Home / Pernikahan / Unperfect Marriage / 01. Dituduh penguntit

Share

Unperfect Marriage
Unperfect Marriage
Author: bigelbul

01. Dituduh penguntit

"Kau tidak lupa semasa kuliah menjadi penguntitku?"

Kalimat itu terus berputar di kepala Bigel sampai membawa wanita itu tiba di rumah minimalis milik Hasbi. Pernikahan yang tidak direncanakan itu mengalir begitu saja seolah-olah semua baik-baik saja.

Kini, Bigel berada di kamar yang telah menjadi miliknya. Tepat di sebelah dapur, Bigel merasa seperti dijadikan pembantu rumah tangga. Kamar yang kecil, hanya bermodalkan kipas angin kecil dan juga terdapat beberapa perabot rusak. Rasanya, persis seperti gudang.

“Aku penguntit? Haha,” tawa hambar Bigel yang dipaksakan sampai membuat bulir air matanya jatuh ke pipi. “Kenapa aku dituduh penguntit?”

Berlarut dalam pikiran konyol sampai tidak sadar pria yang telah menjadi suaminya itu berdiri memperhatikannya di ambang pintu.

“Apa telingamu itu rusak?”

“Hah! Astaga!” Bigel terduduk dengan raut wajah terkejutnya, buru-buru ia mengeratkan sweater-nya ke tubuh agar tidak terekspos bebas.

“Cih!” Hasbi melihat pergerakan barusan dan berdecak angkuh. “Sama sekali tidak berselera,” lanjutnya dengan remeh.

Bigel mengerti, sangat mengerti dengan tindakan Hasbi. Untuk itu, ia memilih diam dan membiarkan pria di hadapannya terus menghina fisiknya.

“Diam saja, penguntit?”

Bigel memberanikan diri untuk beradu pandang dengan Hasbi. “Kenapa? Apa lagi sekarang? Saya sudah paham dengan peraturan di rumah ini.”

“Kau tidak boleh menyentuh kamarku sedikitpun atau terlalu berkeliaran di rumah ini. Pernikahan ini cuma karena mamaku semata. Setelah aku menemukan Irasya, sudah kupastikan surat cerai akan sampai padamu.”

“Mas Hasbi benar-benar mempermainkan pernikahan, ya?” Pertanyaan itu langsung terlontar saja dengan sempurna. Bigel tidak mengerti dengan jalan pikiran pria itu.

“Kau berharap aku akan jatuh cinta pada penguntit sepertimu?”

“Saya bukan penguntit.”

Hasbi tertawa seakan mengejek elakan gadis itu. “Mana mau mengaku, gadis kumuh dan tidak beradab sepertimu tidak cocok untuk bermimpi menjadi orang kaya,” hardiknya dengan hinaan yang begitu merendahkan Bigel.

“Baik. Saya akan menunggu surat cerai itu sampai,” balas Bigel dengan tenang tanpa tersulut emosi. “Kalau tidak ada lagi yang ingin dibicarakan saya ingin segera tidur. Jangan khawatir dengan peraturan di rumah ini, saya tidak akan melanggar.” Bigel segera berbaring dan memunggungi Hasbi yang masih terdiam disana. Rasanya, ada sesuatu yang sesak di dada, tapi sulit dijabarkan.

Hasbi mengaku, ucapannya terlalu kelewatan dan sangat merendahkan harga diri Bigel. Namun, Hasbi tetaplah sosok laki-laki yang enggan menurunkan ego-nya sedikit saja untuk meminta maaf kepada perempuan yang ia benci.

Selanjutnya, Hasbi meletakkan sebuah kunci di atas lemari kecil yang ada disana, sepertinya lemari itu digunakan Bigel untuk menaruh pakaiannya. “Ini kunci motor, untukmu,” jelasnya singkat. Tapi, Bigel pun tak merespon sampai Hasbi gelisah sendiri. “Kau tidak punya kendaraan dan aku meminjamkannya atas kemauan mama.”

Bigel menahan gerah, tangannya terkepal meremas seprai ranjang. Tersulut emosi? Mungkin? Tapi, dia bisa apa?

“Ya.” Jawaban singkat itu mampu membuat Hasbi keluar dari kamarnya yang sempit tersebut.

***

Pagi-pagi sekali Bigel sudah berkutat dengan pekerjaan rumah, kebiasaannya setiap pagi dan juga dia sadar diri, bahwa ia hanya menumpang tinggal disana. Kalau bisa memilih, dia lebih menginginkan tinggal di rumahnya yang kecil.

Setelah menyelesaikan semua pekerjaannya, Bigel berniat kembali ke rumahnya. Belum lagi, ibu Iza yang mengatakan kalau Bigel tidak perlu lagi bekerja menjadi asisten umum. Lantas? Bagaimana Bigel akan hidup setelah ini? Mencari pekerjaan baru?

Terlena dalam pikirannya sampai ia tidak menyadari dengan kehadiran Hasbi yang baru saja keluar dari kamarnya. Pria itu berpakaian rapi dan terlihat kasual, sepertinya akan pergi.

“Mas Hasbi,” ucap Bigel sebelum Hasbi melenggang pergi lewat pintu utama.

“Ada apa?”

“Saya pikir karena ini bukan pernikahan yang diinginkan, seharusnya saya tidak tinggal disini. Saya ingin tinggal di rumah saya sendiri.”

Hasbi menyipitkan kedua matanya. “Kau bisa menurut saja dan berhenti memikirkan rumahmu yang seperti sarang penyakit itu? Diam saja dan jangan buat mamaku protes padaku demi membuatmu nyaman.”

