“Bigel.”
“Mama ....” Bigel mendadak manja saat Iza menghampirinya dengan raut wajah khawatir. Bagaimana tidak, ia datang dengan diantar Hasbi dan membawa dua tas besar.“Apa yang terjadi?”“Bigel mau disini saja, tidak mau di rumah itu lagi.”“Kenapa?” Iza bertanya sembari membawa Bigel kepelukannya dan menatap Hasbi dengan penuh pertanyaan, yang ditatap hanya kebingungan memulai kalimat darimana.“Mas Hasbi mau menikahi Ir—““Tidak, Bigel. Aku tidak bilang seperti itu. Aku hanya akan bertanggung jawab kalau memang benar itu anakku,” sela Hasbi, memotong kalimat Bigel dengan nada tinggi.Iza mengusap pipi Bigel dengan lembut. “Jelaskan pada Mama.”“Irasya kembali, dia mengatakan jika mengandung anak Mas Hasbi. Sudah enam bulan, Mama.”Iza sedikit terkejut dengan jawaban Bigel, tapi melihat respon Hasbi sepertinya putra bungsunya telah melepaskan Irasya dan memilih Bigel. Tentu, ada rasa bahagianya walaupun setelah ini harus menghadapi Irasya.“Kau menghamili anak itu, Hasbi?”“I-itu ....” Hasbi bingung ingin menjawab apa. “Hasbi tidak yakin, Ma. Hasbi pikir itu bukan anak Hasbi.”“Sekarang kau tidak mau mengakui perbuatanmu itu? Bukankah kau membenci menantuku ini dan berniat meninggalkannya setelah Irasya kembali?”Hasbi menarik napas, lalu menghembuskan napasnya dengan raut wajah cemas. “Berhenti menyudutkan Hasbi, Ma. Hasbi sudah janji akan bersama Bigel untuk seterusnya.”Pernyataan Hasbi sama sekali tidak membuat Bigel tenang sampai Iza memperhatikannya karena khawatir.“Bigel akan tinggal disini sampai kau menyelesaikan permasalahanmu dengan Irasya. Kau tahu, Hasbi?” Iza memajukan tubuhnya dan merenggut kerah baju putra bungsunya itu. “Mama tidak pernah meminta apa-apa padamu kecuali pernikahanmu dengan Bigel. Tidak ada seorang ibu yang waras ingin anaknya hancur.”“Maaf, Ma,” sungut Hasbi.“Mama,” panggil Bigel dengan lembut.Iza melepaskan tangannya dari kerah baju Hasbi dan mengalihkan perhatiannya pada Bigel. “Bigel istirahat di kamar Mama saja. Biar nanti tas Bigel dibawa oleh pak Madi ke atas.”“Bigel di kamar Mas saja,” sanggah Hasbi cepat.“Kamarmu di ujung, kalau tidur sendirian Mama tidak bisa mengawasinya, Hasbi.”Hasbi melirik Bigel. “Kan, ada Hasbi, Ma.”Iza menatap sinis pada Hasbi. “Siapa yang menyuruhmu tinggal disini? Tidak boleh bersama Bigel sebelum kau menuntaskan masalahmu itu dengan Irasya,” kecam Iza. Suaranya mampu membuat Bigel sedikit gemetaran karena takut.“Ma,” protes Hasbi.“Mama, Bigel tidur sama Mas Hasbi malam ini. Demi dedek yang disini,” pinta Bigel sembari mengusap perutnya.Iza menghela napas pasrah dan mengangguk untuk menyanggupi keinginan menantunya. “Ya, sudah,” ucap Iza, ia pun mengusap perut Bigel juga. “Istirahat dan jangan memikirkan apapun, Mama akan selalu menjagamu,” sambungnya kembali hingga membuat Bigel tersenyum dan juga tenang.Berakhir, Hasbi menuntun Bigel ke lantai dua, tepat di kamar Hasbi dan diikuti pak Madi yang membawa tas Bigel.