USAI KEPUTUSAN CERAI
- Usai "Jauhi suamiku!" Seorang perempuan melempar asbak kayu tepat di hadapanku. Aku sempat terkejut, tapi sejenak kemudian aku memandangnya dengan tenang. Kulihat dua orang telah siap dengan kamera ponselnya untuk mengabadikan kejadian ini yang sebentar lagi bisa jadi akan viral. Tapi aku tidak peduli. Sepertinya hal ini sudah direncanakan. Dia hendak mempermalukanku. "Jauhi bagaimana maksudnya?" tanyaku menentang sorot matanya. "Sedangkan saya tidak pernah dekat dengan suamimu selain urusan pekerjaan, Mbak. Jangan menuduh tanpa bukti, saya bisa melaporkan Anda kembali." Aruna terkejut. Mungkin dia tidak mengira aku seberani ini melawannya. Yang hanya seorang staf biasa di kantor suaminya. "Sekalipun Anda menantu big bos saya, jangan Anda kira saya tidak berani. Mana buktinya kalau saya menggoda suami Anda?" Wanita itu mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Menunjukkan screenshot sebuah percakapan. Aku tersenyum samar. "Apa di sini saya membalas chat Pak Tristan?" Diam. "Mbak Aruna, Anda hanya cemburu buta. Saya nggak pernah tertarik dengan suami orang. Bahkan suami saya sendiri saja, saya lepaskan ketika dia bilang sudah tidak menginginkan saya lagi. "Saya nggak gila cinta atau pun harta. Saya bisa bekerja untuk menghidupi diri sendiri dan anak saya. Saya nggak percaya dengan cinta sekarang. Jadi jangan mempermalukan diri dengan menuduh tanpa bukti. Saya bukan perempuan murahan yang suka menggoda suami orang." Aku meraih tas dan mengajak Eni, teman yang makan denganku, pergi dari kafe. Kami menyusuri trotoar. Saat itu lalu lintas sangat padat, karena akhir pekan. Aku tidak melihat lagi ke belakang. Entah apa yang terjadi di sana. "Bagaimana kalau video tadi di upload ke media sosial, Hilya?" tanya Eni tampak cemas. "Nggak apa-apa. Dia hanya akan mempermalukan diri sendiri dan keluarga suaminya," jawabku sambil menatap semburat jingga di langit barat. "Sepertinya Pak Tristan memang ada rasa sama kamu." Aku tersenyum simpul. Tidak ada yang menarik dalam hal ini. Aku pernah berada di posisi Aruna, di mana lelaki yang kucintai pada akhirnya kembali pada mantan kekasihnya. Ternyata dulu, aku hanya tempat pelariannya saja. Kami duduk di halte bus. Tatapanku jauh ke ujung jalan yang semakin ramai. Kembali teringat peristiwa tiga tahun yang lalu. ---- "Kita cerai saja," ujarnya di akhir perdebatan kami. Tiga kata yang benar-benar membuatku hancur. Meski sebenarnya isyarat ini sudah dia tunjukkan setahun belakangan ini. Bahkan mungkin, dia sudah menginginkan perpisahan semenjak bertemu lagi dengan mantan kekasihnya. Kutatap lelaki yang duduk di hadapanku dengan perasaan campur aduk. Marah, kecewa, dan begitu berat sekali rasanya. Tapi akhirnya kujawab juga dengan singkat. "Ya." Mas Arham termangu untuk beberapa lama. Gesturnya terlihat gelisah. Kenapa gelisah, bukankah aku tidak menghalangi lagi apa yang dia kehendaki? Mungkin dia terkejut, karena aku tidak meneteskan air mata dan merayu seperti biasanya. Kemudian pria itu mengelap tangannya menggunakan serbet. "Maafkan aku, Hilya. Akan kurusi secepatnya," ujarnya lantas beranjak pergi meninggalkan meja makan dan langsung masuk ke ruang kerjanya. Aku juga bangkit untuk memberesi meja. Sesak sekali dalam dada. Tapi ini yang harus kuterima. Setidaknya aku sudah berjuang untuk mempertahankan pernikahan ini, berulang kali merendahkan diri sendiri agar tidak kehilangannya. Lelaki yang menikahiku empat tahun yang lalu. Pernah