Sudah melewati tiga bulan pernikahan dan Hasbi menyadari jika dia mengalami perubahan yang bertahap dalam kehidupannya. Memiliki Bigel di sisinya, membawa pengaruh positif dan pastinya lebih mudah mengontrol emosi.
Setelah Hasbi sakit hari itu, hubungan keduanya menjadi lebih dekat karena Bigel yang secara tidak sengaja memanjakan Hasbi yang sedang lemah kala itu. Kini, Hasbi benar-benar mengerti alasan ibunya bersikeras menikahkan ia dengan Bigel.
Hasbi tidak menyatakan jika dia sudah menaruh hati untuk Bigel, tetapi dia terus memikirkan bagaimana perasaannya dengan Irasya? Wanita yang pergi begitu saja dari kehidupannya.
“Aku ... menemukan ini di dalam kamarmu.”
Bigel yang sedang mengaduk tepung pun terkejut bukan main saat Hasbi memperlihatkan sebuah kotak persegi berwarna biru laut. “Bagaimana b-bisa?” Bagaimana bisa Hasbi menyentuh barang-barangnya di dalam kamar?
“Malam itu, pertama dan terakhir, bukan?”
“Aku tidak melakukannya dengan laki-laki lain!” sebut Bigel sembari berusaha meraih kotak persegi tersebut. Namun, Hasbi menahannya dan merengkuh pinggul Bigel dengan hati-hati.
“Bukan begitu, aku tidak berpikir seperti itu. Aku hanya memastikan jika itu benar-benar milikmu.”
“Pertanyaanmu seolah-olah meragukanku terhadap anak kita.”
Ada getaran yang mendebarkan jantung Hasbi saat dua kata terakhir itu terdengar di telinganya. “Anak k-kita. Ini nyata,” ungkapnya dengan sedikit senyuman terpatri di belah bibirnya.
Buru-buru Bigel melepaskan diri dan merebut paksa kotak persegi miliknya tersebut. “Maksudku, ini anakku.”
“Anakku juga, Bigel,” balas Hasbi. Ketika tangannya ingin meraih Bigel kembali, Bigel pun menolak dengan sedikit mundur ke belakang.
Sorot mata Bigel semakin meneduh dan lembut. “Kau meragukannya.”
“Jika pertanyaanku tidak seperti itu, kau mungkin akan menjawab lain, kan?”
Bigel menggeleng, dia menyangkal tuduhan Hasbi. “Tidak.”
“Lantas, kenapa tidak memberitahuku. Dua bulan Bigel ....”
“Aku hanya punya anak ini di dunia karena kita akan bercerai saat Irasya nanti kembali,” lirih Bigel. Ya, menurutnya kehadiran dia dan bayinya sama sekali bukan bagian penting dalam hidup Hasbi.
“Bigel, apa yang kau katakan. Pikiranmu—“
“Kenapa? Kenyataannya memang begitu kan, Mas? Kami berdua bukan bagian dalam kehidupan Mas. Apa Mas bisa berkata jujur kalau suatu saat Irasya kembali, Mas tetap akan memilih kami?”
“A- aku ....”
Bigel mengangguk paham dengan gugupnya Hasbi. Walaupun ia merasa kecewa, bukan berarti dia tidak ingat jika Irasya masih menjadi tahta nomor satu Hasbi.
“Aku tidak apa-apa dengan situasi ini, asal anakku terus bersamaku,” ucap Bigel pelan sekali karena berusaha tegar. Jatuh cintanya Bigel selalu di waktu yang salah.
“Tentu aku akan bertanggung jawab dan menjaganya bersamamu, Bigel. Aku tidak akan menelantarkan anak yang sama sekali tidak salah.”
“Lalu, jika Irasya kembali? Apa ucapan itu masih bisa aku pegang?”
Hasbi diam, dia belum menemukan kemana arah hatinya menetap. Semuanya, terasa begitu cepat dan seperti Hasbi tidak diberi istirahat sebentar.
“Tidak bisa menjawab, kan? Atau memang tidak akan punya jawaban untuk itu,” desak Bigel.
“J-jujur ... aku tidak bisa mengungkapkan isi hatiku karena ini terlalu cepat. Tapi, aku tidak ingin melukaimu, Bigel. Aku juga tidak punya jawaban untuk Irasya.”
