Ardan mengetuk pintu kamar dengan ringan, menunggu hingga terdengar suara sahutan dari dalam. Sesaat kemudian, pintu terbuka, memperlihatkan Ayunda yang kini mengenakan pakaian bersih.
“Dokter akan memeriksa keadaanmu dan juga .…” Ardan terdiam sejenak, ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Apakah Ayunda akan mengizinkannya menyebut bahwa bayi yang dikandungnya adalah anaknya? Ayunda terkejut, refleks tangannya menyentuh perutnya yang masih datar. Tatapannya bertemu dengan Ardan, mencoba mencari kejujuran di matanya. Setelah beberapa detik yang terasa begitu panjang, ia mengangguk pelan, memberi izin. Ardan menghela napas lega. “Baiklah,” ucapnya singkat, lalu memberi isyarat kepada dokter yang sudah menunggu di belakangnya. Seorang dokter wanita melangkah masuk, diikuti beberapa perawat yang membawa perlengkapan medis. “Selamat malam, Nona Ayunda. Saya hanya akan melakukan pemeriksaan ringan untuk memastikan kondisi Anda dan kehamilan Anda dalam keadaan baik,” ujar sang dokter dengan suara lembut. Ayunda kembali mengangguk, lalu perlahan duduk di tepi ranjang. Salah satu perawat membantu memasang alat pemeriksa tekanan darah di lengannya, sementara dokter mulai menyiapkan alat USG portable. Ardan berdiri di dekat jendela, menyilangkan tangan di dada, mengamati proses pemeriksaan dengan ekspresi sulit ditebak. Ketika dokter mengoleskan gel dingin di perut Ayunda, tubuhnya sedikit menegang. Layar kecil di sampingnya mulai menampilkan gambar hitam putih yang berdenyut pelan. “Hm, ini perkembangan yang baik,” kata dokter, tersenyum kecil. “Kandungan Anda sekitar dua belas minggu, detak jantung janin terdengar stabil.” Ayunda menatap layar itu dengan mata berkaca-kaca. Meski masih samar, itu adalah kehidupan kecil yang sedang tumbuh di dalam dirinya. Ardan melangkah mendekat, ikut melihat ke layar. Entah mengapa, dadanya terasa hangat melihat bukti nyata bahwa seorang bayi sedang berkembang di sana. Ia menatap Ayunda, lalu berkata dengan suara pelan, “Itu anak kita.” Ayunda tidak menjawab, hanya menggigit bibirnya, berusaha menahan gejolak emosinya. Sementara itu, dokter menyelesaikan pemeriksaan dan mulai membereskan alat-alatnya. “Secara keseluruhan, kondisi Anda cukup baik, tapi saya tetap menyarankan agar Anda lebih banyak beristirahat dan menghindari stres,” ucapnya. Ardan mengangguk. “Terima kasih, Dok.” Setelah dokter dan perawat pergi, keheningan menyelimuti ruangan. Ayunda masih menatap layar USG yang kini telah dimatikan. “Kamu bisa tenang di sini,” kata Ardan, memecah keheningan. “Aku akan memastikan semuanya baik-baik saja.” Ayunda menoleh, menatap pria itu dengan mata yang penuh keraguan. “Kenapa?” Ardan mengerutkan kening. “Apa maksudmu?” “Kenapa kamu melakukan semua ini untukku?” suaranya nyaris berbisik, tapi sarat dengan emosi. Ardan terdiam sesaat, lalu menjawab dengan jujur, “Karena aku ingin bertanggung jawab. Dan … mungkin lebih dari