Tatapan Minoru terlihat jengkel. Kenichi langsung mengetahui alasannya setelah mengikuti mengikuti arah pandangan Minoru.
“Apa kau tidak bisa memperingati adikmu agar memberiku ruang untuk mendekati belahan jiwaku itu?” Minoru memasukkan satu suapan besar ke mulutnya dengan kasar.
“Ia terus menempel pada gadis itu seperti perangko.” Minoru melanjutkan ucapannya sambil mengunyah – membuat serpihan kecil dari mulutnya berhamburan keluar.
“Aish! Kau harus pilih akan mengunyah atau menggerutu lebih dulu. Kalau begini lalat saja enggan menghinggapimu apalagi seorang gadis.” Minoru hanya bergumam tidak jelas sambil mengunyah setelah mendapat omelan dari Kenichi. Diam-diam Kenichi masih memperhatikan Ishida. Ia mengetahui semua teman ishida – setidaknya sampai sebelum hubungannya dengan Ishida memburuk sejak enam bulan terakhir. Ia yakin belum pernah melihat Ishida sedekat ini dengan seorang gadis. Apakah masa puber Ishida baru dimulai sehingga ia mulai tertarik dengan seorang gadis?
Seorang wanita paruh baya mengambil sebungkus marshmallow tapi tangannya berbenturan dengan tangan seseorang. Wanita itu menoleh, raut wajahnya berubah haru.
“Ritsuko-sensei” Suara itu dibarengi dengan pelukan yang begitu erat.
“Izumi, aku tidak menyangka akan bertemu denganmu disini.” Keduanya berpelukan seperti kakak dan adik yang sudah lama tidak bertemu.
“Aku merindukanmu.” Izumi melepas pelukan itu dengan linangan air mata.
Keduanya duduk di depan Brothermart – Minimarket yang tidak jauh kampus Izumi. Selain sebagai guru selama Izumi home schooling, baginya sosok Ritsuko adalah seorang kakak. Ia satu-satunya orang yang menemani Izumi untuk keluar dari masa-masa sulit – selain ibunya.
“Aku turut berduka atas kepergian ibumu. Aku minta maaf karena belum sempat mengunjungimu semenjak hari itu. Aku baru saja tiba di Keio tiga hari yang lalu.” Wanita paruh baya itu mengenakan setelan blazer dan rok pencil dengan warna senada. Wajahnya tampak sepuluh tahun lebih muda di umurnya yang sudah memasuki kepala empat.
“Terimakasih, Ritsuko sensei. Bertemu disini denganmu cukup membuatku senang. Kau tampak lebih segar semenjak jadi relawan.” Izumi tidak bisa menyembunyikan perasaan senangnya. Ia terus tersenyum sepanjang mengobrol dengan wanita itu.
“Mengajar bagiku sudah seperti kebutuhan. Meski aku hanya mengajar hal-hal dasar soal membaca disana, rasanya seperti aku mendapat pengalaman paling berharga tiap kali berhasil mengajar sesuatu.” Wanita itu tampak mengenang pengalamannya beberapa hari lalu saat ia berada di daerah terpencil dimana penduduknya masih belum tersentuh kemajuan dunia Pendidikan.
“Aku harap bisa sepertimu suatu saat nanti. Oh ya, ngomong-ngomong apakah kau ada urusan di sekitar sini?”
“Aku sedang menunggu..” Sebelum wanita itu selesai bicara, telfonnya berdering.
Kenichi hampir keluar dari mobil untuk menjemput ibunya karena menurutnya wanita itu terlalu lama untuk sekedar membeli snack. Baru saja ia meraih pintu mobil, matanya terpaut pada sosok yang keluar bersamaan dengan ibunya dari dalam minimarket. Bagaimana bisa dua wanita itu saling mengenal? Ataukah sesuatu terjadi di dalam dan membuat keduanya terlibat obrolan kecil? Kenichi memilih menunggu ibunya di dalam mobil yang terparkir agak jauh dari minimarket. Beberapa kali Kenichi melirik ibunya tapi ia tidak menemukan tanda-tanda obrolan itu akan berakhir. Karena terlalu lama, ia memutuskan untuk menelfon ibunya.