“Aku sudah siap dengan jawabannya. Terima kasih sudah berlaku baik padaku, Mas Hasbi.” Bigel membawa adonan tepungnya untuk disimpan ke dalam kulkas. Niatnya untuk membuat pisang goreng pun batal dan memilih pergi ke kamarnya setelah mencuci tangan.
Hasbi diam saja dan membiarkan wanita itu untuk sendirian saat ini, tidak apa membiarkan wanita itu menjadi kecewa dengan jawaban Hasbi yang terkesan meragukan.
***
“Kau tidak mau bertemu sejak kejadian kemarin siang. Kau tidak lapar?”
Bigel menggeleng singkat. “Aku sudah makan saat kau pergi bekerja. Aku tidak bisa memasak hari ini. Silahkan pergi membeli diluar,” ucap Bigel sembari terus membelakangi Hasbi yang berdiri tegap memperhatikannya.
“Kau keluar sendiri?”
Lagi, Bigel menggeleng sebagai jawaban.
“Lalu?” tanya Hasbi kembali.
Namun, Bigel memilih tidak menjawab.
Hasbi mendekati Bigel dan membawa wanita itu untuk duduk menghadapnya. “Coba jawab.” Kali ini, suaranya meninggi dengan raut wajah yang marah dan guratan di lehernya yang mengeras.
“Apa?”
“Endrico kesini, aku tahu. Siapa yang mengizinkan laki-laki itu masuk ke rumahku? Ini rumahku, Bigel.”
Bigel menjawab dengan peluh keringat yang membanjiri seluruh wajahnya. “Mana aku tahu, Mas Rico mungkin tahu password rumah ini dan masuk begitu saja. Kakakmu mencarimu, bukan mencariku.”
Hasbi menurunkan emosinya, Bigel tidak bisa disalahkan karena memang Endrico mengetahui password rumahnya. “Apa yang kalian bicarakan?” Tidak bisa dipungkiri mata Hasbi memperhatikan gerak peluh keringat Bigel yang turun ke leher sampai hilang di antara lipatan dadanya Bigel. Pikiran nafsunya entah mengapa begitu menguasai saat ini.
Sadar dengan apa yang sedang Hasbi perhatikan, Bigel berusaha menutupi area sensitif yang mengundang nafsu sang suami. “Saat tahu kau tidak ada, dia berniat pulang. Tapi, dia tahu aku belum makan dan dia memesankan makanan. Itu s-saja ....”
“Kau kenapa berkeringat?” Hasbi langsung mengganti topik pembicaraan karena baginya sudah tidak penting lagi selain keringat sexy milik Bigel.
“Bawaan hamil dan cuaca panas. Kipas itu sudah loyo. Aku akan mengusap keringatku dengan handuk.”
“Ke kamarku saja, disana sejuk ber-AC.”
“Tidak mau.”
Hasbi mulai menghapus peluh keringat Bigel dengan santai dan sesekali mengusap pipi wanita itu. “Kamar ini memang tidak layak dan aku yang salah. Mulai sekarang, kau tidur denganku di kamarku karena lebih nyaman.”
“Tapi, aku tidak bisa.”
“Tidak usah merasa tidak enak. Aku tidak akan bisa tenang kalau istri dan anakku tidur di tempat yang tidak nyaman.”
Bigel menjauhkan tangan Hasbi dari wajahnya. “Kenapa Mas jadi seperti ini? Jangan baik padaku atau aku akan meminta lebih dari ini.”
“Lebih dari ini? Seperti apa? Seperti ini?” Hasbi mencium pipi Bigel dengan gamblang.
“Hah?” Respon Bigel yang terkejut dengan pipinya yang mulai merah merona.
Hasbi terkekeh dengan ekspresi Bigel yang menurutnya lucu. “Ayo, ke kamar,” ajaknya kembali sembari berdiri dan menarik tangan Bigel dengan pelan.
“Tidak apa-apa aku tidur disana?”
“Aku yang meminta, kan? Ayo.”