itu.” Ayunda tidak tahu apakah ia bisa mempercayai kata-kata itu. Tapi untuk saat ini, ia terlalu lelah untuk memikirkan semuanya. Yang ia tahu, bayi ini adalah satu-satunya harapan yang ia miliki. Dulu, Mahesa datang seperti seorang pahlawan. Ia menawarkan cinta, perlindungan, dan masa depan yang indah. Nyatanya, ia justru menjadi orang yang paling dalam menggoreskan luka di hati Ayunda. Sebagai seorang mahasiswi yang masih muda, Ayunda tidak pernah membayangkan akan menikah secepat itu. Tapi Mahesa meyakinkannya. Ia berkata bahwa cinta mereka lebih kuat dari segalanya, bahwa penolakan kedua orang tua Mahesa hanyalah rintangan sementara. Ayunda percaya. Ia menerima lamaran itu dengan harapan bahwa kelak ia akan memiliki kehidupan yang bahagia bersama pria yang dicintainya. Namun, harapan itu hancur dalam waktu kurang dari sehari. Tidak ada pesta pernikahan yang mewah, tidak ada kebahagiaan seperti yang ia bayangkan. Tapi Ayunda tidak masalah, selama ia bersama Mahesa. Hingga malam pertama tiba—dan Mahesa justru menghilang. Ia menunggu dalam diam di kamar pengantin mereka yang sunyi. Malam semakin larut, tetapi suaminya tak juga kembali. Hatinya mulai gelisah, tetapi ia mencoba menenangkan diri, berpikir bahwa mungkin Mahesa hanya sedang memiliki urusan penting. Hingga akhirnya, tepat tengah malam, pintu terbuka. Mahesa masuk, tetapi tidak sendiri. Di sisinya, seorang wanita cantik mengenakan gaun pernikahan mewah, jauh lebih indah dari gaun sederhana yang Ayunda kenakan saat akad tadi pagi. Wanita itu tertawa pelan, tangannya melingkar di lengan Mahesa seolah menandakan kepemilikan. Ayunda membeku di tempatnya. Matanya mencari jawaban di wajah Mahesa, tetapi yang ia temukan hanyalah tatapan dingin tanpa rasa bersalah. "Jangan menatapku seperti itu," kata Mahesa santai. "Bukankah kau tahu sejak awal? Kau hanya pilihan kedua." Puing-puing kenangan itu berputar jelas di benaknya. Sakit di kepalanya semakin menjadi, seolah menekan ingatan itu semakin kuat ke dalam pikirannya. Ayunda meremas rambutnya, matanya terpejam erat. Napasnya tersengal, dadanya terasa sesak. Ia ingin melupakan, tapi kenangan itu terus mengejarnya. Sementara itu, Ardan yang berdiri di ambang pintu mengamati Ayunda dengan cemas. "Ayunda?" Ayunda membuka mata, tatapannya kosong. Ardan segera melangkah mendekat dan menyentuh bahunya dengan lembut. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya pelan. Ayunda menatapnya, lalu mengangguk lemah. "Aku ... hanya pusing." Ardan tidak percaya begitu saja. "Duduklah," katanya, membimbing Ayunda ke tepi ranjang. "Kamu tidak perlu menahan semuanya sendiri, Ayunda." Ayunda tertawa kecil, getir. "Aku sudah terbiasa." Ardan menatapnya lama. Ada sesuatu di dalam dirinya yang ingin melindungi wanita ini lebih dari sekadar rasa tanggung jawab. Tapi ia tidak ingin terburu-buru, tidak ingin memaksakan sesuatu yang mungkin masih belum bisa diterima Ayunda . "Mulai