Dipta, yang awalnya tampak malu-malu, akhirnya mau juga makan bersama Oma Ola dan Ayunda. Di sana, si kembar disuapi oleh sang babysitter, karena memang mereka sedang sangat sulit makan—mungkin memasuki fase GTM (Gerakan Tutup Mulut). Padahal, Ayunda sudah berusaha memberinya vitamin, tapi tetap saja tidak banyak membantu. Namun, Ayunda tidak menyerah. Ia terus saja merayu si kembar dengan penuh kesabaran, sampai akhirnya mereka mau menghabiskan makanan, dibantu oleh tangan-tangan penuh kasih yang menyuapi.Malam itu menjadi momen pertama kalinya Dipta makan bersama keluarga Ayunda. Suasana di meja makan terasa hangat dan penuh tawa ringan. Oma Ola tampak sangat tertarik dengan kehadiran Dipta, sebaliknya Ayunda justru lebih banyak diam. Pikirannya berkecamuk, mengingat kejadian siang tadi saat Siren—mantan istri Dipta—melabraknya di tempat umum.Meski begitu, Ayunda mencoba menepis semua kekhawatirannya. Ia tahu, antara dirinya dan Dipta tidak ada hubungan apa-apa
Bahkan di tengah malam itu, Ayunda dan Dipta tetap mengadakan pertemuan terbuka dengan perwakilan warga, berusaha mencari titik temu demi meredam kekacauan yang terjadi.Namun, suasana pertemuan jauh dari kondusif. Ayunda menjadi sasaran makian dari beberapa warga. Mereka memojokkan dirinya, bahkan ada yang merendahkan, mengatakan bahwa seorang wanita tidak pantas menjadi pemimpin, apalagi setelah membuat banyak warga menderita.Dengan ketenangan luar biasa, Ayunda menjelaskan bahwa sebelum proyek ini dimulai, ia telah melakukan kerja sama resmi dengan para pihak terkait dan memberikan kompensasi yang nilainya tidak main-main. Ia menegaskan, "Siapa pun yang mengalami kerugian karena proyek ini, saya bertanggung jawab penuh. Kami siap mengganti semua kerugian dengan adil."Namun, sebagian besar warga hanya terdiam. Dari raut wajah mereka, terlihat jelas ada sesuatu yang disembunyikan. Seolah-olah mereka hanya mengikuti skenario yang diatur oleh pihak terten
Ardan menghela napas panjang, menatap wajah Ayunda yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Lima tahun telah berlalu sejak malam tragis itu, dan selama itu pula ia menjadi satu-satunya orang yang setia menemani Ayunda. Setiap hari, ia memastikan adik iparnya mendapatkan perawatan terbaik. Ia mengurus segala kebutuhannya, mulai dari mengganti perban luka-lukanya, memijat tubuhnya agar otot-ototnya tidak kaku, hingga membacakan cerita di sampingnya dengan harapan Ayunda bisa mendengar dan suatu hari akan bangun.Banyak orang yang mempertanyakan keputusannya. Bahkan ibunya sendiri pernah berkata, "Dia bukan istrimu, Dan. Kenapa kamu begitu keras kepala?" Tapi Ardan hanya tersenyum pahit. Ia tahu, perasaan yang ia miliki untuk Ayunda jauh lebih dalam dari sekadar tanggung jawab keluarga.Suaminya? Lelaki yang seharusnya ada di sini? Ia bahkan tak pernah datang setelah insiden itu. Sejak Ayunda terjatuh dan koma, pria itu seperti menghilang, tenggelam dalam kehidupannya sendiri dengan