“Perutnya gatal?” tanya Hasbi saat Bigel sudah berbaring di atas kasur setelah mereka berdua mandi bersama.Bigel mengangguk, memang benar perutnya gatal. “Iya, bantuin garuknya, Mas.”Tentu, Hasbi menuruti dan menggaruk pelan agar tidak berbekas ataupun luka. "Mau di rumah mama sampai kapan?""Enggak mau di rumah itu lagi, rumahnya punya Irasya. Aku mah enggak apa-apa kalau tinggal di rumahku sendiri yang kayak sarang penyakit," celetuk Bigel dengan santai.Hasbi meringis karena malu dengan sindiran Bigel. "Maaf buat yang itu, Bigel tahu sendiri saat itu Mas lagi enggak bisa kontrol emosi. Bukan rumahnya yang kayak sarang penyakit, tapi hati Mas yang sumber penyakit. Maafin, ya ....""Iya, dimaafin.""Makasih ya, Sayang."Bigel terperangah karena keheranan, pertama kalinya dipanggil seperti itu oleh suaminya. "S-sayang?***Hasbi terus memperhatikan perut Irasya yang memang benar nyata membesar karena hamil. Tapi, hatinya sama sekali merasa hampa."A-aku tinggal dikontrakan," ucap Irasya memberitahu Hasbi. Sebab, dahulu Irasya tinggal di salah satu apartemen milik Hasbi."Kau bisa tinggal di apartemen itu, tidak apa aku memang memberikannya untukmu. Password-nya tidak berubah Irasya."Tidak apa? B-bigel bagaimana?"Hasbi menunduk dan memperhatikan sushi yang terhidang disana. "Bahkan, dia memilih rumah kecilnya sendiri dibandingkan harus tinggal di rumah besar kami.""K-kami?"Hasbi mengangguk dan menatap Irasya. "Aku minta padamu untuk tidak mengatakan yang tidak-tidak pada Bigel. Dia sedang hamil dan sangat sensitif dengan hatinya.""H-hasbi, aku juga hamil anakmu ....""Apa kemarin Bigel juga mengatakan sesuatu yang buruk padamu?"Irasya diam karena tidak memiliki jawaban, sebab Bigel memang tidak mengatakan sesuatu yang membuat Irasya bersedih.Hasbi mengangguk-ngangguk paham dengan keterdiaman Hasbi. "Oke, aku tahu jika istriku bukan orang yang seperti itu," ungkap Hasbi, lalu menyuap sushinya dengan lahap. Dia sengaja membawa Irasya ke restoran sushi, sebab makanan favorit wanita itu."Hasbi mencintai Bigel? Atau hanya karena keinginan mama?""Tidak perlu waktu lama untuk mencintai istriku dengan sifatnya yang seperti itu."Irasya mengepalkan kedua tangannya, tentu ia cemburu. "Kau tidak lupa? D-dulu Bigel menguntitmu?"Kini, tatapan Hasbi berubah menjadi tajam. "Kenapa kau selalu bersikeras mengatakan dia penguntit? Dia bukan penguntit, apa yang kita lihat dulu adalah kesalahpahaman.""Apa saja yang dia katakan padamu? Dia menghasutmu, kan? Kau percaya begitu saja?"Hasbi mulai heran dengan sifat Irasya yang seperti ini. "Kau kenapa Irasya?""Kau berubah hanya dalam beberapa bulan, Hasbi. Kau lebih mempercayai Bigel?"Rasanya, kenangan bersama Irasya terkesan sia-sia, Hasbi pun menyadari itu. Ada hal aneh yang masih mengganjal hatinya tentang kenangan tersebut."Bigel tidak pernah mengatakan apapun tentangmu, tapi sekarang kau berbicara seolah-olah istriku selalu menjelekkanmu. Irasya?" Hasbi sedikit memajukan tubuhnya. "Bigel itu dipaksa menikah denganku.""Maaf, aku ... a-aku hanya sedang sensitif," sungut Irasya dengan mata yang