sekarang, kamu tidak perlu terbiasa dengan itu lagi," kata Ardan dengan suara mantap. "Aku ada di sini." Ayunda menatapnya lama, seolah mencari kebenaran dalam kata-kata itu. Namun, apakah ia benar-benar bisa mempercayai seseorang lagi? “Wanita itu dan Mahesa … mereka mendorongku dari tangga ….” Suara Ayunda lirih, nyaris seperti bisikan. Tubuhnya gemetar, kenangan itu kembali menusuk kesadarannya dengan begitu kejam. Pengkhianatan yang ia alami bukan sekadar dikhianati dalam pernikahan, tetapi lebih dari itu—percobaan pembunuhan yang direncanakan oleh suaminya sendiri dan wanita yang ia bawa malam itu. Memang, malam itu mereka bertengkar hebat. Bagaimana mungkin seorang wanita menerima kenyataan bahwa suaminya membawa perempuan lain ke dalam rumah di malam pertama mereka? Hatinya masih penuh harapan saat itu, meski sedikit terkoyak. Ia hanya ingin penjelasan, ingin jawaban. Tetapi yang ia dapatkan adalah cemoohan dan ejekan. “Dasar bodoh,” Mahesa menertawakannya sinis. “Kau pikir aku menikahimu karena cinta? Kau hanya taruhan.” Wanita di sampingnya tertawa meremehkan. “Kasihan sekali. Gadis panti asuhan yang berharap terlalu tinggi.” Air mata Ayunda jatuh saat itu, tapi ia tidak ingin menyerah begitu saja. “Kalau begitu, ceraikan aku sekarang juga!” Namun, yang terjadi selanjutnya justru di luar dugaan. Mahesa mendekat, mencengkeram lengannya erat. “Sayang sekali, aku tidak bisa melakukannya,” bisiknya. “Karena aku butuh alasan untuk menyingkirkanmu … selamanya.” Sebelum Ayunda sempat bereaksi, tangan Mahesa bersama wanita itu mendorongnya dengan keras. Ia ingat bagaimana tubuhnya melayang ke belakang, bagaimana rasa sakit yang luar biasa menyelimuti tubuhnya saat jatuh menghantam anak tangga. Dunia terasa berputar, pandangannya mulai kabur, dan hal terakhir yang ia dengar adalah suara tawa mereka sebelum semuanya menjadi gelap. *** Ayunda tersentak, kembali ke realitas. Tangannya mengepal di atas lutut, berusaha mengendalikan getaran yang masih tersisa di tubuhnya. Ardan yang sedari tadi diam kini menatapnya dengan sorot tajam penuh amarah. Rahangnya mengeras, dan napasnya terdengar berat. “Jadi … mereka yang membuatmu koma?” Ayunda mengangguk lemah. “Mereka menginginkan aku mati.” Ardan mengepalkan tangannya, menahan emosi yang meluap dalam dadanya. Ia tahu Mahesa bukan orang baik, tapi ia tidak pernah menyangka adiknya akan jatuh serendah itu—menyingkirkan istrinya sendiri dengan cara sekeji itu. Ayunda menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Aku … aku tidak ingin mengingatnya lagi,” bisiknya. Ardan menatapnya dalam, lalu duduk di sampingnya. “Aku berjanji, Ayunda … aku tidak akan membiarkan mereka menyakitimu lagi.” Ayunda menoleh, menatapnya ragu. “Apa maksudmu?” Mata Ardan berkilat tajam. “Aku akan memastikan mereka membayar atas apa yang telah mereka lakukan padamu.” Ayunda menelan ludah. Ia tidak tahu apakah ini keputusan yang benar, tapi untuk