Share

Ketakutan Ardan

Author: AgilRizkiani
last update Huling Na-update: 2025-02-15 13:03:59

Ardan terjebak dalam rasa bersalahnya. Ia hampir saja keceplosan mengungkapkan bahwa selama Ayunda koma, ia telah melakukan sesuatu yang seharusnya tidak ia lakukan.

'Kali ini, aku harus lebih berhati-hati,' batinnya.

Sementara itu, dokter telah melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap Ayunda. Meskipun ia masih belum bisa berdiri tanpa alat bantu, kondisinya telah membaik secara signifikan. Namun, masih banyak sesi fisioterapi yang harus dijalaninya untuk memulihkan kekuatan otot-ototnya yang kaku akibat lima tahun terbaring tanpa sadar.

Ayunda menatap Ardan dengan tatapan penuh kebingungan. "Kalau Mahesa sudah tidak menginginkanku lagi, lantas aku harus pulang ke mana, Ardan?" tanyanya lirih.

Ardan terdiam, merasakan sesak di dadanya. Ia tahu, Ayunda tidak hanya bertanya tentang tempat tinggal, tetapi juga tentang masa depannya yang kini terasa begitu tak pasti.

Ardan menelan ludah, menatap Ayunda yang kini menunggu jawaban darinya. Pertanyaan itu sederhana, tapi mengandung makna yang begitu dalam. Ia tahu, Ayunda tidak hanya bertanya tentang tempat tinggal, tetapi juga tentang ke mana ia harus melangkah setelah semua yang terjadi.

Ayunda masih lemah, tubuhnya belum sepenuhnya pulih, dan yang lebih penting, ingatannya pun mungkin belum kembali sepenuhnya. Namun, di balik matanya yang bening itu, ada kesedihan dan kebingungan yang begitu nyata.

“Kau bisa tinggal di sini dulu, di rumah sakit, sampai kondisimu benar-benar membaik,” ujar Ardan akhirnya, berusaha terdengar tenang.

Ayunda menghela napas pelan. "Setelah itu?"

Ardan terdiam. Ia tidak bisa membiarkan Ayunda kembali ke rumah Mahesa. Lelaki itu sudah meninggalkannya, menikahi wanita lain hanya sehari setelah pernikahan mereka. Tidak ada tempat bagi Ayunda di sana, dan ia tidak akan membiarkan Ayunda kembali ke lingkungan yang hanya akan menyakitinya lebih dalam.

“Kau bisa tinggal bersamaku,” kata Ardan akhirnya, suaranya lebih pelan dari yang ia kira.

Ayunda menatapnya, jelas terkejut. “Bersamamu?”

Ardan mengangguk. “Aku punya rumah. Tidak mewah, tapi cukup untukmu. Aku bisa menjagamu, Ayunda.”

Tatapan Ayunda melembut, tetapi ia masih ragu. “Apa tidak merepotkan?”

Ardan terkekeh kecil, berusaha mencairkan suasana. “Sejak lima tahun lalu, aku sudah merawatmu. Apa menurutmu sekarang akan jadi lebih merepotkan?”

Ayunda tersenyum tipis, meski masih ada kebimbangan di hatinya. Ia tahu Ardan telah banyak berkorban untuknya, bahkan lebih dari suaminya sendiri. Tapi … mengapa?

“Kenapa kau melakukan semua ini untukku, Ardan?” tanyanya pelan.

Ardan terdiam. Pertanyaan itu menohok tepat di hatinya. Ia ingin menjawab dengan jujur, ingin mengatakan bahwa perasaannya terhadap Ayunda telah berkembang jauh lebih dalam dari sekadar rasa tanggung jawab. Tapi sekarang bukan waktunya.

“Karena kau berharga,” jawabnya akhirnya. “Dan aku tidak akan membiarkanmu terluka lagi.”

Ayunda menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. Mungkin, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia merasa ada seseorang yang benar-benar peduli padanya.

Ayunda hanyalah seorang yatim piatu yang miskin. Ia tidak memiliki tempat tinggal maupun keluarga yang bisa ia andalkan. Tak heran, selama lima tahun ia koma, tak ada seorang pun yang mencarinya atau menunggunya sadar.

Namun, di balik semua kesedihan itu, Ayunda merasa bersyukur. Setidaknya, masih ada Ardan—satu-satunya orang yang peduli padanya. Tanpa Ardan, ia mungkin sudah lama terlupakan, menghilang tanpa jejak dalam kesunyian rumah sakit.

