Share

Ada Keanehan

Penulis: AgilRizkiani
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-15 12:31:58

Ardan masih terpaku di tempatnya, matanya menatap kosong ke arah Ayunda yang tertidur. Sudah lima tahun berlalu, dan selama itu pula keluarganya tidak pernah benar-benar peduli pada kondisi Ayunda. Mereka menganggap gadis itu hanya beban, sesuatu yang seharusnya tidak pernah ada dalam kehidupan mereka sejak awal.

Dan Mahesa? Lelaki itu bahkan tidak menoleh ke belakang. Sehari setelah pernikahannya dengan Ayunda, ia justru menikahi wanita lain—wanita yang sebenarnya memang sudah menjadi bagian dari hidupnya jauh sebelum Ayunda muncul. Pernikahan dengan Ayunda hanyalah formalitas, pemuas egonya semata, sesuatu yang ia lakukan hanya karena ia bisa.

Ardan tahu semua itu, dan itu membuatnya semakin muak.

Namun, sekarang Ayunda sudah sadar. Ia tidak bisa terus menyembunyikan wanita itu di rumah sakit selamanya. Ia harus mengambil keputusan—keputusan yang mungkin akan mengguncang segalanya.

Ia ingin Ayunda mendapatkan keadilan. Lima tahun yang hilang dari hidupnya, penderitaan yang ia alami, pengkhianatan yang ia terima—semua itu tidak boleh dibiarkan berlalu begitu saja. Tapi di sisi lain, Ardan juga memiliki ketakutannya sendiri. Jika Ayunda mengingat segalanya, jika ia tahu apa yang telah terjadi selama ia tak sadarkan diri ….

Apakah ia masih punya kesempatan untuk tetap berada di sisi wanita itu?

Ardan mengusap wajahnya dengan kasar. Ia harus berpikir jernih. Yang pasti, ia tidak akan menyerahkan Ayunda kepada keluarganya, apalagi membiarkannya kembali ke tangan Mahesa. Tidak. Kali ini, Ayunda akan mendapatkan kebebasannya.

Dan ia, Ardan, akan memastikan bahwa ia tidak kehilangan wanita itu—bagaimanapun caranya.

Ayunda menggeliat pelan, kelopak matanya bergetar sebelum akhirnya terbuka. Tatapan kosongnya menyapu ruangan, seakan mencoba mengenali tempat di mana ia berada. Ardan yang masih duduk di tepi ranjang langsung mendekat, jemarinya menggenggam tangan Ayunda dengan lembut.

“Ayunda …?” Suaranya terdengar pelan, penuh kehati-hatian.

Ayunda menoleh, matanya yang bening menatap wajah Ardan dengan kebingungan. “Ardan?” Ia mengerjap, suaranya terdengar lemah.

Ardan tersenyum kecil, lega karena Ayunda mengenalinya. “Ya, aku di sini.”

Ayunda mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi rasa lemah membuatnya meringis. Ardan buru-buru menopang bahunya, membantu agar ia bisa bersandar dengan nyaman. “Pelan-pelan. Kau sudah lama tertidur, tubuhmu masih butuh waktu untuk pulih.”

Ayunda terdiam sesaat, sebelum akhirnya bertanya, “Berapa lama?”

Ardan menatapnya lekat, lalu menjawab dengan suara pelan, “Lima tahun.”

Mata Ayunda melebar. “Lima … tahun?”

Ardan mengangguk. “Setelah jatuh dari tangga. Sejak saat itu, kau tidak sadarkan diri.”

Wajah Ayunda memucat, pikirannya berusaha mengingat, namun semua terasa kabur. “Aku … tidak ingat apa pun.”

Ardan menggenggam tangannya lebih erat. “Itu tidak masalah. Jangan memaksakan diri.”

Ayunda menatap Ardan, matanya dipenuhi kebingungan. “Kenapa kau ada di sini?”

Ardan terdiam. Ia tahu Ayunda pasti bertanya-tanya, mengapa bukan Mahesa yang duduk di sisinya saat ia sadar, mengapa pria yang menunggunya justru Ardan.

Dengan napas berat, Ardan akhirnya berkata, “Mahesa … dia tidak pernah datang. Sejak hari itu, dia pergi.”

Ayunda terdiam. Sesuatu di dadanya terasa sesak, meskipun entah mengapa tidak ada air mata yang keluar.

