"Kau tidak lupa semasa kuliah menjadi penguntitku?"
Kalimat itu terus berputar di kepala Bigel sampai membawa wanita itu tiba di rumah minimalis milik Hasbi. Pernikahan yang tidak direncanakan itu mengalir begitu saja seolah-olah semua baik-baik saja.
Kini, Bigel berada di kamar yang telah menjadi miliknya. Tepat di sebelah dapur, Bigel merasa seperti dijadikan pembantu rumah tangga. Kamar yang kecil, hanya bermodalkan kipas angin kecil dan juga terdapat beberapa perabot rusak. Rasanya, persis seperti gudang.
“Aku penguntit? Haha,” tawa hambar Bigel yang dipaksakan sampai membuat bulir air matanya jatuh ke pipi. “Kenapa aku dituduh penguntit?”
Berlarut dalam pikiran konyol sampai tidak sadar pria yang telah menjadi suaminya itu berdiri memperhatikannya di ambang pintu.
“Apa telingamu itu rusak?”
“Hah! Astaga!” Bigel terduduk dengan raut wajah terkejutnya, buru-buru ia mengeratkan sweater-nya ke tubuh agar tidak terekspos bebas.
“Cih!” Hasbi melihat pergerakan barusan dan berdecak angkuh. “Sama sekali tidak berselera,” lanjutnya dengan remeh.
Bigel mengerti, sangat mengerti dengan tindakan Hasbi. Untuk itu, ia memilih diam dan membiarkan pria di hadapannya terus menghina fisiknya.
“Diam saja, penguntit?”
Bigel memberanikan diri untuk beradu pandang dengan Hasbi. “Kenapa? Apa lagi sekarang? Saya sudah paham dengan peraturan di rumah ini.”
“Kau tidak boleh menyentuh kamarku sedikitpun atau terlalu berkeliaran di rumah ini. Pernikahan ini cuma karena mamaku semata. Setelah aku menemukan Irasya, sudah kupastikan surat cerai akan sampai padamu.”
“Mas Hasbi benar-benar mempermainkan pernikahan, ya?” Pertanyaan itu langsung terlontar saja dengan sempurna. Bigel tidak mengerti dengan jalan pikiran pria itu.
“Kau berharap aku akan jatuh cinta pada penguntit sepertimu?”
“Saya bukan penguntit.”
Hasbi tertawa seakan mengejek elakan gadis itu. “Mana mau mengaku, gadis kumuh dan tidak beradab sepertimu tidak cocok untuk bermimpi menjadi orang kaya,” hardiknya dengan hinaan yang begitu merendahkan Bigel.
“Baik. Saya akan menunggu surat cerai itu sampai,” balas Bigel dengan tenang tanpa tersulut emosi. “Kalau tidak ada lagi yang ingin dibicarakan saya ingin segera tidur. Jangan khawatir dengan peraturan di rumah ini, saya tidak akan melanggar.” Bigel segera berbaring dan memunggungi Hasbi yang masih terdiam disana. Rasanya, ada sesuatu yang sesak di dada, tapi sulit dijabarkan.
Hasbi mengaku, ucapannya terlalu kelewatan dan sangat merendahkan harga diri Bigel. Namun, Hasbi tetaplah sosok laki-laki yang enggan menurunkan ego-nya sedikit saja untuk meminta maaf kepada perempuan yang ia benci.
Selanjutnya, Hasbi meletakkan sebuah kunci di atas lemari kecil yang ada disana, sepertinya lemari itu digunakan Bigel untuk menaruh pakaiannya. “Ini kunci motor, untukmu,” jelasnya singkat. Tapi, Bigel pun tak merespon sampai Hasbi gelisah sendiri. “Kau tidak punya kendaraan dan aku meminjamkannya atas kemauan mama.”
Bigel menahan gerah, tangannya terkepal meremas seprai ranjang. Tersulut emosi? Mungkin? Tapi, dia bisa apa?
“Ya.” Jawaban singkat itu mampu membuat Hasbi keluar dari kamarnya yang sempit tersebut.
***
Pagi-pagi sekali Bigel sudah berkutat dengan pekerjaan rumah, kebiasaannya setiap pagi dan juga dia sadar diri, bahwa ia hanya menumpang tinggal disana. Kalau bisa memilih, dia lebih menginginkan tinggal di rumahnya yang kecil.
