Di halaman itu seketika terasa mencekam. Wajah Mahesa memerah, matanya berkilat penuh emosi. Sementara itu, Ayunda menatap Ardan dengan keterkejutan yang sulit disembunyikan.
“Kau bohong!” Mahesa menggeram, langkahnya maju dengan tangan terkepal. “Kau hanya ingin mempermalukanku!” Ardan tidak mundur. Dia justru berdiri lebih tegap, menatap Mahesa tanpa gentar. “Aku tidak pernah berbicara tanpa bukti, Mahesa.” Suaranya dingin, nyaris berbisik, tapi penuh keyakinan. Ayunda yang sejak tadi terpaku, akhirnya menggeleng lemah. “Ardan … apa maksud semua ini?” suaranya bergetar, antara bingung dan tidak percaya. Ardan menoleh, menatapnya dengan penuh kelembutan. “Aku tidak bisa diam saja melihatmu diperlakukan seperti ini. Aku tahu kebenaran yang selama ini disembunyikan, dan aku bersumpah akan melindungimu.” Mahesa mendengus, tertawa sinis. “Kau pikir aku akan membiarkanmu membawa wanita ini dan mempermalukanku?” Dia mengangkat dagu, menatap Ardan dengan penuh tantangan. Ardan tersenyum miring. “Bukan aku yang mempermalukanmu, Mahesa. Kau yang melakukannya sendiri.” Mahesa mengatupkan rahangnya, menahan gejolak emosi yang membakar dadanya. Sementara itu, Ayunda mulai menyadari sesuatu—bahwa selama ini ada rahasia besar yang ia tidak ketahui. “Aku tidak akan pergi ke mana-mana sebelum kebenaran yang sesungguhnya terungkap,” ucap Ayunda akhirnya, suaranya kali ini penuh tekad. “Aku ingin tahu, Mahesa … apa yang sebenarnya terjadi lima tahun lalu?” Mahesa terdiam. Rahangnya mengeras. Ada sesuatu dalam sorot matanya—entah kemarahan, kebencian, atau mungkin ketakutan. Ardan meliriknya tajam. “Saatnya menghadapi kenyataan, Mahesa. Tidak ada lagi kebohongan.” Di teras halaman itu terasa semakin sesak oleh ketegangan yang menggantung di udara. Mahesa menggeretakkan giginya, jelas tidak suka dengan arah pembicaraan ini. Sementara itu, Ayunda menatapnya penuh harap, ingin mendapatkan jawaban yang telah mengusik hidupnya selama lima tahun terakhir. “Katakan, Mahesa,” suara Ayunda terdengar lebih mantap. “Apa yang sebenarnya terjadi lima tahun lalu? Kenapa kau meninggalkanku begitu saja?” Mahesa menarik napas dalam, lalu mengalihkan pandangannya ke Ardan. “Jadi ini rencanamu? Memojokkanku dengan masa lalu yang seharusnya sudah mati?” Ardan tidak menunjukkan reaksi apa pun. “Bukan aku yang memulai ini, Mahesa. Kau sendiri yang selalu melarikan diri dari kebenaran.” Mahesa tertawa dingin, lalu melangkah mendekati Ayunda. “Baik, kau ingin tahu kebenarannya?” Suaranya rendah, tetapi penuh sindiran. “Kau mengalami insiden lima tahun lalu, koma selama bertahun-tahun, dan saat kau terbangun ... aku sudah tidak menginginkanmu lagi.” Ayunda merasa dadanya sesak. “Kenapa? Apa aku seburuk itu di matamu?” Mahesa menghela napas panjang, lalu menatap Ayunda dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Karena aku tidak pernah mencintaimu, Ayunda. Seleraku bukan, wanita miskin.” Kata-kata itu menghantam Ayunda seperti badai. Napasnya tercekat, dan matanya mulai memanas. Lima tahun dia koma, berharap ada alasan lain di balik semua ini. Tapi ternyata jawabannya begitu kejam. “Kau bohong,” bisik Ayunda lirih. Mahesa tersenyum miring. “Percaya atau tidak, itu urusanmu. Tapi aku tidak akan mengubah kata-kataku.” Ardan akhirnya angkat bicara. “Cukup, Mahesa. Kau pikir dengan berkata seperti itu kau bisa menyingkirkan Ayunda dengan mudah?” Mahesa menoleh, wajahnya masih dipenuhi keangkuhan. “Dia