Sepuluh hari sudah berlalu sejak kepergian wanita itu. Izumi masih belum sembuh dari rasa kehilangan tapi dunia menyeretnya untuk bangkit. Air matanya baru saja ia seka, Ia mengusap kaca tempat abu ibunya di semayamkan dan membuat kaca itu basah oleh air mata. Setelah berpamitan, Izumi melangkah keluar. Ia di sambut oleh langit biru Yokohama yang membentang. Rambut hitam sebahunya beterbangan tertiup angin. Musim semi tetap secantik ini seolah ia tidak peduli dengan apa yang Izumi rasakan. Langkah kecilnya memasuki pelataran kuil. Ia membunyikan lonceng disana lalu berdoa. Sembilan hari kemarin ia terus saja menyalahkan Tuhan karena telah mengambil Ibunya. Hari ini pun ia berencana demikian, tapi ia baru saja mendapat kabar kalau dirinya lolos sebagai penerima beasiswa di Keio University. Apa Tuhan sedang bernegosiasi dengannya agar tidak melulu ia salahkan?
Gadis itu menuruni bus, memasuki jalanan perumahan yang di kanan kirinya berjejer rumah-rumah besar. Andai saja ia tidak membutuhkan seseorang untuk menjadi walinya, Ia tidak akan pernah mau memasuki kawasan ini.
Aku mendapatkan beasiswa di Keio University. Aku hanya memberitahumu kalau aku akan menulis namamu sebagai waliku di informasi mahasiswa. Selebihnya, aku akan lakukan semuanya sendiri.
Surat itu ia letakkan di kotak surat dekat gerbang besi hitam yang menjulang. Rasanya sakit sekali membayangkan betapa kehidupan di dalam sana sedemikian bahagia sementara ia sendiri harus berjuang dari hari ke hari.
Izumi membuka apartemennya. Ia melepas sepatunya dengan malas. Ia menatap partitur-partitur milik ibunya yang masih berserakan di atas meja belajar. Ibunya mengajar piano di sekolah musik. Dulu rumah ini dan ibunya selalu jadi tempat paling nyaman baginya. Ia tidak pernah sabar untuk kembali ke rumah selepas bepergian dari manapun. Ia benci mengakuinya tapi sekarang ia merasa tercekik oleh kesedihan tiap kali pulang ke apartemen. Ia tidak punya alasan untuk pindah karena ia hanya punya tempat ini untuk ia tinggali setidaknya sampai masa sewanya habis. Untuk sekedar pindah pun ia butuh biaya bukan?
Tangannya meraih botol kecil berisi pil, lalu meminumya sebutir bersamaan dengan seteguk air. Ia baru saja terbebas dari obat itu tiga bulan lalu. Tetapi jika sepuluh hari terakhir ia tidak meminumnya mungkin hidupnya tidak sampai hari ini. Ia menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Kehidupan mahasiswanya belum dimulai tapi ia merasa sudah sangat berat untuk melalui hari demi hari.
“Aku akan lakukan semuanya!” Katanya pada diri sendiri. Ia tahu ibunya sangat menginginkan Izumi untuk melanjutkan pendidikannya. Ia harus berjuang semaksimal mungkin meski ia sendiri tidak tahu apakah ia sanggup memulai hidupnya tanpa ibunya.
“Aku takjub sekali melihat hasil ujian seleksimu. Boleh aku tahu kenapa kau menundanya setahun?”
“Ano..” Izumi tidak berniat menjawabnya, ia hanya pura-pura berfikir sambal berharap Wanita itu paham kalau ia tidak ingin menjawab pertanyaan itu
“Kau harus pertahankan nilaimu ya. Disini tertera hal-hal yang harus kau lakukan agar kau bisa mendapatkan beasiswa sampai akhir.” Wanita itu menyodorkan sebundle kertas dengan tulisan cukup padat di dalamnya. Izumi lega wanita itu memahaminya, ia meninggalkan kursinya dengan tatapan menunduk sambil berharap tidak ada yang memperhatikannya.
“Aku takjub sekali melihat hasil ujian seleksimu. Boleh aku tahu kenapa kau menundanya setahun?” ishida Hasegawa menatap sumber suara dengan tatapan tidak ramah. Merasa di tatap dengan cara yang buruk, raut wajah wanita paruh baya itu langsung melunak. Ishida tidak mendengarkan lagi ucapan keduanya sampai gadis yang tadi duduk di depannya beranjak dengan wajah yang murung.
BRUK!
Gadis itu menabrak Ishida karena terlalu menunduk.
“Maafkan aku.” Suaranya terdengar sedikit gemetar. Ishida menatap kedua pupil yang melebar milik gadis itu. Apakah dia takut? Ishida meraih bolpoint yang jatuh seiring mereka bertabrakan. Ishida menatap bolpoint warna merah muda dengan gantungan boneka rajut kecil diujungnya.
“Kau..”