Setelah menyelesaikan semua pekerjaannya, Bigel berniat kembali ke rumahnya. Belum lagi, ibu Iza yang mengatakan kalau Bigel tidak perlu lagi bekerja menjadi asisten umum. Lantas? Bagaimana Bigel akan hidup setelah ini? Mencari pekerjaan baru?
Terlena dalam pikirannya sampai ia tidak menyadari dengan kehadiran Hasbi yang baru saja keluar dari kamarnya. Pria itu berpakaian rapi dan terlihat kasual, sepertinya akan pergi.
“Mas Hasbi,” ucap Bigel sebelum Hasbi melenggang pergi lewat pintu utama.
“Ada apa?”
“Saya pikir karena ini bukan pernikahan yang diinginkan, seharusnya saya tidak tinggal disini. Saya ingin tinggal di rumah saya sendiri.”
Hasbi menyipitkan kedua matanya. “Kau bisa menurut saja dan berhenti memikirkan rumahmu yang seperti sarang penyakit itu? Diam saja dan jangan buat mamaku protes padaku demi membuatmu nyaman.”
“Saya tidak punya pekerjaan lagi sekarang gara-gara pernikahan ini.”
“Bukan urusanku,” cakap Hasbi dengan dingin. Laki-laki itu memilih pergi dari hadapan Bigel.
Bigel pun membuntuti untuk meminta setidaknya sedikit kebaikan Hasbi. “Mas Hasbi, jangan seperti ini. Saya ini perempuan dan butuh pekerjaan,” ungkapnya dengan suara yang terdengar bergetar.
Hasbi berbalik, sehingga Bigel tersentak dan terdiam di tempat ia berdiri sekarang. “Kau ini memang sangat berisik. Asistenku yang akan mengirim uang bulanan padamu selagi kau masih berstatus sebagai istriku.”
“T-tapi-“ ucapan Bigel terhenti tat kala Hasbi memolotinya tidak tanggung-tanggung.
Melihat tidak ada reaksi dari Bigel lagi, Hasbi pikir istrinya itu sudah benar-benar paham dengan rules yang ia terapkan. Namun, nyatanya sesuatu mendarat di lengan kananya, telapak tangan kecil yang dingin sedang menahan pergerakannya.
“Bigel.”
“Kenapa Mas Hasbi menerima pernikahan ini di saat Mas sendiri bisa menolak?”
Hasbi melepaskan tangan bigel dari lengannya. “Hanya karena mama. Jika mama tidak memaksa hari itu, jelas aku tidak akan pernah menikah dengan wanita manapun selain Irasya.”
“Hhh!” Bigel sedikit melenguh karena tidak percaya. “Alasan yang tidak tepat. Dari sisi mana saya harus percaya? Oh, apa saya cuma dimanfaatkan?”
Salah satu alis Hasbi terangkat. “Wow, kau cukup pandai menerka, ya. Pendapatmu tidak salah, sejujurnya aku tidak mengerti kenapa mama terus memaksaku hari itu untuk menikah denganmu. Tapi ....”
“Tapi apa?”
“Mama sudah janji jika Irasya kembali, maka aku punya hak sepenuhnya untuk menceraikanmu.”
Bagian dadanya Bigel terasa sesak, sama sekali tidak memberikan jawaban yang tepat. “Kenapa saya? Kenapa harus saya?”
“Tanyakan sendiri pada mama, aku tidak punya jawaban,” pungkas Hasbi. Dia meninggalkan Bigel yang masih setia disana dengan pikiran yang bercabang-cabang.
***
"Bagaimana? Sudah melakukannya dengan Hasbi?"
"Hah?" Bigel dibuat kebingungan, lantaran pertanyaan yang dilontarkan oleh Iza membuat otaknya berpikiran kotor. "M-maksud Ibu?" tanyanya dengan gugup. Tentu, untuk memastikan jika ia salah paham.
"Membuat cucu."
Jelas, Bigel mati kutu dengan balasan spontan dari Iza. Mana mungkin, mereka berdua berbicara saja hanya berisi perdebatan yang tidak berujung, apalagi melakukan hal sejauh itu.