bukan masalahku lagi.” “Tapi dia masalahku sekarang,” potong Ardan cepat. “Dan aku tidak akan membiarkanmu melukainya lagi.” Ayunda mengalihkan pandangannya ke Ardan, matanya berkaca-kaca. Ada sesuatu dalam sorot mata pria itu yang membuatnya merasa aman—sesuatu yang tidak pernah ia temukan dalam diri Mahesa. “Kalau begitu, bawa dia pergi,” ujar Mahesa akhirnya, suaranya terdengar dingin. “Dan pastikan dia tidak pernah kembali.” Ayunda menatapnya untuk terakhir kalinya, berharap bisa menemukan sedikit saja penyesalan dalam sorot matanya. Namun, yang ia temukan hanyalah kehampaan. Tanpa berkata apa pun lagi, Ardan menggenggam tangan Ayunda, membawanya pergi meninggalkan rumah yang selama ini hanya memberinya luka. Ayunda menangis dalam diam, tubuhnya yang baru saja terbangun dari koma lima tahun justru harus menghadapi kenyataan yang lebih menyakitkan daripada tidurnya yang panjang. Air matanya mengalir tanpa bisa ia tahan, membasahi pipinya yang pucat. Di sisi lain, Ardan tetap diam. Ia ingin mengatakan sesuatu, ingin menghibur, tetapi bibirnya seolah terkunci. Tatapan penuh kebencian yang Ayunda arahkan pada Mahesa tadi membuatnya gentar. Terlebih lagi, ia tahu betul bahwa dirinya bukanlah pria suci—dia adalah orang yang telah menodai Ayunda, bahkan sampai membuatnya hamil. Sesaat kemudian, Ardan menghentikan mobilnya di depan sebuah apartemen mewah. Dengan cepat, ia keluar dan membukakan pintu untuk Ayunda. “Kita sudah sampai,” ucapnya pelan, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya. Ayunda menatap gedung tinggi itu dengan pandangan kosong. Ia tahu Ardan adalah pria sukses—seorang CEO muda yang namanya selalu terpampang di berbagai media bisnis. Tanpa bantuan orang tua, ia membangun semuanya sendiri. Tapi satu hal yang Ayunda tidak tahu, Ardan jarang sekali pulang ke rumah. Ia sudah terlalu muak dengan ulah Mahesa yang selalu membuat kepalanya sakit. “Kenapa membawaku ke sini?” tanya Ayunda akhirnya, suaranya lemah. Ardan terdiam sejenak sebelum menjawab, “Karena mulai sekarang, kau akan tinggal di sini bersamaku.” Ayunda terkejut. “Apa maksudmu?” Lelaki itu menghela napas panjang. “Kau butuh tempat untuk memulai kembali, dan aku ... aku ingin bertanggung jawab.” Ayunda tertawa kecil, tetapi tanpa kebahagiaan. “Tanggung jawab? Ardan, kau hanya ingin menebus rasa bersalahmu, bukan?” Ardan menatapnya dalam, ada sesuatu di matanya yang sulit diartikan. “Mungkin awalnya begitu. Tapi sekarang ... aku ingin lebih dari sekadar menebus kesalahan.” Ayunda mengerutkan kening. “Apa maksudmu?” Ardan menatapnya tanpa ragu. “Aku ingin kau menjadi istriku, Ayunda.” Kata-kata itu membuat dunia Ayunda berhenti sejenak. Ia menatap pria di depannya dengan tatapan tak percaya. Apakah ini hanya caranya untuk memperbaiki segalanya, ataukah ada sesuatu yang lebih dalam? Ayunda tidak tahu. Yang jelas, hatinya belum siap menerima kenyataan lain yang bisa jadi lebih menyakitkan. “Dan satu lagi, aku tidak mau kamu menyebutku dengan sebutan ‘kau.’ Aku bukan ‘kau,’ paham?” Ayunda hanya terdiam. Ia mengikuti langkah gagah Ardan tanpa perlawanan. Dulu, sosok pria itu adalah kakak iparnya—seseorang yang hanya ia kenal dari kejauhan. Pernikahannya dengan Mahesa bahkan baru berusia sehari ketika ia mulai merasakan neraka. Rumah mewah keluarga suaminya yang seharusnya menjadi tempat penuh kebahagiaan justru menjadi awal penderitaannya. Ayunda hanyalah seorang anak yatim piatu, tumbuh besar di panti asuhan dengan harapan suatu hari akan menemukan cinta dan kehangatan keluarga. Namun, harapan itu hancur. Yang ia dapatkan bukan kasih sayang, melainkan nestapa. Tidak ada tempat untuk mengadu. Tidak ada tempat untuk berlindung. Jika ia menolak tawaran Ardan untuk tinggal di apartemennya, lalu ke mana ia harus pergi? Lima tahun bukanlah waktu yang singkat. Dunia sudah banyak berubah, dan ia telah kehilangan begitu banyak momen yang seharusnya menjadi bagian dari hidupnya. Ayunda menunduk, menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan emosi yang berkecamuk. Ardan meliriknya sekilas sebelum membuka pintu apartemen. “Masuklah,” ucapnya, suaranya terdengar lebih lembut kali ini. Ayunda melangkah masuk dengan ragu. Di dalam, apartemen itu terasa begitu luas, modern, tetapi juga sepi. Sama seperti hatinya saat ini—kosong. Saat Ardan menutup pintu di belakang mereka, Ayunda sadar satu hal: mulai detik ini, hidupnya akan berubah. Ia hanya tidak tahu apakah perubahan itu akan membawa kebahagiaan atau justru luka yang lebih dalam. “Di kamar atas, itu kamarmu. Silakan bersihkan diri. Aku akan menghubungi seseorang untuk mengurus semua keperluanmu.” Ayunda hanya mengangguk pelan. Tanpa berkata apa pun, ia melangkah menaiki tangga menuju kamar yang dimaksud. Setiap langkahnya terasa berat, seolah membawa beban yang tak kasat mata. Begitu memasuki kamar, ia mendapati ruangan luas dengan desain minimalis yang elegan. Cahaya lampu temaram menciptakan suasana hangat, tetapi tetap saja, hatinya terasa dingin. Ia berjalan ke arah cermin besar di sudut ruangan dan menatap bayangannya sendiri. Wajahnya pucat, tubuhnya tampak lebih kurus dari yang ia ingat. Lima tahun koma telah merampas sebagian besar hidupnya. Dunia sudah banyak berubah, tapi ia merasa masih terjebak di masa lalu. Dengan tangan gemetar, Ayunda membuka lemari, menemukan setumpuk pakaian yang masih bersegel. Ardan rupanya sudah mempersiapkan ini untuknya. Entah kenapa, perhatian itu justru membuat hatinya semakin sesak. Tanpa pikir panjang, ia melangkah ke kamar mandi dan membiarkan air hangat membasahi tubuhnya. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh bersama aliran air, membawa semua luka yang masih mengendap di hatinya. Sementara itu, di lantai bawah, Ardan duduk di sofa dengan ponsel di tangannya. Ia mengetik pesan singkat kepada asistennya, memerintahkan agar segala kebutuhan Ayunda segera disiapkan. Setelah mengirim pesan, ia menghela napas panjang. Matanya menatap kosong ke arah jendela yang memperlihatkan pemandangan kota di malam hari. Pikirannya penuh dengan berbagai hal—tentang Ayunda, tentang kesalahan masa lalu, dan tentang tanggung jawab yang kini harus ia pikul. Lalu, tanpa sadar, bibirnya berbisik pelan, “Aku tidak akan membiarkanmu terluka lagi, Ayunda.” Di lantai atas, Ayunda yang baru keluar dari kamar mandi berdiri di balkon, menatap langit malam dengan tatapan kosong. Hatinya bertanya-tanya—benarkah ada seseorang yang benar-benar ingin melindunginya? Atau ini hanya awal dari luka yang baru?Ardan mengetuk pintu kamar dengan ringan, menunggu hingga terdengar suara sahutan dari dalam. Sesaat kemudian, pintu terbuka, memperlihatkan Ayunda yang kini mengenakan pakaian bersih. “Dokter akan memeriksa keadaanmu dan juga .