pertama kalinya sejak ia terbangun, ada sesuatu di dalam dirinya yang merasa … sedikit lebih aman.Ayunda terdiam. Selama ini, ia tidak pernah diperlakukan dengan begitu istimewa. Bahkan untuk makan saja, ia harus menyisihkan sebagian kecil dari upah buruh hariannya."Non, kenapa diam saja? Apakah makanannya tidak sesuai selera?" tanya seorang pelayan dengan nada hati-hati.Ayunda tersenyum getir. Sulit baginya membayangkan bahwa kini, di apartemen mewah ini, ada pelayan yang khusus disediakan hanya untuk mengurus dirinya."Maaf, Non. Jika makanannya tidak cocok, saya bisa menelepon koki agar memasak ulang," lanjut pelayan itu dengan sopan.Ayunda terbiasa menerima pisau dalam hidupnya—pengkhianatan, luka, dan penderitaan. Maka, ketika seseorang tiba-tiba menyodorkan bunga, ia tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Pandangannya beralih ke dua pelayan yang berdiri di sisinya, seolah mengharap jawaban dari mereka.Saat itulah Ardan keluar dari kamar. Pria itu tampak rapi, namun alih-alih marah atau kesal melihat Ayunda yang membeku di meja
Ayunda melirik sekilas majalah tentang furnitur dan desain rumah impian yang tergeletak di meja. Namun, tangannya enggan membalik halaman. Hatinya masih dipenuhi ketakutan. Ia ingin memilih, ingin percaya, tapi bayangan masa lalu terlalu kuat menggema di pikirannya, menghambat langkahnya. Di seberang ruangan, dua pelayan hanya bisa saling bertukar pandang. Sejak tadi, Ayunda hanya duduk di sofa, menatap kosong ke layar televisi yang menyala tanpa benar-benar melihatnya. Namun, ketenangan itu hancur dalam sekejap. "Heh, dasar wanita murahan!" Suara lantang yang penuh amarah menggema di ruangan. Mahesa muncul dengan wajah merah padam, kemarahan terpancar jelas dari sorot matanya. Ia melangkah cepat ke arah Ayunda, lalu tanpa peringatan, menarik tangannya dengan kasar hingga Ayunda terpaksa berdiri. "Bisa-bisanya kamu menghasut Kak Ardan untuk membatalkan semua proyek kerja sama!" suaranya meledak, penuh tuduhan
Ayunda enggan menggenggam tangan Ardan, apalagi di hadapan banyak orang. Kini, mereka tengah memilih desain rumah yang telah disiapkan khusus oleh Ardan."Saya mau rumah yang besar, mewah, halamannya luas, serta keamanannya terjaga," ujar Ardan dengan nada tenang, seolah itu adalah hal paling mudah di dunia.Ayunda menatapnya lagi. Seberapa kaya sebenarnya lelaki ini?Begitu mudahnya ia membayar rumah tanpa sedikit pun mempermasalahkan harga. Sementara dirinya dulu bahkan harus berpikir dua kali sebelum membeli semangkuk bakso. Dan sekarang, ia berdiri di samping seseorang yang seolah memiliki jumlah nominal tak terbatas."Kamu tidak bertanya kenapa aku memilih rumah seperti ini?" tanya Ardan, melirik Ayunda yang masih terdiam.Ayunda mengerjap, menenangkan pikirannya. "Apa alasannya?"Ardan tersenyum kecil. "Karena aku ingin kamu merasa aman. Aku ingin rumah ini menjadi tempat di mana kau tidak perlu khawatir tentang apa pun."