Ardan masih terpaku di tempatnya, matanya menatap kosong ke arah Ayunda yang tertidur. Sudah lima tahun berlalu, dan selama itu pula keluarganya tidak pernah benar-benar peduli pada kondisi Ayunda. Mereka menganggap gadis itu hanya beban, sesuatu yang seharusnya tidak pernah ada dalam kehidupan mereka sejak awal.Dan Mahesa? Lelaki itu bahkan tidak menoleh ke belakang. Sehari setelah pernikahannya dengan Ayunda, ia justru menikahi wanita lain—wanita yang sebenarnya memang sudah menjadi bagian dari hidupnya jauh sebelum Ayunda muncul. Pernikahan dengan Ayunda hanyalah formalitas, pemuas egonya semata, sesuatu yang ia lakukan hanya karena ia bisa.Ardan tahu semua itu, dan itu membuatnya semakin muak.Namun, sekarang Ayunda sudah sadar. Ia tidak bisa terus menyembunyikan wanita itu di rumah sakit selamanya. Ia harus mengambil keputusan—keputusan yang mungkin akan mengguncang segalanya.Ia ingin Ayunda mendapatkan keadilan. Lima tahun yang hilang dari hidupnya, penderitaan yang ia alami,
Ardan terjebak dalam rasa bersalahnya. Ia hampir saja keceplosan mengungkapkan bahwa selama Ayunda koma, ia telah melakukan sesuatu yang seharusnya tidak ia lakukan.'Kali ini, aku harus lebih berhati-hati,' batinnya.Sementara itu, dokter telah melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap Ayunda. Meskipun ia masih belum bisa berdiri tanpa alat bantu, kondisinya telah membaik secara signifikan. Namun, masih banyak sesi fisioterapi yang harus dijalaninya untuk memulihkan kekuatan otot-ototnya yang kaku akibat lima tahun terbaring tanpa sadar.Ayunda menatap Ardan dengan tatapan penuh kebingungan. "Kalau Mahesa sudah tidak menginginkanku lagi, lantas aku harus pulang ke mana, Ardan?" tanyanya lirih.Ardan terdiam, merasakan sesak di dadanya. Ia tahu, Ayunda tidak hanya bertanya tentang tempat tinggal, tetapi juga tentang masa depannya yang kini terasa begitu tak pasti.Ardan menelan ludah, menatap Ayunda yang kini menunggu jawaban darinya. Pertanyaan itu sederhana, tapi mengandung makna ya
Ayunda bukanlah wanita bodoh. Sejak pertama kali sadar dari koma, ia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam tubuhnya. Awalnya, ia mencoba mengabaikannya, berpikir bahwa mungkin ini hanyalah efek dari terlalu lama terbaring tanpa gerakan. Namun, semakin hari, ia mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak wajar.Mual yang datang tiba-tiba, rasa lelah yang berlebihan, dan yang paling mengganggu—rasa nyeri di area intimnya.Maka, saat Ardan pergi bekerja, Ayunda memutuskan untuk menemui dokter tanpa memberitahunya.Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya dokter yang menanganinya datang dan memulai pemeriksaan. Ayunda merasa cemas, tapi ia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi pada tubuhnya.“Dok, area intim saya terasa nyeri … dan tadi pagi saya sempat merasa mual,” ucapnya, mencoba tetap tenang.Dokter menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Baik, kita lakukan pemeriksaan lebih lanjut.”Pemeriksaan berjalan cukup lama, dan Ayunda mulai merasa gelisah. Namun, apa yang terjadi selanjutnya
Ayunda melangkah dengan sisa tenaga yang ia miliki. Tubuhnya lemah, tapi tekadnya lebih kuat dari sebelumnya. Orang-orang yang berada di sekitar rumah Mahesa menatapnya dengan ekspresi terkejut, seolah melihat hantu yang kembali dari kematian.Wajahnya pucat, tubuhnya kurus, dan tatapannya kosong. Namun, di balik kelemahan itu, ada kobaran amarah yang mulai menyala.Mahesa yang sedang berdiri di depan pintu, tampak membeku di tempatnya. Matanya membelalak saat melihat sosok Ayunda yang berjalan ke arahnya dengan langkah sempoyongan."Kamu masih hidup?"Suara Mahesa terdengar kaget, lebih banyak keterkejutan daripada kebahagiaan. Tidak ada kehangatan, tidak ada rasa rindu—hanya keterkejutan dan mungkin sedikit ketakutan.Ayunda tersenyum getir, matanya menyapu penampilan Mahesa yang tampak semakin menawan, semakin berwibawa. Sedangkan dirinya? Ia benar-benar seperti mayat hidup.“Aku pikir, setidaknya kamu akan menanyakan kabarku. Tapi ternyata … satu-satunya yang bisa keluar dari mulu