…” Ardan terdiam sejenak, ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Apakah Ayunda akan mengizinkannya menyebut bahwa bayi yang dikandungnya adalah anaknya? Ayunda terkejut, refleks tangannya menyentuh perutnya yang masih datar. Tatapannya bertemu dengan Ardan, mencoba mencari kejujuran di matanya. Setelah beberapa detik yang terasa begitu panjang, ia mengangguk pelan, memberi izin. Ardan menghela napas lega. “Baiklah,” ucapnya singkat, lalu memberi isyarat kepada dokter yang sudah menunggu di belakangnya. Seorang dokter wanita melangkah masuk, diikuti beberapa perawat yang membawa perlengkapan medis. “Selamat malam, Nona Ayunda. Saya hanya akan melakukan pemeriksaan ringan untuk memastikan kondisi Anda dan
Ayunda terdiam. Selama ini, ia tidak pernah diperlakukan dengan begitu istimewa. Bahkan untuk makan saja, ia harus menyisihkan sebagian kecil dari upah buruh hariannya."Non, kenapa diam saja? Apakah makanannya tidak sesuai selera?" tanya seorang pelayan dengan nada hati-hati.Ayunda tersenyum getir. Sulit baginya membayangkan bahwa kini, di apartemen mewah ini, ada pelayan yang khusus disediakan hanya untuk mengurus dirinya."Maaf, Non. Jika makanannya tidak cocok, saya bisa menelepon koki agar memasak ulang," lanjut pelayan itu dengan sopan.Ayunda terbiasa menerima pisau dalam hidupnya—pengkhianatan, luka, dan penderitaan. Maka, ketika seseorang tiba-tiba menyodorkan bunga, ia tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Pandangannya beralih ke dua pelayan yang berdiri di sisinya, seolah mengharap jawaban dari mereka.Saat itulah Ardan keluar dari kamar. Pria itu tampak rapi, namun alih-alih marah atau kesal melihat Ayunda yang membeku di meja
Ayunda melirik sekilas majalah tentang furnitur dan desain rumah impian yang tergeletak di meja. Namun, tangannya enggan membalik halaman. Hatinya masih dipenuhi ketakutan. Ia ingin memilih, ingin percaya, tapi bayangan masa lalu terlalu kuat menggema di pikirannya, menghambat langkahnya. Di seberang ruangan, dua pelayan hanya bisa saling bertukar pandang. Sejak tadi, Ayunda hanya duduk di sofa, menatap kosong ke layar televisi yang menyala tanpa benar-benar melihatnya. Namun, ketenangan itu hancur dalam sekejap. "Heh, dasar wanita murahan!" Suara lantang yang penuh amarah menggema di ruangan. Mahesa muncul dengan wajah merah padam, kemarahan terpancar jelas dari sorot matanya. Ia melangkah cepat ke arah Ayunda, lalu tanpa peringatan, menarik tangannya dengan kasar hingga Ayunda terpaksa berdiri. "Bisa-bisanya kamu menghasut Kak Ardan untuk membatalkan semua proyek kerja sama!" suaranya meledak, penuh tuduhan
Ayunda enggan menggenggam tangan Ardan, apalagi di hadapan banyak orang. Kini, mereka tengah memilih desain rumah yang telah disiapkan khusus oleh Ardan."Saya mau rumah yang besar, mewah, halamannya luas, serta keamanannya terjaga," ujar Ardan dengan nada tenang, seolah itu adalah hal paling mudah di dunia.Ayunda menatapnya lagi. Seberapa kaya sebenarnya lelaki ini?Begitu mudahnya ia membayar rumah tanpa sedikit pun mempermasalahkan harga. Sementara dirinya dulu bahkan harus berpikir dua kali sebelum membeli semangkuk bakso. Dan sekarang, ia berdiri di samping seseorang yang seolah memiliki jumlah nominal tak terbatas."Kamu tidak bertanya kenapa aku memilih rumah seperti ini?" tanya Ardan, melirik Ayunda yang masih terdiam.Ayunda mengerjap, menenangkan pikirannya. "Apa alasannya?"Ardan tersenyum kecil. "Karena aku ingin kamu merasa aman. Aku ingin rumah ini menjadi tempat di mana kau tidak perlu khawatir tentang apa pun."