aku sangat memohon supaya pernikahan ini bertahan. Menjalani rumah tangga sebaik-baiknya. Karena pernikahan adalah hal paling sakral bagiku. Aku tidak ingin gagal seperti ibu, tidak ingin gagal seperti kakakku. Dalam doa aku selalu menangis, memohon agar jodoh kami berkelanjutan. Namun enam bulan belakangan ini aku benar-benar disadarkan, kalau hatinya memang bukan untukku. Aku hanya pelariannya saja. Sekarang dia sudah merencanakan pernikahan dengan kekasih yang dulu pernah meninggalkannya. Empat tahun aku membersamainya bangkit setelah ditinggalkan, menemani membangun karir hingga bisa seperti sekarang ini. Dua kali juga aku merasakan hancur karena keguguran anak kami. Namun sekarang, semua apa yang kulakukan ternyata tiada arti baginya. Baiklah. Aku terima. Sambil membereskan meja makan dan dapur, kutarik napas berulang kali supaya air mata tidak luruh ke pipi. Sekuat apa genggamanku, yang ingin pergi pasti akan tetap pergi. Terlebih dia lelaki, yang punya kuasa dengan talaknya. Sekarang aku tidak akan memaksanya untuk bertahan. Karena cinta bukan tentang paksaan, tapi kerelaan dan keikhlasan. Ya, kali ini aku benar-benar sudah rela melepaskan. "Kamu mau ke mana?" tanya Mas Arham saat masuk kamar dan melihatku berkemas-kemas. "Persyaratan perceraian sekarang, harus pisah rumah selama enam bulan, baru bisa diproses, Mas. Kecuali KDRT. Makanya biar aku keluar rumah, supaya bisa mempercepat proses di pengadilan agama," jawabku setenang mungkin. "Tapi mungkin Mas punya pengacara yang bisa mempercepat proses ini tanpa mengikuti aturan yang ada." "Biar aku saja yang keluar. Rumah ini akan menjadi milikmu," ujarnya dengan nada rendah. "Nggak usah. Ini rumah yang sebenarnya Mas bangun untuk kekasihmu," jawabku seraya mengunci koper. Lelaki itu tampak termenung. Ia pasti khawatir kalau aku pulang, malam ini juga keadaan akan kisruh. Tak terbayangkan bagaimana marahnya mama mertuaku. "Hilya, kasih aku waktu untuk memberitahu mamaku, juga menemui ibu untuk meminta maaf. Kalau kamu pulang sekarang, orang tua kita pasti kaget." Aku tersenyum simpul. Bahkan aku sudah tidak peduli segala bentuk kemarahan atau kekisruhan seperti apapun. Aku sudah siap menghadapi semuanya. Aku lelah berjuang sendiri, mencintai sendiri, tanpa ada feedback dari lelaki yang kucintai. ***L*** Tiga bulan kemudian .... "Mbak, apa perutku kentara kalau aku pakai baju ini?" tanyaku pada Mbak Asmi. Saudaraku satu-satunya. "Kalau kentara memangnya kenapa? Biar saja Arham dan mamanya tahu kalau sebenarnya kamu hamil. Sidang ikrar talak bisa digagalkan." Ya, hari ini sidang ikrar talak kami. Cepat bukan? Tidak butuh waktu untuk pisah rumah enam bulan. Mas Arham pasti punya cara supaya proses ini dipercepat. "Hilya." "Andai tahu pun nggak akan merubah keadaan, Mbak. Mas Arham sudah menikah siri dengan perempuan itu sebulan yang lalu." Mbak Asmi memandangku lekat. Rona terkejut tampak di wajahnya. "Kamu bisa menuntut mereka dengan kasus perselingkuhan." Aku tersenyum getir. Jujur aku tidak ingin ribet dengan hal-hal begini. Lebih baik aku fokus pada karir dan calon bayiku. "Hilya, kita bisa menuntut mereka." Mbak Asmi tidak putus asa untuk membujukku. "Nggak usah, Mbak. Jangan halangi kebahagiaan orang, biar kita pun mendapatkan kebahagiaan juga. Yuk, Mbak. Kita berangkat sekarang," ujarku dengan tenang. Meski dalam dada sudah hancur lebur jadi debu. Kami berangkat naik taksi dan sampai di Pengadilan Agama, Mas Arham yang duduk di