Share

7. Sensei baik hati

               Tatapan Minoru terlihat jengkel. Kenichi langsung mengetahui alasannya setelah mengikuti mengikuti arah pandangan Minoru.

“Apa kau tidak bisa memperingati adikmu agar memberiku ruang untuk mendekati belahan jiwaku itu?” Minoru memasukkan satu suapan besar ke mulutnya dengan kasar.

“Ia terus menempel pada gadis itu seperti perangko.” Minoru melanjutkan ucapannya sambil mengunyah – membuat serpihan kecil dari mulutnya berhamburan keluar.

“Aish! Kau harus pilih akan mengunyah atau menggerutu lebih dulu. Kalau begini lalat saja enggan menghinggapimu apalagi seorang gadis.” Minoru hanya bergumam tidak jelas sambil mengunyah setelah mendapat omelan dari Kenichi. Diam-diam Kenichi masih memperhatikan Ishida. Ia mengetahui semua teman ishida – setidaknya sampai sebelum hubungannya dengan Ishida memburuk sejak enam bulan terakhir. Ia yakin belum pernah melihat Ishida sedekat ini dengan seorang gadis. Apakah masa puber Ishida baru dimulai sehingga ia mulai tertarik dengan seorang gadis?

                Seorang wanita paruh baya mengambil sebungkus marshmallow tapi tangannya berbenturan dengan tangan seseorang. Wanita itu menoleh, raut wajahnya berubah haru.

“Ritsuko-sensei” Suara itu dibarengi dengan pelukan yang begitu erat.

“Izumi, aku tidak menyangka akan bertemu denganmu disini.” Keduanya berpelukan seperti kakak dan adik yang sudah lama tidak bertemu.

“Aku merindukanmu.” Izumi melepas pelukan itu dengan linangan air mata.

Keduanya duduk di depan Brothermart – Minimarket yang tidak jauh kampus Izumi. Selain sebagai guru selama Izumi home schooling, baginya sosok Ritsuko adalah seorang kakak. Ia satu-satunya orang yang menemani Izumi untuk keluar dari masa-masa sulit – selain ibunya.

“Aku turut berduka atas kepergian ibumu. Aku minta maaf karena belum sempat mengunjungimu semenjak hari itu. Aku baru saja tiba di Keio tiga hari yang lalu.” Wanita paruh baya itu mengenakan setelan blazer dan rok pencil dengan warna senada. Wajahnya tampak sepuluh tahun lebih muda di umurnya yang sudah memasuki kepala empat.

“Terimakasih, Ritsuko sensei. Bertemu disini denganmu cukup membuatku senang. Kau tampak lebih segar semenjak jadi relawan.” Izumi tidak bisa menyembunyikan perasaan senangnya. Ia terus tersenyum sepanjang mengobrol dengan wanita itu.

“Mengajar bagiku sudah seperti kebutuhan. Meski aku hanya mengajar hal-hal dasar soal membaca disana, rasanya seperti aku mendapat pengalaman paling berharga tiap kali berhasil mengajar sesuatu.” Wanita itu tampak mengenang pengalamannya beberapa hari lalu saat ia berada di daerah terpencil dimana penduduknya masih belum tersentuh kemajuan dunia Pendidikan.

“Aku harap bisa sepertimu suatu saat nanti. Oh ya, ngomong-ngomong apakah kau ada urusan di sekitar sini?”

“Aku sedang menunggu..” Sebelum wanita itu selesai bicara, telfonnya berdering.

                Kenichi hampir keluar dari mobil untuk menjemput ibunya karena menurutnya wanita itu terlalu lama untuk sekedar membeli snack. Baru saja ia meraih pintu mobil, matanya terpaut pada sosok yang keluar bersamaan dengan ibunya dari dalam minimarket. Bagaimana bisa dua wanita itu saling mengenal? Ataukah sesuatu terjadi di dalam dan membuat keduanya terlibat obrolan kecil? Kenichi memilih menunggu ibunya di dalam mobil yang terparkir agak jauh dari minimarket. Beberapa kali Kenichi melirik ibunya tapi ia tidak menemukan tanda-tanda obrolan itu akan berakhir. Karena terlalu lama, ia memutuskan untuk menelfon ibunya.

