Ardan mengetuk pintu kamar dengan ringan, menunggu hingga terdengar suara sahutan dari dalam. Sesaat kemudian, pintu terbuka, memperlihatkan Ayunda yang kini mengenakan pakaian bersih.
“Dokter akan memeriksa keadaanmu dan juga .…” Ardan terdiam sejenak, ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Apakah Ayunda akan mengizinkannya menyebut bahwa bayi yang dikandungnya adalah anaknya? Ayunda terkejut, refleks tangannya menyentuh perutnya yang masih datar. Tatapannya bertemu dengan Ardan, mencoba mencari kejujuran di matanya. Setelah beberapa detik yang terasa begitu panjang, ia mengangguk pelan, memberi izin. Ardan menghela napas lega. “Baiklah,” ucapnya singkat, lalu memberi isyarat kepada dokter yang sudah menunggu di belakangnya. Seorang dokter wanita melangkah masuk, diikuti beberapa perawat yang membawa perlengkapan medis. “Selamat malam, Nona Ayunda. Saya hanya akan melakukan pemeriksaan ringan untuk memastikan kondisi Anda dan kehamilan Anda dalam keadaan baik,” ujar sang dokter dengan suara lembut. Ayunda kembali mengangguk, lalu perlahan duduk di tepi ranjang. Salah satu perawat membantu memasang alat pemeriksa tekanan darah di lengannya, sementara dokter mulai menyiapkan alat USG portable. Ardan berdiri di dekat jendela, menyilangkan tangan di dada, mengamati proses pemeriksaan dengan ekspresi sulit ditebak. Ketika dokter mengoleskan gel dingin di perut Ayunda, tubuhnya sedikit menegang. Layar kecil di sampingnya mulai menampilkan gambar hitam putih yang berdenyut pelan. “Hm, ini perkembangan yang baik,” kata dokter, tersenyum kecil. “Kandungan Anda sekitar dua belas minggu, detak jantung janin terdengar stabil.” Ayunda menatap layar itu dengan mata berkaca-kaca. Meski masih samar, itu adalah kehidupan kecil yang sedang tumbuh di dalam dirinya. Ardan melangkah mendekat, ikut melihat ke layar. Entah mengapa, dadanya terasa hangat melihat bukti nyata bahwa seorang bayi sedang berkembang di sana. Ia menatap Ayunda, lalu berkata dengan suara pelan, “Itu anak kita.” Ayunda tidak menjawab, hanya menggigit bibirnya, berusaha menahan gejolak emosinya. Sementara itu, dokter menyelesaikan pemeriksaan dan mulai membereskan alat-alatnya. “Secara keseluruhan, kondisi Anda cukup baik, tapi saya tetap menyarankan agar Anda lebih banyak beristirahat dan menghindari stres,” ucapnya. Ardan mengangguk. “Terima kasih, Dok.” Setelah dokter dan perawat pergi, keheningan menyelimuti ruangan. Ayunda masih menatap layar USG yang kini telah dimatikan. “Kamu bisa tenang di sini,” kata Ardan, memecah keheningan. “Aku akan memastikan semuanya baik-baik saja.” Ayunda menoleh, menatap pria itu dengan mata yang penuh keraguan. “Kenapa?” Ardan mengerutkan kening. “Apa maksudmu?” “Kenapa kamu melakukan semua ini untukku?” suaranya nyaris berbisik, tapi sarat dengan emosi. Ardan terdiam sesaat, lalu menjawab dengan jujur, “Karena aku ingin bertanggung jawab. Dan … mungkin lebih dari