depan gedung bangkit menghampiri. "Hilya, kenapa kamu nggak bilang kalau hamil?" Aku terkejut. Dari mana dia tahu aku hamil. "Kukasih tahu atau pun nggak, nggak akan merubah keputusan hari ini. Ayo, Mbak!" Kuraih lengan Mbak Asmi untuk masuk ke ruang sidang. Next .... Selamat datang di cerita Hilya. Perempuan tangguh kesekian yang lahir dari kehaluan authornya. Selamat membaca. Semoga suka.USAI KEPUTUSAN CERAI - Bimbang "Jangan lanjut perceraian ini kalau kamu hamil." Mama mertuaku bicara disaat usai kusalami. Wajahnya begitu memohon.Aku tersenyum getir seraya mengelus lengannya. Mataku sudah berkabut. Beliau adalah ibu mertua yang sangat baik menurutku. Wanita yang duduk di kursi roda itu mengusap air matanya. "Maafkan saya, Ma," ujarku lantas beranjak dan duduk di kursi yang disediakan untukku di depan majelis hakim.Seumur hidup, sekali saja aku duduk di sini."Kita bisa membatalkan pernikahan ini, Hilya." Mas Arham kembali menghampiriku. Aku tidak tahu arti dari sorot matanya. Penyesalan atau apa aku tidak bisa menebak.Aku takut salah. Sebab aku pernah membuat kesalahan besar dengan begitu percaya bahwa lelaki yang mengajakku menikah empat tahun yang lalu itu, kupikir sangat mencintaiku. Ternyata tidak. Dia hanya ingin mencari pelampiasan atas rasa kecewa ditinggal kekasihnya.Jika alasan menggagalkan perceraian ini karena aku sedang hamil, ah tidak. Aku bisa me
USAI KEPUTUSAN CERAI- Luka"Ada Arham di dalam, Hil," kata Mbak Asmi saat aku masuk ke tokonya. Dia sibuk mencatat belanjaan. "Mbak nyuruh Yazid nemani adiknya.""Ya," jawabku singkat. Kemudian langsung melangkah lewat pintu belakang toko yang tembus ke rumah."Unda." Rifky yang asyik bermain di ruang tamu langsung berdiri dan berlari menghampiri. Usianya dua tahun, tapi dia begitu lincah, tampan, dan menggemaskan. Aku memeluk seperti biasanya. Dia menunjukkan mainan yang baru dibelikan papanya. "Hmm, bagus," ujarku memuji.Aku memandang sejenak lelaki yang menatapku. Dia tersenyum. "Baru pulang?""Ya," Lantas kembali memandang jagoanku. "Bunda mandi dulu, ya,"Rifky mengangguk dan dia kembali ke pangkuan papanya. Mas Arham selalu datang di akhir pekan sepulang kerja. Tidak pernah mengajak istrinya. Kenapa? Aku tidak tahu dan tak pernah berniat menanyakannya.Sekilas di atas meja, kulihat ada snack untuk Rifky, buah-buahan, dan makanan yang selalu ia bawa tiap datang. Di dalam kama
Semua chat-nya kubaca, dan aku tetap berharap kami bisa bertahan dalam pernikahan. Sesakit apapun hatiku. Hingga pada detik itu aku sadar, yang kulakukan sia-sia. Hanya menjatuhkan harga diriku saja. Baiklah, akhirnya aku setuju dengan keinginannya. Padahal saat itu aku sedang mengandung. Aku menarik nafas dalam-dalam untuk menghalau kenangan menyakitkan. Aku tidak ingin melanjutkan mengingat kenangan itu. Sebab setelah bercerai pun, hidupku terpuruk karena hamil tanpa didampingi suami. Suara sumbang terdengar di sekitar. Namun ada juga yang bersimpati.Ah ... Aku bangkit dan mengambil baju ganti lalu keluar untuk mandi.Di ruang depan, terdengar celoteh Rifky dengan tawa bahagianya. Anak itu tidak tahu apa-apa. Tidak tahu betapa hancur perasaan bundanya karena lelaki yang dipanggilnya papa.Selesai mandi aku langsung makan."Tante." Yazid menghampiriku."Ya.""Dipanggil sama Om. Om mau pamitan.""Bilang Tante sibuk, ya. Nanti kalau Om Arham sudah pulang, ajak adek ke sini," jawabku