Ardan mengangkat tangannya, jemarinya menyentuh lembut pipi Ayunda. “Aku yang menjagamu selama ini, Ayunda. Aku yang selalu ada di sini, menunggu kau kembali.”

Ayunda menatapnya dalam, ada sesuatu di mata pria itu—ketulusan, kepedulian, dan perasaan yang lebih dalam dari sekadar tanggung jawab.

Jemari Ayunda yang masih lemah tiba-tiba bergerak, menggenggam tangan Ardan yang masih menempel di pipinya. Ardan terkejut, tapi ia tidak menarik diri. Sentuhan itu terasa hangat, begitu nyata.

“Terima kasih, Ardan .…” Ayunda berbisik pelan.

Ardan menatapnya, hatinya bergetar. Ia ingin mengatakan sesuatu, ingin mengungkapkan perasaannya yang selama ini ia pendam, tapi ia tahu ini bukan saatnya. Yang terpenting sekarang adalah memastikan Ayunda baik-baik saja, memastikan ia tidak pernah merasakan kesepian lagi.

Dengan penuh kelembutan, Ardan menunduk dan mengecup kening Ayunda. “Aku tidak akan pernah meninggalkanmu.”

Ayunda memejamkan mata, membiarkan kehangatan itu meresap ke dalam hatinya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa … aman.

Ayunda masih diam, merasakan kehangatan yang begitu asing tapi nyaman dari Ardan. Bibirnya sedikit bergetar, bukan karena takut, tetapi karena perasaan yang perlahan mulai muncul di hatinya.

Ardan masih menggenggam tangannya, ibu jarinya dengan lembut mengusap punggung tangan Ayunda. "Kau butuh waktu untuk pulih. Jangan pikirkan hal lain dulu, ya?" ucapnya lembut.

Ayunda menatapnya dalam, ada begitu banyak pertanyaan di kepalanya, tetapi ia terlalu lelah untuk mengungkapkannya sekarang. “Aku merasa … kosong,” bisiknya.

Ardan tersenyum kecil. “Itu wajar. Kau baru saja kembali dari tidur panjang, tapi aku akan ada di sini untukmu. Apa pun yang kau butuhkan, aku akan mengusahakannya.”

Ayunda terdiam sejenak, sebelum akhirnya bertanya, “Apa kau selalu ada di sini selama lima tahun ini?”

Ardan mengangguk tanpa ragu. “Setiap hari.”

Hati Ayunda mencelos. Pria ini … selama ini menunggunya? Menjaganya? Sementara suaminya sendiri bahkan tidak pernah datang? Tapi kakak iparnya yang selalu datang?

Ardan bisa melihat emosi di mata Ayunda, maka dengan hati-hati, ia mengangkat tangannya dan menyentuh pipi wanita itu lagi. “Aku tahu ini sulit. Aku tahu kau pasti banyak bertanya-tanya, tapi kau tidak sendiri, Ayunda. Aku di sini.”

Ayunda mengerjap, lalu menunduk menatap genggaman tangan mereka. Jemarinya terasa kecil di dalam genggaman pria itu, hangat dan melindungi.

Tiba-tiba, perut Ayunda berbunyi pelan.

Ardan terkekeh. “Kau pasti lapar.”

Ayunda tersipu malu, lalu mengangguk pelan. “Sepertinya begitu.”

Ardan berdiri. “Tunggu sebentar, aku akan membawakan makanan untukmu.”

Namun, saat ia hendak melangkah, tangan Ayunda menahan pergelangan tangannya. Ardan menoleh, mendapati Ayunda menatapnya dengan sorot mata yang tak bisa ia artikan.

“Ardan … jangan pergi terlalu lama,” suaranya lirih, nyaris seperti bisikan.

Hati Ardan mencelos. Ia tersenyum hangat, lalu menangkup tangan Ayunda dengan kedua tangannya. “Aku hanya akan pergi sebentar, dan aku pasti kembali.”

Ayunda mengangguk, perlahan melepaskan genggamannya. Ardan menatapnya sekali lagi sebelum beranjak pergi, meninggalkan ruangan dengan jantung yang masih berdegup kencang.

Sementara Ayunda, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, merasakan sesuatu yang hangat di dadanya—sesuatu yang berbeda dari yang pernah ia rasakan sebelumnya.

***

Ardan terkejut melihat Ayunda yang baru keluar dari kamar mandi dengan meringis. "Kenapa, ya, buang air kecil saja rasanya perih sekali?" tanya Ayunda dengan wajah yang sedikit memerah.