Izumi menatap lelaki di depannya sambil meraih bolpoint yang baru saja lelaki itu ambil setelah mereka bertabrakan. Mata Izumi melebar. Wajah lelaki itu membuat Izumi mengingat kembali dengan jelas kejadian dua tahun lalu. Tiba-tiba perasaan takut menjalar ke sekujur tubuhnya.
“Aku sedang buru-buru. Maafkan aku.” Kata Izumi masih dengan gemetar, ia tidak memberi kesempatan pada lelaki itu untuk menyelesaikan ucapannya. Izumi segera keluar dari ruang registrasi dengan langkah buru-buru. Ia yakin lelaki di depannya berbeda dengan lelaki dua tahun lalu. Tapi kenapa wajah mereka terlihat sangat mirip? Apakah ini hanya perasaannya saja mengingat Ini adalah kali pertama ia berbicara dengan seorang lelaki seumuran dengannya setelah kejadian dua tahun lalu?
Matahari sudah hampir terbenam. Selepas dari kampus Izumi langsung mencari pekerjaan paruh waktu. Ia mulai aktif mencari pekerjaan paruh waktu sejak tiga hari lalu. Melamar via website, mencari informasi melalui majalah di stasiun bahkan ia juga megunjungi satu café ke café yang lain. Banyak hal yang sudah ia lakukan tapi ia belum mendapatkan hasil apapun.
“Apa kau benar-benar akan berhenti membantuku? Cafeku cukup ramai berkat wajahmu, kau tahu.” Kenichi Hasegawa menghembuskan nafas dengan kasar. Ia sudah menduga temannya akan mengomel seperti ini. “Kuliahku akan lebih sibuk karena sudah memasuki tahun kedua. Jadi, aku hanya bisa membantumu sesekali. Bisnismu ini tidak begitu buruk. Kau harus mencari pekerja paruh waktu yang tampan alih-alih terus merepotkanku” “Aish, jika bukan sahabatku, aku pasti sudah meninju wajah itu.” Tanaka Hideyoshi melakukan gerakan seperti ingin memukul tetapi kepalannya hanya sampai di samping telinganya sendiri. Ia mengacak-acak rambutnya menatap punggung sahabatnya yang keluar dari cafe. Pandangan Izumi memutari seisi ruangan yang gelap gulita. Di depannya seorang lelaki mengarahkan cahaya ponsel ke wajah sambil tersenyum menyeram
Setelah upacara penyambutan mahasiswi baru selesai, kini senior membagi mahasiswa baru ke beberapa kelompok kecil. Izumi bergabung dengan kelompok delapan dengan sepuluh anggota di dalamnya termasuk dua orang senior sebagai pembimbing.“Jika aku melihatmu memakai seifuku aku akan percaya kau masih sekolah menengah.”“Wajahmu imut sekali, aku ingin punya wajah sepertimu.”“Skincare bisa membuatmu glow up, tapi tidak bisa membuat wajahmu imut. Kau pasti sangat bersyukur memiliki wajah itu.”“Kau benar-benar beruntung mempunyai wajah imut dan otak yang pintar.”Teman-teman di kelompok delapan memuji Izumi secara bergantian. Ini bukan kali pertama izumi mendapat perlakukan seperti itu. Ia juga sangat paham bagaimana rasanya lebih menonjol di antara yang lain dan itu sangat mengganggunya. Semakin banyak mata yang memperhatikanmu, semakin banyak pula ya
Ishida Hasegawa baru saja keluar dari toilet. Suara itu membuatnya melangkah sedikit lebih cepat. Beberapa kali terakhir ia menyadari yang ia dengar tiap kali mendengar lagu itu adalah ilusi bahwa ia juga mendengar suara itu. Apakah kali ini ilusi lagi? Ishida duduk di antara anggota kelompoknya. Ia menatap lekat-lekat gadis yang sedang bernyanyi. Suara itu, senyum itu, tatapan itu. Sedetik kemudian ia sadar sepenuhnya kalau akhirnya ia kembali bertemu dengan gadis dari dua tahun yang lalu. Penampilan Izumi di tutup dengan tepuk tangan. Ia kembali ke kelompoknya dan disambut dengan gembira oleh semua anggota di sana.“Sugoi! Kenapa kau menyembunyikan bakat besar itu? Semua orang disini bahkan terpesona melihat penampilanmu”“Kau tidak perlu menjadi pemalu. Kau cantik dan berbakat.”Ucapan anggota kelompoknya membuat Izumi tersenyum. Setelah sekian lama tidak bernyanyi sepertinya suarany