itu.” Ayunda tidak tahu apakah ia bisa mempercayai kata-kata itu. Tapi untuk saat ini, ia terlalu lelah untuk memikirkan semuanya. Yang ia tahu, bayi ini adalah satu-satunya harapan yang ia miliki. Dulu, Mahesa datang seperti seorang pahlawan. Ia menawarkan cinta, perlindungan, dan masa depan yang indah. Nyatanya, ia justru menjadi orang yang paling dalam menggoreskan luka di hati Ayunda. Sebagai seorang mahasiswi yang masih muda, Ayunda tidak pernah membayangkan akan menikah secepat itu. Tapi Mahesa meyakinkannya. Ia berkata bahwa cinta mereka lebih kuat dari segalanya, bahwa penolakan kedua orang tua Mahesa hanyalah rintangan sementara. Ayunda percaya. Ia menerima lamaran itu dengan harapan bahwa kelak ia akan memiliki kehidupan yang bahagia bersama pria yang dicintainya. Namun, harapan itu hancur dalam waktu kurang dari sehari. Tidak ada pesta pernikahan yang mewah, tidak ada kebahagiaan seperti yang ia bayangkan. Tapi Ayunda tidak masalah, selama ia bersama Mahesa. Hingga malam pertama tiba—dan Mahesa justru menghilang. Ia menunggu dalam diam di kamar pengantin mereka yang sunyi. Malam semakin larut, tetapi suaminya tak juga kembali. Hatinya mulai gelisah, tetapi ia mencoba menenangkan diri, berpikir bahwa mungkin Mahesa hanya sedang memiliki urusan penting. Hingga akhirnya, tepat tengah malam, pintu terbuka. Mahesa masuk, tetapi tidak sendiri. Di sisinya, seorang wanita cantik mengenakan gaun pernikahan mewah, jauh lebih indah dari gaun sederhana yang Ayunda kenakan saat akad tadi pagi. Wanita itu tertawa pelan, tangannya melingkar di lengan Mahesa seolah menandakan kepemilikan. Ayunda membeku di tempatnya. Matanya mencari jawaban di wajah Mahesa, tetapi yang ia temukan hanyalah tatapan dingin tanpa rasa bersalah. "Jangan menatapku seperti itu," kata Mahesa santai. "Bukankah kau tahu sejak awal? Kau hanya pilihan kedua." Puing-puing kenangan itu berputar jelas di benaknya. Sakit di kepalanya semakin menjadi, seolah menekan ingatan itu semakin kuat ke dalam pikirannya. Ayunda meremas rambutnya, matanya terpejam erat. Napasnya tersengal, dadanya terasa sesak. Ia ingin melupakan, tapi kenangan itu terus mengejarnya. Sementara itu, Ardan yang berdiri di ambang pintu mengamati Ayunda dengan cemas. "Ayunda?" Ayunda membuka mata, tatapannya kosong. Ardan segera melangkah mendekat dan menyentuh bahunya dengan lembut. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya pelan. Ayunda menatapnya, lalu mengangguk lemah. "Aku ... hanya pusing." Ardan tidak percaya begitu saja. "Duduklah," katanya, membimbing Ayunda ke tepi ranjang. "Kamu tidak perlu menahan semuanya sendiri, Ayunda." Ayunda tertawa kecil, getir. "Aku sudah terbiasa." Ardan menatapnya lama. Ada sesuatu di dalam dirinya yang ingin melindungi wanita ini lebih dari sekadar rasa tanggung jawab. Tapi ia tidak ingin terburu-buru, tidak ingin memaksakan sesuatu yang mungkin masih belum bisa diterima Ayunda . "Mulai