Di halaman itu seketika terasa mencekam. Wajah Mahesa memerah, matanya berkilat penuh emosi. Sementara itu, Ayunda menatap Ardan dengan keterkejutan yang sulit disembunyikan.
“Kau bohong!” Mahesa menggeram, langkahnya maju dengan tangan terkepal. “Kau hanya ingin mempermalukanku!” Ardan tidak mundur. Dia justru berdiri lebih tegap, menatap Mahesa tanpa gentar. “Aku tidak pernah berbicara tanpa bukti, Mahesa.” Suaranya dingin, nyaris berbisik, tapi penuh keyakinan. Ayunda yang sejak tadi terpaku, akhirnya menggeleng lemah. “Ardan … apa maksud semua ini?” suaranya bergetar, antara bingung dan tidak percaya. Ardan menoleh, menatapnya dengan penuh kelembutan. “Aku tidak bisa diam saja melihatmu diperlakukan seperti ini. Aku tahu kebenaran yang selama ini disembunyikan, dan aku bersumpah akan melindungimu.” Mahesa mendengus, tertawa sinis. “Kau pikir aku akan membiarkanmu membawa wanita ini dan mempermalukanku?” Dia mengangkat dagu, menatap Ardan dengan penuh tantangan. Ardan tersenyum miring. “Bukan aku yang mempermalukanmu, Mahesa. Kau yang melakukannya sendiri.” Mahesa mengatupkan rahangnya, menahan gejolak emosi yang membakar dadanya. Sementara itu, Ayunda mulai menyadari sesuatu—bahwa selama ini ada rahasia besar yang ia tidak ketahui. “Aku tidak akan pergi ke mana-mana sebelum kebenaran yang sesungguhnya terungkap,” ucap Ayunda akhirnya, suaranya kali ini penuh tekad. “Aku ingin tahu, Mahesa … apa yang sebenarnya terjadi lima tahun lalu?” Mahesa terdiam. Rahangnya mengeras. Ada sesuatu dalam sorot matanya—entah kemarahan, kebencian, atau mungkin ketakutan. Ardan meliriknya tajam. “Saatnya menghadapi kenyataan, Mahesa. Tidak ada lagi kebohongan.” Di teras halaman itu terasa semakin sesak oleh ketegangan yang menggantung di udara. Mahesa menggeretakkan giginya, jelas tidak suka dengan arah pembicaraan ini. Sementara itu, Ayunda menatapnya penuh harap, ingin mendapatkan jawaban yang telah mengusik hidupnya selama lima tahun terakhir. “Katakan, Mahesa,” suara Ayunda terdengar lebih mantap. “Apa yang sebenarnya terjadi lima tahun lalu? Kenapa kau meninggalkanku begitu saja?” Mahesa menarik napas dalam, lalu mengalihkan pandangannya ke Ardan. “Jadi ini rencanamu? Memojokkanku dengan masa lalu yang seharusnya sudah mati?” Ardan tidak menunjukkan reaksi apa pun. “Bukan aku yang memulai ini, Mahesa. Kau sendiri yang selalu melarikan diri dari kebenaran.” Mahesa tertawa dingin, lalu melangkah mendekati Ayunda. “Baik, kau ingin tahu kebenarannya?” Suaranya rendah, tetapi penuh sindiran. “Kau mengalami insiden lima tahun lalu, koma selama bertahun-tahun, dan saat kau terbangun ... aku sudah tidak menginginkanmu lagi.” Ayunda merasa dadanya sesak. “Kenapa? Apa aku seburuk itu di matamu?” Mahesa menghela napas panjang, lalu menatap Ayunda dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Karena aku tidak pernah mencintaimu, Ayunda. Seleraku bukan, wanita miskin.” Kata-kata itu menghantam Ayunda seperti badai. Napasnya tercekat, dan matanya mulai memanas. Lima tahun dia koma, berharap ada alasan lain di balik semua ini. Tapi ternyata jawabannya begitu kejam. “Kau bohong,” bisik Ayunda lirih. Mahesa tersenyum miring. “Percaya atau tidak, itu urusanmu. Tapi aku tidak akan mengubah kata-kataku.” Ardan akhirnya angkat bicara. “Cukup, Mahesa. Kau pikir dengan berkata seperti itu kau bisa menyingkirkan Ayunda dengan mudah?” Mahesa menoleh, wajahnya masih dipenuhi keangkuhan. “Dia