berkaca-kaca."Habiskan makananmu dan setelah ini aku akan menemanimu untuk pindah ke apartemen lamaku. Itu hanya sementara sampai aku membereskan barang-barangku bersama Bigel di rumah dan kau boleh menempati rumah itu, karena sejak awal itu untukmu."Oh, tentu saja Irasya senang karena Hasbi sangat memperdulikannya. Bahkan, ia diberi akses tempat tinggal yang sangat nyaman."K-kau akan tinggal dimana?""Di rumah mama karena Bigel tinggal disana sekarang," jawab Hasbi dengan santai, pikirannya pun tiba-tiba tertuju pada Bigel yang tadi pagi terlihat sangat cantik untuk dipandangi."Setelah ini, bagaimana dengan kita? Anak ini?""Aku akan bertanggung jawab pada anak itu. Aku butuh tes dna sebagai bukti pada mama.""Hah?" Irasya mulai sedikit panik dengan permintaan Hasbi. "Tes dna? H-hasbi tidak percaya pada anak ini?"Hasbi tampak memainkan sumpit dan mengetuknya beberapa kali secara pelan. "Sejujurnya tidak, tapi aku tidak akan egois jika itu anakku dan percaya padamu. Tapi, bagaimana caranya untuk meyakinkan mama?""Itu melukai perasaanku, Hasbi."Hasbi tersenyum, tapi terkesan kejam. "Katakan siapa ayah anak itu yang sebenarnya, Irasya?""Kenapa seperti orang kesurupan! Kau ini gila, Hasbi?""Mama dimana?" Endrico tidak habis pikir dengan kelakuan adik bungsunya tersebut. "Bigel sedang hamil, butuh ketenangan dan kau malah merusuh. Apa kau tidak bekerja?" "Kau sendiri memangnya tidak bekerja? Mentang-mentang ada Bigel sengaja berlama-lama di rumah? Kau pikir aku tidak tau jika kau menyukai istriku?" "Tutup mulutmu, Hasbi.""Mulutmu yang harus ditutup," kecam Hasbi, dia meninggalkan Endrico yang berada di ruang keluarga dan menuju ruangan santai milik ibunya, tepat dekat teras belakang.Hasbi melihat sang ibu yang tengah berdiri sambil memperhatikan tanaman hiasnya yang mulai usang. "Mama!"Iza berlipat tangan di dada, dia memperhatikan putranya lamat-lamat. "Teriakanmu terdengar sampai disini. Tidak bisa sedikit lebih sopan pada kakak tertuamu?""Itu tidak penting, Mama. Hasbi lebih kasihan pada tindakan Mama yang keterlaluan itu.""Ini belum jam makan siang, kau tidak bekerja? Atau baru sudah menyelesaikan urusanm
"Aku tidak bermaksud menipumu, Hasbi. Maafkan aku, tapi apa itu enggak berarti lagi kenangan kita?" Hasbi menggeleng penuh percaya diri. "Semuanya terasa hambar, aku jadi benci mengingat kenangan yang pernah aku buat bersamamu. Sekarang naluri dan otakku isinya hanya tentang Bigel." Irasya mendekat dan menyentuh lengan Hasbi, tapi Hasbi menepis pelan. Tentu, dia menolak untuk bersentuhan dengan Irasya. "Kau bilang kau cinta padaku dan tidak ingin dengan wanita lain." "Karena bubu. Pantas saja setelah kejadian hari itu di HIMA, semuanya terasa aneh di hatiku." "Hasbi, kita sudah empat tahun dan kau melepaskan hubungan kita begitu saja?" "Karena kau bubu, aku mencintaimu. Tapi, kau membohongiku, jadi mudah saja perasaan itu hilang," tutur Hasbi, matanya tidak terpancar rasa cinta lagi untuk Irasya. "H-hasbi, kenapa harus B-bigel? Kenapa harus Bigel yang selalu menang?" Hasbi menggeleng tidak percaya dengan apa yang dikatakan Irasya. "Bigel dari dulu tidak jahat padamu. Apa sekal