USAI KEPUTUSAN CERAI- Tutup Mulutmu "Beneran kamu yang sengaja menggoda Tristan?" Dengan tak sabar Pak Ardi menyerangku yang baru saja duduk. Aku sudah menduga, mereka memanggilku karena hal ini."Maaf, itu hanya salah paham, Pak," ujarku tenang meski gemetar dan amarah memenuhi dada. Aku benci dengan tuduhan itu. Untuk apa aku menggoda suami orang, sementara aku sudah muak dengan yang namanya lelaki."Kamu di sini hanya staf. Harusnya kamu tahu diri." Mata lelaki itu menyala-nyala penuh amarah. Wajahnya sangat sinis memandang pegawai rendahan sepertiku.Pak Fadlan berdehem. "Sabar, Pak Ardi. Kita bisa membicarakan hal ini baik-baik." Pria berkacamata itu memang bos yang sangat bijaksana.Lalu Pak Fadlan memandangku dengan suara tenang, beliau berkata, "Hilya, bisa kamu jelaskan tentang video itu. Aruna mengamuk pasti ada sebabnya.""Itu hanya salah paham, Pak. Pak Fadlan bisa bertanya langsung pada Pak Tristan. Kami tidak memiliki hubungan apapun selain sebagai bos dan karyawan," j
"Kalau sampai video itu viral, saya tidak akan bungkam, Pak Tristan. Saya bisa membuat video untuk klarifikasi dan mengatakan kalau Mbak Aruna hanya cemburu buta dan bertindak tak tahu etika. Saya bisa menuntut balik dengan dalih pencemaran nama baik. Pak Tristan, juga harus begitu. Membuat video klarifikasi kalau di antara kita tidak ada hubungan apapun. Istri Anda yang salah paham."Mereka terkejut. Terutama Pak Ardi yang melotot tajam padaku.Sungguh ini keberanian dari mana, spontan aku mengatakan hal itu. Tidak ada rasa takut dalam hati. Aku benar. Aku tidak sedang menggoda suami orang yang notabene bosku sendiri.Padahal aku hanya debu di hadapan mereka yang berkuasa. Aku punya apa coba? Dilibas sekali saja, aku hanya tinggal nama. Bahkan aku bisa kehilangan pekerjaan. Lalu bagaimana dengan anakku? Tapi kalau aku diam, siapa yang akan membelaku. Sejauh ini aku menjaga diri dengan sebaik-baiknya, agar status janda yang kusandang tetap terhormat dan tidak mendapatkan citra buruk
USAI KEPUTUSAN CERAI- HilyaLelaki berwibawa itu berdiri tepat di hadapanku. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana.Buru-buru aku bangkit dari duduk. "Ya, Pak," ucapku sopan. Dadaku bergemuruh, apa mungkin ini hari terakhir aku bekerja di sini?"Saya suka perempuan ber-value sepertimu. Kerja baik-baik, Hilya." Ucapan singkat Pak Fadlan membuatku terkejut. Tak mengira sama sekali kalau Big Bos akan berkata seperti itu. Beliau memang sangat bijaksana sebagai pimpinan. Tapi bukankah Aruna itu menantunya? Apa nanti tindakannya ini tidak menimbulkan masalah dengan keluarga besan. Walaupun begitu aku lega. Kupikir Pak Fadlan akan memecatku, rupanya tidak. Alhamdulillah, aku masih bekerja. Mencari pekerjaan sekarang tidak gampang. "Eh, i-iya, Pak," jawabku gugup. "Terima kasih banyak dan maafkan atas kelancangan saya tadi."Pak Fadlan hanya tersenyum lantas melangkah pergi. Longgar sekali rasa dalam dadaku. Meski aku tahu ini bukan akhir dari kemelut, tapi setidaknya aku masih bisa b
USAI KEPUTUSAN CERAI- Cemas"Jangan pandangi saya seperti itu, Pak. Tatapan Pak Tristan bisa menimbulkan banyak masalah bagi saya," ujarku pelan tapi penuh penekanan."Saya tidak ingin permasalahan pagi tadi berkelanjutan," lanjutku memohon. Karena aku capek sekali dengan banyaknya permasalahan dalam hidupku.Tristan mengatai Mas Arham, apa ia tidak sadar kalau dirinya juga hampir seperti mantanku itu. Punya istri tapi menggoda perempuan lain. Janda pula itu."Kalau kita saling menghindar. Malah dikira kita memang ada hubungan. Santai saja." Pria itu mencondongkan tubuhnya ke depan. Spontan aku menarik diri ke belakang. Kemudian memperhatikan sekeliling, siapa tahu ada yang melihat ke arah kami."Pak Tristan, bisa saja santai tapi imbasnya ke saya. Tolonglah saya di sini untuk bekerja. Saya single mom, tolong hargai saya." Baru kali ini aku benar-benar memohon pada pria itu. Tak mengapa demi tetap bertahan kerja karena aku belum siap mencari pekerjaan lainnya. Di sini gaji bagus dan