Ayunda menangis terisak-isak. Ia memegang perutnya, berusaha memastikan apakah benar anak yang ada dalam kandungannya sudah tiada. Anak yang keberadaannya baru beberapa hari ia ketahui, namun tetaplah darah dagingnya, bagian dari dirinya.Di lubuk hatinya yang terdalam, tersimpan begitu banyak harapan untuk anak itu. Kini, rasa takut menyelimutinya, begitu kuat hingga ia bahkan tak mampu mengungkapkannya dengan kata-kata.Hatinya semakin perih. Ayunda terisak lebih keras, tubuhnya bergetar dalam kesedihan yang tak tertahankan. Ia ingin menyangkal kenyataan, ingin percaya bahwa semuanya hanya mimpi buruk yang akan berakhir begitu ia membuka mata.Tapi perutnya terasa kosong. Terlalu kosong.Dengan tangan gemetar, ia mengusap lembut permukaannya, berharap ada keajaiban, berharap ia masih bisa merasakan kehidupan kecil di dalamnya. Namun, hening. Tak ada gerakan, tak ada tanda-tanda.Air matanya jatuh semakin deras. Bayangan-bayangan tentang
Tiga tahun berlalu, Ardan tersenyum simpul melihat Ayunda yang melangkah anggun dengan toga kebanggaannya."Hebat kamu, Ayunda!" Ardan tersenyum."Terima kasih, Ar. Semua ini berkat kamu," ujar Ayunda, matanya berbinar penuh rasa syukur.Dua manusia yang dulu terpuruk karena ulah orang lain akhirnya bisa bangkit karena saling menguatkan. Ardan dan Ayunda telah melewati masa-masa sulit, berjuang bersama, saling bahu-membahu untuk kehidupan yang lebih baik. Tiga tahun bukanlah waktu yang singkat, tetapi mereka membuktikan bahwa luka bisa sembuh, dan impian tetap bisa digapai."Mari kita rayakan wisudamu ini di hotel berbintang. Kita makan malam yang mewah," ajak Ardan.Ayunda mengangguk. Tangannya terulur hendak menggenggam tangan Ardan, tetapi lelaki itu lebih dulu melangkah.Ayunda terdiam. Mungkin selama ini, tanpa sadar, ia terlalu sering menolak. Dan sekarang, Ardan sudah terbiasa menjaga jarak. Apakah hati lelaki itu sudah be
Kedua pasangan itu menyaksikan pesta ulang tahun seorang gadis mungil yang berlangsung meriah dengan nuansa pink. Balon-balon memenuhi ruangan, tawa anak-anak menggema, dan para tamu menikmati hidangan yang disajikan dengan mewah.Namun, suasana berubah tegang ketika seorang wanita bergaun merah masuk dengan ekspresi marah. Matanya penuh emosi, dan suaranya menggema di ruangan yang sebelumnya dipenuhi keceriaan."Aku hamil! Kamu seharusnya bertanggung jawab, bukan bersenang-senang di sini!" serunya lantang.Semua mata tertuju pada Mahesa, lelaki yang disebut wanita itu. Namun, bukannya menunjukkan rasa bersalah, Mahesa justru mengangkat tangannya dengan ekspresi bosan. Dengan kekuasaannya, ia memberi isyarat kepada petugas keamanan untuk mengusir wanita itu.Wanita itu meronta, berusaha bertahan, tapi akhirnya dia terseret keluar. Namun, dia tidak menyerah begitu saja. Beberapa menit kemudian, dia kembali lagi, menerobos kerumunan, dan kali ini su