"Diam saja?" Lagi, Iza terus menekan Bigel untuk segera menjawab. Belum lagi, matanya yang fokus pada bagian bawah Bigel, sehingga dengan reflek Bigel menutupi dengan telapak tangannya.
"Ibu, kami tidak sekamar. Lagi pu-"
"Baiklah. Ibu yang akan berbicara pada Hasbi nanti.
Bigel melotot ngeri, berusaha membuat tanda menolak dengan kedua tangannya. Bukan ini yang dia mau, dia datang untuk mempertanyakan kenapa bu Iza bersikeras agar dia dan anaknya menikah.
"Bu, bukan begitu. Mas Hasbi dan Irasya kan-"
"Berhenti membicarakan Irasya. Ibu tidak mau mendengar namanya lagi, Bigel."
"Tapi, kenapa harus Bigel?"
Iza tersenyum tipis dan menyesap teh hangat buatan Bigel. Memang, Bigel yang datang lebih dulu ke rumah Iza, tetapi sudah kebiasaannya membuatkan teh untuk bos-nya yang sekarang menjadi mertuanya.
"Karena Ibu sudah mengenal Bigel dengan baik."
Lagi, itu bukanlah alasan yang Bigel mau. Klise dan sama sekali tidak membuat Bigel lega.
"Jawaban Ibu sama sekali tidak bisa saya terima. Menurut saya, ini sama saja memanfaatkan orang lemah untuk kepentingan Ibu sendiri. Saya tidak bisa tinggal dengan laki-laki yang bukan saya cintai."
Iza menyandarkan punggungnya di dinding sofa dan kedua matanya tidak pernah lepas memandangi Bigel. "Apa salahnya dengan Hasbi? Bukannya dulu Bigel menyukai Hasbi?"
Pertanyaan Iza kendati membuat Bigel menggeleng-gelengkan kepalanya. "I-ibu salah paham."
"Turuti saja, Bigel. Mulai sekarang, Bigel tidak memiliki tanggung jawab pekerjaan disini karena Bigel sudah sepenuhnya bertanggung jawab menjadi seorang istri dari anak Ibu."
"Bu-"
"Ibu akan mengatakan pada Hasbi untuk memberi Bigel di kamar yang sama dengannya. Ibu tidak melarang jika ingin memiliki momongan dengan segera," selanya dengan kalimat-kalimat yang tenang.
Hari itu, Bigel memahami jika kehidupan setelah ini benar-benar akan menempuh jalan yang penuh dengan roller coaster.
•••
“ELRUBY ABYGAEL.”Mengingat sesuatu yang tidak pernah kamu harapkan mungkin akan terjadi. Kadang, bisa menjadi malapetaka atau justru adalah perubahan terbaik dalam hidupmu.Bigel mungkin takut dengan suara keras yang mencekik telinga. Ini bukan kemauannya, tapi dia sadar ... pasti dia yang akan menjadi samsak kemarahan dari pria yang menyandang status sebagai suaminya.“BIGEL,” tekannya lagi. Perasaan yang begitu murka kian menjadi tatkala dia mendapati sosok Bigel yang berdiri di dekat wastafel pencuci piring, namun mengabaikan panggilannya.“A-ada apa, Mas? Saya sedang mencuci piring,” jawab Bigel penuh dengan kehati-hatian.Hasbi pun tanpa banyak basa-basi mendekati Bigel dengan aura penuh emosi, lalu menarik tangan Bigel dengan kasar serta menyeretnya untuk masuk ke dalam kamar. Ketakutannya Bigel, ia berusaha menahan tubuhnya agar tidak terjatuh karena tidak bisa menyeimbangi langkah Hasbi.“Mas! Apaan, sih! Mau kemana?” teriak Bigel, dia berusaha melawan dari suaminya.“Ini kan
“Siapa? Laki-laki siapa yang dimaksud? Apa sekarang masih suka?” Hasbi membungkus tubuhnya dengan selimut tebal pagi ini. Sudah tiga hari dia berbaikan dengan Bigel. Namun, selama itulah dirinya memikirkan laki-laki yang disukai Bigel semasa kuliah dulu. Bigel mengatakan jika dulu dia bukan menguntit Hasbi, hanya kesalahpahaman karena Bigel sedang menunggu laki-laki lain.“Mas Hasbi?” panggil Bigel sembari mengetuk pintu kamar pria itu berulang kali. “Mas, ini ada yang mengantarkan berkas dokumen. Saya taruh dimana? Apa Mas tidak bekerja?” Rentetan pertanyaan mengalir begitu saja dengan matanya tertuju pada sampul dokumen. Tertulis, dokumen pekerjaan itu untuk manajer eksekutif Hasbi Abraham.Hasbi bekerja di sebuah usaha hotel milik mendiang ayahnya, yaitu Rise Hotel. Dia memegang jabatan sebagai manajer eksekutif di bawah pimpinan direktur utama Endrico Abraham, putra sulung Abraham.Suara Bigel tidak digubris karena dia merasa tidak enak badan dan suhu tubuhnya mungkin naik. Harusn
