“Mas, pulangnya masih lama?”
“Ini udah di mobil, Bigel. Mas bawain ikan laut pedas yang Bigel pesan. Sabar, ya?”
“Aku hari ini pamit pergi ya, Mas. Kedepannya kalau mau antar surat cerai, Mas bisa telepon aku. Kalau anak kita udah lahir, aku juga bakal kasih tau Mas.”
Hasbi mengerem secara mendadak karena rasa terkejutnya yang bukan main. “Bigel! Apa-apaan? Apa yang kau katakan barusan! Kau mau kemana? Jangan main-main begini. Aku tidak suka, Bigel!” kecam Hasbi karena rasa marahnya mulai tersulut.
“Aku mau pulang ke kampung halaman ibuku.”
Hasbi mengusap wajahnya dengan kasar, heran dengan sikap Bigel yang seperti ini. “Kau mau pulang untuk apa? Bukannya sudah tidak ada lagi keluarga disana? Kenapa tiba-tiba minta cerai? Jika memang ingin kesana, kita akan kesana. Bukan cerai seperti ini, Bigel.”
“Intinya, aku ingin keluar dari rumah sore ini. Aku akan membawa semua barang-barangku.”
“Bigel, apa yang terjadi? Lima bulan pernikahan kita dan sudah dua bulan kita berusaha untuk saling memahami dan menerima satu sama lain. Aku sudah mengatakan jika aku sedang berusaha untuk hubungan kita, tapi ini ....”
“Serahkan saja surat cerainya jika sudah siap. Posisiku disini hanya menggantikan Irasya yang menghilang saat pernikahan itu. Mas sendiri yang bilang, jika Irasya kembali maka Mas akan menceraikanku, kan?”
Dug!
Irasya kembali? Secepat ini? Di saat Hasbi berusaha memberikan sepenuh hatinya untuk ditata Bigel sebaik mungkin?
“Irasya ada d-disini?”
“Dia pulang kesini, lebih tepatnya rumah ini. Jadi, tugasku sudah selesai, Mas Hasbi,” ucap Bigel. Terdengar suara pintu lemari dibuka dan Bigel menurunkan baju-bajunya dengan satu tangan yang lain.
Hasbi meremat kemudi setirnya dan mulai terasa keringat dingin mengalir dari kepalanya turun membahasi punggungnya. Dia tidak bisa menjelaskan bagaimana perasaannya mendengar fakta bahwa Irasya kembali dan mencarinya.
“Mas Hasbi?”
“Bigel,” balas Hasbi.
“Mas tidak salah.”
“Aku akan pulang dan jangan pergi sampai aku datang. Kita akan membicarakan ini. Jangan mengatakan apapun lagi, aku tidak ingin mendengarnya.”
“T-tapi ....”
Hasbi menutup percakapan dengan mematikan ponselnya lebih dulu. Dia kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata.
***
“Hasbi!”
Seperkian detik Hasbi membeku di tempat, lalu badannya berbalik sembari mengepalkan kedua tangannya. Dia hapal, itu suara khas milik Irasya yang dulu adalah favoritnya.
“Irasya?” Rasa campur aduk yang tidak Hasbi mengerti, ada rasa bahagia bisa melihat wajah gadis yang dulu sangat ia cintai.
“Hasbi, ini aku.”
“Kau kembali?”
Mata Irasya tidak pernah bohong, dia sangat merindukan sosok Hasbi dan segera berlari untuk memeluk pria yang ia cintai itu. Adegan pelukan sepihak yang dilakukan Irasya, justru ditonton Bigel dari dalam rumah.
Hasbi memilih diam dan tidak membalas pelukan Irasya karena dia bingung pada arah hatinya. Jika ditanya apa dia rindu pada Irasya? Jawabannya adalah iya. Tapi, bersamaan dengan itu dia tidak tega membuat Bigel kembali terluka.
“Hasbi, aku sendirian ....”