Ardan melotot, ia teringat jika sebelum Ayunda sadar, ia sudah berulang kali menyentuhnya tanpa ampun. Ia merasa bersalah dan takut Ayunda akan marah padanya.

"Ayunda, aku ... aku minta maaf," kata Ardan dengan suara yang bergetar.

Ayunda terkejut mendengar kata-kata Ardan. "Minta maaf? Kenapa?" tanya Ayunda dengan rasa penasaran.

Ardan mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Aku ... aku takut aku telah melakukan sesuatu yang tidak benar padamu."

Ayunda terdiam sejenak, lalu wajahnya berubah merah padam. "Apa yang kamu lakukan padaku?" tanya Ayunda dengan suara yang bergetar.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Usai Bangun dari Koma   Ketakutan Ardan

    Ardan terjebak dalam rasa bersalahnya. Ia hampir saja keceplosan mengungkapkan bahwa selama Ayunda koma, ia telah melakukan sesuatu yang seharusnya tidak ia lakukan.'Kali ini, aku harus lebih berhati-hati,' batinnya.Sementara itu, dokter telah melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap Ayunda. Meskipun ia masih belum bisa berdiri tanpa alat bantu, kondisinya telah membaik secara signifikan. Namun, masih banyak sesi fisioterapi yang harus dijalaninya untuk memulihkan kekuatan otot-ototnya yang kaku akibat lima tahun terbaring tanpa sadar.Ayunda menatap Ardan dengan tatapan penuh kebingungan. "Kalau Mahesa sudah tidak menginginkanku lagi, lantas aku harus pulang ke mana, Ardan?" tanyanya lirih.Ardan terdiam, merasakan sesak di dadanya. Ia tahu, Ayunda tidak hanya bertanya tentang tempat tinggal, tetapi juga tentang masa depannya yang kini terasa begitu tak pasti.Ardan menelan ludah, menatap Ayunda yang kini menunggu jawaban darinya. Pertanyaan itu sederhana, tapi mengandung makna ya

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-15
  • Usai Bangun dari Koma   Kehamilan Ayunda

    Ayunda bukanlah wanita bodoh. Sejak pertama kali sadar dari koma, ia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam tubuhnya. Awalnya, ia mencoba mengabaikannya, berpikir bahwa mungkin ini hanyalah efek dari terlalu lama terbaring tanpa gerakan. Namun, semakin hari, ia mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak wajar.Mual yang datang tiba-tiba, rasa lelah yang berlebihan, dan yang paling mengganggu—rasa nyeri di area intimnya.Maka, saat Ardan pergi bekerja, Ayunda memutuskan untuk menemui dokter tanpa memberitahunya.Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya dokter yang menanganinya datang dan memulai pemeriksaan. Ayunda merasa cemas, tapi ia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi pada tubuhnya.“Dok, area intim saya terasa nyeri … dan tadi pagi saya sempat merasa mual,” ucapnya, mencoba tetap tenang.Dokter menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Baik, kita lakukan pemeriksaan lebih lanjut.”Pemeriksaan berjalan cukup lama, dan Ayunda mulai merasa gelisah. Namun, apa yang terjadi selanjutnya

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-15
  • Usai Bangun dari Koma   Pengakuan Terbesar

    Ayunda melangkah dengan sisa tenaga yang ia miliki. Tubuhnya lemah, tapi tekadnya lebih kuat dari sebelumnya. Orang-orang yang berada di sekitar rumah Mahesa menatapnya dengan ekspresi terkejut, seolah melihat hantu yang kembali dari kematian.Wajahnya pucat, tubuhnya kurus, dan tatapannya kosong. Namun, di balik kelemahan itu, ada kobaran amarah yang mulai menyala.Mahesa yang sedang berdiri di depan pintu, tampak membeku di tempatnya. Matanya membelalak saat melihat sosok Ayunda yang berjalan ke arahnya dengan langkah sempoyongan."Kamu masih hidup?"Suara Mahesa terdengar kaget, lebih banyak keterkejutan daripada kebahagiaan. Tidak ada kehangatan, tidak ada rasa rindu—hanya keterkejutan dan mungkin sedikit ketakutan.Ayunda tersenyum getir, matanya menyapu penampilan Mahesa yang tampak semakin menawan, semakin berwibawa. Sedangkan dirinya? Ia benar-benar seperti mayat hidup.“Aku pikir, setidaknya kamu akan menanyakan kabarku. Tapi ternyata … satu-satunya yang bisa keluar dari mulu

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-15
  • Usai Bangun dari Koma   Tanggung Jawab?