Ayunda menangis terisak-isak. Ia memegang perutnya, berusaha memastikan apakah benar anak yang ada dalam kandungannya sudah tiada. Anak yang keberadaannya baru beberapa hari ia ketahui, namun tetaplah darah dagingnya, bagian dari dirinya.Di lubuk hatinya yang terdalam, tersimpan begitu banyak harapan untuk anak itu. Kini, rasa takut menyelimutinya, begitu kuat hingga ia bahkan tak mampu mengungkapkannya dengan kata-kata.Hatinya semakin perih. Ayunda terisak lebih keras, tubuhnya bergetar dalam kesedihan yang tak tertahankan. Ia ingin menyangkal kenyataan, ingin percaya bahwa semuanya hanya mimpi buruk yang akan berakhir begitu ia membuka mata.Tapi perutnya terasa kosong. Terlalu kosong.Dengan tangan gemetar, ia mengusap lembut permukaannya, berharap ada keajaiban, berharap ia masih bisa merasakan kehidupan kecil di dalamnya. Namun, hening. Tak ada gerakan, tak ada tanda-tanda.Air matanya jatuh semakin deras. Bayangan-bayangan tentang
Tiga tahun berlalu, Ardan tersenyum simpul melihat Ayunda yang melangkah anggun dengan toga kebanggaannya."Hebat kamu, Ayunda!" Ardan tersenyum."Terima kasih, Ar. Semua ini berkat kamu," ujar Ayunda, matanya berbinar penuh rasa syukur.Dua manusia yang dulu terpuruk karena ulah orang lain akhirnya bisa bangkit karena saling menguatkan. Ardan dan Ayunda telah melewati masa-masa sulit, berjuang bersama, saling bahu-membahu untuk kehidupan yang lebih baik. Tiga tahun bukanlah waktu yang singkat, tetapi mereka membuktikan bahwa luka bisa sembuh, dan impian tetap bisa digapai."Mari kita rayakan wisudamu ini di hotel berbintang. Kita makan malam yang mewah," ajak Ardan.Ayunda mengangguk. Tangannya terulur hendak menggenggam tangan Ardan, tetapi lelaki itu lebih dulu melangkah.Ayunda terdiam. Mungkin selama ini, tanpa sadar, ia terlalu sering menolak. Dan sekarang, Ardan sudah terbiasa menjaga jarak. Apakah hati lelaki itu sudah be
Kedua pasangan itu menyaksikan pesta ulang tahun seorang gadis mungil yang berlangsung meriah dengan nuansa pink. Balon-balon memenuhi ruangan, tawa anak-anak menggema, dan para tamu menikmati hidangan yang disajikan dengan mewah.Namun, suasana berubah tegang ketika seorang wanita bergaun merah masuk dengan ekspresi marah. Matanya penuh emosi, dan suaranya menggema di ruangan yang sebelumnya dipenuhi keceriaan."Aku hamil! Kamu seharusnya bertanggung jawab, bukan bersenang-senang di sini!" serunya lantang.Semua mata tertuju pada Mahesa, lelaki yang disebut wanita itu. Namun, bukannya menunjukkan rasa bersalah, Mahesa justru mengangkat tangannya dengan ekspresi bosan. Dengan kekuasaannya, ia memberi isyarat kepada petugas keamanan untuk mengusir wanita itu.Wanita itu meronta, berusaha bertahan, tapi akhirnya dia terseret keluar. Namun, dia tidak menyerah begitu saja. Beberapa menit kemudian, dia kembali lagi, menerobos kerumunan, dan kali ini su
