Izumi keluar dari minimarket setelah membeli dua Ice Cream. Ia bisa melihat punggung Ishida yang duduk membelakanginya di halaman Brothermart. Izumi menarik kursi di dekat Ishida. Di titik ini ia masih ragu akan bertanya pada Ishida atau tidak.
“Soal kejadian di kafetaria, Aku minta maaf.” Mata yang Ishida tatap berpaling. Apakah gadis itu masih takut setelah kejadian di kafetaria tadi?
“Tidak apa-apa. Oh ya, Ini.” Izumi meletak kan sebuah ice cream di hadapan Ishida. Ia ingin bilang terima kasih karena sudah mengantarnya malam itu tapi ia benar-benar ragu. Ishida sama sekali tidak membahas kejadian itu dan hal ini membuatnya sedikit malu untuk mulai membahasnya.
“Aku tidak menyangka kau akan memberiku ice cream. Terima Kasih ya Nakano-san. Tapi kenapa tiba-tiba ingin berbicara denganku?” Ishida bisa melihat raut gugup Izumi. Ada apa dengan gadis itu? Gerak-geriknya seperti seorang gadis yang ingin menyatakan cinta saja.
<Pintu apartemen terbuka setelah Izumi menempelkan key cardnya. Sebelum ia sempat masuk ke dalam, seorang pengelola gedung menghampirinya.“Selamat Siang Nakano-san” Pria berusia sekitar lima puluhan itu menyapa Izumi dengan ramah.“Selamat siang, Pak Yahiko.”“Seseorang menitipkan ini untukmu.” Ia memberikan sebuket bunga lily warna kuning.“Terima Kasih.”Meski sempat menatapnya dengan heran, Izumi akhirnya meraih bunga yang tersusun rapih itu.“Anu..Aku ingin memberitahu kalau masa sewanya akan habis dua bulan lagi. Beri tahu aku kalau kau ingin memperpanjang sewanya.” Otak Izumi seketika berputar setelah mendengar kalimat itu. Tabungannya tidak cukup untuk membayar biaya sewa setahun meskipun ia berhemat dengan pendapatan part time nya. Apakah ia harus pindah? Tapi dua bulan juga terlalu singkat untuk ia menemukan tempat tinggal yang cocok untuknya. Apartemen ini terlalu besar u
Izumi mematut diri di depan cermin. Entah sudah berapa baju yang ia coba pakai tapi ia merasa belum menemukan yang cocok. Tunggu! Ini sama sekali bukan kencan tapi kenapa sangat sulit untuk menentukan baju mana yang akan di pakai? Izumi akhirnya memutuskan menggunakan rok plisket 7/8 berwarna putih dipadu dengan blouse lengan panjang warna marun. Ia juga menyematkan jepitan dengan manik-manik di rambutnya.“Acaranya masih satu jam lagi, mau mampir ke toko ice cream?” Ajakan Ishida disetujui Izumi. Ini pertama kalinya Izumi pergi berdua dengan seorang pria. Apakah orang-orang yang kencan juga melakukan hal seperti ini? Menaiki Odoriko Express bersama, ketoko ice cream dan astaga! Izumi benci sekali dengan fikiran aneh yang semakin sering menghampirinya itu.Di hadapan keduanya sudah tersaji dua porsi ice cream dengan topping yang cantik. Izumi mencoba suapan pertamanya. Ishida memiringkan wajahnya, menunggu Izumi mereview rasa ice cream itu.“En
Satu cup ramen instant tersaji di depan Izumi. Karena ia sedang berhemat, ia hanya bisa membeli ramen instant dari Brothermart. Kelas sudah usai setengah jam yang lalu. Izumi sedang menimbang-nimbang apakah ia perlu menghubungi Ishida atau tidak untuk mengembalikan jaketnya. Lelaki itu tiba-tiba tidak datang ke kampus hari ini. Apa dia kelelahan karena mengurusi Izumi kemarin?“Kau si gadis mabuk itu, kan?” Izumi mengangkat pandangannya yang tadi tengah asyik berjibaku dengan ramen. Kenichi sudah duduk di hadapannya sebelum Izumi menjawab apapun karena mulutnya penuh dengan makanan.“Apa kau membuat seseorang mengantarmu kerumah lagi?” Tanya Kenichi setelah matanya melirik paperbag warna pink yang tempo hari gadis itu berikan padanya untuk mengembalikan jaket. Gadis itu tersedak dan buru-buru meminum air mineral.“Bagaimana kau tahu?” Kata Izumi setelah menghilangkan sesuatu yang menyangkut di kerongkongannya. Lagi pu