Ayunda menatap pria itu dengan perasaan campur aduk. “Terima kasih, Ardan … Kalau bukan karena kamu, aku tidak tahu bagaimana nasibku sekarang,” ucapnya lirih.

Ardan menoleh, matanya menatap dalam ke arah Ayunda. Ada sesuatu dalam tatapannya—sesuatu yang sulit diartikan. “Jangan berterima kasih padaku, Ayunda. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya kulakukan.”

Ayunda tersenyum tipis, meskipun hatinya masih dipenuhi banyak pertanyaan. Mengapa Ardan begitu peduli padanya? Apakah hanya karena rasa tanggung jawab, atau ada alasan lain yang lebih dalam?

Puing-puing ingatan yang perlahan kembali hanya menghadirkan kepedihan bagi Ayunda. Sosok Mahesa, lelaki yang selama ini ia cintai, kembali memenuhi pikirannya. Ia pernah berpikir bahwa menikah dengan Mahesa akan membuatnya bahagia, menjadikannya seorang ratu di hati pria itu. Namun, kenyataan begitu kejam. Di malam pertama, impian itu hancur.

Mahesa telah menduakannya—bahkan sejak awal. Alasannya? Karena Ayunda terlalu naif, terlalu polos, dan menolak disentuh saat pacaran. Mahesa menganggapnya sebagai istri yang tak bisa memenuhi keinginannya, sesuatu yang membuatnya merasa berhak mencari wanita lain.

Ayunda menatap Ardan dengan mata berkaca-kaca, suaranya bergetar saat ia menceritakan semua itu. “Untung saja aku belum pernah disentuh lelaki bejat itu,” katanya lirih, dengan nada getir yang jelas terdengar. “Setidaknya, aku masih suci .…”

Kata-kata itu bagai tamparan keras bagi Ardan. Tubuhnya menegang, jantungnya berdetak kencang. Ayunda tidak tahu—tidak menyadari—bahwa selama ini ia telah disentuh. Bukan oleh Mahesa, tetapi olehnya … oleh Ardan.

Ia merasakan gelombang rasa bersalah yang begitu besar menghantam dirinya. Selama ini, ia telah berbuat kesalahan yang tak bisa dimaafkan. Dan kini, Ayunda masih mempercayainya, masih menganggapnya sebagai penyelamat.

Ardan menggenggam erat tangannya sendiri, berusaha meredam gejolak dalam hatinya. Ia tidak boleh menunjukkan kegelisahannya. Tidak sekarang. Tapi satu hal yang pasti—Ayunda harus tetap berada dalam kebohongan ini. Ia tidak boleh tahu apa yang telah terjadi selama lima tahun ia koma.

Karena jika ia tahu … Ardan mungkin akan kehilangan satu-satunya wanita yang kini ingin ia lindungi lebih dari apa pun.

Ardan menghela napas panjang, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Ia menatap Ayunda yang kini duduk di ranjang rumah sakit dengan ekspresi rapuh, seolah hatinya masih terluka oleh kenangan masa lalu.

“Kau pasti sangat kecewa,” kata Ardan akhirnya, suaranya berusaha terdengar tenang.

Ayunda tersenyum pahit. “Kecewa itu sudah pasti, tapi lebih dari itu, aku merasa bodoh. Aku mencintai orang yang bahkan tak pernah benar-benar menginginkanku.”

Ardan merasakan dadanya semakin sesak. Ia ingin mengatakan bahwa Mahesa memang tidak pantas untuk Ayunda. Bahwa pria itu adalah seorang bajingan yang telah menyia-nyiakan wanita sebaik dirinya. Tapi … ia sendiri? Ia lebih baik darinya? Setelah apa yang ia lakukan selama ini?

Ayunda menundukkan kepala, jemarinya mencengkeram selimut dengan erat. “Tapi aku bersyukur masih memiliki kamu, Ardan,” katanya lirih. “Kamu satu-satunya yang ada di sini untukku.”

Ardan menelan ludah, rasa bersalahnya semakin menggunung. Tangannya terulur, ragu-ragu sebelum akhirnya dengan lembut menggenggam tangan Ayunda. “Aku akan selalu ada untukmu, Ayunda.”