“Saya tidak punya pekerjaan lagi sekarang gara-gara pernikahan ini.”

“Bukan urusanku,” cakap Hasbi dengan dingin. Laki-laki itu memilih pergi dari hadapan Bigel.

Bigel pun membuntuti untuk meminta setidaknya sedikit kebaikan Hasbi. “Mas Hasbi, jangan seperti ini. Saya ini perempuan dan butuh pekerjaan,” ungkapnya dengan suara yang terdengar bergetar.

Hasbi berbalik, sehingga Bigel tersentak dan terdiam di tempat ia berdiri sekarang. “Kau ini memang sangat berisik. Asistenku yang akan mengirim uang bulanan padamu selagi kau masih berstatus sebagai istriku.”

“T-tapi-“ ucapan Bigel terhenti tat kala Hasbi memolotinya tidak tanggung-tanggung.

Melihat tidak ada reaksi dari Bigel lagi, Hasbi pikir istrinya itu sudah benar-benar paham dengan rules yang ia terapkan. Namun, nyatanya sesuatu mendarat di lengan kananya, telapak tangan kecil yang dingin sedang menahan pergerakannya.

“Bigel.”

“Kenapa Mas Hasbi menerima pernikahan ini di saat Mas sendiri bisa menolak?”

Hasbi melepaskan tangan bigel dari lengannya. “Hanya karena mama. Jika mama tidak memaksa hari itu, jelas aku tidak akan pernah menikah dengan wanita manapun selain Irasya.”

“Hhh!” Bigel sedikit melenguh karena tidak percaya. “Alasan yang tidak tepat. Dari sisi mana saya harus percaya? Oh, apa saya cuma dimanfaatkan?”

Salah satu alis Hasbi terangkat. “Wow, kau cukup pandai menerka, ya. Pendapatmu tidak salah, sejujurnya aku tidak mengerti kenapa mama terus memaksaku hari itu untuk menikah denganmu. Tapi ....”

“Tapi apa?”

“Mama sudah janji jika Irasya kembali, maka aku punya hak sepenuhnya untuk menceraikanmu.”

Bagian dadanya Bigel terasa sesak, sama sekali tidak memberikan jawaban yang tepat. “Kenapa saya? Kenapa harus saya?”

“Tanyakan sendiri pada mama, aku tidak punya jawaban,” pungkas Hasbi. Dia meninggalkan Bigel yang masih setia disana dengan pikiran yang bercabang-cabang.

***

"Bagaimana? Sudah melakukannya dengan Hasbi?"

"Hah?" Bigel dibuat kebingungan, lantaran pertanyaan yang dilontarkan oleh Iza membuat otaknya berpikiran kotor. "M-maksud Ibu?" tanyanya dengan gugup. Tentu, untuk memastikan jika ia salah paham.

"Membuat cucu."

Jelas, Bigel mati kutu dengan balasan spontan dari Iza. Mana mungkin, mereka berdua berbicara saja hanya berisi perdebatan yang tidak berujung, apalagi melakukan hal sejauh itu.

"Diam saja?" Lagi, Iza terus menekan Bigel untuk segera menjawab. Belum lagi, matanya yang fokus pada bagian bawah Bigel, sehingga dengan reflek Bigel menutupi dengan telapak tangannya.

"Ibu, kami tidak sekamar. Lagi pu-"

"Baiklah. Ibu yang akan berbicara pada Hasbi nanti.

Bigel melotot ngeri, berusaha membuat tanda menolak dengan kedua tangannya. Bukan ini yang dia mau, dia datang untuk mempertanyakan kenapa bu Iza bersikeras agar dia dan anaknya menikah.

"Bu, bukan begitu. Mas Hasbi dan Irasya kan-"

"Berhenti membicarakan Irasya. Ibu tidak mau mendengar namanya lagi, Bigel."

"Tapi, kenapa harus Bigel?"

Iza tersenyum tipis dan menyesap teh hangat buatan Bigel. Memang, Bigel yang datang lebih dulu ke rumah Iza, tetapi sudah kebiasaannya membuatkan teh untuk bos-nya yang sekarang menjadi mertuanya.

"Karena Ibu sudah mengenal Bigel dengan baik."

Lagi, itu bukanlah alasan yang Bigel mau. Klise dan sama sekali tidak membuat Bigel lega.

"Jawaban Ibu sama sekali tidak bisa saya terima. Menurut saya, ini sama saja memanfaatkan orang lemah untuk kepentingan Ibu sendiri. Saya tidak bisa tinggal dengan laki-laki yang bukan saya cintai."

Iza menyandarkan punggungnya di dinding sofa dan kedua matanya tidak pernah lepas memandangi Bigel. "Apa salahnya dengan Hasbi? Bukannya dulu Bigel menyukai Hasbi?"

Pertanyaan Iza kendati membuat Bigel menggeleng-gelengkan kepalanya. "I-ibu salah paham."

"Turuti saja, Bigel. Mulai sekarang, Bigel tidak memiliki tanggung jawab pekerjaan disini karena Bigel sudah sepenuhnya bertanggung jawab menjadi seorang istri dari anak Ibu." 

"Bu-"

"Ibu akan mengatakan pada Hasbi untuk memberi Bigel di kamar yang sama dengannya. Ibu tidak melarang jika ingin memiliki momongan dengan segera," selanya dengan kalimat-kalimat yang tenang.

Hari itu, Bigel memahami jika kehidupan setelah ini benar-benar akan menempuh jalan yang penuh dengan roller coaster.

•••

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status