Kenichi berniat menemui Ishida di apartemennya tapi keduanya malah bertemu secara tidak sengaja di pintu utama gedung itu. Kenichi mengulurkan paperbag tanpa berkata apa-apa.“Dari Nakano Izumi.” Pria itu hampir mengabaikan Kenichi, mendengar nama itu disebut Ishida langsung mengambilnya dengan kasar.“Kenapa bisa ada padamu?” Kini gantian Kenichi yang mengabaikan Ishida. Melihat saudara tirinya pergi begitu saja, Ishida meraih kerah Kenichi dengan kasar membuat orang-orang di sekitarnya menjauh ketakutan.“Aku tidak menyangka reaksimu seberlebihan ini. Padahal aku sudah bermurah hati mengantarkannya padamu.” Kenichi masih tidak berkutik. Dia tersenyum tapi bukan senyum yang ramah.“Kalau kau mendekati Nakano hanya untuk mengusikku, lebih baik kau berhenti.” Ishida melepaskan cengkramannya membuat kerah baju Kenichi menjadi kusut. Kenichi semakin mengetahui seberapa berpengaruh Izumi bagi Ishida.&ldq
Izumi menyusuri rak ekonomi di perpustakaan. Ia berharap seseorang sudah mengembalikan buku yang ia cari setelah beberapa hari yang lalu ia kehabisan buku itu. Sementara itu Ishida mengikuti langkah Izumi dari balik rak. Ia bisa melihat wajah Izumi dari sela-sela buku. Bukannya membantu mencari buku, Ishida hanya mengikuti kemana pun Izumi melangkah sambil terus menatapnya.“Satu.. dua.. tiga!” Ishida berkata dengan suara berbisik.“Hei, apa yang kau lakukan? Bisakah kau serius sedikit?” Izumi mengomel sambil menahan senyumnya. Sebetulnya ia malu menyadari Ishida terus-terusan menatapnya. Ia harap lelaki itu akan berhenti melakukannya setelah Izumi mengomelinya.“Aku berfikir kau akan mengomel pada hitunganku yang ketiga dan aku benar, kan?” Siapa yang tidak mengomel ditatap terus-terusan seperti itu? Siapa saja pasti akan merasa tidak nyaman dan mengomel adalah salah satu langkah yang tepat. Keduanya menuju meja penjaga perpu
Ritsuko keluar dari rumah abu diikuti Izumi setelah selesai berdoa. Sebelumnya, Izumi tidak sengaja bertemu dengan Ritsuko yang sedang berdoa di depan tempat abu milik ibunya. Ia ingat bagaimana Ritsuko dan ibunya dulu begitu dekat. Sejauh yang Izumi tahu, Ritsuko adalah satu-satunya teman dekat ibunya meskipun wanita itu hanya mengajar Izumi selama setahun.“Berkat bertemu ibumu aku jadi mengasah lagi kemampuan bermain pianoku. Aku rindu melihatmu bernyanyi diiringi piano oleh ibumu.” Ritsuko menatap lurus kedepan sambil menyetir. Di sampingnya, Izumi tampak mengangguk menyetujui ucapan itu. Ia juga rindu bernyanyi diiringi ibunya.“Izumi, maukah kau mampir ke tempatku? Aku ingin kau bernyanyi sambil aku iringi dengan piano.” Izumi mengangguk setuju. Mungkin karena Ritsuko mengingatkannya dengan ibunya, Izumi jadi merasa sangat nyaman di dekat Ritsuko.Izumi mengenali Gedung dimana mobil Ritsuko mulai masuk keparkiran. Apakah wanita itu