sekarang, kamu tidak perlu terbiasa dengan itu lagi," kata Ardan dengan suara mantap. "Aku ada di sini." Ayunda menatapnya lama, seolah mencari kebenaran dalam kata-kata itu. Namun, apakah ia benar-benar bisa mempercayai seseorang lagi? “Wanita itu dan Mahesa … mereka mendorongku dari tangga ….” Suara Ayunda lirih, nyaris seperti bisikan. Tubuhnya gemetar, kenangan itu kembali menusuk kesadarannya dengan begitu kejam. Pengkhianatan yang ia alami bukan sekadar dikhianati dalam pernikahan, tetapi lebih dari itu—percobaan pembunuhan yang direncanakan oleh suaminya sendiri dan wanita yang ia bawa malam itu. Memang, malam itu mereka bertengkar hebat. Bagaimana mungkin seorang wanita menerima kenyataan bahwa suaminya membawa perempuan lain ke dalam rumah di malam pertama mereka? Hatinya masih penuh harapan saat itu, meski sedikit terkoyak. Ia hanya ingin penjelasan, ingin jawaban. Tetapi yang ia dapatkan adalah cemoohan dan ejekan. “Dasar bodoh,” Mahesa menertawakannya sinis. “Kau pikir aku menikahimu karena cinta? Kau hanya taruhan.” Wanita di sampingnya tertawa meremehkan. “Kasihan sekali. Gadis panti asuhan yang berharap terlalu tinggi.” Air mata Ayunda jatuh saat itu, tapi ia tidak ingin menyerah begitu saja. “Kalau begitu, ceraikan aku sekarang juga!” Namun, yang terjadi selanjutnya justru di luar dugaan. Mahesa mendekat, mencengkeram lengannya erat. “Sayang sekali, aku tidak bisa melakukannya,” bisiknya. “Karena aku butuh alasan untuk menyingkirkanmu … selamanya.” Sebelum Ayunda sempat bereaksi, tangan Mahesa bersama wanita itu mendorongnya dengan keras. Ia ingat bagaimana tubuhnya melayang ke belakang, bagaimana rasa sakit yang luar biasa menyelimuti tubuhnya saat jatuh menghantam anak tangga. Dunia terasa berputar, pandangannya mulai kabur, dan hal terakhir yang ia dengar adalah suara tawa mereka sebelum semuanya menjadi gelap. *** Ayunda tersentak, kembali ke realitas. Tangannya mengepal di atas lutut, berusaha mengendalikan getaran yang masih tersisa di tubuhnya. Ardan yang sedari tadi diam kini menatapnya dengan sorot tajam penuh amarah. Rahangnya mengeras, dan napasnya terdengar berat. “Jadi … mereka yang membuatmu koma?” Ayunda mengangguk lemah. “Mereka menginginkan aku mati.” Ardan mengepalkan tangannya, menahan emosi yang meluap dalam dadanya. Ia tahu Mahesa bukan orang baik, tapi ia tidak pernah menyangka adiknya akan jatuh serendah itu—menyingkirkan istrinya sendiri dengan cara sekeji itu. Ayunda menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Aku … aku tidak ingin mengingatnya lagi,” bisiknya. Ardan menatapnya dalam, lalu duduk di sampingnya. “Aku berjanji, Ayunda … aku tidak akan membiarkan mereka menyakitimu lagi.” Ayunda menoleh, menatapnya ragu. “Apa maksudmu?” Mata Ardan berkilat tajam. “Aku akan memastikan mereka membayar atas apa yang telah mereka lakukan padamu.” Ayunda menelan ludah. Ia tidak tahu apakah ini keputusan yang benar, tapi untuk