    Di halaman itu seketika terasa mencekam. Wajah Mahesa memerah, matanya berkilat penuh emosi. Sementara itu, Ayunda menatap Ardan dengan keterkejutan yang sulit disembunyikan. “Kau bohong!” Mahesa menggeram, langkahnya maju dengan tangan terkepal. “Kau hanya ingin mempermalukanku!” Ardan tidak mundur. Dia justru berdiri lebih tegap, menatap Mahesa tanpa gentar. “Aku tidak pernah berbicara tanpa bukti, Mahesa.” Suaranya dingin, nyaris berbisik, tapi penuh keyakinan. Ayunda yang sejak tadi terpaku, akhirnya menggeleng lemah. “Ardan … apa maksud semua ini?” suaranya bergetar, antara bingung dan tidak percaya. Ardan menoleh, menatapnya dengan penuh kelembutan. “Aku tidak bisa diam saja melihatmu diperlakukan seperti ini. Aku tahu kebenaran yang selama ini disembunyikan, dan aku bersumpah akan melindungimu.” Mahesa mendengus, tertawa sinis. “Kau pikir aku akan membiarkanmu membawa wanita ini dan mempermalukank

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-27
  • Usai Bangun dari Koma   Memori Luka

    Ardan mengetuk pintu kamar dengan ringan, menunggu hingga terdengar suara sahutan dari dalam. Sesaat kemudian, pintu terbuka, memperlihatkan Ayunda yang kini mengenakan pakaian bersih. “Dokter akan memeriksa keadaanmu dan juga .…” Ardan terdiam sejenak, ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Apakah Ayunda akan mengizinkannya menyebut bahwa bayi yang dikandungnya adalah anaknya? Ayunda terkejut, refleks tangannya menyentuh perutnya yang masih datar. Tatapannya bertemu dengan Ardan, mencoba mencari kejujuran di matanya. Setelah beberapa detik yang terasa begitu panjang, ia mengangguk pelan, memberi izin. Ardan menghela napas lega. “Baiklah,” ucapnya singkat, lalu memberi isyarat kepada dokter yang sudah menunggu di belakangnya. Seorang dokter wanita melangkah masuk, diikuti beberapa perawat yang membawa perlengkapan medis. “Selamat malam, Nona Ayunda. Saya hanya akan melakukan pemeriksaan ringan untuk memastikan kondisi Anda dan

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-27
  • Usai Bangun dari Koma   Diratukan?

    Ayunda terdiam. Selama ini, ia tidak pernah diperlakukan dengan begitu istimewa. Bahkan untuk makan saja, ia harus menyisihkan sebagian kecil dari upah buruh hariannya."Non, kenapa diam saja? Apakah makanannya tidak sesuai selera?" tanya seorang pelayan dengan nada hati-hati.Ayunda tersenyum getir. Sulit baginya membayangkan bahwa kini, di apartemen mewah ini, ada pelayan yang khusus disediakan hanya untuk mengurus dirinya."Maaf, Non. Jika makanannya tidak cocok, saya bisa menelepon koki agar memasak ulang," lanjut pelayan itu dengan sopan.Ayunda terbiasa menerima pisau dalam hidupnya—pengkhianatan, luka, dan penderitaan. Maka, ketika seseorang tiba-tiba menyodorkan bunga, ia tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Pandangannya beralih ke dua pelayan yang berdiri di sisinya, seolah mengharap jawaban dari mereka.Saat itulah Ardan keluar dari kamar. Pria itu tampak rapi, namun alih-alih marah atau kesal melihat Ayunda yang membeku di meja

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-27
  • Usai Bangun dari Koma   Kepedulian Ardan