Ishida tanpa sadar menghentikan acara sarapannya setelah tanpa sengaja membaca beberapa tagline berita. Ia benci melihat bagaimana media terus menerus menggambarkan citra yang baik terhadap kakak kandungnya. Ia mengambil tas ranselnya dengan kasar lalu bergegas keluar. “Kau masih naik taxi?” Suara itu membuat Ishida berhenti sesaat sebelum menutup pintu apartemennya. Ishida hanya mengangguk.“Kenapa kau absen kuliah hari rabu kemarin?” Ishida mendengus. Ia merasa seperti sedang diinterogasi karena suatu kejahatan.“Aku akan selalu absen ditanggal lima belas untuk memperingati kematian ibuku.” Ishida mencari reaksi penyesalan ayahnya karena tidak mengingat hari itu tapi raut wajah pria itu benar-benar datar.“Bagaimana rasanya mengingat anak tertuamu akan segera pulang dari Amerika?” Ishida tidak benar-benar bertanya, nadanya lebih terdengar seperti ingin membuat keributan.“Menutup-
“Pria itu tampan sekali. Tidak heran pacarnya juga cantik.”“Mereka seperti pasangan di dorama, benar-benar serasi.”Ishida mengabaikan desas desus itu selama ia ada di toko buku. Sementara itu Emi terlihat sangat menikmati ucapan orang-orang di sekitarnya. Untuk menunjang kecantikannya, Emi mengenakan celana denim dipadu blouse sabrina warna pink bubble gum dengan tali tunggal di kedua bahunya sedangkan Ishida tetap mempesona meski hanya mengenakan celana levis, kaos putih polos dan jacket bomber warna sued. Ishida terpaksa mengantar Emi ke toko buku setelah ia merasa bersalah karena kemarin membiarkan lelaki di toko buku mengambil buku stock terakhir.“Padahal kau hanya mengantarku ke toko buku tapi rasanya seperti sedang berkencan.” Emi berjalan beriringan dengan Ishida menyusuri trotoar untuk menuju halte bus. Emi tidak bisa menyembunyikan senyumnya sepanjang hari itu.“Jika kau ingin berkencan, be
Kenichi berniat menemui Ishida untuk meminta bantuan laki-laki itu soal kasus yang melibatkan nama Izumi. Tapi sebelum ia berhasil menemui Ishida, matanya menangkap dua sosok yang ia segera tahu siapa mereka meski hanya melihatnya sekilas. Dua sejoli itu sedang berdiri di belakang pagar di salah satu atap Gedung kampus. Benar-benar pemandangan yang memuakkan. Memangnya mereka anak SMA yang kasmaran sampai-sampai berkencan di atap kampus? Kenichi mengeluarkan ponselnya dan menelfon Ishida. Kenichi menyesal telah tanpa sadar memperhatikan semua gerak-gerik keduanya. Kini perasaan aneh di hatinya membuat dadanya terasa sesak. Ia bahkan tidak menyadari kapan nada dering di ponselnya berhenti. Ishida mengabaikan panggilannya bahkan tanpa sekalipun mengecek siapa yang menelfon.“Konnichiwa, senpai!” Minoru dengan nada bergurau menyapa Kenichi sambil menepuk pundaknya.“Astaga! Berhenti mengagetkanku atau kau akan aku makan. Kau tahu aku baru selesai kelas dan belum makan sejak pagi.” Kenich
Miyu terpaksa makan siang seorang diri setelah mendapat kabar kalau Izumi ada kelas pengganti mendadak dan Kana tidak masuk kuliah karena akhirnya gadis itu menyerah terus-terusan menahan sakit giginya dan memutuskan untuk ke dokter. Ia sedang mengantre untuk mengambil minuman ketika tangan kanannya sibuk memegang ponsel dan tangan sebelah kirinya berhati-hati memegang seporsi nasi dan daging babi pedas. Ia terus memerhatikan ponselnya sampai tiba-tiba orang di depannya berbalik secara mendadak sampai menabraknya dan bajunya basah kuyup oleh minuman yang tumpah dari gelas lelaki itu.Miyu ternganga. Puluhan kata-kata umpatan di kepalanya sudah mengantre untuk di keluarkan tapi semua kata-kata itu menguar begitu saja saat mengetahui siapa lelaki yang menyebabkan kekacauan itu.“Oh astaga! Maafkan aku, aku tidak berhati-hati.” Laki-laki itu berusaha membersihkan baju Miyu menggunakan tisu.“Kak Minoru?”“Maeda-san?”Miyu duduk seorang diri di cafetaria setelah beberapa saat lalu Mi