Bigel memakai sandal rumahnya dan mengikuti langkah Hasbi yang membawanya masuk ke dalam kamar pria itu. Tidak banyak basi, Hasbi membuka selimut tebal pada kasurnya dan menyuruh Bigel untuk berbaring disana.
“Aku akan ke kantor lagi setelah kau tidur.”
“Tidak usah menunggu,” balas Bigel.
Hasbi diam, pikirnya dia tetap akan menunggu sampai Bigel terlelap.
“Kenapa?” tanya Bigel saat Hasbi memilih tidak bersuara lagi, tapi fokusnya selalu pada leher Bigel. “Apa yang Mas lihat?”
Hasbi menundukkan kepalanya dan seraya mendekat hingga membuat batasan tipis antara wajahnya dan juga wajah Bigel. “Aku, rindu ini.”
Bigel tidak dapat berkutik untuk sesaat, tapi sekaligus jantungnya berdebar tidak karuan. Menurutnya, bukankah ini kesempatan agar Hasbi semakin terikat padanya?
Cup!
Bigel mencium bibir Hasbi lebih dulu, sekilas untuk membuat adrenalin pria itu semakin menggebu-gebu memakan Bigel.
“Bigel.”
“Jika lebih dari ini, kau mungkin tidak jadi ke kantor lagi.”
“Tidak masalah,” sungutnya dengan napas turun naik menerpa permukaan wajah Bigel.
“Yakin? Bagaimana jika aku menginginkanmu untuk diriku sendiri setelah ini?”
Bahkan, telinga Hasbi mendengarnya. Tapi, dia tidak menjawab.
Bigel kembali memancing nafsu Hasbi. “Pikirkan, setelah ini aku tidak akan membiarkan wanita manapun merebutmu dariku. Kau bisa menolak in—“
Kalimat itu terpotong begitu saja saat Hasbi menyatukan kedua bibir mereka dengan lembut. Euphoria yang dirasakan Bigel juga menyalur ke dalam hasratnya. Seiring Bigel yang mengalungkan tangannya pada leher Hasbi, saat itulah keduanya memejamkan mata dan berfokus pada bunga-bunga yang bermekaran di dalam hati.
***
“Mas, pulangnya masih lama?”“Ini udah di mobil, Bigel. Mas bawain ikan laut pedas yang Bigel pesan. Sabar, ya?”“Aku hari ini pamit pergi ya, Mas. Kedepannya kalau mau antar surat cerai, Mas bisa telepon aku. Kalau anak kita udah lahir, aku juga bakal kasih tau Mas.”Hasbi mengerem secara mendadak karena rasa terkejutnya yang bukan main. “Bigel! Apa-apaan? Apa yang kau katakan barusan! Kau mau kemana? Jangan main-main begini. Aku tidak suka, Bigel!” kecam Hasbi karena rasa marahnya mulai tersulut.“Aku mau pulang ke kampung halaman ibuku.”Hasbi mengusap wajahnya dengan kasar, heran dengan sikap Bigel yang seperti ini. “Kau mau pulang untuk apa? Bukannya sudah tidak ada lagi keluarga disana? Kenapa tiba-tiba minta cerai? Jika memang ingin kesana, kita akan kesana. Bukan cerai seperti ini, Bigel.”“Intinya, aku ingin keluar dari rumah sore ini. Aku akan membawa semua barang-barangku.”“Bigel, apa yang terjadi? Lima bulan pernikahan kita dan sudah dua bulan kita berusaha untuk saling m
“Bigel.”“Mama ....” Bigel mendadak manja saat Iza menghampirinya dengan raut wajah khawatir. Bagaimana tidak, ia datang dengan diantar Hasbi dan membawa dua tas besar.“Apa yang terjadi?”“Bigel mau disini saja, tidak mau di rumah itu lagi.”“Kenapa?” Iza bertanya sembari membawa Bigel kepelukannya dan menatap Hasbi dengan penuh pertanyaan, yang ditatap hanya kebingungan memulai kalimat darimana.“Mas Hasbi mau menikahi Ir—““Tidak, Bigel. Aku tidak bilang seperti itu. Aku hanya akan bertanggung jawab kalau memang benar itu anakku,” sela Hasbi, memotong kalimat Bigel dengan nada tinggi.Iza mengusap pipi Bigel dengan lembut. “Jelaskan pada Mama.”“Irasya kembali, dia mengatakan jika mengandung anak Mas Hasbi. Sudah enam bulan, Mama.”Iza sedikit terkejut dengan jawaban Bigel, tapi melihat respon Hasbi sepertinya putra bungsunya telah melepaskan Irasya dan memilih Bigel. Tentu, ada rasa bahagianya walaupun setelah ini harus menghadapi Irasya.“Kau menghamili anak itu, Hasbi?”“I-itu ..