"Akunya mau dipijetin, bukan diciumin, Mas Hasbi." Bigel protes karena sedari tadi, Hasbi menciumi perutnya.Hasbi pun terkekeh kecil dengan tingkah gemas Bigel yang protes. "Ini dipijetin, kok," balasnya sembari memijat kaki Bigel."Ke kantornya jam berapa? Nanti Bigel siapin sarapannya." Kebetulan masih pukul 05.40 yang artinya masih bisa bersantai sebelum berangkat ke kantor."Siang aja, toh si bos dari kemarin sering datang telat, pasti sengaja buat liat istri aku."Bigel menyipitkan matanya. "Mana ada, Bapak manajer. Bosnya bapak mah lagi banyak tamu, kan mau event hotel. Kenapa sih selalu nuduh bosnya sendiri kayak gitu?""Ya, habisnya kalian deket dari jaman kuliah.""Deketnya karena satu divisi, ih. Lagian akunya udah kasih tau tadi malam kalau kami enggak dekat atau saling suka.""Kamunya aja yang enggak nyadar. Tuh, kaya tadi malam sampai dibantuin basuh kaki, dihandukin.""Cuma negabantu doang, kan akunya sesak kalau kelamaan nunduk. Mas, ih ...."Hasbi berbaring lagi, jelas
"Mas, kalau mansion terlalu mewah ga, sih? Kayaknya apartemen aja, tapi yang deket kantor Mas," tukas Bigel, ia duduk di sofa coklat tepat di samping Hasbi."Mau yang deket kantor Mas? Kenapa?""Biar kalau pulang kerja ngehemat waktu, terus aku bisa cepet-cepet ketemu sama Mas, hehe."Hasbi menaruh ipad-nya pada meja yang ada di hadapannya. "Kalau gitu, ikut Mas aja tiap hari ke kantor biar Mas liat wajah Bigel terus-terusan.""Apaan, nanti ditegur mama.""Biarin.""Nanti, mas En— maksudnya—“"Mas ga mau denger nama dia. Udah tahu kan kalau dia tuh pengennya kamu, enggak kebayang kalau Bigel jadi istri dia, terus Mas tahu kalau Bigel bubu yang asli. Yang ada masmu ini mau rebut balik sampai cerai.""Is mulutnya. Kalau gitu, berarti emang ga jodoh."Hasbi menyentuh pinggul Bigel dengan kedua tangannya. "Harus jodoh, ga mau tau. Emangnya Bigel mau dinikahin sama dia?""Ehm ....""Kok pake mikir? Bilang enggak dong."Bigel tertawa dan memundurkan tubunya. "Maksa, ya?"Hasbi pun bergerak p
"M-mama, Bigel capek. B-bigel capek ....""Bigel belum mendengar dari Hasbi sendiri. Jangan seperti ini, ya ... pikirkan bayi disini. Hasbi sebentar lagi pulang. Kita akan tahu kebenarannya ... Mama percaya pada Hasbi." Iza berulang kali menenangkan Bigel, mengusap punggung menantunya dan sesekali mengusap keringat Bigel yang kini tengah dalam pelukannya."M-mas Hasbi, Bigel sakit. B-bigel sakit dan capek ....""Mbok Mumu. Mbok, kemari."Mbok Mumu yang sudah stay di depan pintu kamar Iza pun langsung masuk ke dalam kamar majikannya tersebut."Ibu, mobil mas Hasbi udah masuk gerbang.""Cepat suruh dia kemari, Mbok," titah Iza."Baik, Bu," ucap Iza menuruti permintaan majikannya itu.Hasbi yang mendengar kabar Bigel dari mbok Mumu pun langsung berlari memasuki kamar Iza. Terlihat, Bigel yang berantakan dengan tangisan yang tidak berhenti."Bigel." Hasbi melepaskan begitu saja plastik bawaannya yang berisi bakmi kesukaan Bigel. "Ma, Bigel kenapa?" Hasbi mengambil Bigel dari pelukan mamany