pertama kalinya sejak ia terbangun, ada sesuatu di dalam dirinya yang merasa … sedikit lebih aman.Ayunda terdiam. Selama ini, ia tidak pernah diperlakukan dengan begitu istimewa. Bahkan untuk makan saja, ia harus menyisihkan sebagian kecil dari upah buruh hariannya."Non, kenapa diam saja? Apakah makanannya tidak sesuai selera?" tanya seorang pelayan dengan nada hati-hati.Ayunda tersenyum getir. Sulit baginya membayangkan bahwa kini, di apartemen mewah ini, ada pelayan yang khusus disediakan hanya untuk mengurus dirinya."Maaf, Non. Jika makanannya tidak cocok, saya bisa menelepon koki agar memasak ulang," lanjut pelayan itu dengan sopan.Ayunda terbiasa menerima pisau dalam hidupnya—pengkhianatan, luka, dan penderitaan. Maka, ketika seseorang tiba-tiba menyodorkan bunga, ia tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Pandangannya beralih ke dua pelayan yang berdiri di sisinya, seolah mengharap jawaban dari mereka.Saat itulah Ardan keluar dari kamar. Pria itu tampak rapi, namun alih-alih marah atau kesal melihat Ayunda yang membeku di meja
Ayunda melirik sekilas majalah tentang furnitur dan desain rumah impian yang tergeletak di meja. Namun, tangannya enggan membalik halaman. Hatinya masih dipenuhi ketakutan. Ia ingin memilih, ingin percaya, tapi bayangan masa lalu terlalu kuat menggema di pikirannya, menghambat langkahnya. Di seberang ruangan, dua pelayan hanya bisa saling bertukar pandang. Sejak tadi, Ayunda hanya duduk di sofa, menatap kosong ke layar televisi yang menyala tanpa benar-benar melihatnya. Namun, ketenangan itu hancur dalam sekejap. "Heh, dasar wanita murahan!" Suara lantang yang penuh amarah menggema di ruangan. Mahesa muncul dengan wajah merah padam, kemarahan terpancar jelas dari sorot matanya. Ia melangkah cepat ke arah Ayunda, lalu tanpa peringatan, menarik tangannya dengan kasar hingga Ayunda terpaksa berdiri. "Bisa-bisanya kamu menghasut Kak Ardan untuk membatalkan semua proyek kerja sama!" suaranya meledak, penuh tuduhan
Ayunda enggan menggenggam tangan Ardan, apalagi di hadapan banyak orang. Kini, mereka tengah memilih desain rumah yang telah disiapkan khusus oleh Ardan."Saya mau rumah yang besar, mewah, halamannya luas, serta keamanannya terjaga," ujar Ardan dengan nada tenang, seolah itu adalah hal paling mudah di dunia.Ayunda menatapnya lagi. Seberapa kaya sebenarnya lelaki ini?Begitu mudahnya ia membayar rumah tanpa sedikit pun mempermasalahkan harga. Sementara dirinya dulu bahkan harus berpikir dua kali sebelum membeli semangkuk bakso. Dan sekarang, ia berdiri di samping seseorang yang seolah memiliki jumlah nominal tak terbatas."Kamu tidak bertanya kenapa aku memilih rumah seperti ini?" tanya Ardan, melirik Ayunda yang masih terdiam.Ayunda mengerjap, menenangkan pikirannya. "Apa alasannya?"Ardan tersenyum kecil. "Karena aku ingin kamu merasa aman. Aku ingin rumah ini menjadi tempat di mana kau tidak perlu khawatir tentang apa pun."