    Ayunda melirik sekilas majalah tentang furnitur dan desain rumah impian yang tergeletak di meja. Namun, tangannya enggan membalik halaman. Hatinya masih dipenuhi ketakutan. Ia ingin memilih, ingin percaya, tapi bayangan masa lalu terlalu kuat menggema di pikirannya, menghambat langkahnya. Di seberang ruangan, dua pelayan hanya bisa saling bertukar pandang. Sejak tadi, Ayunda hanya duduk di sofa, menatap kosong ke layar televisi yang menyala tanpa benar-benar melihatnya. Namun, ketenangan itu hancur dalam sekejap. "Heh, dasar wanita murahan!" Suara lantang yang penuh amarah menggema di ruangan. Mahesa muncul dengan wajah merah padam, kemarahan terpancar jelas dari sorot matanya. Ia melangkah cepat ke arah Ayunda, lalu tanpa peringatan, menarik tangannya dengan kasar hingga Ayunda terpaksa berdiri. "Bisa-bisanya kamu menghasut Kak Ardan untuk membatalkan semua proyek kerja sama!" suaranya meledak, penuh tuduhan

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-28
  • Usai Bangun dari Koma   Kecelakaan Itu

    Ayunda enggan menggenggam tangan Ardan, apalagi di hadapan banyak orang. Kini, mereka tengah memilih desain rumah yang telah disiapkan khusus oleh Ardan."Saya mau rumah yang besar, mewah, halamannya luas, serta keamanannya terjaga," ujar Ardan dengan nada tenang, seolah itu adalah hal paling mudah di dunia.Ayunda menatapnya lagi. Seberapa kaya sebenarnya lelaki ini?Begitu mudahnya ia membayar rumah tanpa sedikit pun mempermasalahkan harga. Sementara dirinya dulu bahkan harus berpikir dua kali sebelum membeli semangkuk bakso. Dan sekarang, ia berdiri di samping seseorang yang seolah memiliki jumlah nominal tak terbatas."Kamu tidak bertanya kenapa aku memilih rumah seperti ini?" tanya Ardan, melirik Ayunda yang masih terdiam.Ayunda mengerjap, menenangkan pikirannya. "Apa alasannya?"Ardan tersenyum kecil. "Karena aku ingin kamu merasa aman. Aku ingin rumah ini menjadi tempat di mana kau tidak perlu khawatir tentang apa pun."

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-28

Bab terbaru

  • Usai Bangun dari Koma   Tentang Ardan

    Mahesa awalnya berniat menghampiri ibunya dan ikut mencaci-maki, tetapi ia mengurungkan niatnya saat melihat Ayunda yang kini benar-benar berbeda. Ia tak menyangka bahwa wanita itu telah berubah begitu drastis—menjadi lebih berani daripada yang pernah ia bayangkan."Apa Ardan yang mengajarimu menjadi seperti ini? Dulu kau adalah wanita manis, lembut, dan mudah diinjak-injak tanpa perlawanan. Tapi sekarang ...."Mahesa merasa kesal. Dengan kondisinya yang lumpuh, ia kesulitan merencanakan cara untuk menyingkirkan Keyla dan membalas dendam kepada Ardan. Dulu, ia bahkan berhasil menyingkirkan anak mereka. Lalu, kenapa sekarang mereka kembali lagi?Tatapannya terus tertuju pada Ayunda. Kini, wanita itu bukan hanya berubah sikap, tetapi juga semakin cantik—terlebih dengan kariernya sebagai model ternama."Ah, kenapa dulu aku bisa menyia-nyiakannya?"Ayunda sudah melangkah meninggalkan dapur. Karena Bu Tari sudah dalam kebekuan tidak bisa menja

  • Usai Bangun dari Koma   Ayunda Badas

    Ardan menatap dalam-dalam ke mata Ayunda, seolah mencari keyakinan di balik kata-katanya. Hatinya masih dipenuhi kegelisahan, tapi ia tak ingin menunjukkan ketakutannya di depan wanita yang begitu ia cintai."Tentu saja, aku akan selalu melindungimu," jawab Ardan dengan suara yang mantap. "Tapi aku tetap tak bisa mengabaikan bahaya yang mengintai. Mahesa bukan orang sembarangan, dan Danu ... dia lebih licik dari yang kita duga."Ayunda tersenyum lembut, mencoba menenangkan kegundahan suaminya. Ia mengusap pipi Ardan dengan penuh kasih sayang. "Kita sudah melalui banyak hal bersama, Ar. Ini bukan pertama kalinya kita dihadapkan pada situasi sulit. Aku percaya padamu."Ardan menghela napas panjang. Ia tahu Ayunda selalu kuat, tapi kali ini situasinya berbeda. Mahesa dan Danu bukan lawan yang bisa diremehkan. Jika mereka benar-benar merencanakan sesuatu, maka ia harus lebih waspada dari sebelumnya."Baiklah," kata Ardan akhirnya. "Aku akan mencari ta