"Udah jalan lima bulan, kata dokter harus banyak istirahat dan ga boleh angkat yang berat-berat. Urusan beresin apartemen nanti Mas aja yang ngerjain.""T-tapi kan Mas juga kerja. Lagian, aku tuh sendirian kalau pagi ga suka cuma diem doang.""Tapi Bigel tuh sering kecapekan, Mas enggak tega. Atau nanti sewa orang aja buat bersihin satu minggu dua kali. Bigel cuma boleh nyapu aja.""Ya, udah.""Kok, kayak ngambek?""Enggak," jawab Bigel sembari membuang muka ke arah yang berlawanan dengan Hasbi."Enggak kasian sama Masnya ini?""Apaan, kan aku udah jawab ya udah.""Mas tau tentang pinggul kamu itu."Reflek, Bigel menolehkan pandangannya tertuju pada Hasbi. "Dari Mama? Kapan?""Sebelum pindahan ke apartemen. Mama ngasih tau karena Mas bahas kak Freya," jawab Hasbi, pandangannya tidak pernah teralih dari Bigel."Udah lama juga, Bigel udah lupa.""Udah lupa, tapi sakitnya enggak bakal lupa, kan? Mas merhatiin kamu terus, tiap malam kamu suka pengangin pinggul kamu yang nyeri dengan perut
"Mas enggak ngapa-ngapain sama Jevano, Sayang.""Kok bisa ngurusin pekerjaan jam segini, mana resleting celananya enggak ditutup?""Namanya juga buru-buru sampai lupa resleting celana Mas kebuka. Jevano mau kasih berkas buat rapat sama atasan, takut besok enggak keburu," jawab Hasbi, tentu saja apa yang dikatakannya hanyalah kebohongan. Jevano saja mungkin sedang di rumahnya tertidur lelap."Mana berkasnya, kok enggak ada?"Hasbi mengulum bibirnya ke dalam, alias mati kutu dan memikirkan jawaban apa yang akan membuat Bigel berhenti bertanya lagi. "B-berkasnya udah Mas taruh di mobil. Takut, pas mau ke kantor malah ga kebawa."Bigel menyipitkan matanya pada Hasbi. "Kok gugup?"Aduh, Hasbi makin gelagapan sendiri. "Masih ngantuk, S-sayang.""Ya, udah tidur lagi.""Kamu marah?"Bigel menggeleng, dia tidak marah sebenarnya, lebih tepatnya khawatir. "Aku enggak marah, cuma khawatir pas kebangun mas enggak ada. Baru mau nelpon, ternyata hp-ku habis baterai. Sambil nungguin hp-ku hidup, aku n
"Aku pikir istrimu Irasya. Jadi, istrimu si pelacur kampus itu, ya? Kau doyan juga sama si lonteh satu itu. Apa yang kau dapat dari mencicipi bekasku?"BRAK!Botol berbahan stainlis yang cukup tebal tersebut berhasil menghantam wajah milik Arga, sehingga membuat tubuh laki-laki itu terjatuh dan merintih kesakitan."BANGSAT!" maki Arga karena tidak terima diserang oleh Hasbi.BUGH!Hasbi kembali memberikan hentaman di pipi Arga dan duduk di atas tubuh pria itu yang tengah dalam keadaan terlentang.BUGH!"MATI LO SIALAN! GUE HABISIN LO YANG UDAH BERANI MENGHINA ISTRI GUE!" teriak Hasbi sekuat mungkin sampai mencuri perhatian orang banyak.Alhasil, petugas keamanan disana pun langsung turun tangan. Tapi nihil, tenaga Hasbi benar-benar kuat sampai tidak bisa dilerai oleh dua orang petugas keamanan.Arga pun sudah tidak bisa melawan karena gerakan Hasbi benar-benar gesit menindasnya."MATI LO!" Hasbi benar-benar mencekik leher Arga tanpa ampun, hingga beberapa penghuni unit pun ikut membant