"Kenapa seperti orang kesurupan! Kau ini gila, Hasbi?""Mama dimana?" Endrico tidak habis pikir dengan kelakuan adik bungsunya tersebut. "Bigel sedang hamil, butuh ketenangan dan kau malah merusuh. Apa kau tidak bekerja?" "Kau sendiri memangnya tidak bekerja? Mentang-mentang ada Bigel sengaja berlama-lama di rumah? Kau pikir aku tidak tau jika kau menyukai istriku?" "Tutup mulutmu, Hasbi.""Mulutmu yang harus ditutup," kecam Hasbi, dia meninggalkan Endrico yang berada di ruang keluarga dan menuju ruangan santai milik ibunya, tepat dekat teras belakang.Hasbi melihat sang ibu yang tengah berdiri sambil memperhatikan tanaman hiasnya yang mulai usang. "Mama!"Iza berlipat tangan di dada, dia memperhatikan putranya lamat-lamat. "Teriakanmu terdengar sampai disini. Tidak bisa sedikit lebih sopan pada kakak tertuamu?""Itu tidak penting, Mama. Hasbi lebih kasihan pada tindakan Mama yang keterlaluan itu.""Ini belum jam makan siang, kau tidak bekerja? Atau baru sudah menyelesaikan urusanm
"Aku tidak bermaksud menipumu, Hasbi. Maafkan aku, tapi apa itu enggak berarti lagi kenangan kita?" Hasbi menggeleng penuh percaya diri. "Semuanya terasa hambar, aku jadi benci mengingat kenangan yang pernah aku buat bersamamu. Sekarang naluri dan otakku isinya hanya tentang Bigel." Irasya mendekat dan menyentuh lengan Hasbi, tapi Hasbi menepis pelan. Tentu, dia menolak untuk bersentuhan dengan Irasya. "Kau bilang kau cinta padaku dan tidak ingin dengan wanita lain." "Karena bubu. Pantas saja setelah kejadian hari itu di HIMA, semuanya terasa aneh di hatiku." "Hasbi, kita sudah empat tahun dan kau melepaskan hubungan kita begitu saja?" "Karena kau bubu, aku mencintaimu. Tapi, kau membohongiku, jadi mudah saja perasaan itu hilang," tutur Hasbi, matanya tidak terpancar rasa cinta lagi untuk Irasya. "H-hasbi, kenapa harus B-bigel? Kenapa harus Bigel yang selalu menang?" Hasbi menggeleng tidak percaya dengan apa yang dikatakan Irasya. "Bigel dari dulu tidak jahat padamu. Apa sekal
"Akunya mau dipijetin, bukan diciumin, Mas Hasbi." Bigel protes karena sedari tadi, Hasbi menciumi perutnya.Hasbi pun terkekeh kecil dengan tingkah gemas Bigel yang protes. "Ini dipijetin, kok," balasnya sembari memijat kaki Bigel."Ke kantornya jam berapa? Nanti Bigel siapin sarapannya." Kebetulan masih pukul 05.40 yang artinya masih bisa bersantai sebelum berangkat ke kantor."Siang aja, toh si bos dari kemarin sering datang telat, pasti sengaja buat liat istri aku."Bigel menyipitkan matanya. "Mana ada, Bapak manajer. Bosnya bapak mah lagi banyak tamu, kan mau event hotel. Kenapa sih selalu nuduh bosnya sendiri kayak gitu?""Ya, habisnya kalian deket dari jaman kuliah.""Deketnya karena satu divisi, ih. Lagian akunya udah kasih tau tadi malam kalau kami enggak dekat atau saling suka.""Kamunya aja yang enggak nyadar. Tuh, kaya tadi malam sampai dibantuin basuh kaki, dihandukin.""Cuma negabantu doang, kan akunya sesak kalau kelamaan nunduk. Mas, ih ...."Hasbi berbaring lagi, jelas