bukan masalahku lagi.” “Tapi dia masalahku sekarang,” potong Ardan cepat. “Dan aku tidak akan membiarkanmu melukainya lagi.” Ayunda mengalihkan pandangannya ke Ardan, matanya berkaca-kaca. Ada sesuatu dalam sorot mata pria itu yang membuatnya merasa aman—sesuatu yang tidak pernah ia temukan dalam diri Mahesa. “Kalau begitu, bawa dia pergi,” ujar Mahesa akhirnya, suaranya terdengar dingin. “Dan pastikan dia tidak pernah kembali.” Ayunda menatapnya untuk terakhir kalinya, berharap bisa menemukan sedikit saja penyesalan dalam sorot matanya. Namun, yang ia temukan hanyalah kehampaan. Tanpa berkata apa pun lagi, Ardan menggenggam tangan Ayunda, membawanya pergi meninggalkan rumah yang selama ini hanya memberinya luka. Ayunda menangis dalam diam, tubuhnya yang baru saja terbangun dari koma lima tahun justru harus menghadapi kenyataan yang lebih menyakitkan daripada tidurnya yang panjang. Air matanya mengalir tanpa bisa ia tahan, membasahi pipinya yang pucat. Di sisi lain, Ardan tetap diam. Ia ingin mengatakan sesuatu, ingin menghibur, tetapi bibirnya seolah terkunci. Tatapan penuh kebencian yang Ayunda arahkan pada Mahesa tadi membuatnya gentar. Terlebih lagi, ia tahu betul bahwa dirinya bukanlah pria suci—dia adalah orang yang telah menodai Ayunda, bahkan sampai membuatnya hamil. Sesaat kemudian, Ardan menghentikan mobilnya di depan sebuah apartemen mewah. Dengan cepat, ia keluar dan membukakan pintu untuk Ayunda. “Kita sudah sampai,” ucapnya pelan, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya. Ayunda menatap gedung tinggi itu dengan pandangan kosong. Ia tahu Ardan adalah pria sukses—seorang CEO muda yang namanya selalu terpampang di berbagai media bisnis. Tanpa bantuan orang tua, ia membangun semuanya sendiri. Tapi satu hal yang Ayunda tidak tahu, Ardan jarang sekali pulang ke rumah. Ia sudah terlalu muak dengan ulah Mahesa yang selalu membuat kepalanya sakit. “Kenapa membawaku ke sini?” tanya Ayunda akhirnya, suaranya lemah. Ardan terdiam sejenak sebelum menjawab, “Karena mulai sekarang, kau akan tinggal di sini bersamaku.” Ayunda terkejut. “Apa maksudmu?” Lelaki itu menghela napas panjang. “Kau butuh tempat untuk memulai kembali, dan aku ... aku ingin bertanggung jawab.” Ayunda tertawa kecil, tetapi tanpa kebahagiaan. “Tanggung jawab? Ardan, kau hanya ingin menebus rasa bersalahmu, bukan?” Ardan menatapnya dalam, ada sesuatu di matanya yang sulit diartikan. “Mungkin awalnya begitu. Tapi sekarang ... aku ingin lebih dari sekadar menebus kesalahan.” Ayunda mengerutkan kening. “Apa maksudmu?” Ardan menatapnya tanpa ragu. “Aku ingin kau menjadi istriku, Ayunda.” Kata-kata itu membuat dunia Ayunda berhenti sejenak. Ia menatap pria di depannya dengan tatapan tak percaya. Apakah ini hanya caranya untuk memperbaiki segalanya, ataukah ada sesuatu yang lebih dalam? Ayunda tidak tahu. Yang jelas, hatinya belum siap menerima kenyataan lain yang bisa jadi lebih menyakitkan. “Dan satu lagi, aku tidak mau kamu menyebutku dengan sebutan ‘kau.’ Aku bukan ‘kau,’ paham?” Ayunda hanya terdiam. Ia mengikuti langkah gagah Ardan tanpa perlawanan. Dulu, sosok pria itu adalah kakak iparnya—seseorang yang hanya ia kenal dari kejauhan. Pernikahannya dengan Mahesa bahkan baru berusia sehari ketika ia mulai merasakan neraka. Rumah mewah keluarga suaminya yang seharusnya menjadi tempat penuh kebahagiaan justru menjadi awal penderitaannya. Ayunda hanyalah seorang anak yatim piatu, tumbuh besar di panti asuhan dengan harapan suatu hari akan menemukan cinta dan kehangatan keluarga. Namun, harapan itu hancur. Yang ia dapatkan bukan kasih sayang, melainkan nestapa. Tidak ada tempat untuk mengadu. Tidak ada tempat untuk berlindung. Jika ia menolak tawaran Ardan untuk tinggal di apartemennya, lalu ke mana ia harus pergi? Lima tahun bukanlah waktu yang singkat. Dunia sudah banyak berubah, dan ia telah kehilangan begitu banyak momen yang seharusnya menjadi bagian dari hidupnya. Ayunda menunduk, menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan emosi yang berkecamuk. Ardan meliriknya sekilas sebelum membuka pintu apartemen. “Masuklah,” ucapnya, suaranya terdengar lebih lembut kali ini. Ayunda melangkah masuk dengan ragu. Di dalam, apartemen itu terasa begitu luas, modern, tetapi juga sepi. Sama seperti hatinya saat ini—kosong. Saat Ardan menutup pintu di belakang mereka, Ayunda sadar satu hal: mulai detik ini, hidupnya akan berubah. Ia hanya tidak tahu apakah perubahan itu akan membawa kebahagiaan atau justru luka yang lebih dalam. “Di kamar atas, itu kamarmu. Silakan bersihkan diri. Aku akan menghubungi seseorang untuk mengurus semua keperluanmu.” Ayunda hanya mengangguk pelan. Tanpa berkata apa pun, ia melangkah menaiki tangga menuju kamar yang dimaksud. Setiap langkahnya terasa berat, seolah membawa beban yang tak kasat mata. Begitu memasuki kamar, ia mendapati ruangan luas dengan desain minimalis yang elegan. Cahaya lampu temaram menciptakan suasana hangat, tetapi tetap saja, hatinya terasa dingin. Ia berjalan ke arah cermin besar di sudut ruangan dan menatap bayangannya sendiri. Wajahnya pucat, tubuhnya tampak lebih kurus dari yang ia ingat. Lima tahun koma telah merampas sebagian besar hidupnya. Dunia sudah banyak berubah, tapi ia merasa masih terjebak di masa lalu. Dengan tangan gemetar, Ayunda membuka lemari, menemukan setumpuk pakaian yang masih bersegel. Ardan rupanya sudah mempersiapkan ini untuknya. Entah kenapa, perhatian itu justru membuat hatinya semakin sesak. Tanpa pikir panjang, ia melangkah ke kamar mandi dan membiarkan air hangat membasahi tubuhnya. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh bersama aliran air, membawa semua luka yang masih mengendap di hatinya. Sementara itu, di lantai bawah, Ardan duduk di sofa dengan ponsel di tangannya. Ia mengetik pesan singkat kepada asistennya, memerintahkan agar segala kebutuhan Ayunda segera disiapkan. Setelah mengirim pesan, ia menghela napas panjang. Matanya menatap kosong ke arah jendela yang memperlihatkan pemandangan kota di malam hari. Pikirannya penuh dengan berbagai hal—tentang Ayunda, tentang kesalahan masa lalu, dan tentang tanggung jawab yang kini harus ia pikul. Lalu, tanpa sadar, bibirnya berbisik pelan, “Aku tidak akan membiarkanmu terluka lagi, Ayunda.” Di lantai atas, Ayunda yang baru keluar dari kamar mandi berdiri di balkon, menatap langit malam dengan tatapan kosong. Hatinya bertanya-tanya—benarkah ada seseorang yang benar-benar ingin melindunginya? Atau ini hanya awal dari luka yang baru?Ardan mengetuk pintu kamar dengan ringan, menunggu hingga terdengar suara sahutan dari dalam. Sesaat kemudian, pintu terbuka, memperlihatkan Ayunda yang kini mengenakan pakaian bersih. “Dokter akan memeriksa keadaanmu dan juga .