“Ibu, anakmu sudah hampir mati kehausan di mobil tapi ibu lebih memilih untuk bergosip.”

Kenichi menutup ponsel setelah ibunya setuju untuk segera kembali. Wanita itu memasuki mobil dengan shopping bag berisi air mineral dan beberapa snack.

“Aku tadi secara kebetulan bertemu dengan mantan murid home schoolingku, maaf ya Ken-chan.” Wanita itu mengulurkan sebotol air mineral yang sudah ia buka tutupnya. Kenichi meraih botol itu dan mulai meneguk isinya sambil mengangguk sedikit, akhirnya ia mengetahui alasan dua wanita itu saling berbincang. Ibunya memang sangat pengertian. Pertanyaan Kenichi sudah terjawab sebelum ia benar-benar menanyakannya.

                Ishida mendengus kesal di dalam taxi yang membawanya pulang ke apartemen. Jarinya menekan tombol power dan  mematikan daya ponselnya setelah mengabaikan belasan – tidak, bahkan puluhan pesan yang masuk dari wanita yang sama sekali ia tidak duga akan menganggunya lagi. Moodnya seketika rusak hari ini.

Bel apartemen yang berdenting terus menerus membuat Ishida memaksa untuk membuka matanya. Ia baru saja bertekad memperbaiki moodnya yang buruk dengan tidur, tapi hal lain malah membuatnya semakin buruk. Ia berjalan dengan gontai kearah pintu dan mengacak-acak rambutnya dengan kasar setelah mengetahui siapa yang datang. Ishida memasang muka datar menatap pria di depannya.

“Silahkan masuk, ayah.” Suara Ishida terdengar sangat datar meskipun ia dan ayahnya – Yoshi Hasegawa, sudah tidak bertemu setidaknya selama dua bulan.

“Apa kau tidak merindukanku setelah lama tidak melihatku?” Pria itu melangkah sembari melihat-lihat seisi apartemen Ishida.

“Aku masih sering melihatmu di internet – sibuk dengan kasus-kasus orang lain.” Ishida membelakangi ayahnya, membuka pintu kulkas dan mengambil sekaleng bir.

“Kau memang sangat mirip dengan kakakmu. Tidak bisa jauh dari bir.” Pria paruh baya itu membuka kaleng dan meneguknya. Keduanya duduk di sofa menghadap ke arah yang sama.

“bedanya aku tidak menggunakan narkoba dan tidak membuat masalah sampai-sampai kau harus mengirimnya ke luar negeri.” Ishida meneguk bir sambil melirik sinis. Ia tidak menyangka kalau hari ini benar-benar akan memporak porandakan moodnya.

“Berhenti naik taxi. Kau harus ke kampus menggunakan mobil mulai besok.” Yosi lebih memilih mengalihkan topik pembicaraan dari bertengkar karena pembicaraan sebelumnya. Ia meletakkan sebuah kunci mobil di atas meja tepat di hadapan Ishida.

“Tentu saja. Kau tidak ingin muncul berita tentang anak kandung ketua kepolisian berangkat ke kampus menggunakan taxi sementara anak tirinya menggunakan mobil mewah, kan?” Yosi juga sudah menduga akan mendengar respon yang kurang baik dari anak keduanya itu. Semenjak kematian ibunya, sikap Ishida padanya menjadi dingin dan semakin dingin lagi setelah ia memutuskan menikahi Ritsuko.

“Aku tahu kau masih belum bisa menerima banyak hal yang terjadi. Tapi ayah harap kau akan mengerti semuanya pelan-pelan.” Yosi beranjak dari tempat duduk, meninggalkan apartemen dan membiarkan Ishida yang masih duduk tak bergeming.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status