Hasbi melepaskan pelukan Irasya secara perlahan dengan mendorong pelan bahu wanita itu. “Irasya, aku sudah menikah. Aku tidak mengerti kenapa kau pergi sebelum acara pernikahan. Aku ingin tahu alasannya, tapi tidak sekarang karena aku belum siap dengan jawabannya. Pulanglah, aku—“
“Mama. Itu mama,” potong Irasya langsung. Wanita itu memilih menggenggam kedua tangan Hasbi dengan erat. “Aku sangat mencintaimu, tapi mama tidak suka padaku. Dia hanya i-ingin wanita pilihannya yang menjadi istrimu.”
“Begitu, ya,” balas Hasbi sambil memperhatikan tangannya yang digenggam oleh Irasya. “D-dari awal alasannya pasti mama. Waktu itu, aku mengatakan untuk jangan mendengarkan omongan mama. Kalau begini, aku merasa kau yang tidak siap menikah denganku,” tambahnya. Lalu, melepaskan tangan Irasya begitu saja.
“Maafkan aku, Mama mengancam akan membuat kehidupanku benar-benar hancur. Kau t-tidak mengerti dengan posisiku, Hasbi ...,” lirihan Irasya membuat Hasbi sedikit meluluh. “A-aku benar-benar takut karena aku sendirian ....” Air matanya jatuh karena tidak tahan.
Hasbi memejamkan matanya sebentar, laru menatap lembut pada Irasya. Rasa itu, kian hancur dan menjadi hambar. “Pulanglah, kepalaku sedang pusing untuk mencerna semuanya. Kita bicarakan nanti saja. Ada yang lebih penting untuk aku urus saat ini.”
Ketika Hasbi hendak berbalik, Irasya menahan lengannya lagi dengan kuat. “I-itu Bigel, kan? S-sesuatu yang penting?”
Tanpa ragu, Hasbi mengangguk sebagai jawaban.
“A-aku hamil, anakmu.”
Bagai dikejutkan dengan petir, mata Hasbi membola sempurna dan aliran darahnya berdesir seperti mendidih. Apa yang diucapkan Irasya adalah pukulan terberat untuk beban pundaknya.
“H-hamil?”
Irasya mengangguk dengan isak tangis yang keluar pecah. “Aku kembali u-untuk ini. Satu bulan sebelum pernikahan, aku sudah telat datang bulan. H-hasbi ... enam bulan.”
“Kenapa baru sekarang mengatakannya?”
“A-aku baru tahu, Hasbi. K-kau tidak akan meninggalkannya sendiri, kan? Setidaknya, ingat jika ini darah dagingmu,” pinta Irasya dengan penuh harap.
Lagi, Hasbi menepis pelan tangan Irasya yang menggenggam erat tangannya. “Pulanglah, aku akan bertanggung jawab jika menyangkut darah dagingku. Jangan kesini lagi, Bigel juga sedang hamil,” ucap Hasbi dan benar-benar melangkahkan kakinya menjauh dari Irasya.
“H-hasbi.”
Seolah menulikan telinganya, Hasbi benar-benar tidak menoleh lagi untuk sekedar melihat Irasya yang masih menangis disana.
Kret.
Bunyi pintu yang dibuka oleh Hasbi, Bigel sudah berdiri di ruang tamu dengan dua tas besar berisi bajunya dan perlengkapannya yang lain.
“Tidak, aku tidak mengizinkanmu keluar dari rumah ini, Bigel.”
“Aku tidak ingin tinggal di rumah ini lagi. Bukannya Mas harus senang karena Irasya kembali?”
Hasbi berjalan ke arah Bigel dan menarik paksa tangan Bigel untuk dibawa masuk ke dalam kamar. “Aku tidak akan menceraikanmu. Kau dan anak kita adalah tanggung jawabku.”
“Dia bilang ini rumah yang telah Mas siapkan untuknya. Apa Mas tidak paham rasanya jadi aku dituduh merebut posisi orang lain dan menikmati rumah yang seharusnya menjadi hak orang lain?”
