Kana berjalan beriringan dengan Mayu di koridor kelas. Sementara Ishida dan Izumi mengikuti keduanya dari belakang. Tangan Izumi menjinjing sebuah paperbag warna pink berisi jaket yang entah milik siapa – yang sudah ia laundry. Ia ingin bertanya pada Kana soal jacket itu karena satu-satunya orang yang ia ingat tidak mabuk saat itu adalah Kana. Karena Miyu terus-terusan mengekori Kana, Izumi jadi tidak punya kesempatan untuk bertanya padanya. Apa Izumi harus bertanya pada Ishida? Apakah ia datang malam itu untuk menemuinya atau tidak? Tapi jika tidak, bukankah itu akan terdengar aneh bagi Ishida?
“Aku tidak sabar untuk menghabiskan libur musim panas tahun ini. Kana, Ayo kita pergi ke Okinawa” Entah ada angin dari mana, Miyu tiba-tiba membahas soal libur musim panas yang bahkan masih tiga bulan lagi. Tentu saja Kana mengangguk karena tidak ingin melakukan ‘perang’ dengan Miyu.
“Libur musim panas bahkan masih lama. Kau
Izumi keluar dari minimarket setelah membeli dua Ice Cream. Ia bisa melihat punggung Ishida yang duduk membelakanginya di halaman Brothermart. Izumi menarik kursi di dekat Ishida. Di titik ini ia masih ragu akan bertanya pada Ishida atau tidak.“Soal kejadian di kafetaria, Aku minta maaf.” Mata yang Ishida tatap berpaling. Apakah gadis itu masih takut setelah kejadian di kafetaria tadi?“Tidak apa-apa. Oh ya, Ini.” Izumi meletak kan sebuah ice cream di hadapan Ishida. Ia ingin bilang terima kasih karena sudah mengantarnya malam itu tapi ia benar-benar ragu. Ishida sama sekali tidak membahas kejadian itu dan hal ini membuatnya sedikit malu untuk mulai membahasnya.“Aku tidak menyangka kau akan memberiku ice cream. Terima Kasih ya Nakano-san. Tapi kenapa tiba-tiba ingin berbicara denganku?” Ishida bisa melihat raut gugup Izumi. Ada apa dengan gadis itu? Gerak-geriknya seperti seorang gadis yang ingin menyatakan cinta saja.
Pintu apartemen terbuka setelah Izumi menempelkan key cardnya. Sebelum ia sempat masuk ke dalam, seorang pengelola gedung menghampirinya.“Selamat Siang Nakano-san” Pria berusia sekitar lima puluhan itu menyapa Izumi dengan ramah.“Selamat siang, Pak Yahiko.”“Seseorang menitipkan ini untukmu.” Ia memberikan sebuket bunga lily warna kuning.“Terima Kasih.”Meski sempat menatapnya dengan heran, Izumi akhirnya meraih bunga yang tersusun rapih itu.“Anu..Aku ingin memberitahu kalau masa sewanya akan habis dua bulan lagi. Beri tahu aku kalau kau ingin memperpanjang sewanya.” Otak Izumi seketika berputar setelah mendengar kalimat itu. Tabungannya tidak cukup untuk membayar biaya sewa setahun meskipun ia berhemat dengan pendapatan part time nya. Apakah ia harus pindah? Tapi dua bulan juga terlalu singkat untuk ia menemukan tempat tinggal yang cocok untuknya. Apartemen ini terlalu besar u
Izumi mematut diri di depan cermin. Entah sudah berapa baju yang ia coba pakai tapi ia merasa belum menemukan yang cocok. Tunggu! Ini sama sekali bukan kencan tapi kenapa sangat sulit untuk menentukan baju mana yang akan di pakai? Izumi akhirnya memutuskan menggunakan rok plisket 7/8 berwarna putih dipadu dengan blouse lengan panjang warna marun. Ia juga menyematkan jepitan dengan manik-manik di rambutnya.“Acaranya masih satu jam lagi, mau mampir ke toko ice cream?” Ajakan Ishida disetujui Izumi. Ini pertama kalinya Izumi pergi berdua dengan seorang pria. Apakah orang-orang yang kencan juga melakukan hal seperti ini? Menaiki Odoriko Express bersama, ketoko ice cream dan astaga! Izumi benci sekali dengan fikiran aneh yang semakin sering menghampirinya itu.Di hadapan keduanya sudah tersaji dua porsi ice cream dengan topping yang cantik. Izumi mencoba suapan pertamanya. Ishida memiringkan wajahnya, menunggu Izumi mereview rasa ice cream itu.“En
