Kenichi berniat menemui Ishida di apartemennya tapi keduanya malah bertemu secara tidak sengaja di pintu utama gedung itu. Kenichi mengulurkan paperbag tanpa berkata apa-apa.
“Dari Nakano Izumi.” Pria itu hampir mengabaikan Kenichi, mendengar nama itu disebut Ishida langsung mengambilnya dengan kasar.
“Kenapa bisa ada padamu?” Kini gantian Kenichi yang mengabaikan Ishida. Melihat saudara tirinya pergi begitu saja, Ishida meraih kerah Kenichi dengan kasar membuat orang-orang di sekitarnya menjauh ketakutan.
“Aku tidak menyangka reaksimu seberlebihan ini. Padahal aku sudah bermurah hati mengantarkannya padamu.” Kenichi masih tidak berkutik. Dia tersenyum tapi bukan senyum yang ramah.
“Kalau kau mendekati Nakano hanya untuk mengusikku, lebih baik kau berhenti.” Ishida melepaskan cengkramannya membuat kerah baju Kenichi menjadi kusut. Kenichi semakin mengetahui seberapa berpengaruh Izumi bagi Ishida.
&ldq
Izumi menyusuri rak ekonomi di perpustakaan. Ia berharap seseorang sudah mengembalikan buku yang ia cari setelah beberapa hari yang lalu ia kehabisan buku itu. Sementara itu Ishida mengikuti langkah Izumi dari balik rak. Ia bisa melihat wajah Izumi dari sela-sela buku. Bukannya membantu mencari buku, Ishida hanya mengikuti kemana pun Izumi melangkah sambil terus menatapnya.“Satu.. dua.. tiga!” Ishida berkata dengan suara berbisik.“Hei, apa yang kau lakukan? Bisakah kau serius sedikit?” Izumi mengomel sambil menahan senyumnya. Sebetulnya ia malu menyadari Ishida terus-terusan menatapnya. Ia harap lelaki itu akan berhenti melakukannya setelah Izumi mengomelinya.“Aku berfikir kau akan mengomel pada hitunganku yang ketiga dan aku benar, kan?” Siapa yang tidak mengomel ditatap terus-terusan seperti itu? Siapa saja pasti akan merasa tidak nyaman dan mengomel adalah salah satu langkah yang tepat. Keduanya menuju meja penjaga perpu
Ritsuko keluar dari rumah abu diikuti Izumi setelah selesai berdoa. Sebelumnya, Izumi tidak sengaja bertemu dengan Ritsuko yang sedang berdoa di depan tempat abu milik ibunya. Ia ingat bagaimana Ritsuko dan ibunya dulu begitu dekat. Sejauh yang Izumi tahu, Ritsuko adalah satu-satunya teman dekat ibunya meskipun wanita itu hanya mengajar Izumi selama setahun.“Berkat bertemu ibumu aku jadi mengasah lagi kemampuan bermain pianoku. Aku rindu melihatmu bernyanyi diiringi piano oleh ibumu.” Ritsuko menatap lurus kedepan sambil menyetir. Di sampingnya, Izumi tampak mengangguk menyetujui ucapan itu. Ia juga rindu bernyanyi diiringi ibunya.“Izumi, maukah kau mampir ke tempatku? Aku ingin kau bernyanyi sambil aku iringi dengan piano.” Izumi mengangguk setuju. Mungkin karena Ritsuko mengingatkannya dengan ibunya, Izumi jadi merasa sangat nyaman di dekat Ritsuko.Izumi mengenali Gedung dimana mobil Ritsuko mulai masuk keparkiran. Apakah wanita itu
Ishida tanpa sadar menghentikan acara sarapannya setelah tanpa sengaja membaca beberapa tagline berita. Ia benci melihat bagaimana media terus menerus menggambarkan citra yang baik terhadap kakak kandungnya. Ia mengambil tas ranselnya dengan kasar lalu bergegas keluar. “Kau masih naik taxi?” Suara itu membuat Ishida berhenti sesaat sebelum menutup pintu apartemennya. Ishida hanya mengangguk.“Kenapa kau absen kuliah hari rabu kemarin?” Ishida mendengus. Ia merasa seperti sedang diinterogasi karena suatu kejahatan.“Aku akan selalu absen ditanggal lima belas untuk memperingati kematian ibuku.” Ishida mencari reaksi penyesalan ayahnya karena tidak mengingat hari itu tapi raut wajah pria itu benar-benar datar.“Bagaimana rasanya mengingat anak tertuamu akan segera pulang dari Amerika?” Ishida tidak benar-benar bertanya, nadanya lebih terdengar seperti ingin membuat keributan.“Menutup-
“Pria itu tampan sekali. Tidak heran pacarnya juga cantik.”“Mereka seperti pasangan di dorama, benar-benar serasi.”Ishida mengabaikan desas desus itu selama ia ada di toko buku. Sementara itu Emi terlihat sangat menikmati ucapan orang-orang di sekitarnya. Untuk menunjang kecantikannya, Emi mengenakan celana denim dipadu blouse sabrina warna pink bubble gum dengan tali tunggal di kedua bahunya sedangkan Ishida tetap mempesona meski hanya mengenakan celana levis, kaos putih polos dan jacket bomber warna sued. Ishida terpaksa mengantar Emi ke toko buku setelah ia merasa bersalah karena kemarin membiarkan lelaki di toko buku mengambil buku stock terakhir.“Padahal kau hanya mengantarku ke toko buku tapi rasanya seperti sedang berkencan.” Emi berjalan beriringan dengan Ishida menyusuri trotoar untuk menuju halte bus. Emi tidak bisa menyembunyikan senyumnya sepanjang hari itu.“Jika kau ingin berkencan, be