…” Ardan terdiam sejenak, ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Apakah Ayunda akan mengizinkannya menyebut bahwa bayi yang dikandungnya adalah anaknya? Ayunda terkejut, refleks tangannya menyentuh perutnya yang masih datar. Tatapannya bertemu dengan Ardan, mencoba mencari kejujuran di matanya. Setelah beberapa detik yang terasa begitu panjang, ia mengangguk pelan, memberi izin. Ardan menghela napas lega. “Baiklah,” ucapnya singkat, lalu memberi isyarat kepada dokter yang sudah menunggu di belakangnya. Seorang dokter wanita melangkah masuk, diikuti beberapa perawat yang membawa perlengkapan medis. “Selamat malam, Nona Ayunda. Saya hanya akan melakukan pemeriksaan ringan untuk memastikan kondisi Anda dan
Ayunda terdiam. Selama ini, ia tidak pernah diperlakukan dengan begitu istimewa. Bahkan untuk makan saja, ia harus menyisihkan sebagian kecil dari upah buruh hariannya."Non, kenapa diam saja? Apakah makanannya tidak sesuai selera?" tanya seorang pelayan dengan nada hati-hati.Ayunda tersenyum getir. Sulit baginya membayangkan bahwa kini, di apartemen mewah ini, ada pelayan yang khusus disediakan hanya untuk mengurus dirinya."Maaf, Non. Jika makanannya tidak cocok, saya bisa menelepon koki agar memasak ulang," lanjut pelayan itu dengan sopan.Ayunda terbiasa menerima pisau dalam hidupnya—pengkhianatan, luka, dan penderitaan. Maka, ketika seseorang tiba-tiba menyodorkan bunga, ia tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Pandangannya beralih ke dua pelayan yang berdiri di sisinya, seolah mengharap jawaban dari mereka.Saat itulah Ardan keluar dari kamar. Pria itu tampak rapi, namun alih-alih marah atau kesal melihat Ayunda yang membeku di meja
Ayunda melirik sekilas majalah tentang furnitur dan desain rumah impian yang tergeletak di meja. Namun, tangannya enggan membalik halaman. Hatinya masih dipenuhi ketakutan. Ia ingin memilih, ingin percaya, tapi bayangan masa lalu terlalu kuat menggema di pikirannya, menghambat langkahnya. Di seberang ruangan, dua pelayan hanya bisa saling bertukar pandang. Sejak tadi, Ayunda hanya duduk di sofa, menatap kosong ke layar televisi yang menyala tanpa benar-benar melihatnya. Namun, ketenangan itu hancur dalam sekejap. "Heh, dasar wanita murahan!" Suara lantang yang penuh amarah menggema di ruangan. Mahesa muncul dengan wajah merah padam, kemarahan terpancar jelas dari sorot matanya. Ia melangkah cepat ke arah Ayunda, lalu tanpa peringatan, menarik tangannya dengan kasar hingga Ayunda terpaksa berdiri. "Bisa-bisanya kamu menghasut Kak Ardan untuk membatalkan semua proyek kerja sama!" suaranya meledak, penuh tuduhan
Ayunda enggan menggenggam tangan Ardan, apalagi di hadapan banyak orang. Kini, mereka tengah memilih desain rumah yang telah disiapkan khusus oleh Ardan."Saya mau rumah yang besar, mewah, halamannya luas, serta keamanannya terjaga," ujar Ardan dengan nada tenang, seolah itu adalah hal paling mudah di dunia.Ayunda menatapnya lagi. Seberapa kaya sebenarnya lelaki ini?Begitu mudahnya ia membayar rumah tanpa sedikit pun mempermasalahkan harga. Sementara dirinya dulu bahkan harus berpikir dua kali sebelum membeli semangkuk bakso. Dan sekarang, ia berdiri di samping seseorang yang seolah memiliki jumlah nominal tak terbatas."Kamu tidak bertanya kenapa aku memilih rumah seperti ini?" tanya Ardan, melirik Ayunda yang masih terdiam.Ayunda mengerjap, menenangkan pikirannya. "Apa alasannya?"Ardan tersenyum kecil. "Karena aku ingin kamu merasa aman. Aku ingin rumah ini menjadi tempat di mana kau tidak perlu khawatir tentang apa pun."