Di halaman itu seketika terasa mencekam. Wajah Mahesa memerah, matanya berkilat penuh emosi. Sementara itu, Ayunda menatap Ardan dengan keterkejutan yang sulit disembunyikan. “Kau bohong!” Mahesa menggeram, langkahnya maju dengan tangan terkepal. “Kau hanya ingin mempermalukanku!” Ardan tidak mundur. Dia justru berdiri lebih tegap, menatap Mahesa tanpa gentar. “Aku tidak pernah berbicara tanpa bukti, Mahesa.” Suaranya dingin, nyaris berbisik, tapi penuh keyakinan. Ayunda yang sejak tadi terpaku, akhirnya menggeleng lemah. “Ardan … apa maksud semua ini?” suaranya bergetar, antara bingung dan tidak percaya. Ardan menoleh, menatapnya dengan penuh kelembutan. “Aku tidak bisa diam saja melihatmu diperlakukan seperti ini. Aku tahu kebenaran yang selama ini disembunyikan, dan aku bersumpah akan melindungimu.” Mahesa mendengus, tertawa sinis. “Kau pikir aku akan membiarkanmu membawa wanita ini dan mempermalukank
Bahkan di tengah malam itu, Ayunda dan Dipta tetap mengadakan pertemuan terbuka dengan perwakilan warga, berusaha mencari titik temu demi meredam kekacauan yang terjadi.Namun, suasana pertemuan jauh dari kondusif. Ayunda menjadi sasaran makian dari beberapa warga. Mereka memojokkan dirinya, bahkan ada yang merendahkan, mengatakan bahwa seorang wanita tidak pantas menjadi pemimpin, apalagi setelah membuat banyak warga menderita.Dengan ketenangan luar biasa, Ayunda menjelaskan bahwa sebelum proyek ini dimulai, ia telah melakukan kerja sama resmi dengan para pihak terkait dan memberikan kompensasi yang nilainya tidak main-main. Ia menegaskan, "Siapa pun yang mengalami kerugian karena proyek ini, saya bertanggung jawab penuh. Kami siap mengganti semua kerugian dengan adil."Namun, sebagian besar warga hanya terdiam. Dari raut wajah mereka, terlihat jelas ada sesuatu yang disembunyikan. Seolah-olah mereka hanya mengikuti skenario yang diatur oleh pihak terten
Dipta, yang awalnya tampak malu-malu, akhirnya mau juga makan bersama Oma Ola dan Ayunda. Di sana, si kembar disuapi oleh sang babysitter, karena memang mereka sedang sangat sulit makan—mungkin memasuki fase GTM (Gerakan Tutup Mulut). Padahal, Ayunda sudah berusaha memberinya vitamin, tapi tetap saja tidak banyak membantu. Namun, Ayunda tidak menyerah. Ia terus saja merayu si kembar dengan penuh kesabaran, sampai akhirnya mereka mau menghabiskan makanan, dibantu oleh tangan-tangan penuh kasih yang menyuapi.Malam itu menjadi momen pertama kalinya Dipta makan bersama keluarga Ayunda. Suasana di meja makan terasa hangat dan penuh tawa ringan. Oma Ola tampak sangat tertarik dengan kehadiran Dipta, sebaliknya Ayunda justru lebih banyak diam. Pikirannya berkecamuk, mengingat kejadian siang tadi saat Siren—mantan istri Dipta—melabraknya di tempat umum.Meski begitu, Ayunda mencoba menepis semua kekhawatirannya. Ia tahu, antara dirinya dan Dipta tidak ada hubungan apa-apa