Suara riuh tepuk tangan mengiringi berakhirnya presentasi kelompok Izumi. Tidak hanya pertanyaan dari mahasiswa, Izumi bahkan bisa mengatasi dengan baik pertanyaan menjebak dari dosennya.“Rasanya kerja kerasku seminggu kemarin terbayar hari ini. Satu kelompok dengan anak paling pintar memang menguntungkan.” Kana menyeringai saat ketiganya sudah kembali duduk. Mereka membenahi barang-barang ke dalam tas untuk bersiap makan siang.“Aku berharap bisa selalu satu kelompok dengan Nakano.” Satu-satunya yang menanggapi ucapan Ishida hanya Miyu. Gadis itu melirik sambil mengangkat satu alisnya.“Satu kelompok jidatmu. Kau terlalu banyak membebani Izumi. Kau bahkan hanya berdiam diri seperti patung saat presentasi tadi. Untung kau tampan, jika tidak apa yang bisa kau andalkan dari dirimu?” Izumi sama sekali tidak menanggapi Miyu maupun Ishida meskipun namanya disebut.Entah hanya perasaan Ishida saja atau apakah memang hari ini
Seseorang membunyikan bel apartemen Izumi saat ia sedang membereskan kamarnya. Wajah Izumi berubah cemas saat mengetahui siapa sosok itu. Bagaimana ia menjelaskan kalau ia belum mempunyai cukup uang untuk memperpanjang biaya sewa dan belum menemukan apartemen yang cocok untuk ia pindah? Izumi tersenyum setelah membuka pintu. Pria itu menyambut senyum Izumi dengan mengulurkan tangan berisi bouqet bunga lily warna kuning.“Seseorang menitipkan ini untukmu. Sepertinya kau punya penggemar setia.” padahal Izumi sudah bersiap-siap menyiapkan segudang penjelasan mengenai permasalahan sewa apartemennya tapi pria itu seolah tidak menunjukkan tanda-tanda akan membahasnya.“Terima Kasih.” Izumi meraih bunga itu. Ia teringat akan membeli bunga yang baru besok tapi orang misterius itu sudah mengiriminya bunga lagi.“Pak Yahiko, soal sewa apartemen” Izumi memotong niatan Pak Yahiko untuk berpamitan.“Ah iya. Kau harus memberi tahuku jika sudah mentransfer uang perpanjang sewanya. Ya ampun, aku hamp
“Ryuu Hasegawa” pengeras suara di ruang registrasi itu menyebut nama seseorang, kemudian pria bertubuh jangkung menghampiri meja yang dibaliknya duduk seorang wanita paruh baya. Wanita itu memeriksa berkas-berkas di atas meja, mengkonfirmasi beberapa hal terkait data diri dan informasi pemilik nama Ryuu Hasegawa.“Wah mahasiswa pindahan dari amerika ya? Hmm Berkasnya sudah lengkap, untuk tahap selanjutnya akan kami informasikan melalui email.”Pria itu meninggalkan ruangan. Ia berkeliling melihat calon kampus tempatnya belajar. Ia senang bisa melihat musim semi di Jepang lagi, Amerika mempunyai musim semi yang cantik tapi menurutnya tidak secantik di Jepang. Pria itu berjalan menyusuri jalan setapak yang di atasnya putik-putik bunga sakura sedang bersiap untuk mekar. Nuansa merah muda ini yang membuat semua orang tidak bisa untuk tidak jatuh cinta pada Jepang.“Apakah ini waktunya makan siang? Kenapa Cafetarianya ramai sekali?” Pria itu membatalkan niatnya untuk makan di sana. Langkah
Ritsuko baru selesai bermain piano saat Kenichi membuka pintu apartemennya.“Ibu, apa kau sudah lama disini?” Pria itu melepas sepatu lalu meletakkannya persis di samping sepatu ibunya yang ada di atas rak. Ia memakai sandal dalam ruangan sebelum ia melangkah ke ruang tengah apartemennya.“Mungkin sudah satu jam yang lalu. Mau kubuatkan Ramen?” Ritsuko keluar dari ruangan tempatnya bermain piano, berjalan menuju dapur lalu mengambil panci anti lengket.“Ramen? Tentu saja.” Kenichi meletakkan tasnya di kamar tidur, langkahnya menuju lemari pendingin lalu mengambil daun bawang, rumput laut, dan telur.“Pasti enak sekali jika kita bisa mencampurkan char siu. Mungkin minggu depan aku akan membelinya untuk persediaan.” Kenichi bergumam pada diri sendiri. Ia memotong sebagian daun bawang menjadi tipis-tipis, sebagian yang lain ada di mangkuk yang sama dengan rumput laut menunggu giliran untuk dipotong.“Lain kali kita bisa pergi ke kedai ramen dekat stasiun kalau kau mau. Mereka punya banya