Kenichi tampak tidak bersemangat mengikuti acara orientasi. Selain karena Ishida ada di kelompok yang sama dengannya, Kenichi juga tidak menyukai kegiatan kampus seperti ini.“Kenichi-senpai, jika aku kesusahan di mata kuliah tertentu bolehkan aku minta bantuanmu?”“Bantu aku juga dong, aku akan semakin bersemangat jika Kenichi senpai yang membantuku.”Minoru menyadari mood Kenichi yang sedang tidak bagus, sebelum moodnya semakin buruk Minoru sudah pasang badan terhadap kalimat-kalimat membosankan itu. Siapa yang tidak bosan mendengar gadis-gadis ini terus-terusan memuji Kenichi sepanjang waktu?“Adik-adikku yang manis, kalian bisa bertanya padaku jika kesusahan. Kenichi kita yang keren ini sedang fokus untuk perlombaan di pekan olahraga kampus nanti jadi tidak punya waktu untuk menanggapi kalian.”Setelah berkata demikian Minoru semakin mendapat serangan per
Kana Kobayashi melambaikan tangan dengan senyum lebar yang memperlihatkan deretan giginya yang rapi. Ia membuat gerakan tangan yang menunjukkan kalau dirinya sudah mempersiapkan tempat duduk untuk Izumi. Izumi menyambutnya dengan senyum sambil berlari kecil mendekati Kana. “Terima Kasih, Kobayashi-san.” Izumi menarik bangku dan mulai duduk disana. “Panggil Kana saja. Kita sudah cukup dekat sejak masa orientasi bukan?” Ucapan itu cukup menarik perhatian Miyu Maeda yang sudah duduk lebih dulu di sebelah Kana. “Kau juga boleh memanggilku Miyu, izumi-chan.” Ucap Miyu yang membuat izumi sedikit tersipu. “Berhenti membuatnya tidak nyaman.” Kana berkata sambil menatap Miyu dengan kesal. Sedetik kemudian ekspresi Miyu berubah cemberut. Gadis yang menyebalkan itu ternyata juga punya sisi imutnya sendiri. Tingkah mereka berdua membuat Izumi menahan tawanya. “Aku tidak apa-apa kok.” Izumi akhirnya me
Tatapan Minoru terlihat jengkel. Kenichi langsung mengetahui alasannya setelah mengikuti mengikuti arah pandangan Minoru. “Apa kau tidak bisa memperingati adikmu agar memberiku ruang untuk mendekati belahan jiwaku itu?” Minoru memasukkan satu suapan besar ke mulutnya dengan kasar. “Ia terus menempel pada gadis itu seperti perangko.” Minoru melanjutkan ucapannya sambil mengunyah – membuat serpihan kecil dari mulutnya berhamburan keluar. “Aish! Kau harus pilih akan mengunyah atau menggerutu lebih dulu. Kalau begini lalat saja enggan menghinggapimu apalagi seorang gadis.” Minoru hanya bergumam tidak jelas sambil mengunyah setelah mendapat omelan dari Kenichi. Diam-diam Kenichi masih memperhatikan Ishida. Ia mengetahui semua teman ishida – setidaknya sampai sebelum hubungannya dengan Ishida memburuk sejak enam bulan terakhir. Ia yakin belum pernah melihat Ishida sedekat ini dengan seorang gadis. Apakah masa p
Langkah Izumi terhenti setelah dua sosok pria memotong langkahnya. Ia ingat pernah melihat wajah mereka saat masa orientasi. Raut muka Izumi berubah cemas. Apakah dia melakukan kesalahan sampai-sampai dua senior itu menghentikannya?“Konnichiwa. Perkenalkan, aku Minoru Sato” Pria dengan tinggi tubuh sekitar 175cm itu menyapanya dengan ramah. Rambut hitamnya memunculkan aksen warna biru saat terkena sinar matahari. Model rambut Comma hair-nya benar-benar mirip idol tapi wajahnya tidak mirip idol sama sekali. Dilihat dari caranya memperkenalkan diri sepertinya mereka menghentikan izumi bukan karena niat yang buruk.“Aku Kenichi Hasegawa.” Pria dengan raut wajah yang dingin tapi tampan itu memperkenalkan diri. Izumi harus mendongak untuk menatap wajah pria yang tingginya mungkin sekitar 188cm. Berbeda dengan temannya yang model rambutnya mirip idol, pria itu memiliki model rambut pompadour dengan warna ginger brown. Jika
Mahasiswa baru dan beberapa senior fakultas Ekonomi duduk berkeliling di sebuah meja yang cukup panjang. Acara itu diselenggarakan untuk merayakan masuknya mahasiswa baru dan kesuksesan acara orientasi beberapa hari lalu.“Aku tidak menyangka yang datang lumayan banyak.” Kana berkata sambil membetulkan helaian rambutnya yang menutupi wajah. Izumi baru menyadari unsur penting yang membuat penampilan Kana terlihat dewasa adalah model rambut sleek glam-nya. Gadis itu punya pupil berwarna hitam serta mata yang lebih besar dari kebanyakan wanita jepang pada umumnya. Di antara mereka bertiga, Kana adalah wanita paling tinggi dengan tinggi 165cm.“Aku juga berfikir begitu.” Kata Izumi yang sebenarnya sejak tadi mencari seseorang. Mata gadis itu menoleh hampir disetiap pintu bar terbuka. Apakah lelaki itu benar-benar tidak datang?“Kana-chan, Lihat! Kak Hasegawa tampan sekali jika dilihat dari jarak sedekat ini ya.” Miyu berbisik tapi