Izumi turun dari bus lalu langkahnya berbelok ke sebuah jalan yang tidak begitu besar. Ia menyusuri jalan itu dengan buku dan tas tangannya. Ia hampir saja terjatuh saat kaki kanannya tidak sengaja menginjak tali sepatu sebelah kiri dan membuatnya terlepas. Ia pasti sudah sangat lelah sampai-sampai konsentrasinya menurun. Ia berhenti lalu mengikat tali sepatunya. Saat itu tanpa sengaja ia mendengar langkah kaki yang berhenti di belakangnya. Apakah ini hanya firasatnya saja? Ia tidak berani menoleh ke belakang apapun yang terjadi. Apakah badannya yang letih membuatnya berhalusinasi lagi? Setelah kejadian dua tahun silam, selain mimpi buruk yang kerap datang ia juga sering beranggapan kalau seseorang mengikutinya dari belakang tiap kali ia sedang berjalan sendirian terutama saat hari mulai gelap seperti ini. Ia melanjutkan langkahnya kali ini dengan tempo yang lebih cepat. Beberapa saat kemudian ia menghentikan langkahnya secara tiba-tiba. Ia baru saja ingin memastikan kalau apa yang ta
Suara pintu terbuka terdengar bersamaan dengan langkah Ritsuko yang mengendap-endap. Ia memberanikan diri memasuki ruangan itu setelah mengetahui suaminya tidak pulang untuk beberapa hari. Ia membuka lemari, mencari bindex file yang ia lihat saat ia tidak sengaja menemukan surat laporan kepolisian. Setelah selesai dengan dua lemari besar di belakang meja kerja suaminya, Ia beralih ke lemari yang lebih kecil di dekat pintu masuk. Itu satu-satunya lemari yang belum ia periksa. Ia menghabiskan waktu setidaknya lima belas menit untuk mencarinya di lemari terakhir.Ritsuko baru saja keluar dan menutup pintu ruang kerja suaminya tetapi sesuatu membuat tubuhnya tersentak.“Apa yang kau lakukan?” Suara itu datang tepat dari arah belakangnya. Ritsuko berbalik dengan wajah cemas yang ia buat-buat.“Aku tidak sengaja menghilangkan cincinku beberapa hari yang lalu, aku tidak begitu yakin kapan tepatnya … mungkin saat aku membantu ayahmu membereskan file-file yang sudah tidak terpakai” Ritsuko mem
Hari ini langit memersembahkan warna birunya yang menawan, perpaduan yang pas dengan warna merah muda dari putik sakura yang hampir mekar sempurna setidaknya seminggu lagi. Langkah Izumi melambat saat matanya tidak sengaja saling bertukar pandang dengan Ishida. Mereka berhenti di jalan setapak yang tidak jauh dari parkiran dengan pohon rindang di atasnya.“Apa kau tidur dengan nyenyak?” Ishida menggaruk salah satu sisi kepalanya yang tidak gatal. Jelas sekali ia kebingungan memilih topik pembicaraan.“Mm-hm. Kau sendiri?” Izumi mengangguk. Ia merasa situasi ini sangat kikuk. Sejak kapan keduanya saling bertanya hal seperti itu?“Aku juga.” Keduanya terdiam untuk beberapa saat lalu Ishida membuka ritsleting tas ranselnya dan mengeluarkan sesuatu dari sana.“Aku minta maaf.” Sambung Ishida lagi. Lelaki itu mengulurkan minuman buah plum, “Aku sadar terkadang aku bisa menjadi orang yang sangat menyebalkan, kau sama sekali tidak salah jika marah padaku karena tingkah menyebalkanku. Hanya
Kenichi berlari terburu-buru, saat larinya belum terlalu jauh, ia berhenti sejenak. Ia tidak tahu harus ke arah mana. Taman ini terlalu luas untuk ia telusuri sendiri. Ponsel Izumi berdering lagi saat ia masih belum tahu kemana ia harus melangkah. Tanpa berfikir panjang Kenichi menjawab panggilan itu.“Dimana kau?” Suara Kenichi sepertinya membuat Ishida – orang di seberang telfon itu terkejut.“Kenapa bisa ada padamu!” “Apa ada yang mengangkatnya? Ishida, jangan terlalu dekat dengan sungai. Kau bisa terjatuh!”Kenichi mengenali suara itu, suara wanita itu memberi Kenichi petunjuk. Ia menutup ponsel, tidak berniat menjawab pertanyaan Ishida. Ia tahu kemana harus berjalan. Tidak. Ia harus berlari agar cepat menemukan keduanya. Sesampainya di tepian sungai, Kenichi menyusurinya dengan nafas tersengal. Ia tidak lagi berlari. Ia bahkan tidak mengerti, apa yang sedang ia lakukan? Untuk apa ia repot-repot berlari sejauh ini? Kenichi bisa saja mengatakan ponsel Izumi ada padanya dan menungg