Sudah melewati tiga bulan pernikahan dan Hasbi menyadari jika dia mengalami perubahan yang bertahap dalam kehidupannya. Memiliki Bigel di sisinya, membawa pengaruh positif dan pastinya lebih mudah mengontrol emosi.Setelah Hasbi sakit hari itu, hubungan keduanya menjadi lebih dekat karena Bigel yang secara tidak sengaja memanjakan Hasbi yang sedang lemah kala itu. Kini, Hasbi benar-benar mengerti alasan ibunya bersikeras menikahkan ia dengan Bigel.Hasbi tidak menyatakan jika dia sudah menaruh hati untuk Bigel, tetapi dia terus memikirkan bagaimana perasaannya dengan Irasya? Wanita yang pergi begitu saja dari kehidupannya.“Aku ... menemukan ini di dalam kamarmu.”Bigel yang sedang mengaduk tepung pun terkejut bukan main saat Hasbi memperlihatkan sebuah kotak persegi berwarna biru laut. “Bagaimana b-bisa?” Bagaimana bisa Hasbi menyentuh barang-barangnya di dalam kamar?“Malam itu, pertama dan terakhir, bukan?”“Aku tidak melakukannya dengan laki-laki lain!” sebut Bigel sembari berusah
“Mas, pulangnya masih lama?”“Ini udah di mobil, Bigel. Mas bawain ikan laut pedas yang Bigel pesan. Sabar, ya?”“Aku hari ini pamit pergi ya, Mas. Kedepannya kalau mau antar surat cerai, Mas bisa telepon aku. Kalau anak kita udah lahir, aku juga bakal kasih tau Mas.”Hasbi mengerem secara mendadak karena rasa terkejutnya yang bukan main. “Bigel! Apa-apaan? Apa yang kau katakan barusan! Kau mau kemana? Jangan main-main begini. Aku tidak suka, Bigel!” kecam Hasbi karena rasa marahnya mulai tersulut.“Aku mau pulang ke kampung halaman ibuku.”Hasbi mengusap wajahnya dengan kasar, heran dengan sikap Bigel yang seperti ini. “Kau mau pulang untuk apa? Bukannya sudah tidak ada lagi keluarga disana? Kenapa tiba-tiba minta cerai? Jika memang ingin kesana, kita akan kesana. Bukan cerai seperti ini, Bigel.”“Intinya, aku ingin keluar dari rumah sore ini. Aku akan membawa semua barang-barangku.”“Bigel, apa yang terjadi? Lima bulan pernikahan kita dan sudah dua bulan kita berusaha untuk saling m
“Bigel.”“Mama ....” Bigel mendadak manja saat Iza menghampirinya dengan raut wajah khawatir. Bagaimana tidak, ia datang dengan diantar Hasbi dan membawa dua tas besar.“Apa yang terjadi?”“Bigel mau disini saja, tidak mau di rumah itu lagi.”“Kenapa?” Iza bertanya sembari membawa Bigel kepelukannya dan menatap Hasbi dengan penuh pertanyaan, yang ditatap hanya kebingungan memulai kalimat darimana.“Mas Hasbi mau menikahi Ir—““Tidak, Bigel. Aku tidak bilang seperti itu. Aku hanya akan bertanggung jawab kalau memang benar itu anakku,” sela Hasbi, memotong kalimat Bigel dengan nada tinggi.Iza mengusap pipi Bigel dengan lembut. “Jelaskan pada Mama.”“Irasya kembali, dia mengatakan jika mengandung anak Mas Hasbi. Sudah enam bulan, Mama.”Iza sedikit terkejut dengan jawaban Bigel, tapi melihat respon Hasbi sepertinya putra bungsunya telah melepaskan Irasya dan memilih Bigel. Tentu, ada rasa bahagianya walaupun setelah ini harus menghadapi Irasya.“Kau menghamili anak itu, Hasbi?”“I-itu ..