“Jadi perkara rumah ini? Kau ingin rumah ini menjadi atas namamu? Hah?” Hasbi hampir melukai pergelangan tangan Bigel dengan kukunya.
“Bukan itu! Aku ing— Akh—“
Hasbi membungkam mulut Bigel dengan bibir, mencium secara paksa agar wanita itu menjadi luluh. Bigel berusaha menolak, tapi ia kalah karena tenaganya tidak mampu melawan Hasbi. Untuk itu, Bigel memilih meremat kemeja Hasbi dan menangis dalam ciuman tersebut.
Hasbi melepaskan pagutan ciuman tersebut dan menangkup wajah Bigel dengan kedua tangannya. “Aku mencintaimu,” ucapnya pelan, lalu mencium dahi Bigel dengan hati-hati. “Aku mencintaimu, Elruby Abygael.”
Bigel memberanikan diri untuk mendongak menatap Hasbi, tidak ada pancaran kebohongan karena hanya ada wajah lelah Hasbi yang berkeringat penuh. Pertama kalinya, raut wajah Hasbi begitu cemas dan tidak ingin Bigel pergi darinya.
“I-irasya, dia—“
“Aku juga akan bertanggung jawab.”
“B-bertanggung jawab, menikahinya juga?”
•••
“Bigel.”“Mama ....” Bigel mendadak manja saat Iza menghampirinya dengan raut wajah khawatir. Bagaimana tidak, ia datang dengan diantar Hasbi dan membawa dua tas besar.“Apa yang terjadi?”“Bigel mau disini saja, tidak mau di rumah itu lagi.”“Kenapa?” Iza bertanya sembari membawa Bigel kepelukannya dan menatap Hasbi dengan penuh pertanyaan, yang ditatap hanya kebingungan memulai kalimat darimana.“Mas Hasbi mau menikahi Ir—““Tidak, Bigel. Aku tidak bilang seperti itu. Aku hanya akan bertanggung jawab kalau memang benar itu anakku,” sela Hasbi, memotong kalimat Bigel dengan nada tinggi.Iza mengusap pipi Bigel dengan lembut. “Jelaskan pada Mama.”“Irasya kembali, dia mengatakan jika mengandung anak Mas Hasbi. Sudah enam bulan, Mama.”Iza sedikit terkejut dengan jawaban Bigel, tapi melihat respon Hasbi sepertinya putra bungsunya telah melepaskan Irasya dan memilih Bigel. Tentu, ada rasa bahagianya walaupun setelah ini harus menghadapi Irasya.“Kau menghamili anak itu, Hasbi?”“I-itu ..
"Kenapa seperti orang kesurupan! Kau ini gila, Hasbi?""Mama dimana?" Endrico tidak habis pikir dengan kelakuan adik bungsunya tersebut. "Bigel sedang hamil, butuh ketenangan dan kau malah merusuh. Apa kau tidak bekerja?" "Kau sendiri memangnya tidak bekerja? Mentang-mentang ada Bigel sengaja berlama-lama di rumah? Kau pikir aku tidak tau jika kau menyukai istriku?" "Tutup mulutmu, Hasbi.""Mulutmu yang harus ditutup," kecam Hasbi, dia meninggalkan Endrico yang berada di ruang keluarga dan menuju ruangan santai milik ibunya, tepat dekat teras belakang.Hasbi melihat sang ibu yang tengah berdiri sambil memperhatikan tanaman hiasnya yang mulai usang. "Mama!"Iza berlipat tangan di dada, dia memperhatikan putranya lamat-lamat. "Teriakanmu terdengar sampai disini. Tidak bisa sedikit lebih sopan pada kakak tertuamu?""Itu tidak penting, Mama. Hasbi lebih kasihan pada tindakan Mama yang keterlaluan itu.""Ini belum jam makan siang, kau tidak bekerja? Atau baru sudah menyelesaikan urusanm
