"Mas, air dinginnya mana?"Hasbi memilih diam di tempat setelah berhasil menutup pintu kamarnya. Bahkan, sama sekali tidak menjawab pertanyaan Bigel karena isi kepalanya sedang berkecamuk."Mas Hasbi?" panggil Bigel sekali lagi. Suaminya itu mendadak berubah menjadi tatapan kosong dan tidak membawa air dingin pesanannya."Bigel," katanya pelan."M-mas, kenapa?"Hasbi mengepalkan kedua tangannya, terlihat lengannya penuh urat kekar yang menonjol. Untuk itu, Bigel tidak berani bersuara lagi. Apa dia melakukan kesalahan sampai suaminya marah? Apa Hasbinya tersinggung saat Bigel meminta tolong untuk mengambil air dingin? Tapi, rasanya bukan itu alasannya."Nanti Mas ambilin air dinginnya, ya. Sebentar saja, biarin Mas berdiri disini dulu. Jangan kemari, Bigel disana saja ... jangan banyak bergerak.""Mas Hasbi ...," lirih Bigel, tanpa sengaja sebulir air matanya jatuh. Ya, ibu hamil yang terlalu sensitif dan berpikir suaminya sedang membencinya.Hasbi memejamkan matanya sebentar, berusaha
"Kau tidak lupa semasa kuliah menjadi penguntitku?" Kalimat itu terus berputar di kepala Bigel sampai membawa wanita itu tiba di rumah minimalis milik Hasbi. Pernikahan yang tidak direncanakan itu mengalir begitu saja seolah-olah semua baik-baik saja. Kini, Bigel berada di kamar yang telah menjadi miliknya. Tepat di sebelah dapur, Bigel merasa seperti dijadikan pembantu rumah tangga. Kamar yang kecil, hanya bermodalkan kipas angin kecil dan juga terdapat beberapa perabot rusak. Rasanya, persis seperti gudang. “Aku penguntit? Haha,” tawa hambar Bigel yang dipaksakan sampai membuat bulir air matanya jatuh ke pipi. “Kenapa aku dituduh penguntit?” Berlarut dalam pikiran konyol sampai tidak sadar pria yang telah menjadi suaminya itu berdiri memperhatikannya di ambang pintu. “Apa telingamu itu rusak?” “Hah! Astaga!” Bigel terduduk dengan raut wajah terkejutnya, buru-buru ia mengeratkan sweater-nya ke tubuh agar tidak terekspos bebas. “Cih!” Hasbi melihat pergerakan barusan dan berdec
“ELRUBY ABYGAEL.”Mengingat sesuatu yang tidak pernah kamu harapkan mungkin akan terjadi. Kadang, bisa menjadi malapetaka atau justru adalah perubahan terbaik dalam hidupmu.Bigel mungkin takut dengan suara keras yang mencekik telinga. Ini bukan kemauannya, tapi dia sadar ... pasti dia yang akan menjadi samsak kemarahan dari pria yang menyandang status sebagai suaminya.“BIGEL,” tekannya lagi. Perasaan yang begitu murka kian menjadi tatkala dia mendapati sosok Bigel yang berdiri di dekat wastafel pencuci piring, namun mengabaikan panggilannya.“A-ada apa, Mas? Saya sedang mencuci piring,” jawab Bigel penuh dengan kehati-hatian.Hasbi pun tanpa banyak basa-basi mendekati Bigel dengan aura penuh emosi, lalu menarik tangan Bigel dengan kasar serta menyeretnya untuk masuk ke dalam kamar. Ketakutannya Bigel, ia berusaha menahan tubuhnya agar tidak terjatuh karena tidak bisa menyeimbangi langkah Hasbi.“Mas! Apaan, sih! Mau kemana?” teriak Bigel, dia berusaha melawan dari suaminya.“Ini kan
“Siapa? Laki-laki siapa yang dimaksud? Apa sekarang masih suka?” Hasbi membungkus tubuhnya dengan selimut tebal pagi ini. Sudah tiga hari dia berbaikan dengan Bigel. Namun, selama itulah dirinya memikirkan laki-laki yang disukai Bigel semasa kuliah dulu. Bigel mengatakan jika dulu dia bukan menguntit Hasbi, hanya kesalahpahaman karena Bigel sedang menunggu laki-laki lain.“Mas Hasbi?” panggil Bigel sembari mengetuk pintu kamar pria itu berulang kali. “Mas, ini ada yang mengantarkan berkas dokumen. Saya taruh dimana? Apa Mas tidak bekerja?” Rentetan pertanyaan mengalir begitu saja dengan matanya tertuju pada sampul dokumen. Tertulis, dokumen pekerjaan itu untuk manajer eksekutif Hasbi Abraham.Hasbi bekerja di sebuah usaha hotel milik mendiang ayahnya, yaitu Rise Hotel. Dia memegang jabatan sebagai manajer eksekutif di bawah pimpinan direktur utama Endrico Abraham, putra sulung Abraham.Suara Bigel tidak digubris karena dia merasa tidak enak badan dan suhu tubuhnya mungkin naik. Harusn