“Ibu, anakmu sudah hampir mati kehausan di mobil tapi ibu lebih memilih untuk bergosip.”
Kenichi menutup ponsel setelah ibunya setuju untuk segera kembali. Wanita itu memasuki mobil dengan shopping bag berisi air mineral dan beberapa snack.
“Aku tadi secara kebetulan bertemu dengan mantan murid home schoolingku, maaf ya Ken-chan.” Wanita itu mengulurkan sebotol air mineral yang sudah ia buka tutupnya. Kenichi meraih botol itu dan mulai meneguk isinya sambil mengangguk sedikit, akhirnya ia mengetahui alasan dua wanita itu saling berbincang. Ibunya memang sangat pengertian. Pertanyaan Kenichi sudah terjawab sebelum ia benar-benar menanyakannya.
Ishida mendengus kesal di dalam taxi yang membawanya pulang ke apartemen. Jarinya menekan tombol power dan mematikan daya ponselnya setelah mengabaikan belasan – tidak, bahkan puluhan pesan yang masuk dari wanita yang sama sekali ia tidak duga akan menganggunya lagi. Moodnya seketika rusak hari ini.
Bel apartemen yang berdenting terus menerus membuat Ishida memaksa untuk membuka matanya. Ia baru saja bertekad memperbaiki moodnya yang buruk dengan tidur, tapi hal lain malah membuatnya semakin buruk. Ia berjalan dengan gontai kearah pintu dan mengacak-acak rambutnya dengan kasar setelah mengetahui siapa yang datang. Ishida memasang muka datar menatap pria di depannya.
“Silahkan masuk, ayah.” Suara Ishida terdengar sangat datar meskipun ia dan ayahnya – Yoshi Hasegawa, sudah tidak bertemu setidaknya selama dua bulan.
“Apa kau tidak merindukanku setelah lama tidak melihatku?” Pria itu melangkah sembari melihat-lihat seisi apartemen Ishida.
“Aku masih sering melihatmu di internet – sibuk dengan kasus-kasus orang lain.” Ishida membelakangi ayahnya, membuka pintu kulkas dan mengambil sekaleng bir.
“Kau memang sangat mirip dengan kakakmu. Tidak bisa jauh dari bir.” Pria paruh baya itu membuka kaleng dan meneguknya. Keduanya duduk di sofa menghadap ke arah yang sama.
“bedanya aku tidak menggunakan narkoba dan tidak membuat masalah sampai-sampai kau harus mengirimnya ke luar negeri.” Ishida meneguk bir sambil melirik sinis. Ia tidak menyangka kalau hari ini benar-benar akan memporak porandakan moodnya.
“Berhenti naik taxi. Kau harus ke kampus menggunakan mobil mulai besok.” Yosi lebih memilih mengalihkan topik pembicaraan dari bertengkar karena pembicaraan sebelumnya. Ia meletakkan sebuah kunci mobil di atas meja tepat di hadapan Ishida.
“Tentu saja. Kau tidak ingin muncul berita tentang anak kandung ketua kepolisian berangkat ke kampus menggunakan taxi sementara anak tirinya menggunakan mobil mewah, kan?” Yosi juga sudah menduga akan mendengar respon yang kurang baik dari anak keduanya itu. Semenjak kematian ibunya, sikap Ishida padanya menjadi dingin dan semakin dingin lagi setelah ia memutuskan menikahi Ritsuko.
“Aku tahu kau masih belum bisa menerima banyak hal yang terjadi. Tapi ayah harap kau akan mengerti semuanya pelan-pelan.” Yosi beranjak dari tempat duduk, meninggalkan apartemen dan membiarkan Ishida yang masih duduk tak bergeming.