Ayunda menatapnya, ada kehangatan dalam tatapannya yang polos. Ia tidak tahu apa yang tersembunyi di balik sikap Ardan. Ia tidak tahu rahasia besar yang selama ini disembunyikan pria itu.

Ardan tahu, suatu hari nanti kebenaran bisa saja terungkap. Tapi untuk saat ini, ia hanya ingin menjaga Ayunda, memastikan wanita itu merasa aman di sisinya. Dan mungkin, meski dengan cara yang salah, ia bisa menebus semua dosa yang telah ia perbuat.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Kaugnay na kabanata

  • Usai Bangun dari Koma   Kehamilan Ayunda

    Ayunda bukanlah wanita bodoh. Sejak pertama kali sadar dari koma, ia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam tubuhnya. Awalnya, ia mencoba mengabaikannya, berpikir bahwa mungkin ini hanyalah efek dari terlalu lama terbaring tanpa gerakan. Namun, semakin hari, ia mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak wajar.Mual yang datang tiba-tiba, rasa lelah yang berlebihan, dan yang paling mengganggu—rasa nyeri di area intimnya.Maka, saat Ardan pergi bekerja, Ayunda memutuskan untuk menemui dokter tanpa memberitahunya.Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya dokter yang menanganinya datang dan memulai pemeriksaan. Ayunda merasa cemas, tapi ia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi pada tubuhnya.“Dok, area intim saya terasa nyeri … dan tadi pagi saya sempat merasa mual,” ucapnya, mencoba tetap tenang.Dokter menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Baik, kita lakukan pemeriksaan lebih lanjut.”Pemeriksaan berjalan cukup lama, dan Ayunda mulai merasa gelisah. Namun, apa yang terjadi selanjutnya

    Huling Na-update : 2025-02-15
  • Usai Bangun dari Koma   Pengakuan Terbesar

    Ayunda melangkah dengan sisa tenaga yang ia miliki. Tubuhnya lemah, tapi tekadnya lebih kuat dari sebelumnya. Orang-orang yang berada di sekitar rumah Mahesa menatapnya dengan ekspresi terkejut, seolah melihat hantu yang kembali dari kematian.Wajahnya pucat, tubuhnya kurus, dan tatapannya kosong. Namun, di balik kelemahan itu, ada kobaran amarah yang mulai menyala.Mahesa yang sedang berdiri di depan pintu, tampak membeku di tempatnya. Matanya membelalak saat melihat sosok Ayunda yang berjalan ke arahnya dengan langkah sempoyongan."Kamu masih hidup?"Suara Mahesa terdengar kaget, lebih banyak keterkejutan daripada kebahagiaan. Tidak ada kehangatan, tidak ada rasa rindu—hanya keterkejutan dan mungkin sedikit ketakutan.Ayunda tersenyum getir, matanya menyapu penampilan Mahesa yang tampak semakin menawan, semakin berwibawa. Sedangkan dirinya? Ia benar-benar seperti mayat hidup.“Aku pikir, setidaknya kamu akan menanyakan kabarku. Tapi ternyata … satu-satunya yang bisa keluar dari mulu

    Huling Na-update : 2025-02-15
  • Usai Bangun dari Koma   Tanggung Jawab?

    Di halaman itu seketika terasa mencekam. Wajah Mahesa memerah, matanya berkilat penuh emosi. Sementara itu, Ayunda menatap Ardan dengan keterkejutan yang sulit disembunyikan. “Kau bohong!” Mahesa menggeram, langkahnya maju dengan tangan terkepal. “Kau hanya ingin mempermalukanku!” Ardan tidak mundur. Dia justru berdiri lebih tegap, menatap Mahesa tanpa gentar. “Aku tidak pernah berbicara tanpa bukti, Mahesa.” Suaranya dingin, nyaris berbisik, tapi penuh keyakinan. Ayunda yang sejak tadi terpaku, akhirnya menggeleng lemah. “Ardan … apa maksud semua ini?” suaranya bergetar, antara bingung dan tidak percaya. Ardan menoleh, menatapnya dengan penuh kelembutan. “Aku tidak bisa diam saja melihatmu diperlakukan seperti ini. Aku tahu kebenaran yang selama ini disembunyikan, dan aku bersumpah akan melindungimu.” Mahesa mendengus, tertawa sinis. “Kau pikir aku akan membiarkanmu membawa wanita ini dan mempermalukank