USAI KEPUTUSAN CERAI - Maafkan BundaDuh, Tristan ini memang cari masalah. Bukankah bininya ada di kantor tadi? Maunya apa sih. Dia sama saja kayak Arham.Kuletakkan ponsel di atas meja. Membalas pesannya hanya akan menciptakan permasalahan makin ke mana-mana. Kembali kupandangi Rifky yang terlelap. Selang infus menancap di lengannya yang kecil, membuat hatiku perih.Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hati yang sesak. Tangan kecil Rifky kusentuh pelan. "Sembuh, ya, Nak," bisikku.Ponsel kembali bergetar di atas meja. Lagi-lagi nama Tristan muncul di layar. Kali ini dia menelepon. Nekat sekali orang ini. Aku mengabaikannya. Lalu menekan tombol 'silent' dan memasukkan ponsel ke dalam tas. Aku tidak ingin mendengar suara siapa pun saat ini.Rifky menggerakkan jemari, tubuhnya menggeliat pelan. Aku langsung mendekat, menelusuri wajah mungilnya yang mulai bergerak. Matanya terbuka tampak sayu."Unda," suaranya serak."Iya, Sayang. Bunda di sini." Aku tersenyum.Dia mena
USAI KEPUTUSAN CERAI- Tiga Hati di Semarang Author's POV "Pak Bre, saya sudah pesankan tiketnya. Penerbangan jam tiga sore ini." Seorang asisten pribadinya memberitahu Bre di ruangannya."Oke, makasih banyak," jawab Bre seraya menutup laptop. Dilihatnya jam tangan. Baru jam delapan pagi. Tadi Hilya berangkat ke Semarang jam tujuh.Dia harus berangkat sekarang dari Malang ke Juanda. Nanti mampir sebentar ke rumah mamanya. Tadi sengaja berbohong pada Hilya kalau dia sudah ada di Solo, padahal baru mau berangkat dari Malang dan naik pesawat ke Semarang dari Juanda. Jujur saja dia khawatir dengan Hilya yang pergi bersama Tristan. Walaupun Bre kenal baik sama pria itu, tapi dia tidak percaya karena sahabatnya sedang dimabuk kepayang oleh Hilya. Perempuan yang sama-sama mereka cintai.Akan ada cerita berbeda saat Tristan sudah tahu semuanya. Namun ia berharap, persahabatan dan kerjasamanya dengan pria itu tidak akan bermasalah setelah ini. Makanya lebih baik ia berpura-pura tidak tahu t
"Mbak, lusa aku jadi ke Semarang. Sebenarnya ini sudah dijadwalkan Minggu kemarin, tapi di undur lusa. Mungkin dua sampai tiga hari aku di sana. Rifky kira-kira rewel nggak, ya?""Nggak. Kamu tenang saja. Dia manut sama Mbak."Hilya kepikiran Rifky saja kalau dia pergi ke luar kota. Biasanya hanya dua hari saja dia pergi, sekarang tiga hari."Untuk Bre, kalau menurut mbak. Jangan ragu, pandang dia yang sekarang, jangan lihat masa lalunya. Ayo, tidur. Mbak sudah ngantuk."Keduanya bangkit dari karpet dan masuk ke kamar masing-masing. Hilya berbaring menghadap Rifky yang memeluk guling. Diusapnya pelan pipi halusnya. Dialah cinta sejati bagi Hilya. Yang bisa mengobati rasa lelah hanya dengan tatapan matanya yang bening. Hilya bergerak pelan untuk mengecup kening Rifky. Kemudian memeluk kaki kecil itu dan dia pun memejam.🖤LS🖤"Hilya, ada pesan dari Arham." Mbak Asmi menunjukkan ponselnya pada Hilya.[Mbak, maaf kalau dalam beberapa waktu ke depan saya nggak datang menjenguk Rifky. Na