Langkah Izumi terhenti setelah dua sosok pria memotong langkahnya. Ia ingat pernah melihat wajah mereka saat masa orientasi. Raut muka Izumi berubah cemas. Apakah dia melakukan kesalahan sampai-sampai dua senior itu menghentikannya?“Konnichiwa. Perkenalkan, aku Minoru Sato” Pria dengan tinggi tubuh sekitar 175cm itu menyapanya dengan ramah. Rambut hitamnya memunculkan aksen warna biru saat terkena sinar matahari. Model rambut Comma hair-nya benar-benar mirip idol tapi wajahnya tidak mirip idol sama sekali. Dilihat dari caranya memperkenalkan diri sepertinya mereka menghentikan izumi bukan karena niat yang buruk.“Aku Kenichi Hasegawa.” Pria dengan raut wajah yang dingin tapi tampan itu memperkenalkan diri. Izumi harus mendongak untuk menatap wajah pria yang tingginya mungkin sekitar 188cm. Berbeda dengan temannya yang model rambutnya mirip idol, pria itu memiliki model rambut pompadour dengan warna ginger brown. Jika
Mahasiswa baru dan beberapa senior fakultas Ekonomi duduk berkeliling di sebuah meja yang cukup panjang. Acara itu diselenggarakan untuk merayakan masuknya mahasiswa baru dan kesuksesan acara orientasi beberapa hari lalu.“Aku tidak menyangka yang datang lumayan banyak.” Kana berkata sambil membetulkan helaian rambutnya yang menutupi wajah. Izumi baru menyadari unsur penting yang membuat penampilan Kana terlihat dewasa adalah model rambut sleek glam-nya. Gadis itu punya pupil berwarna hitam serta mata yang lebih besar dari kebanyakan wanita jepang pada umumnya. Di antara mereka bertiga, Kana adalah wanita paling tinggi dengan tinggi 165cm.“Aku juga berfikir begitu.” Kata Izumi yang sebenarnya sejak tadi mencari seseorang. Mata gadis itu menoleh hampir disetiap pintu bar terbuka. Apakah lelaki itu benar-benar tidak datang?“Kana-chan, Lihat! Kak Hasegawa tampan sekali jika dilihat dari jarak sedekat ini ya.” Miyu berbisik tapi
Izumi mengerang sambil memegangi kepalanya yang terasa sakit. Badannya sudah tak selemas semalam tapi masalah baru muncul. Ia terhuyung-huyung menuju toilet dan mengeluarkan isi perutnya di wastafel. Ini pertama kalinya ia mengikuti acara minum-minum. Tidak. Bahkan ini pertama kalinya ia meminum minuman alkohol. Ia kira ia masih bisa mempertahankan kesadarannya meski hanya minum sedikit. Kini ia sadar kalau dia peminum yang buruk. Izumi duduk di meja belajar setelah mempersilakan sinar matahari masuk lewat jendela yang ia buka. Ia meminum air mineral hangat berharap perutnya akan segera membaik. Izumi baru saja hendak menuju toilet untuk mandi dan bersiap menuju tempat kerjanya, tapi langkahnya terhenti saat seonggok jacket pria menarik perhatian. Ia mendekat dan menyentuh jacket itu. Ekspresinya berubah panik. Ia menutup mulutnya yang terbuka tiba-tiba. Jika semalam ia mabuk, lalu siapa yang mengantarnya pulang? DAN JACKET SIAPA INI??? Izumi masih terus berusaha mengingat-i