Ayunda menangis terisak-isak. Ia memegang perutnya, berusaha memastikan apakah benar anak yang ada dalam kandungannya sudah tiada. Anak yang keberadaannya baru beberapa hari ia ketahui, namun tetaplah darah dagingnya, bagian dari dirinya.Di lubuk hatinya yang terdalam, tersimpan begitu banyak harapan untuk anak itu. Kini, rasa takut menyelimutinya, begitu kuat hingga ia bahkan tak mampu mengungkapkannya dengan kata-kata.Hatinya semakin perih. Ayunda terisak lebih keras, tubuhnya bergetar dalam kesedihan yang tak tertahankan. Ia ingin menyangkal kenyataan, ingin percaya bahwa semuanya hanya mimpi buruk yang akan berakhir begitu ia membuka mata.Tapi perutnya terasa kosong. Terlalu kosong.Dengan tangan gemetar, ia mengusap lembut permukaannya, berharap ada keajaiban, berharap ia masih bisa merasakan kehidupan kecil di dalamnya. Namun, hening. Tak ada gerakan, tak ada tanda-tanda.Air matanya jatuh semakin deras. Bayangan-bayangan tentang
Tiga tahun berlalu, Ardan tersenyum simpul melihat Ayunda yang melangkah anggun dengan toga kebanggaannya."Hebat kamu, Ayunda!" Ardan tersenyum."Terima kasih, Ar. Semua ini berkat kamu," ujar Ayunda, matanya berbinar penuh rasa syukur.Dua manusia yang dulu terpuruk karena ulah orang lain akhirnya bisa bangkit karena saling menguatkan. Ardan dan Ayunda telah melewati masa-masa sulit, berjuang bersama, saling bahu-membahu untuk kehidupan yang lebih baik. Tiga tahun bukanlah waktu yang singkat, tetapi mereka membuktikan bahwa luka bisa sembuh, dan impian tetap bisa digapai."Mari kita rayakan wisudamu ini di hotel berbintang. Kita makan malam yang mewah," ajak Ardan.Ayunda mengangguk. Tangannya terulur hendak menggenggam tangan Ardan, tetapi lelaki itu lebih dulu melangkah.Ayunda terdiam. Mungkin selama ini, tanpa sadar, ia terlalu sering menolak. Dan sekarang, Ardan sudah terbiasa menjaga jarak. Apakah hati lelaki itu sudah be
Kedua pasangan itu menyaksikan pesta ulang tahun seorang gadis mungil yang berlangsung meriah dengan nuansa pink. Balon-balon memenuhi ruangan, tawa anak-anak menggema, dan para tamu menikmati hidangan yang disajikan dengan mewah.Namun, suasana berubah tegang ketika seorang wanita bergaun merah masuk dengan ekspresi marah. Matanya penuh emosi, dan suaranya menggema di ruangan yang sebelumnya dipenuhi keceriaan."Aku hamil! Kamu seharusnya bertanggung jawab, bukan bersenang-senang di sini!" serunya lantang.Semua mata tertuju pada Mahesa, lelaki yang disebut wanita itu. Namun, bukannya menunjukkan rasa bersalah, Mahesa justru mengangkat tangannya dengan ekspresi bosan. Dengan kekuasaannya, ia memberi isyarat kepada petugas keamanan untuk mengusir wanita itu.Wanita itu meronta, berusaha bertahan, tapi akhirnya dia terseret keluar. Namun, dia tidak menyerah begitu saja. Beberapa menit kemudian, dia kembali lagi, menerobos kerumunan, dan kali ini su
"Setelah tiga tahun menghilang, kamu kembali hanya untuk membawa masalah baru, Ardan?" suara Tuan Surya terdengar tajam, penuh tekanan.Mereka semua kini berdiri di lobi rumah sakit. Mahesa masih tak sadarkan diri setelah dilarikan ke UGD. Mawar, istrinya, duduk dengan wajah murung, matanya terus melirik ke arah Keyla—wanita yang tadi menuntut pertanggungjawaban Mahesa. Kehadirannya hanya menambah beban pikiran Mawar, seolah memberi tamparan bahwa suaminya telah berkhianat secara terang-terangan.Di luar rumah sakit, para wartawan sudah berkerumun, siap mengabadikan setiap momen dari skandal keluarga Atmaja. Ini bukan sekadar berita biasa—ini adalah kejatuhan keluarga yang selama ini dianggap sempurna.Ardan menatap ayahnya tanpa gentar. "Aku tidak datang membawa masalah baru, Ayah. Aku hanya ingin menikmati hidupku. Kehancuran Mahesa bukan salahku—itu akibat dari kebodohan dan kecerobohannya sendiri."Tuan Surya mendengus, menatap putranya seakan