"Setelah tiga tahun menghilang, kamu kembali hanya untuk membawa masalah baru, Ardan?" suara Tuan Surya terdengar tajam, penuh tekanan.Mereka semua kini berdiri di lobi rumah sakit. Mahesa masih tak sadarkan diri setelah dilarikan ke UGD. Mawar, istrinya, duduk dengan wajah murung, matanya terus melirik ke arah Keyla—wanita yang tadi menuntut pertanggungjawaban Mahesa. Kehadirannya hanya menambah beban pikiran Mawar, seolah memberi tamparan bahwa suaminya telah berkhianat secara terang-terangan.Di luar rumah sakit, para wartawan sudah berkerumun, siap mengabadikan setiap momen dari skandal keluarga Atmaja. Ini bukan sekadar berita biasa—ini adalah kejatuhan keluarga yang selama ini dianggap sempurna.Ardan menatap ayahnya tanpa gentar. "Aku tidak datang membawa masalah baru, Ayah. Aku hanya ingin menikmati hidupku. Kehancuran Mahesa bukan salahku—itu akibat dari kebodohan dan kecerobohannya sendiri."Tuan Surya mendengus, menatap putranya seakan
"Lebih tepatnya, kau bukan darah dagingku!" seru Tuan Surya, suaranya tegas namun penuh emosi."Kamu adalah anak kakakku, Ardan. Victoria."Ardan terpaku. Kata-kata itu bergema di kepalanya, menghantamnya lebih keras dari apa pun yang pernah ia bayangkan. Di usianya yang telah menginjak 35 tahun, ia baru mengetahui kebenaran ini."Surya!" Oma Ola berseru dengan nada marah, wajahnya memerah menahan emosi.Tuan Surya menoleh tajam ke arah ibunya. "Sudah saatnya dia tahu! Sudah saatnya dia sadar akan siapa dirinya sebenarnya!"Ardan merasakan dunia seakan berputar. Dadanya sesak, seolah udara di ruangan itu menghilang. Ia menatap Tuan Surya dengan mata yang penuh kebingungan dan keterkejutan."Tidak ... Itu tidak mungkin." suaranya nyaris berbisik.Oma Ola melangkah maju, tangannya gemetar. "Surya, kau seharusnya tidak mengatakannya dengan cara seperti ini.""Cara seperti ini?" Tuan Surya mendengus. "Berapa lama la
Mahesa awalnya berniat menghampiri ibunya dan ikut mencaci-maki, tetapi ia mengurungkan niatnya saat melihat Ayunda yang kini benar-benar berbeda. Ia tak menyangka bahwa wanita itu telah berubah begitu drastis—menjadi lebih berani daripada yang pernah ia bayangkan."Apa Ardan yang mengajarimu menjadi seperti ini? Dulu kau adalah wanita manis, lembut, dan mudah diinjak-injak tanpa perlawanan. Tapi sekarang ...."Mahesa merasa kesal. Dengan kondisinya yang lumpuh, ia kesulitan merencanakan cara untuk menyingkirkan Keyla dan membalas dendam kepada Ardan. Dulu, ia bahkan berhasil menyingkirkan anak mereka. Lalu, kenapa sekarang mereka kembali lagi?Tatapannya terus tertuju pada Ayunda. Kini, wanita itu bukan hanya berubah sikap, tetapi juga semakin cantik—terlebih dengan kariernya sebagai model ternama."Ah, kenapa dulu aku bisa menyia-nyiakannya?"Ayunda sudah melangkah meninggalkan dapur. Karena Bu Tari sudah dalam kebekuan tidak bisa menja
Ardan menatap dalam-dalam ke mata Ayunda, seolah mencari keyakinan di balik kata-katanya. Hatinya masih dipenuhi kegelisahan, tapi ia tak ingin menunjukkan ketakutannya di depan wanita yang begitu ia cintai."Tentu saja, aku akan selalu melindungimu," jawab Ardan dengan suara yang mantap. "Tapi aku tetap tak bisa mengabaikan bahaya yang mengintai. Mahesa bukan orang sembarangan, dan Danu ... dia lebih licik dari yang kita duga."Ayunda tersenyum lembut, mencoba menenangkan kegundahan suaminya. Ia mengusap pipi Ardan dengan penuh kasih sayang. "Kita sudah melalui banyak hal bersama, Ar. Ini bukan pertama kalinya kita dihadapkan pada situasi sulit. Aku percaya padamu."Ardan menghela napas panjang. Ia tahu Ayunda selalu kuat, tapi kali ini situasinya berbeda. Mahesa dan Danu bukan lawan yang bisa diremehkan. Jika mereka benar-benar merencanakan sesuatu, maka ia harus lebih waspada dari sebelumnya."Baiklah," kata Ardan akhirnya. "Aku akan mencari ta