"Aku tidak bermaksud menipumu, Hasbi. Maafkan aku, tapi apa itu enggak berarti lagi kenangan kita?" Hasbi menggeleng penuh percaya diri. "Semuanya terasa hambar, aku jadi benci mengingat kenangan yang pernah aku buat bersamamu. Sekarang naluri dan otakku isinya hanya tentang Bigel." Irasya mendekat dan menyentuh lengan Hasbi, tapi Hasbi menepis pelan. Tentu, dia menolak untuk bersentuhan dengan Irasya. "Kau bilang kau cinta padaku dan tidak ingin dengan wanita lain." "Karena bubu. Pantas saja setelah kejadian hari itu di HIMA, semuanya terasa aneh di hatiku." "Hasbi, kita sudah empat tahun dan kau melepaskan hubungan kita begitu saja?" "Karena kau bubu, aku mencintaimu. Tapi, kau membohongiku, jadi mudah saja perasaan itu hilang," tutur Hasbi, matanya tidak terpancar rasa cinta lagi untuk Irasya. "H-hasbi, kenapa harus B-bigel? Kenapa harus Bigel yang selalu menang?" Hasbi menggeleng tidak percaya dengan apa yang dikatakan Irasya. "Bigel dari dulu tidak jahat padamu. Apa sekal
"Akunya mau dipijetin, bukan diciumin, Mas Hasbi." Bigel protes karena sedari tadi, Hasbi menciumi perutnya.Hasbi pun terkekeh kecil dengan tingkah gemas Bigel yang protes. "Ini dipijetin, kok," balasnya sembari memijat kaki Bigel."Ke kantornya jam berapa? Nanti Bigel siapin sarapannya." Kebetulan masih pukul 05.40 yang artinya masih bisa bersantai sebelum berangkat ke kantor."Siang aja, toh si bos dari kemarin sering datang telat, pasti sengaja buat liat istri aku."Bigel menyipitkan matanya. "Mana ada, Bapak manajer. Bosnya bapak mah lagi banyak tamu, kan mau event hotel. Kenapa sih selalu nuduh bosnya sendiri kayak gitu?""Ya, habisnya kalian deket dari jaman kuliah.""Deketnya karena satu divisi, ih. Lagian akunya udah kasih tau tadi malam kalau kami enggak dekat atau saling suka.""Kamunya aja yang enggak nyadar. Tuh, kaya tadi malam sampai dibantuin basuh kaki, dihandukin.""Cuma negabantu doang, kan akunya sesak kalau kelamaan nunduk. Mas, ih ...."Hasbi berbaring lagi, jelas
"Mas, kalau mansion terlalu mewah ga, sih? Kayaknya apartemen aja, tapi yang deket kantor Mas," tukas Bigel, ia duduk di sofa coklat tepat di samping Hasbi."Mau yang deket kantor Mas? Kenapa?""Biar kalau pulang kerja ngehemat waktu, terus aku bisa cepet-cepet ketemu sama Mas, hehe."Hasbi menaruh ipad-nya pada meja yang ada di hadapannya. "Kalau gitu, ikut Mas aja tiap hari ke kantor biar Mas liat wajah Bigel terus-terusan.""Apaan, nanti ditegur mama.""Biarin.""Nanti, mas En— maksudnya—“"Mas ga mau denger nama dia. Udah tahu kan kalau dia tuh pengennya kamu, enggak kebayang kalau Bigel jadi istri dia, terus Mas tahu kalau Bigel bubu yang asli. Yang ada masmu ini mau rebut balik sampai cerai.""Is mulutnya. Kalau gitu, berarti emang ga jodoh."Hasbi menyentuh pinggul Bigel dengan kedua tangannya. "Harus jodoh, ga mau tau. Emangnya Bigel mau dinikahin sama dia?""Ehm ....""Kok pake mikir? Bilang enggak dong."Bigel tertawa dan memundurkan tubunya. "Maksa, ya?"Hasbi pun bergerak p