    Huling Na-update : 2025-03-27
  • Usai Bangun dari Koma   Memori Luka

    Ardan mengetuk pintu kamar dengan ringan, menunggu hingga terdengar suara sahutan dari dalam. Sesaat kemudian, pintu terbuka, memperlihatkan Ayunda yang kini mengenakan pakaian bersih. “Dokter akan memeriksa keadaanmu dan juga .…” Ardan terdiam sejenak, ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Apakah Ayunda akan mengizinkannya menyebut bahwa bayi yang dikandungnya adalah anaknya? Ayunda terkejut, refleks tangannya menyentuh perutnya yang masih datar. Tatapannya bertemu dengan Ardan, mencoba mencari kejujuran di matanya. Setelah beberapa detik yang terasa begitu panjang, ia mengangguk pelan, memberi izin. Ardan menghela napas lega. “Baiklah,” ucapnya singkat, lalu memberi isyarat kepada dokter yang sudah menunggu di belakangnya. Seorang dokter wanita melangkah masuk, diikuti beberapa perawat yang membawa perlengkapan medis. “Selamat malam, Nona Ayunda. Saya hanya akan melakukan pemeriksaan ringan untuk memastikan kondisi Anda dan

    Huling Na-update : 2025-03-27
  • Usai Bangun dari Koma   Diratukan?

    Ayunda terdiam. Selama ini, ia tidak pernah diperlakukan dengan begitu istimewa. Bahkan untuk makan saja, ia harus menyisihkan sebagian kecil dari upah buruh hariannya."Non, kenapa diam saja? Apakah makanannya tidak sesuai selera?" tanya seorang pelayan dengan nada hati-hati.Ayunda tersenyum getir. Sulit baginya membayangkan bahwa kini, di apartemen mewah ini, ada pelayan yang khusus disediakan hanya untuk mengurus dirinya."Maaf, Non. Jika makanannya tidak cocok, saya bisa menelepon koki agar memasak ulang," lanjut pelayan itu dengan sopan.Ayunda terbiasa menerima pisau dalam hidupnya—pengkhianatan, luka, dan penderitaan. Maka, ketika seseorang tiba-tiba menyodorkan bunga, ia tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Pandangannya beralih ke dua pelayan yang berdiri di sisinya, seolah mengharap jawaban dari mereka.Saat itulah Ardan keluar dari kamar. Pria itu tampak rapi, namun alih-alih marah atau kesal melihat Ayunda yang membeku di meja

    Huling Na-update : 2025-03-27
  • Usai Bangun dari Koma   Kepedulian Ardan

    Ayunda melirik sekilas majalah tentang furnitur dan desain rumah impian yang tergeletak di meja. Namun, tangannya enggan membalik halaman. Hatinya masih dipenuhi ketakutan. Ia ingin memilih, ingin percaya, tapi bayangan masa lalu terlalu kuat menggema di pikirannya, menghambat langkahnya. Di seberang ruangan, dua pelayan hanya bisa saling bertukar pandang. Sejak tadi, Ayunda hanya duduk di sofa, menatap kosong ke layar televisi yang menyala tanpa benar-benar melihatnya. Namun, ketenangan itu hancur dalam sekejap. "Heh, dasar wanita murahan!" Suara lantang yang penuh amarah menggema di ruangan. Mahesa muncul dengan wajah merah padam, kemarahan terpancar jelas dari sorot matanya. Ia melangkah cepat ke arah Ayunda, lalu tanpa peringatan, menarik tangannya dengan kasar hingga Ayunda terpaksa berdiri. "Bisa-bisanya kamu menghasut Kak Ardan untuk membatalkan semua proyek kerja sama!" suaranya meledak, penuh tuduhan

    Huling Na-update : 2025-03-28
  • Usai Bangun dari Koma   Kecelakaan Itu

    Ayunda enggan menggenggam tangan Ardan, apalagi di hadapan banyak orang. Kini, mereka tengah memilih desain rumah yang telah disiapkan khusus oleh Ardan."Saya mau rumah yang besar, mewah, halamannya luas, serta keamanannya terjaga," ujar Ardan dengan nada tenang, seolah itu adalah hal paling mudah di dunia.Ayunda menatapnya lagi. Seberapa kaya sebenarnya lelaki ini?Begitu mudahnya ia membayar rumah tanpa sedikit pun mempermasalahkan harga. Sementara dirinya dulu bahkan harus berpikir dua kali sebelum membeli semangkuk bakso. Dan sekarang, ia berdiri di samping seseorang yang seolah memiliki jumlah nominal tak terbatas."Kamu tidak bertanya kenapa aku memilih rumah seperti ini?" tanya Ardan, melirik Ayunda yang masih terdiam.Ayunda mengerjap, menenangkan pikirannya. "Apa alasannya?"Ardan tersenyum kecil. "Karena aku ingin kamu merasa aman. Aku ingin rumah ini menjadi tempat di mana kau tidak perlu khawatir tentang apa pun."