Ayunda menangis terisak-isak. Ia memegang perutnya, berusaha memastikan apakah benar anak yang ada dalam kandungannya sudah tiada. Anak yang keberadaannya baru beberapa hari ia ketahui, namun tetaplah darah dagingnya, bagian dari dirinya.Di lubuk hatinya yang terdalam, tersimpan begitu banyak harapan untuk anak itu. Kini, rasa takut menyelimutinya, begitu kuat hingga ia bahkan tak mampu mengungkapkannya dengan kata-kata.Hatinya semakin perih. Ayunda terisak lebih keras, tubuhnya bergetar dalam kesedihan yang tak tertahankan. Ia ingin menyangkal kenyataan, ingin percaya bahwa semuanya hanya mimpi buruk yang akan berakhir begitu ia membuka mata.Tapi perutnya terasa kosong. Terlalu kosong.Dengan tangan gemetar, ia mengusap lembut permukaannya, berharap ada keajaiban, berharap ia masih bisa merasakan kehidupan kecil di dalamnya. Namun, hening. Tak ada gerakan, tak ada tanda-tanda.Air matanya jatuh semakin deras. Bayangan-bayangan tentang
Tiga tahun berlalu, Ardan tersenyum simpul melihat Ayunda yang melangkah anggun dengan toga kebanggaannya."Hebat kamu, Ayunda!" Ardan tersenyum."Terima kasih, Ar. Semua ini berkat kamu," ujar Ayunda, matanya berbinar penuh rasa syukur.Dua manusia yang dulu terpuruk karena ulah orang lain akhirnya bisa bangkit karena saling menguatkan. Ardan dan Ayunda telah melewati masa-masa sulit, berjuang bersama, saling bahu-membahu untuk kehidupan yang lebih baik. Tiga tahun bukanlah waktu yang singkat, tetapi mereka membuktikan bahwa luka bisa sembuh, dan impian tetap bisa digapai."Mari kita rayakan wisudamu ini di hotel berbintang. Kita makan malam yang mewah," ajak Ardan.Ayunda mengangguk. Tangannya terulur hendak menggenggam tangan Ardan, tetapi lelaki itu lebih dulu melangkah.Ayunda terdiam. Mungkin selama ini, tanpa sadar, ia terlalu sering menolak. Dan sekarang, Ardan sudah terbiasa menjaga jarak. Apakah hati lelaki itu sudah be
Kedua pasangan itu menyaksikan pesta ulang tahun seorang gadis mungil yang berlangsung meriah dengan nuansa pink. Balon-balon memenuhi ruangan, tawa anak-anak menggema, dan para tamu menikmati hidangan yang disajikan dengan mewah.Namun, suasana berubah tegang ketika seorang wanita bergaun merah masuk dengan ekspresi marah. Matanya penuh emosi, dan suaranya menggema di ruangan yang sebelumnya dipenuhi keceriaan."Aku hamil! Kamu seharusnya bertanggung jawab, bukan bersenang-senang di sini!" serunya lantang.Semua mata tertuju pada Mahesa, lelaki yang disebut wanita itu. Namun, bukannya menunjukkan rasa bersalah, Mahesa justru mengangkat tangannya dengan ekspresi bosan. Dengan kekuasaannya, ia memberi isyarat kepada petugas keamanan untuk mengusir wanita itu.Wanita itu meronta, berusaha bertahan, tapi akhirnya dia terseret keluar. Namun, dia tidak menyerah begitu saja. Beberapa menit kemudian, dia kembali lagi, menerobos kerumunan, dan kali ini su