  • Usai Bangun dari Koma   Ketakutan Lagi

    Ardan memperhatikan ponsel Ayunda yang bergetar di kursi mobil. Nama Mahesa terpampang jelas di layar, membuat hatinya tiba-tiba terasa sesak.Ayunda yang baru saja hendak masuk ke dalam studio berhenti sejenak, menyadari bahwa ia lupa membawa ponselnya. Dengan langkah ringan, ia kembali ke mobil dan membuka pintu."Handphone-ku," ujarnya singkat sambil meraihnya dari jok.Ardan tetap diam, hanya memperhatikan istrinya dengan tatapan penuh arti. Namun, saat Ayunda melihat nama di layar ponselnya, ia hanya tersenyum kecil sebelum menekan tombol ignore."Kenapa nggak diangkat?" tanya Ardan, mencoba terdengar biasa saja.Ayunda memasukkan ponselnya ke dalam tas dan menatap suaminya. "Untuk apa? Aku bilang tadi, aku lebih suka melihat Mahesa menderita lebih lama."Ardan tidak yakin apakah jawaban itu benar-benar tulus, atau hanya Ayunda mencoba menutupi sesuatu. Namun, ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh."Aku akan me

  • Usai Bangun dari Koma   Pertengkaran Keluarga Mahesa

    Ayunda sudah siap dengan pakaian rapi yang sangat cocok untuknya. Terlebih lagi, penampilannya semakin anggun dengan balutan tas mewah serta perhiasan sederhana, namun tetap memancarkan aura kecantikan yang elegan—seperti seorang wanita berkelas.Ardan sengaja meluangkan waktu untuk menemani Ayunda seharian, terutama saat tidak ada pekerjaan. Apalagi jika Ayunda menjalani sesi pemotretan untuk produk baru. Bukan karena ia tidak percaya kepada Ayunda, melainkan karena ia ingin selalu berada di dekatnya. Meskipun Ayunda memiliki seorang asisten, Ardan lebih suka jika dirinya sendiri yang menemani.Baru saja mereka menuruni anak tangga terakhir, terdengar keributan dari halaman. Di sana, terlihat Mawar dan Kayla sedang bertengkar hebat."Kamu yang nggak tahu diri! Dasar, sudah menumpang tapi sok-sokan bertingkah seperti tuan rumah!" bentak Mawar.Pakaian keduanya sudah acak-acakan, menandakan bahwa sebelum Ayunda dan Ardan turun, pertengkaran itu mun

  • Usai Bangun dari Koma   Keberanian Ayunda

    "Cerdas, Oma suka pemikiran wanita seperti ini.""Wanita memang harus independen," ujar Oma Ola.Mawar merasa tersinggung. Selama ini, ia hanya menghamburkan uang tanpa berpikir panjang.Keyla terdiam. Bukan hanya kekayaan, keluarga Atmaja juga menginginkan seseorang yang cerdas. Ia menunduk malu.Oma Ola menyesap tehnya dengan tenang, sementara suasana di ruangan itu menjadi sedikit canggung. Mawar berusaha menata perasaannya, mencoba meyakinkan diri bahwa ucapannya tadi tidak ditujukan untuk menyindirnya.Keyla masih menunduk, pikirannya berkecamuk. Ia merasa seakan dinilai dan diukur berdasarkan standar yang selama ini tidak pernah ia pikirkan."Kalian masih muda," lanjut Oma Ola, menatap mereka satu per satu. "Jangan sampai hidup kalian hanya bergantung pada harta tanpa memiliki nilai lebih. Dunia ini luas, banyak hal yang bisa kalian capai dengan usaha dan kecerdasan sendiri."Mawar menggigit bibirnya, merasa semaki

  • Usai Bangun dari Koma   Meja Makan

    Makan malam pertama di kediaman Atmaja berlangsung dengan penuh ketegangan. Seluruh anggota keluarga hadir, termasuk Mahesa, yang kini sudah diperbolehkan pulang meski harus menggunakan kursi roda. Ia tetap duduk di meja makan, ikut serta dalam kebersamaan yang terasa dingin.Ayunda duduk di sebelah Ardan, sementara Bu Tari sibuk menyiapkan makanan untuk suaminya. Setelahnya, Ayunda dengan tenang menyiapkan makanan untuk Ardan. Gerak-geriknya menjadi pusat perhatian, seolah setiap tindakan yang ia lakukan harus dinilai dan dikomentari.Mahesa, yang duduk di seberang, menatapnya dengan tajam, sorot matanya penuh kemarahan yang tidak tersamarkan."Lakukan apa pun sesukamu," suara Bu Tari tiba-tiba memecah kesunyian. "Tapi sikap makanmu yang manis itu tidak akan pernah menghapus fakta bahwa kamu hanyalah seorang wanita miskin."Ardan yang mendengar itu langsung menatap ibunya dengan sorot tajam, jelas tidak terima. Namun, sebelum ia sempat membuka mu