    Huling Na-update : 2025-03-28
  • Usai Bangun dari Koma   Keterpurukan

    Ayunda menangis terisak-isak. Ia memegang perutnya, berusaha memastikan apakah benar anak yang ada dalam kandungannya sudah tiada. Anak yang keberadaannya baru beberapa hari ia ketahui, namun tetaplah darah dagingnya, bagian dari dirinya.Di lubuk hatinya yang terdalam, tersimpan begitu banyak harapan untuk anak itu. Kini, rasa takut menyelimutinya, begitu kuat hingga ia bahkan tak mampu mengungkapkannya dengan kata-kata.Hatinya semakin perih. Ayunda terisak lebih keras, tubuhnya bergetar dalam kesedihan yang tak tertahankan. Ia ingin menyangkal kenyataan, ingin percaya bahwa semuanya hanya mimpi buruk yang akan berakhir begitu ia membuka mata.Tapi perutnya terasa kosong. Terlalu kosong.Dengan tangan gemetar, ia mengusap lembut permukaannya, berharap ada keajaiban, berharap ia masih bisa merasakan kehidupan kecil di dalamnya. Namun, hening. Tak ada gerakan, tak ada tanda-tanda.Air matanya jatuh semakin deras. Bayangan-bayangan tentang

    Huling Na-update : 2025-03-28

Pinakabagong kabanata

  • Usai Bangun dari Koma   Bimbang

    Hari-hari Ayunda kini sepenuhnya dipenuhi oleh pekerjaan. Ia tenggelam dalam tumpukan berkas, rapat, dan tanggung jawab sebagai CEO. Beberapa kali ia hampir menekan nomor William di ponselnya—ingin memintanya pulang lebih cepat, ingin sekadar berbagi beban. Namun setiap kali jari-jarinya mendekati tombol panggil, ia menarik napas panjang dan mengurungkan niat itu.Ia tidak boleh egois. William juga punya keluarga. Ia tahu betapa Keyla dan Kenan berharga bagi William, dan ia tidak ingin menjadi orang yang merusak kebahagiaan itu.Kadang-kadang, Ayunda hanya ingin menyerah. Ingin hidup sederhana. Menjadi ibu rumah tangga yang sepenuhnya hadir untuk Aluna dan Elvano. Tapi ia tahu, dirinya tak bisa. Masa depan anak-anaknya bergantung padanya. Ia harus tetap kuat—demi mereka.Malam itu, Ayunda duduk di ruang kerjanya di rumah. Lampu redup menyelimuti ruangan, sementara matanya terpaku pada sebuah bingkai foto yang berdiri di meja—foto Ardan. Suaminya. Lelaki yang pernah menjadi seluruh hid

  • Usai Bangun dari Koma   Semakin Dekat

    Ayunda merasa heran dengan keputusan mendadak William yang tiba-tiba mengajukan cuti. Padahal sejak meninggalnya Ardan, bahkan di hari libur pun William masih sering terlihat menyibukkan diri dengan pekerjaan.“Kok dadakan, Wil? Memangnya ada apa?” tanya Ayunda, mencoba menahan nada khawatir di suaranya.William tersenyum tipis, sedikit canggung. “Sepertinya aku dan Kayla ingin program adik untuk Kenan. Jadi kami berencana liburan ... mungkin ke luar negeri selama satu minggu.”Ayunda mengangguk pelan, mencoba mencerna. Ia tahu betul bahwa Keyla memang belum hamil lagi, dan beberapa kali sempat curhat padanya soal keinginannya untuk memberikan seorang adik bagi Kenan. Tapi tetap saja, keputusan ini terlalu tiba-tiba.“Tapi Wil, perusahaan kita sedang menjalin kerja sama penting dengan Skylar Group, dan kamu tahu sendiri hanya kamu atau aku yang bisa handle meeting dengan Dipta. Kita nggak bisa asal lempar ke tim lain.”William menatap Ayunda dengan tatapan memohon. “Tolonglah, Ay. Ken

  • Usai Bangun dari Koma   Keluarga Cemara?