"Setelah tiga tahun menghilang, kamu kembali hanya untuk membawa masalah baru, Ardan?" suara Tuan Surya terdengar tajam, penuh tekanan.Mereka semua kini berdiri di lobi rumah sakit. Mahesa masih tak sadarkan diri setelah dilarikan ke UGD. Mawar, istrinya, duduk dengan wajah murung, matanya terus melirik ke arah Keyla—wanita yang tadi menuntut pertanggungjawaban Mahesa. Kehadirannya hanya menambah beban pikiran Mawar, seolah memberi tamparan bahwa suaminya telah berkhianat secara terang-terangan.Di luar rumah sakit, para wartawan sudah berkerumun, siap mengabadikan setiap momen dari skandal keluarga Atmaja. Ini bukan sekadar berita biasa—ini adalah kejatuhan keluarga yang selama ini dianggap sempurna.Ardan menatap ayahnya tanpa gentar. "Aku tidak datang membawa masalah baru, Ayah. Aku hanya ingin menikmati hidupku. Kehancuran Mahesa bukan salahku—itu akibat dari kebodohan dan kecerobohannya sendiri."Tuan Surya mendengus, menatap putranya seakan
Mahesa awalnya berniat menghampiri ibunya dan ikut mencaci-maki, tetapi ia mengurungkan niatnya saat melihat Ayunda yang kini benar-benar berbeda. Ia tak menyangka bahwa wanita itu telah berubah begitu drastis—menjadi lebih berani daripada yang pernah ia bayangkan."Apa Ardan yang mengajarimu menjadi seperti ini? Dulu kau adalah wanita manis, lembut, dan mudah diinjak-injak tanpa perlawanan. Tapi sekarang ...."Mahesa merasa kesal. Dengan kondisinya yang lumpuh, ia kesulitan merencanakan cara untuk menyingkirkan Keyla dan membalas dendam kepada Ardan. Dulu, ia bahkan berhasil menyingkirkan anak mereka. Lalu, kenapa sekarang mereka kembali lagi?Tatapannya terus tertuju pada Ayunda. Kini, wanita itu bukan hanya berubah sikap, tetapi juga semakin cantik—terlebih dengan kariernya sebagai model ternama."Ah, kenapa dulu aku bisa menyia-nyiakannya?"Ayunda sudah melangkah meninggalkan dapur. Karena Bu Tari sudah dalam kebekuan tidak bisa menja
Ardan menatap dalam-dalam ke mata Ayunda, seolah mencari keyakinan di balik kata-katanya. Hatinya masih dipenuhi kegelisahan, tapi ia tak ingin menunjukkan ketakutannya di depan wanita yang begitu ia cintai."Tentu saja, aku akan selalu melindungimu," jawab Ardan dengan suara yang mantap. "Tapi aku tetap tak bisa mengabaikan bahaya yang mengintai. Mahesa bukan orang sembarangan, dan Danu ... dia lebih licik dari yang kita duga."Ayunda tersenyum lembut, mencoba menenangkan kegundahan suaminya. Ia mengusap pipi Ardan dengan penuh kasih sayang. "Kita sudah melalui banyak hal bersama, Ar. Ini bukan pertama kalinya kita dihadapkan pada situasi sulit. Aku percaya padamu."Ardan menghela napas panjang. Ia tahu Ayunda selalu kuat, tapi kali ini situasinya berbeda. Mahesa dan Danu bukan lawan yang bisa diremehkan. Jika mereka benar-benar merencanakan sesuatu, maka ia harus lebih waspada dari sebelumnya."Baiklah," kata Ardan akhirnya. "Aku akan mencari ta