"Mas, air dinginnya mana?"Hasbi memilih diam di tempat setelah berhasil menutup pintu kamarnya. Bahkan, sama sekali tidak menjawab pertanyaan Bigel karena isi kepalanya sedang berkecamuk."Mas Hasbi?" panggil Bigel sekali lagi. Suaminya itu mendadak berubah menjadi tatapan kosong dan tidak membawa air dingin pesanannya."Bigel," katanya pelan."M-mas, kenapa?"Hasbi mengepalkan kedua tangannya, terlihat lengannya penuh urat kekar yang menonjol. Untuk itu, Bigel tidak berani bersuara lagi. Apa dia melakukan kesalahan sampai suaminya marah? Apa Hasbinya tersinggung saat Bigel meminta tolong untuk mengambil air dingin? Tapi, rasanya bukan itu alasannya."Nanti Mas ambilin air dinginnya, ya. Sebentar saja, biarin Mas berdiri disini dulu. Jangan kemari, Bigel disana saja ... jangan banyak bergerak.""Mas Hasbi ...," lirih Bigel, tanpa sengaja sebulir air matanya jatuh. Ya, ibu hamil yang terlalu sensitif dan berpikir suaminya sedang membencinya.Hasbi memejamkan matanya sebentar, berusaha
Senyum Bigel mengembang saat dari jauh ia menemukan sosok Hasbi yang baru saja landing dari Bali. Beberapa hari tidak bertemu Hasbi dan dia benar-benar merindukan sosok suaminya itu."Itu Mas Hasbi," gumam Bigel. Kini, tangannya melambai-lambai agar sang suami melihat ke arahnya.Tentu, Hasbi tersenyum bahagia saat melihat wajah Bigel. Dirinya pun bergegas mempercepat langkah sambil menarik kopernya."Istri Mas paling cantik sedunia, kangen banget ga ketemu beberapa hari.""Bigel juga kangen, hehe."Hasbi mencium dahi Bigel lamat-lamat dan turun mencium kandungan Bigel. "Makin gemoy kesayangan Mas ini. Sama siapa kesini, Sayang?""Sendiri, soalnya Mama ada kerjaan yang enggak bisa ditinggal. Bigel kan libur kerja, tadi mau dianter mas Endrico, tapi Bigel enggak mau. Takut ....""Dia ga ngapai-ngapain kamu, kan?" Bigel menggeleng. "Enggak, kok. Kayaknya yang Mas bilang dia suka aku tuh kayaknya bukan aku deh.""Dia suka kak Freya?""Bingung, kayaknya akunya yang salah lihat," tutur Big
"Egh— Jangan disini, nanti ketahuan," pinta Freya sembari mencoba melepaskan tangan Endrico yang tengah memainkan kedua gundukan kembarnya. Merasa tidak enak karena tidak di dalam unit dan takut orang lain akan melihat kelakuan mereka.Endrico menuruti dan mengikuti Freya masuk ke dalam unit apartemennya. Tanpa disadari, Bigel melihat kejadian barusan dengan perasaan yang syok berat. Pasalnya Endrico dan Freya adalah saudara ipar dan telah menghianati kepercayaan Arsenio.Ketika pintu unit apartemen tertutup, Endrico kembali menarik tubuh Freya dan mencium bibir wanita itu dengan ugal-ugalan. Keduanya sama-sama terlena hingga membawa mereka masuk ke dalam kamar Freya.Keduanya sama melepas baju masing-masing dan Freya yang sengaja berbaring terlentang di atas kasur. Menggoda Endrico dengan lekuk tubuhnya agar kakak iparnya tersebut segera menindihnya."Tubuhmu, cantik," gumam Endrico.Freya hanya tersenyum tipis dan membalas dengan menciumi dada kekar milik Endrico. "Foto itu rahasia,