    William kembali datang dengan ide spontan yang seperti biasa sulit ditolak."Gimana kalau akhir pekan ini kita ajak anak-anak piknik? Biar mereka nggak bosan terus-terusan di rumah," usulnya santai saat mereka duduk di ruang tamu Ayunda.Ayunda sempat mengernyitkan dahi. "Piknik? Aku nggak yakin, Will. Aluna baru sembuh, dan Elvano belum tentu nyaman di tempat ramai."Namun belum sempat William menjawab, Keyla langsung menyambar pembicaraan, menarik tangan Ayunda dan merengek manja, "Aunty Yunda, ikut yaa, Kenan juga mau ikut, tapi aku nggak mau kalau nggak ada temen cewek."Ayunda menatap wajah polos Keyla yang memelas. Sulit baginya untuk menolak. Apalagi, Elvano dan Aluna memang jarang sekali pergi ke luar rumah.Ia pun akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah. Tapi cuma sebentar, dan jangan terlalu ramai ya.”Hari piknik pun tiba. Mereka berangkat bersama—Ayunda, William dan keluarganya, serta Dipta yang sejak pagi sudah terlihat

  • Usai Bangun dari Koma   Hari Sabtu

    Ayunda sudah kembali ke perusahaan. Pagi itu ia datang lebih awal dari biasanya. Tangannya cekatan membolak-balik beberapa berkas yang sempat tertunda selama Aluna dirawat di rumah sakit. Meski pikirannya belum sepenuhnya tenang, tapi ia tahu, tanggung jawabnya tak bisa lama-lama ia tinggalkan.Saat tengah fokus membaca laporan, suara pintu terbuka membuatnya menoleh. Dipta melangkah masuk tanpa ekspresi terburu-buru. Belakangan ini, lelaki itu memang jauh lebih sering muncul di perusahaannya. Karyawan pun mulai terbiasa dengan kehadirannya, bahkan tak sedikit yang mulai melihat sisi lain dari sang CEO—bukan hanya dingin dan tegas, tapi kini lebih ramah dan terbuka.“Oh, aku kira tadi William,” ucap Ayunda sambil tersenyum tipis.“Maaf mengganggu,” sahut Dipta santai.Ayunda mempersilakan Dipta masuk dan duduk. Ia pun memanggil OB untuk membawakan kopi, seperti biasa.“William belum datang, mungkin sebentar lagi dia muncul,” katanya sambi

  • Usai Bangun dari Koma   Membuka Hati?

    Pagi itu, kondisi Aluna sudah jauh lebih baik, meski infus masih terpasang di tangannya. Senyum kecil menghiasi wajah mungilnya. Saat Ayunda baru saja memasuki ruang rawat, langkahnya langsung terhenti. Matanya membelalak saat melihat pemandangan tak terduga—Aluna begitu dekat dengan Dipta, menggenggam tangannya erat seakan tak ingin dilepaskan.Sekilas bayangan Ardan melintas dalam benak Ayunda. Andai saja Ardan masih hidup mungkin Aluna tak akan pernah merasakan kehilangan sosok ayahnya, batinnya pilu. Melihat keakraban antara Dipta dan Aluna membuat hati Ayunda bergetar. Kenangan tentang Ardan mengalir deras, hingga tanpa sadar air mata jatuh membasahi pipinya."Mama!" seru Aluna riang saat melihatnya. Suara itu, meski belum sempurna, membawa kehangatan yang tak tergantikan.Dipta spontan menoleh ke arah Ayunda. Ia sempat ingin bergeser, tapi tangan kecil Aluna menahan kuat. Ia enggan melepaskan. Ayunda mengamati itu dalam diam—biasanya, Aluna hanya dekat dengan Ardan atau William,