Ishida menyesal mengangkat telfon dari Emi Sasaki. Harinya tidak pernah berjalan baik tiap kali ia berhubungan dengan wanita itu. Bahkan disiang hari saat weekend begini moodnya sudah berantakan. “Aku sudah menemanimu kemarin seharian, lalu kau memintaku untuk menemuimu lagi hari ini?” “ …. “ “Aku tidak menyuruhmu untuk menungguku di Melody Café. Sudah ya, aku sibuk hari ini.” Ishida menutup ponsel sekaligus mematikan dayanya. Ia sudah mengorbankan hari kemarin hanya untuk wanita itu. Ia juga tidak ikut acara minum-minum karena wanita itu merengek agar Ishida menemaninya kesana kemari. Meskipun memang awalnya ia berniat tidak ikut tapi ia hampir merubah rencananya saat tahu Izumi datang ke acara itu. Ia lelah sekali setelah kemarin mengikuti kemanapun Emi mau. Ia ingin tidur seharian tanpa diganggu siapapun hari ini. Bel apartemen Ishida berdenting tepat saat Is
Kana berjalan beriringan dengan Mayu di koridor kelas. Sementara Ishida dan Izumi mengikuti keduanya dari belakang. Tangan Izumi menjinjing sebuah paperbag warna pink berisi jaket yang entah milik siapa – yang sudah ia laundry. Ia ingin bertanya pada Kana soal jacket itu karena satu-satunya orang yang ia ingat tidak mabuk saat itu adalah Kana. Karena Miyu terus-terusan mengekori Kana, Izumi jadi tidak punya kesempatan untuk bertanya padanya. Apa Izumi harus bertanya pada Ishida? Apakah ia datang malam itu untuk menemuinya atau tidak? Tapi jika tidak, bukankah itu akan terdengar aneh bagi Ishida?“Aku tidak sabar untuk menghabiskan libur musim panas tahun ini. Kana, Ayo kita pergi ke Okinawa” Entah ada angin dari mana, Miyu tiba-tiba membahas soal libur musim panas yang bahkan masih tiga bulan lagi. Tentu saja Kana mengangguk karena tidak ingin melakukan ‘perang’ dengan Miyu.“Libur musim panas bahkan masih lama. Kau
Izumi keluar dari minimarket setelah membeli dua Ice Cream. Ia bisa melihat punggung Ishida yang duduk membelakanginya di halaman Brothermart. Izumi menarik kursi di dekat Ishida. Di titik ini ia masih ragu akan bertanya pada Ishida atau tidak.“Soal kejadian di kafetaria, Aku minta maaf.” Mata yang Ishida tatap berpaling. Apakah gadis itu masih takut setelah kejadian di kafetaria tadi?“Tidak apa-apa. Oh ya, Ini.” Izumi meletak kan sebuah ice cream di hadapan Ishida. Ia ingin bilang terima kasih karena sudah mengantarnya malam itu tapi ia benar-benar ragu. Ishida sama sekali tidak membahas kejadian itu dan hal ini membuatnya sedikit malu untuk mulai membahasnya.“Aku tidak menyangka kau akan memberiku ice cream. Terima Kasih ya Nakano-san. Tapi kenapa tiba-tiba ingin berbicara denganku?” Ishida bisa melihat raut gugup Izumi. Ada apa dengan gadis itu? Gerak-geriknya seperti seorang gadis yang ingin menyatakan cinta saja.
Pintu apartemen terbuka setelah Izumi menempelkan key cardnya. Sebelum ia sempat masuk ke dalam, seorang pengelola gedung menghampirinya.“Selamat Siang Nakano-san” Pria berusia sekitar lima puluhan itu menyapa Izumi dengan ramah.“Selamat siang, Pak Yahiko.”“Seseorang menitipkan ini untukmu.” Ia memberikan sebuket bunga lily warna kuning.“Terima Kasih.”Meski sempat menatapnya dengan heran, Izumi akhirnya meraih bunga yang tersusun rapih itu.“Anu..Aku ingin memberitahu kalau masa sewanya akan habis dua bulan lagi. Beri tahu aku kalau kau ingin memperpanjang sewanya.” Otak Izumi seketika berputar setelah mendengar kalimat itu. Tabungannya tidak cukup untuk membayar biaya sewa setahun meskipun ia berhemat dengan pendapatan part time nya. Apakah ia harus pindah? Tapi dua bulan juga terlalu singkat untuk ia menemukan tempat tinggal yang cocok untuknya. Apartemen ini terlalu besar u