Omongan Pak Ardi yang ngelantur membuat Tristan menghela nafas panjang. "Saya tegaskan, Pa. Hubungan saya dengan Hilya, hanya sebatas tentang pekerjaan."Aruna yang sejak tadi diam saja, akhirnya juga ikut bicara. "Sudah, Pa. Jangan membahas hal ini lagi. Kami baik-baik saja, Papa nggak perlu khawatir." "Kamu tahu apa, Runa. Jangan sampai suamimu direbut perempuan lain, baru kamu nangis-nangis.""Aku nggak mau membahas ini lagi, Pa," sangkal Aruna. Dia ingat ucapan suaminya, kalau sampai mengusik Hilya, maka hubungan mereka yang menjadi taruhannya. "Lihat ini, Pa. Mas Tristan barusan ngasih hadiah." Aruna menunjukkan cincin berlian di jari manisnya. Pak Ardi dan istrinya memperhatikan.Selesai bicara, Aruna bangkit dari duduknya dan mengajak suaminya pamitan. "Kami pulang dulu, Pa. Aku lega Papa sudah jauh lebih baik." Aruna mencium tangan papa dan mamanya. Begitu juga dengan Tristan. Lantas mereka melangkah keluar kamar.Pak Ardi tampak kecewa. Anak yang dibelanya agar tidak diseli
USAI KEPUTUSAN CERAI - Cincin di Mobil Author's POV "Mas, beli ini untukku?" Aruna terbeliak kaget, sekaligus berbinar menemukan kotak perhiasan berbentuk hati warna merah jambu yang terletak di dasbor mobilnya Tristan.Senyumnya lebar saat ia membuka dan melihat ada sebentuk cincin berlian di dalamnya.Tristan yang baru duduk dan menutup pintu pun terkejut. Tidak mengira kalau istrinya membuka dasbor mobil, di mana ia menyimpan hadiah ulang tahun yang akan diberikan pada Hilya."Ini untukku, kan? Atau untuk selingkuhanmu?" tanya Aruna yang mulai tidak yakin kalau itu dibeli Tristan untuknya. Karena Tristan jarang memberikan kejutan. Kalau menginginkan sesuatu, Aruna hanya memberitahu suaminya, setelah itu pergi beli sendiri. Tristan berdecak jengkel. "Aku nggak punya selingkuhan. Nggak usah mengada-ada, Runa. Itu kubeli untukmu. Pas nggak di jarimu?" jawab Tristan seraya menyalakan mesin mobil dan bergerak pelan meninggalkan garasi. Mereka hendak ke rumah orang tua Aruna. Menjeng
Bre juga menceritakan sekilas tentang berbagai kecurangan dan permusuhan dengan keluarga Livia. Kemudian hubungan mereka kembali membaik setelah beberapa tahun kemudian. Pria itu juga menceritakan pernikahan keduanya dengan Agatha. Ini yang mengejutkan bagi Hilya. Karena ia berpikir, Bre hanya pernah menikah sekali saja."Saya tidak pernah menyentuh Agatha selama menikah. Biar dia bisa merasakan kebahagiaan dengan lelaki yang akan mencintainya setulus hati. Agar Agatha tidak seperti mama, yang diperlakukan seperti istri tapi tidak diberi hati sama sekali."Kalau ikutkan nafsu, lelaki pasti bernafsu. Tapi saya tidak ingin melakukan itu. Supaya dia bisa bahagia dengan pasangan barunya.""Sekarang Mbak Agatha sudah menikah?""Belum. Dia tinggal di Singapura hanya sesekali pulang ke Surabaya. Tapi kamu tidak usah khawatir, saya dan Agatha benar-benar sudah berakhir di saat putusan cerai dari pengadilan agama. Hubungan kami membaik, tapi tidak akrab juga. Dengan Livia, Hutama Jaya ada hubu
Dari jendela taksi yang membawanya malam itu, Hilya memperhatikan sepanjang perjalanan menuju kafe tempat ia akan bertemu Bre. Hanya berdua saja."Yakinkan hatimu, bahwa langkah yang kamu ambil ini tepat. Mbak 100% mendukungmu. Budhe juga mendukung. Mbak sudah cerita pada beliau tadi pagi." Mbak Asmi yang menungguinya bersiap berkata seperti itu tadi."Sebenarnya aku juga pengen Mbak Asmi juga menikah lagi." Hilya memandang sang kakak."Jangan tunggu mbak. Pokoknya kamu jangan abaikan kesempatan ini. Pria seperti Bre nggak akan datang dua kali, Hilya."Hilya sebenarnya tidak sampai hati kalau harus menikah lebih dulu. Namun kakaknya yang justru mendesak agar Hilya segera menerima Bre.Akhirnya taksi berhenti di depan sebuah kafe dua lantai di salah satu sudut kota Surabaya. Bre sudah menunggunya di teras. Kemudian langsung mengajaknya naik ke lantai dua. Mereka disambut dengan lampu-lampu redup yang menciptakan nuansa romantis. Dinding interior dihiasi dengan lukisan abstrak berwarna