Malam hari dipertengahan bulan maret masih terasa dingin meski sudah memasuki musim semi. Para mahasiswa saling berpencar menikmati suasana taman karena jadwal kegiatan hari ini sudah berakhir.“Bagaimana kalau kita mencicipi hidangan musim semi di restoran tradisional? Aku sedang ingin ichigo dango.” Miyu memberi usul setelah ia, Kana, Izumi dan Ishida menghabiskan waktu setidaknya empat puluh menit untuk berjalan-jalan melihat-lihat suasana malam di sekeliling taman.“Setuju! Diluar sini sangat dingin membuat gigiku terasa semakin menyakitkan.” Kana sudah membalut lehernya dengan syal tebal tapi wajahnya tetap terlihat pucat karena kedinginan dan karena menahan rasa sakit di giginya. Sementara itu Izumi merogoh saku mantelnya mencari sesuatu tapi ia tidak berhasil menemukan sesuatu itu disana. Wajahnya berubah panik. Ia terus mencari ke saku kanan dan kirinya berulang kali.“Kau kehilangan sesuatu?” Pertanyaan Ishida disahuti oleh anggukan Izumi. Wajahnya terlihat cemas.“Sepertin
Jarum jam tangan Kana menunjukkan pukul 9 lewat 28 menit. Lima dari enam mobil yang membawa peserta Loka Karya sudah jalan sejak 13 menit yang lalu. Kana dan Izumi menunggu di dalam mobil yang masih terparkir di kampus, di dalamnya si pemilik mobil – Minoru duduk di balik kemudi, kursi di sampingnya tentu saja diisi oleh Kenichi. Kana memeriksa jam tangannya berulang kali sambil berjanji dalam hati akan mencubit lengan Miyu saat gadis itu datang.“Maafkan aku, aku terlambat.” Miyu tiba dengan nafas terengah-engah. Gadis itu sepertinya baru saja berlari, terlihat dari bulir keringat yang mengalir di dahinya. Kana dan Izumi saling bertatapan sesaat setelah menatap kearah Miyu dengan heran. Sementara itu, wajah Minoru tampak terkejut, ia bisa melihat Kenichi yang duduk di sampingnya membuat ekspresi kesal. Firasatnya berubah buruk. Ia menyesal memasukkan Izumi ke dalam mobilnya. “Kau harus mendaftarkan diri dulu sebagai peserta sebelum ikut.” Ucapan Minoru membuat Miyu kebingungan. Dil
Ritsuko baru selesai bermain piano saat Kenichi membuka pintu apartemennya.“Ibu, apa kau sudah lama disini?” Pria itu melepas sepatu lalu meletakkannya persis di samping sepatu ibunya yang ada di atas rak. Ia memakai sandal dalam ruangan sebelum ia melangkah ke ruang tengah apartemennya.“Mungkin sudah satu jam yang lalu. Mau kubuatkan Ramen?” Ritsuko keluar dari ruangan tempatnya bermain piano, berjalan menuju dapur lalu mengambil panci anti lengket.“Ramen? Tentu saja.” Kenichi meletakkan tasnya di kamar tidur, langkahnya menuju lemari pendingin lalu mengambil daun bawang, rumput laut, dan telur.“Pasti enak sekali jika kita bisa mencampurkan char siu. Mungkin minggu depan aku akan membelinya untuk persediaan.” Kenichi bergumam pada diri sendiri. Ia memotong sebagian daun bawang menjadi tipis-tipis, sebagian yang lain ada di mangkuk yang sama dengan rumput laut menunggu giliran untuk dipotong.“Lain kali kita bisa pergi ke kedai ramen dekat stasiun kalau kau mau. Mereka punya banya