"Lebih tepatnya, kau bukan darah dagingku!" seru Tuan Surya, suaranya tegas namun penuh emosi."Kamu adalah anak kakakku, Ardan. Victoria."Ardan terpaku. Kata-kata itu bergema di kepalanya, menghantamnya lebih keras dari apa pun yang pernah ia bayangkan. Di usianya yang telah menginjak 35 tahun, ia baru mengetahui kebenaran ini."Surya!" Oma Ola berseru dengan nada marah, wajahnya memerah menahan emosi.Tuan Surya menoleh tajam ke arah ibunya. "Sudah saatnya dia tahu! Sudah saatnya dia sadar akan siapa dirinya sebenarnya!"Ardan merasakan dunia seakan berputar. Dadanya sesak, seolah udara di ruangan itu menghilang. Ia menatap Tuan Surya dengan mata yang penuh kebingungan dan keterkejutan."Tidak ... Itu tidak mungkin." suaranya nyaris berbisik.Oma Ola melangkah maju, tangannya gemetar. "Surya, kau seharusnya tidak mengatakannya dengan cara seperti ini.""Cara seperti ini?" Tuan Surya mendengus. "Berapa lama la
Hari-hari Ayunda kini sepenuhnya dipenuhi oleh pekerjaan. Ia tenggelam dalam tumpukan berkas, rapat, dan tanggung jawab sebagai CEO. Beberapa kali ia hampir menekan nomor William di ponselnya—ingin memintanya pulang lebih cepat, ingin sekadar berbagi beban. Namun setiap kali jari-jarinya mendekati tombol panggil, ia menarik napas panjang dan mengurungkan niat itu.Ia tidak boleh egois. William juga punya keluarga. Ia tahu betapa Keyla dan Kenan berharga bagi William, dan ia tidak ingin menjadi orang yang merusak kebahagiaan itu.Kadang-kadang, Ayunda hanya ingin menyerah. Ingin hidup sederhana. Menjadi ibu rumah tangga yang sepenuhnya hadir untuk Aluna dan Elvano. Tapi ia tahu, dirinya tak bisa. Masa depan anak-anaknya bergantung padanya. Ia harus tetap kuat—demi mereka.Malam itu, Ayunda duduk di ruang kerjanya di rumah. Lampu redup menyelimuti ruangan, sementara matanya terpaku pada sebuah bingkai foto yang berdiri di meja—foto Ardan. Suaminya. Lelaki yang pernah menjadi seluruh hid
Ayunda merasa heran dengan keputusan mendadak William yang tiba-tiba mengajukan cuti. Padahal sejak meninggalnya Ardan, bahkan di hari libur pun William masih sering terlihat menyibukkan diri dengan pekerjaan.“Kok dadakan, Wil? Memangnya ada apa?” tanya Ayunda, mencoba menahan nada khawatir di suaranya.William tersenyum tipis, sedikit canggung. “Sepertinya aku dan Kayla ingin program adik untuk Kenan. Jadi kami berencana liburan ... mungkin ke luar negeri selama satu minggu.”Ayunda mengangguk pelan, mencoba mencerna. Ia tahu betul bahwa Keyla memang belum hamil lagi, dan beberapa kali sempat curhat padanya soal keinginannya untuk memberikan seorang adik bagi Kenan. Tapi tetap saja, keputusan ini terlalu tiba-tiba.“Tapi Wil, perusahaan kita sedang menjalin kerja sama penting dengan Skylar Group, dan kamu tahu sendiri hanya kamu atau aku yang bisa handle meeting dengan Dipta. Kita nggak bisa asal lempar ke tim lain.”William menatap Ayunda dengan tatapan memohon. “Tolonglah, Ay. Ken