Sudah melewati tiga bulan pernikahan dan Hasbi menyadari jika dia mengalami perubahan yang bertahap dalam kehidupannya. Memiliki Bigel di sisinya, membawa pengaruh positif dan pastinya lebih mudah mengontrol emosi.Setelah Hasbi sakit hari itu, hubungan keduanya menjadi lebih dekat karena Bigel yang secara tidak sengaja memanjakan Hasbi yang sedang lemah kala itu. Kini, Hasbi benar-benar mengerti alasan ibunya bersikeras menikahkan ia dengan Bigel.Hasbi tidak menyatakan jika dia sudah menaruh hati untuk Bigel, tetapi dia terus memikirkan bagaimana perasaannya dengan Irasya? Wanita yang pergi begitu saja dari kehidupannya.“Aku ... menemukan ini di dalam kamarmu.”Bigel yang sedang mengaduk tepung pun terkejut bukan main saat Hasbi memperlihatkan sebuah kotak persegi berwarna biru laut. “Bagaimana b-bisa?” Bagaimana bisa Hasbi menyentuh barang-barangnya di dalam kamar?“Malam itu, pertama dan terakhir, bukan?”“Aku tidak melakukannya dengan laki-laki lain!” sebut Bigel sembari berusah
“Mas, pulangnya masih lama?”“Ini udah di mobil, Bigel. Mas bawain ikan laut pedas yang Bigel pesan. Sabar, ya?”“Aku hari ini pamit pergi ya, Mas. Kedepannya kalau mau antar surat cerai, Mas bisa telepon aku. Kalau anak kita udah lahir, aku juga bakal kasih tau Mas.”Hasbi mengerem secara mendadak karena rasa terkejutnya yang bukan main. “Bigel! Apa-apaan? Apa yang kau katakan barusan! Kau mau kemana? Jangan main-main begini. Aku tidak suka, Bigel!” kecam Hasbi karena rasa marahnya mulai tersulut.“Aku mau pulang ke kampung halaman ibuku.”Hasbi mengusap wajahnya dengan kasar, heran dengan sikap Bigel yang seperti ini. “Kau mau pulang untuk apa? Bukannya sudah tidak ada lagi keluarga disana? Kenapa tiba-tiba minta cerai? Jika memang ingin kesana, kita akan kesana. Bukan cerai seperti ini, Bigel.”“Intinya, aku ingin keluar dari rumah sore ini. Aku akan membawa semua barang-barangku.”“Bigel, apa yang terjadi? Lima bulan pernikahan kita dan sudah dua bulan kita berusaha untuk saling m
“Bigel.”“Mama ....” Bigel mendadak manja saat Iza menghampirinya dengan raut wajah khawatir. Bagaimana tidak, ia datang dengan diantar Hasbi dan membawa dua tas besar.“Apa yang terjadi?”“Bigel mau disini saja, tidak mau di rumah itu lagi.”“Kenapa?” Iza bertanya sembari membawa Bigel kepelukannya dan menatap Hasbi dengan penuh pertanyaan, yang ditatap hanya kebingungan memulai kalimat darimana.“Mas Hasbi mau menikahi Ir—““Tidak, Bigel. Aku tidak bilang seperti itu. Aku hanya akan bertanggung jawab kalau memang benar itu anakku,” sela Hasbi, memotong kalimat Bigel dengan nada tinggi.Iza mengusap pipi Bigel dengan lembut. “Jelaskan pada Mama.”“Irasya kembali, dia mengatakan jika mengandung anak Mas Hasbi. Sudah enam bulan, Mama.”Iza sedikit terkejut dengan jawaban Bigel, tapi melihat respon Hasbi sepertinya putra bungsunya telah melepaskan Irasya dan memilih Bigel. Tentu, ada rasa bahagianya walaupun setelah ini harus menghadapi Irasya.“Kau menghamili anak itu, Hasbi?”“I-itu ..
"Kenapa seperti orang kesurupan! Kau ini gila, Hasbi?""Mama dimana?" Endrico tidak habis pikir dengan kelakuan adik bungsunya tersebut. "Bigel sedang hamil, butuh ketenangan dan kau malah merusuh. Apa kau tidak bekerja?" "Kau sendiri memangnya tidak bekerja? Mentang-mentang ada Bigel sengaja berlama-lama di rumah? Kau pikir aku tidak tau jika kau menyukai istriku?" "Tutup mulutmu, Hasbi.""Mulutmu yang harus ditutup," kecam Hasbi, dia meninggalkan Endrico yang berada di ruang keluarga dan menuju ruangan santai milik ibunya, tepat dekat teras belakang.Hasbi melihat sang ibu yang tengah berdiri sambil memperhatikan tanaman hiasnya yang mulai usang. "Mama!"Iza berlipat tangan di dada, dia memperhatikan putranya lamat-lamat. "Teriakanmu terdengar sampai disini. Tidak bisa sedikit lebih sopan pada kakak tertuamu?""Itu tidak penting, Mama. Hasbi lebih kasihan pada tindakan Mama yang keterlaluan itu.""Ini belum jam makan siang, kau tidak bekerja? Atau baru sudah menyelesaikan urusanm