Dipta memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang sebelum mulai bercerita. Suaranya terdengar berat, seperti mengaduk kembali luka yang belum sepenuhnya sembuh.“Aku tumbuh dari keluarga yang kaya, semua orang pikir hidupku mudah. Tapi, waktu aku mulai mandiri dan bangun Skylar Group dari nol, aku sengaja nggak banyak ambil bantuan keluarga. Aku ingin semuanya berdiri atas kakiku sendiri.”Ia diam sejenak, menatap kosong ke depan.“Waktu itu, aku menikah dengan Siren. Cantik, cerdas, dan kelihatannya sangat mendukung. Tapi ternyata, gaya hidupnya jauh di luar batas. Boros bukan main. Aku masih bisa terima kalau cuma soal belanja—tapi saat perusahaanku mulai goyah, dia justru makin jauh. Dan yang paling menyakitkan, dia selingkuh dengan partner kerjaku sendiri.”Ayunda menelan ludah, kaget mendengarnya. Tapi ia memilih tetap diam, membiarkan Dipta melanjutkan.“Bayangin di tengah usaha mati-matian buat nyelametin perusahaan, aku malah dapet surat panggilan dari pengadilan agama. Tan
Ayunda dan Dipta yang baru saja selesai meeting dengan klien memutuskan untuk duduk santai dan mengobrol sejenak.Lagi pula, hari itu jadwal mereka cukup longgar. Tidak ada pekerjaan mendesak yang menanti, dan momen santai seperti ini jarang terjadi.Awalnya, Ayunda masih terlihat kaku—gaya bicaranya formal dan sikapnya cenderung menjaga jarak. Tapi seiring waktu berlalu, percakapan mereka mulai mengalir lebih bebas. Candaan kecil pun terlontar, disambut tawa ringan yang perlahan mencairkan suasana.Dipta diam-diam terpesona. Ada sesuatu dalam tawa Ayunda yang membuatnya terhenti sejenak—tulus, hangat, dan sangat berbeda dari kesan dingin yang biasa ia tunjukkan di kantor. Tawa itu seperti membuka sisi lain dari Ayunda yang selama ini tersembunyi di balik ekspresi seriusnya."Kayaknya aku baru pertama kali denger kamu ketawa segitu lepasnya," ujar Dipta sambil tersenyum heran.Ayunda melirik sekilas, lalu mengangkat alis. "Masa sih? Mungkin karena biasanya kamu ngajak ngobrolnya pas a
Hari-hari Ayunda kini sepenuhnya dipenuhi oleh pekerjaan. Ia tenggelam dalam tumpukan berkas, rapat, dan tanggung jawab sebagai CEO. Beberapa kali ia hampir menekan nomor William di ponselnya—ingin memintanya pulang lebih cepat, ingin sekadar berbagi beban. Namun setiap kali jari-jarinya mendekati tombol panggil, ia menarik napas panjang dan mengurungkan niat itu.Ia tidak boleh egois. William juga punya keluarga. Ia tahu betapa Keyla dan Kenan berharga bagi William, dan ia tidak ingin menjadi orang yang merusak kebahagiaan itu.Kadang-kadang, Ayunda hanya ingin menyerah. Ingin hidup sederhana. Menjadi ibu rumah tangga yang sepenuhnya hadir untuk Aluna dan Elvano. Tapi ia tahu, dirinya tak bisa. Masa depan anak-anaknya bergantung padanya. Ia harus tetap kuat—demi mereka.Malam itu, Ayunda duduk di ruang kerjanya di rumah. Lampu redup menyelimuti ruangan, sementara matanya terpaku pada sebuah bingkai foto yang berdiri di meja—foto Ardan. Suaminya. Lelaki yang pernah menjadi seluruh hid
Ayunda merasa heran dengan keputusan mendadak William yang tiba-tiba mengajukan cuti. Padahal sejak meninggalnya Ardan, bahkan di hari libur pun William masih sering terlihat menyibukkan diri dengan pekerjaan.“Kok dadakan, Wil? Memangnya ada apa?” tanya Ayunda, mencoba menahan nada khawatir di suaranya.William tersenyum tipis, sedikit canggung. “Sepertinya aku dan Kayla ingin program adik untuk Kenan. Jadi kami berencana liburan ... mungkin ke luar negeri selama satu minggu.”Ayunda mengangguk pelan, mencoba mencerna. Ia tahu betul bahwa Keyla memang belum hamil lagi, dan beberapa kali sempat curhat padanya soal keinginannya untuk memberikan seorang adik bagi Kenan. Tapi tetap saja, keputusan ini terlalu tiba-tiba.“Tapi Wil, perusahaan kita sedang menjalin kerja sama penting dengan Skylar Group, dan kamu tahu sendiri hanya kamu atau aku yang bisa handle meeting dengan Dipta. Kita nggak bisa asal lempar ke tim lain.”William menatap Ayunda dengan tatapan memohon. “Tolonglah, Ay. Ken