William kembali datang dengan ide spontan yang seperti biasa sulit ditolak."Gimana kalau akhir pekan ini kita ajak anak-anak piknik? Biar mereka nggak bosan terus-terusan di rumah," usulnya santai saat mereka duduk di ruang tamu Ayunda.Ayunda sempat mengernyitkan dahi. "Piknik? Aku nggak yakin, Will. Aluna baru sembuh, dan Elvano belum tentu nyaman di tempat ramai."Namun belum sempat William menjawab, Keyla langsung menyambar pembicaraan, menarik tangan Ayunda dan merengek manja, "Aunty Yunda, ikut yaa, Kenan juga mau ikut, tapi aku nggak mau kalau nggak ada temen cewek."Ayunda menatap wajah polos Keyla yang memelas. Sulit baginya untuk menolak. Apalagi, Elvano dan Aluna memang jarang sekali pergi ke luar rumah.Ia pun akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah. Tapi cuma sebentar, dan jangan terlalu ramai ya.”Hari piknik pun tiba. Mereka berangkat bersama—Ayunda, William dan keluarganya, serta Dipta yang sejak pagi sudah terlihat
Ayunda sudah kembali ke perusahaan. Pagi itu ia datang lebih awal dari biasanya. Tangannya cekatan membolak-balik beberapa berkas yang sempat tertunda selama Aluna dirawat di rumah sakit. Meski pikirannya belum sepenuhnya tenang, tapi ia tahu, tanggung jawabnya tak bisa lama-lama ia tinggalkan.Saat tengah fokus membaca laporan, suara pintu terbuka membuatnya menoleh. Dipta melangkah masuk tanpa ekspresi terburu-buru. Belakangan ini, lelaki itu memang jauh lebih sering muncul di perusahaannya. Karyawan pun mulai terbiasa dengan kehadirannya, bahkan tak sedikit yang mulai melihat sisi lain dari sang CEO—bukan hanya dingin dan tegas, tapi kini lebih ramah dan terbuka.“Oh, aku kira tadi William,” ucap Ayunda sambil tersenyum tipis.“Maaf mengganggu,” sahut Dipta santai.Ayunda mempersilakan Dipta masuk dan duduk. Ia pun memanggil OB untuk membawakan kopi, seperti biasa.“William belum datang, mungkin sebentar lagi dia muncul,” katanya sambi
Pagi itu, kondisi Aluna sudah jauh lebih baik, meski infus masih terpasang di tangannya. Senyum kecil menghiasi wajah mungilnya. Saat Ayunda baru saja memasuki ruang rawat, langkahnya langsung terhenti. Matanya membelalak saat melihat pemandangan tak terduga—Aluna begitu dekat dengan Dipta, menggenggam tangannya erat seakan tak ingin dilepaskan.Sekilas bayangan Ardan melintas dalam benak Ayunda. Andai saja Ardan masih hidup mungkin Aluna tak akan pernah merasakan kehilangan sosok ayahnya, batinnya pilu. Melihat keakraban antara Dipta dan Aluna membuat hati Ayunda bergetar. Kenangan tentang Ardan mengalir deras, hingga tanpa sadar air mata jatuh membasahi pipinya."Mama!" seru Aluna riang saat melihatnya. Suara itu, meski belum sempurna, membawa kehangatan yang tak tergantikan.Dipta spontan menoleh ke arah Ayunda. Ia sempat ingin bergeser, tapi tangan kecil Aluna menahan kuat. Ia enggan melepaskan. Ayunda mengamati itu dalam diam—biasanya, Aluna hanya dekat dengan Ardan atau William,