Ardan memperhatikan ponsel Ayunda yang bergetar di kursi mobil. Nama Mahesa terpampang jelas di layar, membuat hatinya tiba-tiba terasa sesak.Ayunda yang baru saja hendak masuk ke dalam studio berhenti sejenak, menyadari bahwa ia lupa membawa ponselnya. Dengan langkah ringan, ia kembali ke mobil dan membuka pintu."Handphone-ku," ujarnya singkat sambil meraihnya dari jok.Ardan tetap diam, hanya memperhatikan istrinya dengan tatapan penuh arti. Namun, saat Ayunda melihat nama di layar ponselnya, ia hanya tersenyum kecil sebelum menekan tombol ignore."Kenapa nggak diangkat?" tanya Ardan, mencoba terdengar biasa saja.Ayunda memasukkan ponselnya ke dalam tas dan menatap suaminya. "Untuk apa? Aku bilang tadi, aku lebih suka melihat Mahesa menderita lebih lama."Ardan tidak yakin apakah jawaban itu benar-benar tulus, atau hanya Ayunda mencoba menutupi sesuatu. Namun, ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh."Aku akan me
Ayunda sudah siap dengan pakaian rapi yang sangat cocok untuknya. Terlebih lagi, penampilannya semakin anggun dengan balutan tas mewah serta perhiasan sederhana, namun tetap memancarkan aura kecantikan yang elegan—seperti seorang wanita berkelas.Ardan sengaja meluangkan waktu untuk menemani Ayunda seharian, terutama saat tidak ada pekerjaan. Apalagi jika Ayunda menjalani sesi pemotretan untuk produk baru. Bukan karena ia tidak percaya kepada Ayunda, melainkan karena ia ingin selalu berada di dekatnya. Meskipun Ayunda memiliki seorang asisten, Ardan lebih suka jika dirinya sendiri yang menemani.Baru saja mereka menuruni anak tangga terakhir, terdengar keributan dari halaman. Di sana, terlihat Mawar dan Kayla sedang bertengkar hebat."Kamu yang nggak tahu diri! Dasar, sudah menumpang tapi sok-sokan bertingkah seperti tuan rumah!" bentak Mawar.Pakaian keduanya sudah acak-acakan, menandakan bahwa sebelum Ayunda dan Ardan turun, pertengkaran itu mun
"Cerdas, Oma suka pemikiran wanita seperti ini.""Wanita memang harus independen," ujar Oma Ola.Mawar merasa tersinggung. Selama ini, ia hanya menghamburkan uang tanpa berpikir panjang.Keyla terdiam. Bukan hanya kekayaan, keluarga Atmaja juga menginginkan seseorang yang cerdas. Ia menunduk malu.Oma Ola menyesap tehnya dengan tenang, sementara suasana di ruangan itu menjadi sedikit canggung. Mawar berusaha menata perasaannya, mencoba meyakinkan diri bahwa ucapannya tadi tidak ditujukan untuk menyindirnya.Keyla masih menunduk, pikirannya berkecamuk. Ia merasa seakan dinilai dan diukur berdasarkan standar yang selama ini tidak pernah ia pikirkan."Kalian masih muda," lanjut Oma Ola, menatap mereka satu per satu. "Jangan sampai hidup kalian hanya bergantung pada harta tanpa memiliki nilai lebih. Dunia ini luas, banyak hal yang bisa kalian capai dengan usaha dan kecerdasan sendiri."Mawar menggigit bibirnya, merasa semaki
Makan malam pertama di kediaman Atmaja berlangsung dengan penuh ketegangan. Seluruh anggota keluarga hadir, termasuk Mahesa, yang kini sudah diperbolehkan pulang meski harus menggunakan kursi roda. Ia tetap duduk di meja makan, ikut serta dalam kebersamaan yang terasa dingin.Ayunda duduk di sebelah Ardan, sementara Bu Tari sibuk menyiapkan makanan untuk suaminya. Setelahnya, Ayunda dengan tenang menyiapkan makanan untuk Ardan. Gerak-geriknya menjadi pusat perhatian, seolah setiap tindakan yang ia lakukan harus dinilai dan dikomentari.Mahesa, yang duduk di seberang, menatapnya dengan tajam, sorot matanya penuh kemarahan yang tidak tersamarkan."Lakukan apa pun sesukamu," suara Bu Tari tiba-tiba memecah kesunyian. "Tapi sikap makanmu yang manis itu tidak akan pernah menghapus fakta bahwa kamu hanyalah seorang wanita miskin."Ardan yang mendengar itu langsung menatap ibunya dengan sorot tajam, jelas tidak terima. Namun, sebelum ia sempat membuka mu