"Aku ingin roti ini lagi, tolong semuanya dibungkus."Bigel terkesiap dari lamunannya barusan, bagaimana ia memikirkan perkataan suaminya dua hari yang lalu untuk menyuruh Bigel membalas dendam pada Freya. Jelas, Bigel menolak dengan penuh kesadaran. Balas dendam bukanlah jalan yang akan Bigel sentuh sampai kapanpun."O-oh, datang lagi? roti selai keju coklat? Aku akan membungkusnya. Sebentar, ya ...." Bigel mempersiapkan roti tersebut dan disusun rapi dalam box roti ukuran besar."Sejak tadi aku memperhatikanmu melamun. Ada apa?" tanya pria dengan prawakan tinggi dan badan kekar berisi, mirip dengan ukuran tubuh Hasbi."E-enggak apa-apa, kok. Kau tidak membawa anakmu?""Hari ini ada les tambahan di sekolah, jadi hanya aku sendiri. Berapa usia kandunganmu?""Sudah mau masuk tujuh bulan," jawab Bigel seadanya. Dia cukup akrab dengan pelanggan baru satu ini."Tidak cuti?""A-aku kan baru bekerja beberapa hari lalu."Pria itu tampak terkejut dengan jawaban yang diberikan oleh Bigel. "Maaf
"Masakanku ga seharusnya terhidang disana. Harusnya masakanmu yang ada disana, pasti mama akan senang."Bigel yang sedang membantu mencuci piring pun tercekat dengan pernyataan Freya barusan. Tiba-tiba saja dan Bigel kesulitan untuk merespon dengan jawaban yang tidak menyakiti hati."Mama mungkin lagi capek. Aku minta maaf karena buat Kakak jadi dimarahin," tutur Bigel. Bahkan, untuk sekedar menatap Freya saja dia tidak berani karena rasa bersalahnya itu."Kamu segala-galanya bagi mama. Apa yang aku lakuin pasti salah. Aku ga punya tempat di hati mama. Aku iri atau karena orang tuaku bukan orang yang berada?"Bigel menghembuskan napas dan memberhentikan gerakan tangannya yang tengah menyabuni piring. "Mendiang ayahku cuma sopir dan mendiang ibuku jualan kue. Ga ada hubungannya dengan itu, mungkin Kakak cuma perlu bersabar sampai mama bisa nerima Kakak," ungkap Bigel. Lalu, ia kembali melanjutkan cucian piringnya."Aku kira dengan kehadiran kamu di keluarga Abraham bakal bikin mama jadi
"Sini, mas belum cium.""Malu. Bigel malu loh ... enggak mau.""Bigel, sini ...." Hasbi berusaha menarik lembut tangan Bigel agar lebih mendekat padanya."I-itu banyak mobil lewat. Nanti, kalau diliatin malu ah, Mas," balas Bigel, masih menolak untuk dicium sang suami."Masnya mau cium ini. Ga ada afeksi loh mau berangkat kerja.""Kau udah tadi di rumah ....""Kurang, yang tadi di rumah ga kerasa.""Nanti diliatin orang, kan malu, is," protes Bigel, tapi ekspresinya begitu lucu dan menggemaskan bagi sang suami.Kali ini, Hasbi menyentuh punggung Bigel dan menariknya sedikit sampai wanita itu benar-benar dekat dengannya.Muah.Hasbi berhasil mencium pipi kiri Bigel dengan sempurna. Tentu, membuat Bigel jadi salah tingkah dengan perlakuan suaminya tersebut."Malu ...," tuturnya lagi sembari celingak-celinguk kiri dan kanan dengan wajah yang sempurna merah merona. Dia berharap tidak ada orang yang melihat keduanya.Muah."Ngapain malu? Kan, dicium suaminya sendiri," celetuk Hasbi dan kemb