Izumi mematut diri di depan cermin. Entah sudah berapa baju yang ia coba pakai tapi ia merasa belum menemukan yang cocok. Tunggu! Ini sama sekali bukan kencan tapi kenapa sangat sulit untuk menentukan baju mana yang akan di pakai? Izumi akhirnya memutuskan menggunakan rok plisket 7/8 berwarna putih dipadu dengan blouse lengan panjang warna marun. Ia juga menyematkan jepitan dengan manik-manik di rambutnya.“Acaranya masih satu jam lagi, mau mampir ke toko ice cream?” Ajakan Ishida disetujui Izumi. Ini pertama kalinya Izumi pergi berdua dengan seorang pria. Apakah orang-orang yang kencan juga melakukan hal seperti ini? Menaiki Odoriko Express bersama, ketoko ice cream dan astaga! Izumi benci sekali dengan fikiran aneh yang semakin sering menghampirinya itu.Di hadapan keduanya sudah tersaji dua porsi ice cream dengan topping yang cantik. Izumi mencoba suapan pertamanya. Ishida memiringkan wajahnya, menunggu Izumi mereview rasa ice cream itu.“En
Kenichi berniat menemui Ishida untuk meminta bantuan laki-laki itu soal kasus yang melibatkan nama Izumi. Tapi sebelum ia berhasil menemui Ishida, matanya menangkap dua sosok yang ia segera tahu siapa mereka meski hanya melihatnya sekilas. Dua sejoli itu sedang berdiri di belakang pagar di salah satu atap Gedung kampus. Benar-benar pemandangan yang memuakkan. Memangnya mereka anak SMA yang kasmaran sampai-sampai berkencan di atap kampus? Kenichi mengeluarkan ponselnya dan menelfon Ishida. Kenichi menyesal telah tanpa sadar memperhatikan semua gerak-gerik keduanya. Kini perasaan aneh di hatinya membuat dadanya terasa sesak. Ia bahkan tidak menyadari kapan nada dering di ponselnya berhenti. Ishida mengabaikan panggilannya bahkan tanpa sekalipun mengecek siapa yang menelfon.“Konnichiwa, senpai!” Minoru dengan nada bergurau menyapa Kenichi sambil menepuk pundaknya.“Astaga! Berhenti mengagetkanku atau kau akan aku makan. Kau tahu aku baru selesai kelas dan belum makan sejak pagi.” Kenich
Miyu terpaksa makan siang seorang diri setelah mendapat kabar kalau Izumi ada kelas pengganti mendadak dan Kana tidak masuk kuliah karena akhirnya gadis itu menyerah terus-terusan menahan sakit giginya dan memutuskan untuk ke dokter. Ia sedang mengantre untuk mengambil minuman ketika tangan kanannya sibuk memegang ponsel dan tangan sebelah kirinya berhati-hati memegang seporsi nasi dan daging babi pedas. Ia terus memerhatikan ponselnya sampai tiba-tiba orang di depannya berbalik secara mendadak sampai menabraknya dan bajunya basah kuyup oleh minuman yang tumpah dari gelas lelaki itu.Miyu ternganga. Puluhan kata-kata umpatan di kepalanya sudah mengantre untuk di keluarkan tapi semua kata-kata itu menguar begitu saja saat mengetahui siapa lelaki yang menyebabkan kekacauan itu.“Oh astaga! Maafkan aku, aku tidak berhati-hati.” Laki-laki itu berusaha membersihkan baju Miyu menggunakan tisu.“Kak Minoru?”“Maeda-san?”Miyu duduk seorang diri di cafetaria setelah beberapa saat lalu Mi