Ayunda tersenyum. Sudah cukup penderitaan yang ia alami selama ini. Sekarang, saatnya ia bangkit dan melawan siapa pun yang berani menyakitinya. Apalagi, ia memiliki Ar dan sang suami—dua orang yang benar-benar menyayanginya sepenuh hati."Kamu pikir aku akan takut dengan ancaman seperti ini? Hidupku dulu jauh lebih parah, dan aku sudah tidak takut mati lagi."Dengan senyum merekah, Ayunda melangkah keluar dari kamar. Ia tidak gentar tinggal di tempat ini—mental dan tekadnya sudah ia siapkan habis-habisan. Tidak akan ada lagi yang bisa menjatuhkannya.Baru saja keluar, pandangannya langsung tertuju pada Mawar yang tengah mengurus anaknya. Tak lama kemudian, Bu Tari muncul dari balik pintu, menatapnya dengan sinis.Tanpa menghiraukan tatapan itu, Ayunda menuangkan air ke dalam gelas, lalu meminumnya perlahan. Tatapannya kosong, tapi hatinya sudah bulat.Setelah meneguk air, Ayunda meletakkan gelasnya dengan tenang. Ia bisa merasakan atmosf
"Lebih tepatnya, kau bukan darah dagingku!" seru Tuan Surya, suaranya tegas namun penuh emosi."Kamu adalah anak kakakku, Ardan. Victoria."Ardan terpaku. Kata-kata itu bergema di kepalanya, menghantamnya lebih keras dari apa pun yang pernah ia bayangkan. Di usianya yang telah menginjak 35 tahun, ia baru mengetahui kebenaran ini."Surya!" Oma Ola berseru dengan nada marah, wajahnya memerah menahan emosi.Tuan Surya menoleh tajam ke arah ibunya. "Sudah saatnya dia tahu! Sudah saatnya dia sadar akan siapa dirinya sebenarnya!"Ardan merasakan dunia seakan berputar. Dadanya sesak, seolah udara di ruangan itu menghilang. Ia menatap Tuan Surya dengan mata yang penuh kebingungan dan keterkejutan."Tidak ... Itu tidak mungkin." suaranya nyaris berbisik.Oma Ola melangkah maju, tangannya gemetar. "Surya, kau seharusnya tidak mengatakannya dengan cara seperti ini.""Cara seperti ini?" Tuan Surya mendengus. "Berapa lama la
"Setelah tiga tahun menghilang, kamu kembali hanya untuk membawa masalah baru, Ardan?" suara Tuan Surya terdengar tajam, penuh tekanan.Mereka semua kini berdiri di lobi rumah sakit. Mahesa masih tak sadarkan diri setelah dilarikan ke UGD. Mawar, istrinya, duduk dengan wajah murung, matanya terus melirik ke arah Keyla—wanita yang tadi menuntut pertanggungjawaban Mahesa. Kehadirannya hanya menambah beban pikiran Mawar, seolah memberi tamparan bahwa suaminya telah berkhianat secara terang-terangan.Di luar rumah sakit, para wartawan sudah berkerumun, siap mengabadikan setiap momen dari skandal keluarga Atmaja. Ini bukan sekadar berita biasa—ini adalah kejatuhan keluarga yang selama ini dianggap sempurna.Ardan menatap ayahnya tanpa gentar. "Aku tidak datang membawa masalah baru, Ayah. Aku hanya ingin menikmati hidupku. Kehancuran Mahesa bukan salahku—itu akibat dari kebodohan dan kecerobohannya sendiri."Tuan Surya mendengus, menatap putranya seakan