"Setelah tiga tahun menghilang, kamu kembali hanya untuk membawa masalah baru, Ardan?" suara Tuan Surya terdengar tajam, penuh tekanan.Mereka semua kini berdiri di lobi rumah sakit. Mahesa masih tak sadarkan diri setelah dilarikan ke UGD. Mawar, istrinya, duduk dengan wajah murung, matanya terus melirik ke arah Keyla—wanita yang tadi menuntut pertanggungjawaban Mahesa. Kehadirannya hanya menambah beban pikiran Mawar, seolah memberi tamparan bahwa suaminya telah berkhianat secara terang-terangan.Di luar rumah sakit, para wartawan sudah berkerumun, siap mengabadikan setiap momen dari skandal keluarga Atmaja. Ini bukan sekadar berita biasa—ini adalah kejatuhan keluarga yang selama ini dianggap sempurna.Ardan menatap ayahnya tanpa gentar. "Aku tidak datang membawa masalah baru, Ayah. Aku hanya ingin menikmati hidupku. Kehancuran Mahesa bukan salahku—itu akibat dari kebodohan dan kecerobohannya sendiri."Tuan Surya mendengus, menatap putranya seakan
Hari-hari Ayunda kini sepenuhnya dipenuhi oleh pekerjaan. Ia tenggelam dalam tumpukan berkas, rapat, dan tanggung jawab sebagai CEO. Beberapa kali ia hampir menekan nomor William di ponselnya—ingin memintanya pulang lebih cepat, ingin sekadar berbagi beban. Namun setiap kali jari-jarinya mendekati tombol panggil, ia menarik napas panjang dan mengurungkan niat itu.Ia tidak boleh egois. William juga punya keluarga. Ia tahu betapa Keyla dan Kenan berharga bagi William, dan ia tidak ingin menjadi orang yang merusak kebahagiaan itu.Kadang-kadang, Ayunda hanya ingin menyerah. Ingin hidup sederhana. Menjadi ibu rumah tangga yang sepenuhnya hadir untuk Aluna dan Elvano. Tapi ia tahu, dirinya tak bisa. Masa depan anak-anaknya bergantung padanya. Ia harus tetap kuat—demi mereka.Malam itu, Ayunda duduk di ruang kerjanya di rumah. Lampu redup menyelimuti ruangan, sementara matanya terpaku pada sebuah bingkai foto yang berdiri di meja—foto Ardan. Suaminya. Lelaki yang pernah menjadi seluruh hid
Ayunda merasa heran dengan keputusan mendadak William yang tiba-tiba mengajukan cuti. Padahal sejak meninggalnya Ardan, bahkan di hari libur pun William masih sering terlihat menyibukkan diri dengan pekerjaan.“Kok dadakan, Wil? Memangnya ada apa?” tanya Ayunda, mencoba menahan nada khawatir di suaranya.William tersenyum tipis, sedikit canggung. “Sepertinya aku dan Kayla ingin program adik untuk Kenan. Jadi kami berencana liburan ... mungkin ke luar negeri selama satu minggu.”Ayunda mengangguk pelan, mencoba mencerna. Ia tahu betul bahwa Keyla memang belum hamil lagi, dan beberapa kali sempat curhat padanya soal keinginannya untuk memberikan seorang adik bagi Kenan. Tapi tetap saja, keputusan ini terlalu tiba-tiba.“Tapi Wil, perusahaan kita sedang menjalin kerja sama penting dengan Skylar Group, dan kamu tahu sendiri hanya kamu atau aku yang bisa handle meeting dengan Dipta. Kita nggak bisa asal lempar ke tim lain.”William menatap Ayunda dengan tatapan memohon. “Tolonglah, Ay. Ken
William kembali datang dengan ide spontan yang seperti biasa sulit ditolak."Gimana kalau akhir pekan ini kita ajak anak-anak piknik? Biar mereka nggak bosan terus-terusan di rumah," usulnya santai saat mereka duduk di ruang tamu Ayunda.Ayunda sempat mengernyitkan dahi. "Piknik? Aku nggak yakin, Will. Aluna baru sembuh, dan Elvano belum tentu nyaman di tempat ramai."Namun belum sempat William menjawab, Keyla langsung menyambar pembicaraan, menarik tangan Ayunda dan merengek