"Mas, kalau mansion terlalu mewah ga, sih? Kayaknya apartemen aja, tapi yang deket kantor Mas," tukas Bigel, ia duduk di sofa coklat tepat di samping Hasbi."Mau yang deket kantor Mas? Kenapa?""Biar kalau pulang kerja ngehemat waktu, terus aku bisa cepet-cepet ketemu sama Mas, hehe."Hasbi menaruh ipad-nya pada meja yang ada di hadapannya. "Kalau gitu, ikut Mas aja tiap hari ke kantor biar Mas liat wajah Bigel terus-terusan.""Apaan, nanti ditegur mama.""Biarin.""Nanti, mas En— maksudnya—“"Mas ga mau denger nama dia. Udah tahu kan kalau dia tuh pengennya kamu, enggak kebayang kalau Bigel jadi istri dia, terus Mas tahu kalau Bigel bubu yang asli. Yang ada masmu ini mau rebut balik sampai cerai.""Is mulutnya. Kalau gitu, berarti emang ga jodoh."Hasbi menyentuh pinggul Bigel dengan kedua tangannya. "Harus jodoh, ga mau tau. Emangnya Bigel mau dinikahin sama dia?""Ehm ....""Kok pake mikir? Bilang enggak dong."Bigel tertawa dan memundurkan tubunya. "Maksa, ya?"Hasbi pun bergerak p
"M-mama, Bigel capek. B-bigel capek ....""Bigel belum mendengar dari Hasbi sendiri. Jangan seperti ini, ya ... pikirkan bayi disini. Hasbi sebentar lagi pulang. Kita akan tahu kebenarannya ... Mama percaya pada Hasbi." Iza berulang kali menenangkan Bigel, mengusap punggung menantunya dan sesekali mengusap keringat Bigel yang kini tengah dalam pelukannya."M-mas Hasbi, Bigel sakit. B-bigel sakit dan capek ....""Mbok Mumu. Mbok, kemari."Mbok Mumu yang sudah stay di depan pintu kamar Iza pun langsung masuk ke dalam kamar majikannya tersebut."Ibu, mobil mas Hasbi udah masuk gerbang.""Cepat suruh dia kemari, Mbok," titah Iza."Baik, Bu," ucap Iza menuruti permintaan majikannya itu.Hasbi yang mendengar kabar Bigel dari mbok Mumu pun langsung berlari memasuki kamar Iza. Terlihat, Bigel yang berantakan dengan tangisan yang tidak berhenti."Bigel." Hasbi melepaskan begitu saja plastik bawaannya yang berisi bakmi kesukaan Bigel. "Ma, Bigel kenapa?" Hasbi mengambil Bigel dari pelukan mamany
"Udah jalan lima bulan, kata dokter harus banyak istirahat dan ga boleh angkat yang berat-berat. Urusan beresin apartemen nanti Mas aja yang ngerjain.""T-tapi kan Mas juga kerja. Lagian, aku tuh sendirian kalau pagi ga suka cuma diem doang.""Tapi Bigel tuh sering kecapekan, Mas enggak tega. Atau nanti sewa orang aja buat bersihin satu minggu dua kali. Bigel cuma boleh nyapu aja.""Ya, udah.""Kok, kayak ngambek?""Enggak," jawab Bigel sembari membuang muka ke arah yang berlawanan dengan Hasbi."Enggak kasian sama Masnya ini?""Apaan, kan aku udah jawab ya udah.""Mas tau tentang pinggul kamu itu."Reflek, Bigel menolehkan pandangannya tertuju pada Hasbi. "Dari Mama? Kapan?""Sebelum pindahan ke apartemen. Mama ngasih tau karena Mas bahas kak Freya," jawab Hasbi, pandangannya tidak pernah teralih dari Bigel."Udah lama juga, Bigel udah lupa.""Udah lupa, tapi sakitnya enggak bakal lupa, kan? Mas merhatiin kamu terus, tiap malam kamu suka pengangin pinggul kamu yang nyeri dengan perut