Satu cup ramen instant tersaji di depan Izumi. Karena ia sedang berhemat, ia hanya bisa membeli ramen instant dari Brothermart. Kelas sudah usai setengah jam yang lalu. Izumi sedang menimbang-nimbang apakah ia perlu menghubungi Ishida atau tidak untuk mengembalikan jaketnya. Lelaki itu tiba-tiba tidak datang ke kampus hari ini. Apa dia kelelahan karena mengurusi Izumi kemarin?“Kau si gadis mabuk itu, kan?” Izumi mengangkat pandangannya yang tadi tengah asyik berjibaku dengan ramen. Kenichi sudah duduk di hadapannya sebelum Izumi menjawab apapun karena mulutnya penuh dengan makanan.“Apa kau membuat seseorang mengantarmu kerumah lagi?” Tanya Kenichi setelah matanya melirik paperbag warna pink yang tempo hari gadis itu berikan padanya untuk mengembalikan jaket. Gadis itu tersedak dan buru-buru meminum air mineral.“Bagaimana kau tahu?” Kata Izumi setelah menghilangkan sesuatu yang menyangkut di kerongkongannya. Lagi pu
Kenichi berniat menemui Ishida di apartemennya tapi keduanya malah bertemu secara tidak sengaja di pintu utama gedung itu. Kenichi mengulurkan paperbag tanpa berkata apa-apa.“Dari Nakano Izumi.” Pria itu hampir mengabaikan Kenichi, mendengar nama itu disebut Ishida langsung mengambilnya dengan kasar.“Kenapa bisa ada padamu?” Kini gantian Kenichi yang mengabaikan Ishida. Melihat saudara tirinya pergi begitu saja, Ishida meraih kerah Kenichi dengan kasar membuat orang-orang di sekitarnya menjauh ketakutan.“Aku tidak menyangka reaksimu seberlebihan ini. Padahal aku sudah bermurah hati mengantarkannya padamu.” Kenichi masih tidak berkutik. Dia tersenyum tapi bukan senyum yang ramah.“Kalau kau mendekati Nakano hanya untuk mengusikku, lebih baik kau berhenti.” Ishida melepaskan cengkramannya membuat kerah baju Kenichi menjadi kusut. Kenichi semakin mengetahui seberapa berpengaruh Izumi bagi Ishida.&ldq
Izumi menyusuri rak ekonomi di perpustakaan. Ia berharap seseorang sudah mengembalikan buku yang ia cari setelah beberapa hari yang lalu ia kehabisan buku itu. Sementara itu Ishida mengikuti langkah Izumi dari balik rak. Ia bisa melihat wajah Izumi dari sela-sela buku. Bukannya membantu mencari buku, Ishida hanya mengikuti kemana pun Izumi melangkah sambil terus menatapnya.“Satu.. dua.. tiga!” Ishida berkata dengan suara berbisik.“Hei, apa yang kau lakukan? Bisakah kau serius sedikit?” Izumi mengomel sambil menahan senyumnya. Sebetulnya ia malu menyadari Ishida terus-terusan menatapnya. Ia harap lelaki itu akan berhenti melakukannya setelah Izumi mengomelinya.“Aku berfikir kau akan mengomel pada hitunganku yang ketiga dan aku benar, kan?” Siapa yang tidak mengomel ditatap terus-terusan seperti itu? Siapa saja pasti akan merasa tidak nyaman dan mengomel adalah salah satu langkah yang tepat. Keduanya menuju meja penjaga perpu
Ritsuko keluar dari rumah abu diikuti Izumi setelah selesai berdoa. Sebelumnya, Izumi tidak sengaja bertemu dengan Ritsuko yang sedang berdoa di depan tempat abu milik ibunya. Ia ingat bagaimana Ritsuko dan ibunya dulu begitu dekat. Sejauh yang Izumi tahu, Ritsuko adalah satu-satunya teman dekat ibunya meskipun wanita itu hanya mengajar Izumi selama setahun.“Berkat bertemu ibumu aku jadi mengasah lagi kemampuan bermain pianoku. Aku rindu melihatmu bernyanyi diiringi piano oleh ibumu.” Ritsuko menatap lurus kedepan sambil menyetir. Di sampingnya, Izumi tampak mengangguk menyetujui ucapan itu. Ia juga rindu bernyanyi diiringi ibunya.“Izumi, maukah kau mampir ke tempatku? Aku ingin kau bernyanyi sambil aku iringi dengan piano.” Izumi mengangguk setuju. Mungkin karena Ritsuko mengingatkannya dengan ibunya, Izumi jadi merasa sangat nyaman di dekat Ritsuko.Izumi mengenali Gedung dimana mobil Ritsuko mulai masuk keparkiran. Apakah wanita itu
Ishida tanpa sadar menghentikan acara sarapannya setelah tanpa sengaja membaca beberapa tagline berita. Ia benci melihat bagaimana media terus menerus menggambarkan citra yang baik terhadap kakak kandungnya. Ia mengambil tas ranselnya dengan kasar lalu bergegas keluar. “Kau masih naik taxi?” Suara itu membuat Ishida berhenti sesaat sebelum menutup pintu apartemennya. Ishida hanya mengangguk.“Kenapa kau absen kuliah hari rabu kemarin?” Ishida mendengus. Ia merasa seperti sedang diinterogasi karena suatu kejahatan.“Aku akan selalu absen ditanggal lima belas untuk memperingati kematian ibuku.” Ishida mencari reaksi penyesalan ayahnya karena tidak mengingat hari itu tapi raut wajah pria itu benar-benar datar.“Bagaimana rasanya mengingat anak tertuamu akan segera pulang dari Amerika?” Ishida tidak benar-benar bertanya, nadanya lebih terdengar seperti ingin membuat keributan.“Menutup-