"M-mama, Bigel capek. B-bigel capek ....""Bigel belum mendengar dari Hasbi sendiri. Jangan seperti ini, ya ... pikirkan bayi disini. Hasbi sebentar lagi pulang. Kita akan tahu kebenarannya ... Mama percaya pada Hasbi." Iza berulang kali menenangkan Bigel, mengusap punggung menantunya dan sesekali mengusap keringat Bigel yang kini tengah dalam pelukannya."M-mas Hasbi, Bigel sakit. B-bigel sakit dan capek ....""Mbok Mumu. Mbok, kemari."Mbok Mumu yang sudah stay di depan pintu kamar Iza pun langsung masuk ke dalam kamar majikannya tersebut."Ibu, mobil mas Hasbi udah masuk gerbang.""Cepat suruh dia kemari, Mbok," titah Iza."Baik, Bu," ucap Iza menuruti permintaan majikannya itu.Hasbi yang mendengar kabar Bigel dari mbok Mumu pun langsung berlari memasuki kamar Iza. Terlihat, Bigel yang berantakan dengan tangisan yang tidak berhenti."Bigel." Hasbi melepaskan begitu saja plastik bawaannya yang berisi bakmi kesukaan Bigel. "Ma, Bigel kenapa?" Hasbi mengambil Bigel dari pelukan mamany
"Udah jalan lima bulan, kata dokter harus banyak istirahat dan ga boleh angkat yang berat-berat. Urusan beresin apartemen nanti Mas aja yang ngerjain.""T-tapi kan Mas juga kerja. Lagian, aku tuh sendirian kalau pagi ga suka cuma diem doang.""Tapi Bigel tuh sering kecapekan, Mas enggak tega. Atau nanti sewa orang aja buat bersihin satu minggu dua kali. Bigel cuma boleh nyapu aja.""Ya, udah.""Kok, kayak ngambek?""Enggak," jawab Bigel sembari membuang muka ke arah yang berlawanan dengan Hasbi."Enggak kasian sama Masnya ini?""Apaan, kan aku udah jawab ya udah.""Mas tau tentang pinggul kamu itu."Reflek, Bigel menolehkan pandangannya tertuju pada Hasbi. "Dari Mama? Kapan?""Sebelum pindahan ke apartemen. Mama ngasih tau karena Mas bahas kak Freya," jawab Hasbi, pandangannya tidak pernah teralih dari Bigel."Udah lama juga, Bigel udah lupa.""Udah lupa, tapi sakitnya enggak bakal lupa, kan? Mas merhatiin kamu terus, tiap malam kamu suka pengangin pinggul kamu yang nyeri dengan perut
"Mas enggak ngapa-ngapain sama Jevano, Sayang.""Kok bisa ngurusin pekerjaan jam segini, mana resleting celananya enggak ditutup?""Namanya juga buru-buru sampai lupa resleting celana Mas kebuka. Jevano mau kasih berkas buat rapat sama atasan, takut besok enggak keburu," jawab Hasbi, tentu saja apa yang dikatakannya hanyalah kebohongan. Jevano saja mungkin sedang di rumahnya tertidur lelap."Mana berkasnya, kok enggak ada?"Hasbi mengulum bibirnya ke dalam, alias mati kutu dan memikirkan jawaban apa yang akan membuat Bigel berhenti bertanya lagi. "B-berkasnya udah Mas taruh di mobil. Takut, pas mau ke kantor malah ga kebawa."Bigel menyipitkan matanya pada Hasbi. "Kok gugup?"Aduh, Hasbi makin gelagapan sendiri. "Masih ngantuk, S-sayang.""Ya, udah tidur lagi.""Kamu marah?"Bigel menggeleng, dia tidak marah sebenarnya, lebih tepatnya khawatir. "Aku enggak marah, cuma khawatir pas kebangun mas enggak ada. Baru mau nelpon, ternyata hp-ku habis baterai. Sambil nungguin hp-ku hidup, aku n