Izumi turun dari bus lalu langkahnya berbelok ke sebuah jalan yang tidak begitu besar. Ia menyusuri jalan itu dengan buku dan tas tangannya. Ia hampir saja terjatuh saat kaki kanannya tidak sengaja menginjak tali sepatu sebelah kiri dan membuatnya terlepas. Ia pasti sudah sangat lelah sampai-sampai konsentrasinya menurun. Ia berhenti lalu mengikat tali sepatunya. Saat itu tanpa sengaja ia mendengar langkah kaki yang berhenti di belakangnya. Apakah ini hanya firasatnya saja? Ia tidak berani menoleh ke belakang apapun yang terjadi. Apakah badannya yang letih membuatnya berhalusinasi lagi? Setelah kejadian dua tahun silam, selain mimpi buruk yang kerap datang ia juga sering beranggapan kalau seseorang mengikutinya dari belakang tiap kali ia sedang berjalan sendirian terutama saat hari mulai gelap seperti ini. Ia melanjutkan langkahnya kali ini dengan tempo yang lebih cepat. Beberapa saat kemudian ia menghentikan langkahnya secara tiba-tiba. Ia baru saja ingin memastikan kalau apa yang ta
Suara pintu terbuka terdengar bersamaan dengan langkah Ritsuko yang mengendap-endap. Ia memberanikan diri memasuki ruangan itu setelah mengetahui suaminya tidak pulang untuk beberapa hari. Ia membuka lemari, mencari bindex file yang ia lihat saat ia tidak sengaja menemukan surat laporan kepolisian. Setelah selesai dengan dua lemari besar di belakang meja kerja suaminya, Ia beralih ke lemari yang lebih kecil di dekat pintu masuk. Itu satu-satunya lemari yang belum ia periksa. Ia menghabiskan waktu setidaknya lima belas menit untuk mencarinya di lemari terakhir.Ritsuko baru saja keluar dan menutup pintu ruang kerja suaminya tetapi sesuatu membuat tubuhnya tersentak.“Apa yang kau lakukan?” Suara itu datang tepat dari arah belakangnya. Ritsuko berbalik dengan wajah cemas yang ia buat-buat.“Aku tidak sengaja menghilangkan cincinku beberapa hari yang lalu, aku tidak begitu yakin kapan tepatnya … mungkin saat aku membantu ayahmu membereskan file-file yang sudah tidak terpakai” Ritsuko mem
Hari ini langit memersembahkan warna birunya yang menawan, perpaduan yang pas dengan warna merah muda dari putik sakura yang hampir mekar sempurna setidaknya seminggu lagi. Langkah Izumi melambat saat matanya tidak sengaja saling bertukar pandang dengan Ishida. Mereka berhenti di jalan setapak yang tidak jauh dari parkiran dengan pohon rindang di atasnya.“Apa kau tidur dengan nyenyak?” Ishida menggaruk salah satu sisi kepalanya yang tidak gatal. Jelas sekali ia kebingungan memilih topik pembicaraan.“Mm-hm. Kau sendiri?” Izumi mengangguk. Ia merasa situasi ini sangat kikuk. Sejak kapan keduanya saling bertanya hal seperti itu?“Aku juga.” Keduanya terdiam untuk beberapa saat lalu Ishida membuka ritsleting tas ranselnya dan mengeluarkan sesuatu dari sana.“Aku minta maaf.” Sambung Ishida lagi. Lelaki itu mengulurkan minuman buah plum, “Aku sadar terkadang aku bisa menjadi orang yang sangat menyebalkan, kau sama sekali tidak salah jika marah padaku karena tingkah menyebalkanku. Hanya
Kenichi berlari terburu-buru, saat larinya belum terlalu jauh, ia berhenti sejenak. Ia tidak tahu harus ke arah mana. Taman ini terlalu luas untuk ia telusuri sendiri. Ponsel Izumi berdering lagi saat ia masih belum tahu kemana ia harus melangkah. Tanpa berfikir panjang Kenichi menjawab panggilan itu.“Dimana kau?” Suara Kenichi sepertinya membuat Ishida – orang di seberang telfon itu terkejut.“Kenapa bisa ada padamu!” “Apa ada yang mengangkatnya? Ishida, jangan terlalu dekat dengan sungai. Kau bisa terjatuh!”Kenichi mengenali suara itu, suara wanita itu memberi Kenichi petunjuk. Ia menutup ponsel, tidak berniat menjawab pertanyaan Ishida. Ia tahu kemana harus berjalan. Tidak. Ia harus berlari agar cepat menemukan keduanya. Sesampainya di tepian sungai, Kenichi menyusurinya dengan nafas tersengal. Ia tidak lagi berlari. Ia bahkan tidak mengerti, apa yang sedang ia lakukan? Untuk apa ia repot-repot berlari sejauh ini? Kenichi bisa saja mengatakan ponsel Izumi ada padanya dan menungg