William kembali datang dengan ide spontan yang seperti biasa sulit ditolak."Gimana kalau akhir pekan ini kita ajak anak-anak piknik? Biar mereka nggak bosan terus-terusan di rumah," usulnya santai saat mereka duduk di ruang tamu Ayunda.Ayunda sempat mengernyitkan dahi. "Piknik? Aku nggak yakin, Will. Aluna baru sembuh, dan Elvano belum tentu nyaman di tempat ramai."Namun belum sempat William menjawab, Keyla langsung menyambar pembicaraan, menarik tangan Ayunda dan merengek manja, "Aunty Yunda, ikut yaa, Kenan juga mau ikut, tapi aku nggak mau kalau nggak ada temen cewek."Ayunda menatap wajah polos Keyla yang memelas. Sulit baginya untuk menolak. Apalagi, Elvano dan Aluna memang jarang sekali pergi ke luar rumah.Ia pun akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah. Tapi cuma sebentar, dan jangan terlalu ramai ya.”Hari piknik pun tiba. Mereka berangkat bersama—Ayunda, William dan keluarganya, serta Dipta yang sejak pagi sudah terlihat
Ayunda sudah kembali ke perusahaan. Pagi itu ia datang lebih awal dari biasanya. Tangannya cekatan membolak-balik beberapa berkas yang sempat tertunda selama Aluna dirawat di rumah sakit. Meski pikirannya belum sepenuhnya tenang, tapi ia tahu, tanggung jawabnya tak bisa lama-lama ia tinggalkan.Saat tengah fokus membaca laporan, suara pintu terbuka membuatnya menoleh. Dipta melangkah masuk tanpa ekspresi terburu-buru. Belakangan ini, lelaki itu memang jauh lebih sering muncul di perusahaannya. Karyawan pun mulai terbiasa dengan kehadirannya, bahkan tak sedikit yang mulai melihat sisi lain dari sang CEO—bukan hanya dingin dan tegas, tapi kini lebih ramah dan terbuka.“Oh, aku kira tadi William,” ucap Ayunda sambil tersenyum tipis.“Maaf mengganggu,” sahut Dipta santai.Ayunda mempersilakan Dipta masuk dan duduk. Ia pun memanggil OB untuk membawakan kopi, seperti biasa.“William belum datang, mungkin sebentar lagi dia muncul,” katanya sambi
Pagi itu, kondisi Aluna sudah jauh lebih baik, meski infus masih terpasang di tangannya. Senyum kecil menghiasi wajah mungilnya. Saat Ayunda baru saja memasuki ruang rawat, langkahnya langsung terhenti. Matanya membelalak saat melihat pemandangan tak terduga—Aluna begitu dekat dengan Dipta, menggenggam tangannya erat seakan tak ingin dilepaskan.Sekilas bayangan Ardan melintas dalam benak Ayunda. Andai saja Ardan masih hidup mungkin Aluna tak akan pernah merasakan kehilangan sosok ayahnya, batinnya pilu. Melihat keakraban antara Dipta dan Aluna membuat hati Ayunda bergetar. Kenangan tentang Ardan mengalir deras, hingga tanpa sadar air mata jatuh membasahi pipinya."Mama!" seru Aluna riang saat melihatnya. Suara itu, meski belum sempurna, membawa kehangatan yang tak tergantikan.Dipta spontan menoleh ke arah Ayunda. Ia sempat ingin bergeser, tapi tangan kecil Aluna menahan kuat. Ia enggan melepaskan. Ayunda mengamati itu dalam diam—biasanya, Aluna hanya dekat dengan Ardan atau William,