Ardan memperhatikan ponsel Ayunda yang bergetar di kursi mobil. Nama Mahesa terpampang jelas di layar, membuat hatinya tiba-tiba terasa sesak.Ayunda yang baru saja hendak masuk ke dalam studio berhenti sejenak, menyadari bahwa ia lupa membawa ponselnya. Dengan langkah ringan, ia kembali ke mobil dan membuka pintu."Handphone-ku," ujarnya singkat sambil meraihnya dari jok.Ardan tetap diam, hanya memperhatikan istrinya dengan tatapan penuh arti. Namun, saat Ayunda melihat nama di layar ponselnya, ia hanya tersenyum kecil sebelum menekan tombol ignore."Kenapa nggak diangkat?" tanya Ardan, mencoba terdengar biasa saja.Ayunda memasukkan ponselnya ke dalam tas dan menatap suaminya. "Untuk apa? Aku bilang tadi, aku lebih suka melihat Mahesa menderita lebih lama."Ardan tidak yakin apakah jawaban itu benar-benar tulus, atau hanya Ayunda mencoba menutupi sesuatu. Namun, ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh."Aku akan me
Ayunda sudah siap dengan pakaian rapi yang sangat cocok untuknya. Terlebih lagi, penampilannya semakin anggun dengan balutan tas mewah serta perhiasan sederhana, namun tetap memancarkan aura kecantikan yang elegan—seperti seorang wanita berkelas.Ardan sengaja meluangkan waktu untuk menemani Ayunda seharian, terutama saat tidak ada pekerjaan. Apalagi jika Ayunda menjalani sesi pemotretan untuk produk baru. Bukan karena ia tidak percaya kepada Ayunda, melainkan karena ia ingin selalu berada di dekatnya. Meskipun Ayunda memiliki seorang asisten, Ardan lebih suka jika dirinya sendiri yang menemani.Baru saja mereka menuruni anak tangga terakhir, terdengar keributan dari halaman. Di sana, terlihat Mawar dan Kayla sedang bertengkar hebat."Kamu yang nggak tahu diri! Dasar, sudah menumpang tapi sok-sokan bertingkah seperti tuan rumah!" bentak Mawar.Pakaian keduanya sudah acak-acakan, menandakan bahwa sebelum Ayunda dan Ardan turun, pertengkaran itu mun
"Cerdas, Oma suka pemikiran wanita seperti ini.""Wanita memang harus independen," ujar Oma Ola.Mawar merasa tersinggung. Selama ini, ia hanya menghamburkan uang tanpa berpikir panjang.Keyla terdiam. Bukan hanya kekayaan, keluarga Atmaja juga menginginkan seseorang yang cerdas. Ia menunduk malu.Oma Ola menyesap tehnya dengan tenang, sementara suasana di ruangan itu menjadi sedikit canggung. Mawar berusaha menata perasaannya, mencoba meyakinkan diri bahwa ucapannya tadi tidak ditujukan untuk menyindirnya.Keyla masih menunduk, pikirannya berkecamuk. Ia merasa seakan dinilai dan diukur berdasarkan standar yang selama ini tidak pernah ia pikirkan."Kalian masih muda," lanjut Oma Ola, menatap mereka satu per satu. "Jangan sampai hidup kalian hanya bergantung pada harta tanpa memiliki nilai lebih. Dunia ini luas, banyak hal yang bisa kalian capai dengan usaha dan kecerdasan sendiri."Mawar menggigit bibirnya, merasa semaki