"Ulu hati Bigel kaya ditendang. Kesentak, sakit banget ...." "Maaf ... maaf ... pasti gara-gara Mas ya makanya dedek disini rada rewel. Maafin ayah ya, Dek .... ibunnnya jangan dimarahin," bisik Hasbi sembari menciumi perut Bigel."Makanya ayahnya jangan cemburuan gitu, jangan bikin ibunnya dedek makin pusing," celetuk Bigel."Iya, maafin ayahnya dedek ya, Ibun ...."Wajah Bigel tiba-tiba memanas. "Masih malu kalau dipanggil Ibun secara langsung.""Ga apa-apa, biar kebiasa. Maafin Mas ya, Bigel. Masalah kecil malah diungkit lagi ... ngerasa bersalah banget sampai buat kamu begini."Bigel mendekat dan memeluk Hasbi lebih dulu. "Bigel sayangnya cuma sama Mas Hasbi, mungkin ini cara Tuhan buat nyatuin kita, cobaannya ada aja. Tapi, Bigel ga mau kalau kita nyerah sama cobaan ini. Bigel mau terus kasih kepercayaan Bigel ke Mas." "Mas ga akan ngecewain kepercayaan itu, Bigel."Keduanya saling bertatapan cukup lama, hingga tidak menyadari jika bell unit mereka berbunyi. Ada tamu yang datang
"Aku pikir istrimu Irasya. Jadi, istrimu si pelacur kampus itu, ya? Kau doyan juga sama si lonteh satu itu. Apa yang kau dapat dari mencicipi bekasku?"BRAK!Botol berbahan stainlis yang cukup tebal tersebut berhasil menghantam wajah milik Arga, sehingga membuat tubuh laki-laki itu terjatuh dan merintih kesakitan."BANGSAT!" maki Arga karena tidak terima diserang oleh Hasbi.BUGH!Hasbi kembali memberikan hentaman di pipi Arga dan duduk di atas tubuh pria itu yang tengah dalam keadaan terlentang.BUGH!"MATI LO SIALAN! GUE HABISIN LO YANG UDAH BERANI MENGHINA ISTRI GUE!" teriak Hasbi sekuat mungkin sampai mencuri perhatian orang banyak.Alhasil, petugas keamanan disana pun langsung turun tangan. Tapi nihil, tenaga Hasbi benar-benar kuat sampai tidak bisa dilerai oleh dua orang petugas keamanan.Arga pun sudah tidak bisa melawan karena gerakan Hasbi benar-benar gesit menindasnya."MATI LO!" Hasbi benar-benar mencekik leher Arga tanpa ampun, hingga beberapa penghuni unit pun ikut membant
"Mas enggak ngapa-ngapain sama Jevano, Sayang.""Kok bisa ngurusin pekerjaan jam segini, mana resleting celananya enggak ditutup?""Namanya juga buru-buru sampai lupa resleting celana Mas kebuka. Jevano mau kasih berkas buat rapat sama atasan, takut besok enggak keburu," jawab Hasbi, tentu saja apa yang dikatakannya hanyalah kebohongan. Jevano saja mungkin sedang di rumahnya tertidur lelap."Mana berkasnya, kok enggak ada?"Hasbi mengulum bibirnya ke dalam, alias mati kutu dan memikirkan jawaban apa yang akan membuat Bigel berhenti bertanya lagi. "B-berkasnya udah Mas taruh di mobil. Takut, pas mau ke kantor malah ga kebawa."Bigel menyipitkan matanya pada Hasbi. "Kok gugup?"Aduh, Hasbi makin gelagapan sendiri. "Masih ngantuk, S-sayang.""Ya, udah tidur lagi.""Kamu marah?"Bigel menggeleng, dia tidak marah sebenarnya, lebih tepatnya khawatir. "Aku enggak marah, cuma khawatir pas kebangun mas enggak ada. Baru mau nelpon, ternyata hp-ku habis baterai. Sambil nungguin hp-ku hidup, aku n