manja, "Aunty Yunda, ikut yaa, Kenan juga mau ikut, tapi aku nggak mau kalau nggak ada temen cewek."Ayunda menatap wajah polos Keyla yang memelas. Sulit baginya untuk menolak. Apalagi, Elvano dan Aluna memang jarang sekali pergi ke luar rumah.Ia pun akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah. Tapi cuma sebentar, dan jangan terlalu ramai ya.”Hari piknik pun tiba. Mereka berangkat bersama—Ayunda, William dan keluarganya, serta Dipta yang sejak pagi sudah terlihat
Ayunda sudah kembali ke perusahaan. Pagi itu ia datang lebih awal dari biasanya. Tangannya cekatan membolak-balik beberapa berkas yang sempat tertunda selama Aluna dirawat di rumah sakit. Meski pikirannya belum sepenuhnya tenang, tapi ia tahu, tanggung jawabnya tak bisa lama-lama ia tinggalkan.Saat tengah fokus membaca laporan, suara pintu terbuka membuatnya menoleh. Dipta melangkah masuk tanpa ekspresi terburu-buru. Belakangan ini, lelaki itu memang jauh lebih sering muncul di perusahaannya. Karyawan pun mulai terbiasa dengan kehadirannya, bahkan tak sedikit yang mulai melihat sisi lain dari sang CEO—bukan hanya dingin dan tegas, tapi kini lebih ramah dan terbuka.“Oh, aku kira tadi William,” ucap Ayunda sambil tersenyum tipis.“Maaf mengganggu,” sahut Dipta santai.Ayunda mempersilakan Dipta masuk dan duduk. Ia pun memanggil OB untuk membawakan kopi, seperti biasa.“William belum datang, mungkin sebentar lagi dia muncul,” katanya sambi
Pagi itu, kondisi Aluna sudah jauh lebih baik, meski infus masih terpasang di tangannya. Senyum kecil menghiasi wajah mungilnya. Saat Ayunda baru saja memasuki ruang rawat, langkahnya langsung terhenti. Matanya membelalak saat melihat pemandangan tak terduga—Aluna begitu dekat dengan Dipta, menggenggam tangannya erat seakan tak ingin dilepaskan.Sekilas bayangan Ardan melintas dalam benak Ayunda. Andai saja Ardan masih hidup mungkin Aluna tak akan pernah merasakan kehilangan sosok ayahnya, batinnya pilu. Melihat keakraban antara Dipta dan Aluna membuat hati Ayunda bergetar. Kenangan tentang Ardan mengalir deras, hingga tanpa sadar air mata jatuh membasahi pipinya."Mama!" seru Aluna riang saat melihatnya. Suara itu, meski belum sempurna, membawa kehangatan yang tak tergantikan.Dipta spontan menoleh ke arah Ayunda. Ia sempat ingin bergeser, tapi tangan kecil Aluna menahan kuat. Ia enggan melepaskan. Ayunda mengamati itu dalam diam—biasanya, Aluna hanya dekat dengan Ardan atau William,
Pagi itu, kondisi Aluna sudah jauh lebih baik, meski infus masih terpasang di tangannya. Senyum kecil menghiasi wajah mungilnya. Saat Ayunda baru saja memasuki ruang rawat, langkahnya langsung terhenti. Matanya membelalak saat melihat pemandangan tak terduga—Aluna begitu dekat dengan Dipta, menggenggam tangannya erat seakan tak ingin dilepaskan.Sekilas bayangan Ardan melintas dalam benak Ayunda. Andai saja Ardan masih hidup mungkin Aluna tak akan pernah merasakan kehilangan sosok ayahnya, batinnya pilu. Melihat keakraban antara Dipta dan Aluna membuat hati Ayunda bergetar. Kenangan tentang Ardan mengalir deras, hingga tanpa sadar air mata jatuh membasahi pipinya."Mama!" seru Aluna riang saat melihatnya. Suara itu, meski belum sempurna, membawa kehangatan yang tak tergantikan.Dipta spontan menoleh ke arah Ayunda. Ia sempat ingin bergeser, tapi tangan kecil Aluna menahan kuat. Ia enggan melepaskan. Ayunda mengamati itu dalam diam—biasanya, Aluna hanya dek
