunya.""Sekarang Mbak Agatha sudah menikah?""Belum. Dia tinggal di Singapura hanya sesekali pulang ke Surabaya. Tapi kamu tidak usah khawatir, saya dan Agatha benar-benar sudah berakhir di saat putusan cerai dari pengadilan agama. Hubungan kami membaik, tapi tidak akrab juga. Dengan Livia, Hutama Jaya ada hubu
Dari jendela taksi yang membawanya malam itu, Hilya memperhatikan sepanjang perjalanan menuju kafe tempat ia akan bertemu Bre. Hanya berdua saja."Yakinkan hatimu, bahwa langkah yang kamu ambil ini tepat. Mbak 100% mendukungmu. Budhe juga mendukung. Mbak sudah cerita pada beliau tadi pagi." Mbak Asmi yang menungguinya bersiap berkata seperti itu tadi."Sebenarnya aku juga pengen Mbak Asmi juga menikah lagi." Hilya memandang sang kakak."Jangan tunggu mbak. Pokoknya kamu jangan abaikan kesempatan ini. Pria seperti Bre nggak akan datang dua kali, Hilya."Hilya sebenarnya tidak sampai hati kalau harus menikah lebih dulu. Namun kakaknya yang justru mendesak agar Hilya segera menerima Bre.Akhirnya taksi berhenti di depan sebuah kafe dua lantai di salah satu sudut kota Surabaya. Bre sudah menunggunya di teras. Kemudian langsung mengajaknya naik ke lantai dua. Mereka disambut dengan lampu-lampu redup yang menciptakan nuansa romantis. Dinding interior dihiasi dengan lukisan abstrak berwarna
USAI KEPUTUSAN CERAI- Hanya Berdua Author's POV "Bagaimana rasanya diperjuangkan, Hilya? Selama ini kamu yang selalu berjuang dan bertahan. Dengan Arham sebagai suami atau dengan mantan pacarmu yang sama-sama nggak tahu diri itu. Sekarang kamu tahu bagaimana seorang laki-laki itu berjuang untuk mendapatkanmu. Bahkan sepaket dengan keluargamu juga, bisa diterima dia apa adanya."Hilya tersenyum sambil mengunyah nasi. Kalau dibilang 100% ia percaya Bre, tidak juga. Sudah berulang kali terluka, membuat Hilya tidak segampang itu memberikan semua kepercayaannya. Namun ia tetap berusaha untuk menghargai seseorang yang telah berupaya memperjuangkannya."Tapi kita akan berpisah, Hil," ujar Ani memicu kesedihan mereka lagi."Nggak mungkin kamu akan bertahan di Global, sedangkan Mas Bre juga memiliki perusahaan sendiri," lanjut Ani."Tapi sesekali kita masih bisa bertemu, An. Kita kan bisa berkunjung ke Malang atau sebaliknya. Via tol kan cepat," kata Ika."Arham bakalan berjauhan sama anakn