USAI KEPUTUSAN CERAI- Hanya Berdua Author's POV "Bagaimana rasanya diperjuangkan, Hilya? Selama ini kamu yang selalu berjuang dan bertahan. Dengan Arham sebagai suami atau dengan mantan pacarmu yang sama-sama nggak tahu diri itu. Sekarang kamu tahu bagaimana seorang laki-laki itu berjuang untuk mendapatkanmu. Bahkan sepaket dengan keluargamu juga, bisa diterima dia apa adanya."Hilya tersenyum sambil mengunyah nasi. Kalau dibilang 100% ia percaya Bre, tidak juga. Sudah berulang kali terluka, membuat Hilya tidak segampang itu memberikan semua kepercayaannya. Namun ia tetap berusaha untuk menghargai seseorang yang telah berupaya memperjuangkannya."Tapi kita akan berpisah, Hil," ujar Ani memicu kesedihan mereka lagi."Nggak mungkin kamu akan bertahan di Global, sedangkan Mas Bre juga memiliki perusahaan sendiri," lanjut Ani."Tapi sesekali kita masih bisa bertemu, An. Kita kan bisa berkunjung ke Malang atau sebaliknya. Via tol kan cepat," kata Ika."Arham bakalan berjauhan sama anakn
Beberapa hari setelah pengakuan Bre di depan Pak RT, kabar itu segera menyebar ke lingkungan tempat tinggal Hilya. Heboh dan bisik‑bisik pun mulai terdengar. Tetangga-tetangga saling bertanya satu sama lain. "Kau dengar belum? Hilya itu hendak menikah!""Iya, Pak RT yang bilang.""Padahal mantan suaminya juga masih sering datang mengunjungi anaknya. Tapi nggak mungkin mereka rujuk. Kalau aku jadi Hilya, juga nggak sudi. Memberikan kesempatan pada pengkhianat itu, seperti menggiring kita untuk disakiti lagi."Begitu bisik-bisik tetangga.Mbak Asmi pun sibuk menjawab pertanyaan mereka. Sebab dia yang selalu ada di rumah. Apalagi ada toko yang setiap hari orang datang ke sana untuk belanja. Kabar itu membuat suasana di lingkungan semakin ramai, sebagian orang mendukung, ada yang terlalu ingin tahu, dan sebagian lagi hanya bersikap biasa aja. Yang ingin tahu, karena mereka mendapatkan cerita dari Pak RT dan tetangga dekat rumah Hilya, kalau calon suami Hilya sangat gagah dan tampan, juga
"Minumlah!" Bu Rida meletakkan kopi di meja teras, di depan Arham. Wanita itu kemudian duduk di kursi kosong samping putranya."Aku ingin bercerai saja, Ma. Hubunganku dengan Atika semakin memburuk. Berapa kali kuajak datang ke sini saja menolak. Kami selalu berakhir dengan pertengkaran. Apalagi jika membicarakan tentang Rifky." Arham terlihat sangat lelah. Bu Rida menghela nafas panjang. Dia sendiri merasa sangat lelah mendengar cerita sang anak. Hendak bilang kalau itu kesalahan Arham sendiri, tapi sudah tidak tega. Berulang kali ia menyalahkan anaknya."Mama nggak tahu lagi harus bilang bagaimana. Terserah kamu, Ham. Sebenarnya mama nggak ingin kamu kawin cerai. Tapi kamu yang jalanin. Sekuat mana, kamu yang lebih tahu. Mama bisanya hanya mendoakan yang terbaik buatmu, buat rumah tanggamu."Arham menekan ujung rokoknya di asbak. Kemudian menerawang memandang hujan. Dia belum mengirim pesan lagi pada mantan kakak iparnya, apakah sudah pulang dari Malang atau belum.Perasaannya tak