Di tengah malam, Ayunda terjebak dalam kesibukan mengurus perusahaan. Blue Cooperation semakin berkembang pesat, namun sayangnya, ia semakin jarang menghabiskan waktu dengan kedua anaknya, Aluna dan Elvano. Ayunda berangkat sebelum mereka bangun dan pulang saat mereka sudah tidur.Suatu malam, Aluna tiba-tiba demam tinggi. Suster yang menjaga anak-anak itu bergegas menghampiri Ayunda yang sedang duduk di ruang kerjanya."Bu, Aluna badannya panas. Dokter keluarga sedang cuti," ujar suster dengan cemas.Ayunda langsung terlonjak dari kursinya. Tanpa berpikir panjang, ia meraih kunci mobil, dan dengan sigap, ia serta suster segera menyiapkan tas Aluna yang berisi kebutuhan medis. Mereka langsung bergegas menuju rumah sakit.Namun, nasib tidak berpihak pada mereka. Kemacetan panjang menghalangi perjalanan mereka. Aluna semakin demam tinggi, dan Ayunda mulai cemas. Waktu semakin berharga.Dengan keputusan cepat, Ayunda memutuskan untuk berlari
Setelah insiden sindiran Mahesa di acara industri, Ayunda langsung mengadakan rapat darurat internal Blue Cooperation bersama tim PR dan hukum. Ia tahu, satu rumor saja bisa merusak reputasi bertahun-tahun.Dalam ruang rapat itu, Ayunda tampil sebagai pemimpin sejati.“Kita tidak perlu menanggapi dengan emosi. Kita lawan dengan data. Kita kumpulkan semua bukti integritas kita selama proses tender, dari dokumen transparansi hingga rekaman presentasi. Biar publik yang menilai.”Ia juga menghubungi Valterra secara langsung. Dengan tenang, ia menjelaskan situasi dan menyatakan kesediaan Blue Cooperation untuk diaudit secara terbuka jika diperlukan. Respons Valterra mengejutkan—mereka justru memuji keterbukaan Ayunda dan menyebut rumor itu sebagai “upaya kompetitor yang tidak sportif.”Usai rapat, Ayunda menghubungi William. Suaranya berat, tapi tetap tenang. “Wil, Mahesa mulai main kotor. Dia sebar rumor soal aku. Bahkan sampai nyentuh hubungan keluar
Beberapa minggu setelah pertemuan itu, tim gabungan antara Blue Cooperation dan Skylar Group resmi terbentuk. Mereka menamainya Project Horizon, sebuah proyek kolaboratif yang menyatukan kekuatan kreatif dan teknologi dalam satu kampanye besar untuk klien korporat multinasional.Ayunda memimpin tim branding dan strategi dari Blue, sementara Dipta membimbing tim IT dan data engineer dari Skylar. Meski keduanya berasal dari dua dunia berbeda, sinergi mereka terbukti kuat. Setiap ide Ayunda, selalu disempurnakan oleh eksekusi teknis dari tim Dipta. Dan setiap batasan teknologi dari Skylar, selalu bisa dicairkan oleh pendekatan kreatif Ayunda.Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama.Saat mereka menghadiri forum pitching terbuka untuk kontrak kerja sama dari perusahaan retail terbesar di Asia Tenggara—Valterra Group—Ayunda mendapati nama yang tak asing muncul sebagai salah satu perwakilan perusahaan saingan: Mahesa Adikara.Mahesa kini menjabat seb