Makan malam pertama di kediaman Atmaja berlangsung dengan penuh ketegangan. Seluruh anggota keluarga hadir, termasuk Mahesa, yang kini sudah diperbolehkan pulang meski harus menggunakan kursi roda. Ia tetap duduk di meja makan, ikut serta dalam kebersamaan yang terasa dingin.Ayunda duduk di sebelah Ardan, sementara Bu Tari sibuk menyiapkan makanan untuk suaminya. Setelahnya, Ayunda dengan tenang menyiapkan makanan untuk Ardan. Gerak-geriknya menjadi pusat perhatian, seolah setiap tindakan yang ia lakukan harus dinilai dan dikomentari.Mahesa, yang duduk di seberang, menatapnya dengan tajam, sorot matanya penuh kemarahan yang tidak tersamarkan."Lakukan apa pun sesukamu," suara Bu Tari tiba-tiba memecah kesunyian. "Tapi sikap makanmu yang manis itu tidak akan pernah menghapus fakta bahwa kamu hanyalah seorang wanita miskin."Ardan yang mendengar itu langsung menatap ibunya dengan sorot tajam, jelas tidak terima. Namun, sebelum ia sempat membuka mu
Ayunda tersenyum. Sudah cukup penderitaan yang ia alami selama ini. Sekarang, saatnya ia bangkit dan melawan siapa pun yang berani menyakitinya. Apalagi, ia memiliki Ar dan sang suami—dua orang yang benar-benar menyayanginya sepenuh hati."Kamu pikir aku akan takut dengan ancaman seperti ini? Hidupku dulu jauh lebih parah, dan aku sudah tidak takut mati lagi."Dengan senyum merekah, Ayunda melangkah keluar dari kamar. Ia tidak gentar tinggal di tempat ini—mental dan tekadnya sudah ia siapkan habis-habisan. Tidak akan ada lagi yang bisa menjatuhkannya.Baru saja keluar, pandangannya langsung tertuju pada Mawar yang tengah mengurus anaknya. Tak lama kemudian, Bu Tari muncul dari balik pintu, menatapnya dengan sinis.Tanpa menghiraukan tatapan itu, Ayunda menuangkan air ke dalam gelas, lalu meminumnya perlahan. Tatapannya kosong, tapi hatinya sudah bulat.Setelah meneguk air, Ayunda meletakkan gelasnya dengan tenang. Ia bisa merasakan atmosf
"Lebih tepatnya, kau bukan darah dagingku!" seru Tuan Surya, suaranya tegas namun penuh emosi."Kamu adalah anak kakakku, Ardan. Victoria."Ardan terpaku. Kata-kata itu bergema di kepalanya, menghantamnya lebih keras dari apa pun yang pernah ia bayangkan. Di usianya yang telah menginjak 35 tahun, ia baru mengetahui kebenaran ini."Surya!" Oma Ola berseru dengan nada marah, wajahnya memerah menahan emosi.Tuan Surya menoleh tajam ke arah ibunya. "Sudah saatnya dia tahu! Sudah saatnya dia sadar akan siapa dirinya sebenarnya!"Ardan merasakan dunia seakan berputar. Dadanya sesak, seolah udara di ruangan itu menghilang. Ia menatap Tuan Surya dengan mata yang penuh kebingungan dan keterkejutan."Tidak ... Itu tidak mungkin." suaranya nyaris berbisik.Oma Ola melangkah maju, tangannya gemetar. "Surya, kau seharusnya tidak mengatakannya dengan cara seperti ini.""Cara seperti ini?" Tuan Surya mendengus. "Berapa lama la
"Setelah tiga tahun menghilang, kamu kembali hanya untuk membawa masalah baru, Ardan?" suara Tuan Surya terdengar tajam, penuh tekanan.Mereka semua kini berdiri di lobi rumah sakit. Mahesa masih tak sadarkan diri setelah dilarikan ke UGD. Mawar, istrinya, duduk dengan wajah murung, matanya terus melirik ke arah Keyla—wanita yang tadi menuntut pertanggungjawaban Mahesa. Kehadirannya hanya menambah beban pikiran Mawar, seolah memberi tamparan bahwa suaminya telah berkhianat secara terang-terangan.Di luar rumah sakit, para wartawan sudah berkerumun, siap mengabadikan setiap momen dari skandal keluarga Atmaja. Ini bukan sekadar berita biasa—ini adalah kejatuhan keluarga yang selama ini dianggap sempurna.Ardan menatap ayahnya tanpa gentar. "Aku tidak datang membawa masalah baru, Ayah. Aku hanya ingin menikmati hidupku. Kehancuran Mahesa bukan salahku—itu akibat dari kebodohan dan kecerobohannya sendiri."Tuan Surya mendengus, menatap putranya seakan