  • Usai Bangun dari Koma   Sikap Ayunda

    Ayunda tersenyum. Sudah cukup penderitaan yang ia alami selama ini. Sekarang, saatnya ia bangkit dan melawan siapa pun yang berani menyakitinya. Apalagi, ia memiliki Ar dan sang suami—dua orang yang benar-benar menyayanginya sepenuh hati."Kamu pikir aku akan takut dengan ancaman seperti ini? Hidupku dulu jauh lebih parah, dan aku sudah tidak takut mati lagi."Dengan senyum merekah, Ayunda melangkah keluar dari kamar. Ia tidak gentar tinggal di tempat ini—mental dan tekadnya sudah ia siapkan habis-habisan. Tidak akan ada lagi yang bisa menjatuhkannya.Baru saja keluar, pandangannya langsung tertuju pada Mawar yang tengah mengurus anaknya. Tak lama kemudian, Bu Tari muncul dari balik pintu, menatapnya dengan sinis.Tanpa menghiraukan tatapan itu, Ayunda menuangkan air ke dalam gelas, lalu meminumnya perlahan. Tatapannya kosong, tapi hatinya sudah bulat.Setelah meneguk air, Ayunda meletakkan gelasnya dengan tenang. Ia bisa merasakan atmosf

  • Usai Bangun dari Koma   Kembali Ke Rumah Atmaja

    "Lebih tepatnya, kau bukan darah dagingku!" seru Tuan Surya, suaranya tegas namun penuh emosi."Kamu adalah anak kakakku, Ardan. Victoria."Ardan terpaku. Kata-kata itu bergema di kepalanya, menghantamnya lebih keras dari apa pun yang pernah ia bayangkan. Di usianya yang telah menginjak 35 tahun, ia baru mengetahui kebenaran ini."Surya!" Oma Ola berseru dengan nada marah, wajahnya memerah menahan emosi.Tuan Surya menoleh tajam ke arah ibunya. "Sudah saatnya dia tahu! Sudah saatnya dia sadar akan siapa dirinya sebenarnya!"Ardan merasakan dunia seakan berputar. Dadanya sesak, seolah udara di ruangan itu menghilang. Ia menatap Tuan Surya dengan mata yang penuh kebingungan dan keterkejutan."Tidak ... Itu tidak mungkin." suaranya nyaris berbisik.Oma Ola melangkah maju, tangannya gemetar. "Surya, kau seharusnya tidak mengatakannya dengan cara seperti ini.""Cara seperti ini?" Tuan Surya mendengus. "Berapa lama la

  • Usai Bangun dari Koma   Oma Ola?

    "Setelah tiga tahun menghilang, kamu kembali hanya untuk membawa masalah baru, Ardan?" suara Tuan Surya terdengar tajam, penuh tekanan.Mereka semua kini berdiri di lobi rumah sakit. Mahesa masih tak sadarkan diri setelah dilarikan ke UGD. Mawar, istrinya, duduk dengan wajah murung, matanya terus melirik ke arah Keyla—wanita yang tadi menuntut pertanggungjawaban Mahesa. Kehadirannya hanya menambah beban pikiran Mawar, seolah memberi tamparan bahwa suaminya telah berkhianat secara terang-terangan.Di luar rumah sakit, para wartawan sudah berkerumun, siap mengabadikan setiap momen dari skandal keluarga Atmaja. Ini bukan sekadar berita biasa—ini adalah kejatuhan keluarga yang selama ini dianggap sempurna.Ardan menatap ayahnya tanpa gentar. "Aku tidak datang membawa masalah baru, Ayah. Aku hanya ingin menikmati hidupku. Kehancuran Mahesa bukan salahku—itu akibat dari kebodohan dan kecerobohannya sendiri."Tuan Surya mendengus, menatap putranya seakan

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status