  • Usai Bangun dari Koma   Kembali

    Pagi itu, kondisi Aluna sudah jauh lebih baik, meski infus masih terpasang di tangannya. Senyum kecil menghiasi wajah mungilnya. Saat Ayunda baru saja memasuki ruang rawat, langkahnya langsung terhenti. Matanya membelalak saat melihat pemandangan tak terduga—Aluna begitu dekat dengan Dipta, menggenggam tangannya erat seakan tak ingin dilepaskan.Sekilas bayangan Ardan melintas dalam benak Ayunda. Andai saja Ardan masih hidup mungkin Aluna tak akan pernah merasakan kehilangan sosok ayahnya, batinnya pilu. Melihat keakraban antara Dipta dan Aluna membuat hati Ayunda bergetar. Kenangan tentang Ardan mengalir deras, hingga tanpa sadar air mata jatuh membasahi pipinya."Mama!" seru Aluna riang saat melihatnya. Suara itu, meski belum sempurna, membawa kehangatan yang tak tergantikan.Dipta spontan menoleh ke arah Ayunda. Ia sempat ingin bergeser, tapi tangan kecil Aluna menahan kuat. Ia enggan melepaskan. Ayunda mengamati itu dalam diam—biasanya, Aluna hanya dek

  • Usai Bangun dari Koma   Aluna

    Di tengah malam, Ayunda terjebak dalam kesibukan mengurus perusahaan. Blue Cooperation semakin berkembang pesat, namun sayangnya, ia semakin jarang menghabiskan waktu dengan kedua anaknya, Aluna dan Elvano. Ayunda berangkat sebelum mereka bangun dan pulang saat mereka sudah tidur.Suatu malam, Aluna tiba-tiba demam tinggi. Suster yang menjaga anak-anak itu bergegas menghampiri Ayunda yang sedang duduk di ruang kerjanya."Bu, Aluna badannya panas. Dokter keluarga sedang cuti," ujar suster dengan cemas.Ayunda langsung terlonjak dari kursinya. Tanpa berpikir panjang, ia meraih kunci mobil, dan dengan sigap, ia serta suster segera menyiapkan tas Aluna yang berisi kebutuhan medis. Mereka langsung bergegas menuju rumah sakit.Namun, nasib tidak berpihak pada mereka. Kemacetan panjang menghalangi perjalanan mereka. Aluna semakin demam tinggi, dan Ayunda mulai cemas. Waktu semakin berharga.Dengan keputusan cepat, Ayunda memutuskan untuk berlari

  • Usai Bangun dari Koma   Perlawanan

    Setelah insiden sindiran Mahesa di acara industri, Ayunda langsung mengadakan rapat darurat internal Blue Cooperation bersama tim PR dan hukum. Ia tahu, satu rumor saja bisa merusak reputasi bertahun-tahun.Dalam ruang rapat itu, Ayunda tampil sebagai pemimpin sejati.“Kita tidak perlu menanggapi dengan emosi. Kita lawan dengan data. Kita kumpulkan semua bukti integritas kita selama proses tender, dari dokumen transparansi hingga rekaman presentasi. Biar publik yang menilai.”Ia juga menghubungi Valterra secara langsung. Dengan tenang, ia menjelaskan situasi dan menyatakan kesediaan Blue Cooperation untuk diaudit secara terbuka jika diperlukan. Respons Valterra mengejutkan—mereka justru memuji keterbukaan Ayunda dan menyebut rumor itu sebagai “upaya kompetitor yang tidak sportif.”Usai rapat, Ayunda menghubungi William. Suaranya berat, tapi tetap tenang. “Wil, Mahesa mulai main kotor. Dia sebar rumor soal aku. Bahkan sampai nyentuh hubungan keluar

  • Usai Bangun dari Koma   Taring Mahesa

    Beberapa minggu setelah pertemuan itu, tim gabungan antara Blue Cooperation dan Skylar Group resmi terbentuk. Mereka menamainya Project Horizon, sebuah proyek kolaboratif yang menyatukan kekuatan kreatif dan teknologi dalam satu kampanye besar untuk klien korporat multinasional.Ayunda memimpin tim branding dan strategi dari Blue, sementara Dipta membimbing tim IT dan data engineer dari Skylar. Meski keduanya berasal dari dua dunia berbeda, sinergi mereka terbukti kuat. Setiap ide Ayunda, selalu disempurnakan oleh eksekusi teknis dari tim Dipta. Dan setiap batasan teknologi dari Skylar, selalu bisa dicairkan oleh pendekatan kreatif Ayunda.Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama.Saat mereka menghadiri forum pitching terbuka untuk kontrak kerja sama dari perusahaan retail terbesar di Asia Tenggara—Valterra Group—Ayunda mendapati nama yang tak asing muncul sebagai salah satu perwakilan perusahaan saingan: Mahesa Adikara.Mahesa kini menjabat seb

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status