Malam hari dipertengahan bulan maret masih terasa dingin meski sudah memasuki musim semi. Para mahasiswa saling berpencar menikmati suasana taman karena jadwal kegiatan hari ini sudah berakhir.“Bagaimana kalau kita mencicipi hidangan musim semi di restoran tradisional? Aku sedang ingin ichigo dango.” Miyu memberi usul setelah ia, Kana, Izumi dan Ishida menghabiskan waktu setidaknya empat puluh menit untuk berjalan-jalan melihat-lihat suasana malam di sekeliling taman.“Setuju! Diluar sini sangat dingin membuat gigiku terasa semakin menyakitkan.” Kana sudah membalut lehernya dengan syal tebal tapi wajahnya tetap terlihat pucat karena kedinginan dan karena menahan rasa sakit di giginya. Sementara itu Izumi merogoh saku mantelnya mencari sesuatu tapi ia tidak berhasil menemukan sesuatu itu disana. Wajahnya berubah panik. Ia terus mencari ke saku kanan dan kirinya berulang kali.“Kau kehilangan sesuatu?” Pertanyaan Ishida disahuti oleh anggukan Izumi. Wajahnya terlihat cemas.“Sepertin
Jarum jam tangan Kana menunjukkan pukul 9 lewat 28 menit. Lima dari enam mobil yang membawa peserta Loka Karya sudah jalan sejak 13 menit yang lalu. Kana dan Izumi menunggu di dalam mobil yang masih terparkir di kampus, di dalamnya si pemilik mobil – Minoru duduk di balik kemudi, kursi di sampingnya tentu saja diisi oleh Kenichi. Kana memeriksa jam tangannya berulang kali sambil berjanji dalam hati akan mencubit lengan Miyu saat gadis itu datang.“Maafkan aku, aku terlambat.” Miyu tiba dengan nafas terengah-engah. Gadis itu sepertinya baru saja berlari, terlihat dari bulir keringat yang mengalir di dahinya. Kana dan Izumi saling bertatapan sesaat setelah menatap kearah Miyu dengan heran. Sementara itu, wajah Minoru tampak terkejut, ia bisa melihat Kenichi yang duduk di sampingnya membuat ekspresi kesal. Firasatnya berubah buruk. Ia menyesal memasukkan Izumi ke dalam mobilnya. “Kau harus mendaftarkan diri dulu sebagai peserta sebelum ikut.” Ucapan Minoru membuat Miyu kebingungan. Dil
Ritsuko baru selesai bermain piano saat Kenichi membuka pintu apartemennya.“Ibu, apa kau sudah lama disini?” Pria itu melepas sepatu lalu meletakkannya persis di samping sepatu ibunya yang ada di atas rak. Ia memakai sandal dalam ruangan sebelum ia melangkah ke ruang tengah apartemennya.“Mungkin sudah satu jam yang lalu. Mau kubuatkan Ramen?” Ritsuko keluar dari ruangan tempatnya bermain piano, berjalan menuju dapur lalu mengambil panci anti lengket.“Ramen? Tentu saja.” Kenichi meletakkan tasnya di kamar tidur, langkahnya menuju lemari pendingin lalu mengambil daun bawang, rumput laut, dan telur.“Pasti enak sekali jika kita bisa mencampurkan char siu. Mungkin minggu depan aku akan membelinya untuk persediaan.” Kenichi bergumam pada diri sendiri. Ia memotong sebagian daun bawang menjadi tipis-tipis, sebagian yang lain ada di mangkuk yang sama dengan rumput laut menunggu giliran untuk dipotong.“Lain kali kita bisa pergi ke kedai ramen dekat stasiun kalau kau mau. Mereka punya banya