Pagi itu, kondisi Aluna sudah jauh lebih baik, meski infus masih terpasang di tangannya. Senyum kecil menghiasi wajah mungilnya. Saat Ayunda baru saja memasuki ruang rawat, langkahnya langsung terhenti. Matanya membelalak saat melihat pemandangan tak terduga—Aluna begitu dekat dengan Dipta, menggenggam tangannya erat seakan tak ingin dilepaskan.Sekilas bayangan Ardan melintas dalam benak Ayunda. Andai saja Ardan masih hidup mungkin Aluna tak akan pernah merasakan kehilangan sosok ayahnya, batinnya pilu. Melihat keakraban antara Dipta dan Aluna membuat hati Ayunda bergetar. Kenangan tentang Ardan mengalir deras, hingga tanpa sadar air mata jatuh membasahi pipinya."Mama!" seru Aluna riang saat melihatnya. Suara itu, meski belum sempurna, membawa kehangatan yang tak tergantikan.Dipta spontan menoleh ke arah Ayunda. Ia sempat ingin bergeser, tapi tangan kecil Aluna menahan kuat. Ia enggan melepaskan. Ayunda mengamati itu dalam diam—biasanya, Aluna hanya dek
Di tengah malam, Ayunda terjebak dalam kesibukan mengurus perusahaan. Blue Cooperation semakin berkembang pesat, namun sayangnya, ia semakin jarang menghabiskan waktu dengan kedua anaknya, Aluna dan Elvano. Ayunda berangkat sebelum mereka bangun dan pulang saat mereka sudah tidur.Suatu malam, Aluna tiba-tiba demam tinggi. Suster yang menjaga anak-anak itu bergegas menghampiri Ayunda yang sedang duduk di ruang kerjanya."Bu, Aluna badannya panas. Dokter keluarga sedang cuti," ujar suster dengan cemas.Ayunda langsung terlonjak dari kursinya. Tanpa berpikir panjang, ia meraih kunci mobil, dan dengan sigap, ia serta suster segera menyiapkan tas Aluna yang berisi kebutuhan medis. Mereka langsung bergegas menuju rumah sakit.Namun, nasib tidak berpihak pada mereka. Kemacetan panjang menghalangi perjalanan mereka. Aluna semakin demam tinggi, dan Ayunda mulai cemas. Waktu semakin berharga.Dengan keputusan cepat, Ayunda memutuskan untuk berlari
Setelah insiden sindiran Mahesa di acara industri, Ayunda langsung mengadakan rapat darurat internal Blue Cooperation bersama tim PR dan hukum. Ia tahu, satu rumor saja bisa merusak reputasi bertahun-tahun.Dalam ruang rapat itu, Ayunda tampil sebagai pemimpin sejati.“Kita tidak perlu menanggapi dengan emosi. Kita lawan dengan data. Kita kumpulkan semua bukti integritas kita selama proses tender, dari dokumen transparansi hingga rekaman presentasi. Biar publik yang menilai.”Ia juga menghubungi Valterra secara langsung. Dengan tenang, ia menjelaskan situasi dan menyatakan kesediaan Blue Cooperation untuk diaudit secara terbuka jika diperlukan. Respons Valterra mengejutkan—mereka justru memuji keterbukaan Ayunda dan menyebut rumor itu sebagai “upaya kompetitor yang tidak sportif.”Usai rapat, Ayunda menghubungi William. Suaranya berat, tapi tetap tenang. “Wil, Mahesa mulai main kotor. Dia sebar rumor soal aku. Bahkan sampai nyentuh hubungan keluar
Beberapa minggu setelah pertemuan itu, tim gabungan antara Blue Cooperation dan Skylar Group resmi terbentuk. Mereka menamainya Project Horizon, sebuah proyek kolaboratif yang menyatukan kekuatan kreatif dan teknologi dalam satu kampanye besar untuk klien korporat multinasional.Ayunda memimpin tim branding dan strategi dari Blue, sementara Dipta membimbing tim IT dan data engineer dari Skylar. Meski keduanya berasal dari dua dunia berbeda, sinergi mereka terbukti kuat. Setiap ide Ayunda, selalu disempurnakan oleh eksekusi teknis dari tim Dipta. Dan setiap batasan teknologi dari Skylar, selalu bisa dicairkan oleh pendekatan kreatif Ayunda.Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama.Saat mereka menghadiri forum pitching terbuka untuk kontrak kerja sama dari perusahaan retail terbesar di Asia Tenggara—Valterra Group—Ayunda mendapati nama yang tak asing muncul sebagai salah satu perwakilan perusahaan saingan: Mahesa Adikara.Mahesa kini menjabat seb