"Kenapa seperti orang kesurupan! Kau ini gila, Hasbi?""Mama dimana?" Endrico tidak habis pikir dengan kelakuan adik bungsunya tersebut. "Bigel sedang hamil, butuh ketenangan dan kau malah merusuh. Apa kau tidak bekerja?" "Kau sendiri memangnya tidak bekerja? Mentang-mentang ada Bigel sengaja berlama-lama di rumah? Kau pikir aku tidak tau jika kau menyukai istriku?" "Tutup mulutmu, Hasbi.""Mulutmu yang harus ditutup," kecam Hasbi, dia meninggalkan Endrico yang berada di ruang keluarga dan menuju ruangan santai milik ibunya, tepat dekat teras belakang.Hasbi melihat sang ibu yang tengah berdiri sambil memperhatikan tanaman hiasnya yang mulai usang. "Mama!"Iza berlipat tangan di dada, dia memperhatikan putranya lamat-lamat. "Teriakanmu terdengar sampai disini. Tidak bisa sedikit lebih sopan pada kakak tertuamu?""Itu tidak penting, Mama. Hasbi lebih kasihan pada tindakan Mama yang keterlaluan itu.""Ini belum jam makan siang, kau tidak bekerja? Atau baru sudah menyelesaikan urusanm
"Aku tidak bermaksud menipumu, Hasbi. Maafkan aku, tapi apa itu enggak berarti lagi kenangan kita?" Hasbi menggeleng penuh percaya diri. "Semuanya terasa hambar, aku jadi benci mengingat kenangan yang pernah aku buat bersamamu. Sekarang naluri dan otakku isinya hanya tentang Bigel." Irasya mendekat dan menyentuh lengan Hasbi, tapi Hasbi menepis pelan. Tentu, dia menolak untuk bersentuhan dengan Irasya. "Kau bilang kau cinta padaku dan tidak ingin dengan wanita lain." "Karena bubu. Pantas saja setelah kejadian hari itu di HIMA, semuanya terasa aneh di hatiku." "Hasbi, kita sudah empat tahun dan kau melepaskan hubungan kita begitu saja?" "Karena kau bubu, aku mencintaimu. Tapi, kau membohongiku, jadi mudah saja perasaan itu hilang," tutur Hasbi, matanya tidak terpancar rasa cinta lagi untuk Irasya. "H-hasbi, kenapa harus B-bigel? Kenapa harus Bigel yang selalu menang?" Hasbi menggeleng tidak percaya dengan apa yang dikatakan Irasya. "Bigel dari dulu tidak jahat padamu. Apa sekal
"Akunya mau dipijetin, bukan diciumin, Mas Hasbi." Bigel protes karena sedari tadi, Hasbi menciumi perutnya.Hasbi pun terkekeh kecil dengan tingkah gemas Bigel yang protes. "Ini dipijetin, kok," balasnya sembari memijat kaki Bigel."Ke kantornya jam berapa? Nanti Bigel siapin sarapannya." Kebetulan masih pukul 05.40 yang artinya masih bisa bersantai sebelum berangkat ke kantor."Siang aja, toh si bos dari kemarin sering datang telat, pasti sengaja buat liat istri aku."Bigel menyipitkan matanya. "Mana ada, Bapak manajer. Bosnya bapak mah lagi banyak tamu, kan mau event hotel. Kenapa sih selalu nuduh bosnya sendiri kayak gitu?""Ya, habisnya kalian deket dari jaman kuliah.""Deketnya karena satu divisi, ih. Lagian akunya udah kasih tau tadi malam kalau kami enggak dekat atau saling suka.""Kamunya aja yang enggak nyadar. Tuh, kaya tadi malam sampai dibantuin basuh kaki, dihandukin.""Cuma negabantu doang, kan akunya sesak kalau kelamaan nunduk. Mas, ih ...."Hasbi berbaring lagi, jelas