***Naomi telah sampai di depan kontrakkan Layla. Ia turun dengan langkah yang gemetar. Hatinya sakit, jiwanya terguncang. Air mata tak mau reda di wajah sendunya. "Layla, buka pintu!" teriak Naomi.Layla tersadar dari lamunannya, dengan perasaan yang tak karuan, ia membukakan pintu."Naomi," lirih Layla.Naomi menerobos masuk, dan mengunci pintu dari dalam.Layla memeluk tubuh Naomi. Namun, dengan sigap Naomi mendorong Layla agar menjauh."Jangan sentuh aku!" hardik Naomi."Maafkan aku, Naomi! Tolong jangan begini," ucap Layla terisak."Cukup! Kau tak perlu bersandiwara lagi! Seandainya pengkhianatan suamiku bukanlah dengan sahabatku sendiri, mungkin rasanya tidaklah sesakit ini Lay. Aku menyayangimu sepenuh hatiku, aku melindungimu sekuat kemampuanku, tapi apa balasan darimu? Kau bahkan tega menusukku dari belakang." Naomi kembali luruh ke lantai."Maaf, Naomi." Hanya kalimat itu yang terus Layla ulang, bahkan Naomi sangat muak mendengarnya."Untuk apa kata maaf? Semua takkan pern
***Dev sudah berada di rumah sakit. Sementara Sulis dan Lastri pergi menuju kontrakan Layla.Setelah menempuh 15 menit perjalanan, kini mereka sampai di kediaman Layla.Tok! Tok! Tok!Pintu diketuk dengan keras.Layla telah mendapat perintah dari Dev untuk tidak membukakan pintu pada siapapun yang datang.Namun, Layla tak bisa diam saja di dalam. Lastri dan Sulis terus menggedor pintu layaknya seorang yang ingin menagih hutang."Layla, buka pintunya!" teriak Lastri.Dengan mata yang masih sembab, Layla keluar."Silakan masuk dulu, Tante, Oma." Mereka masuk dengan sorot mata siap menerkam."Tidak perlu basa-basi! Kami ke sini bukan untuk bernegosiasi padamu," ujar Sulis berdiri sambil berkacak pinggang."Duduklah dulu, Oma!" Layla masih berusaha ramah."Tidak perlu!"Sulis kini mulai geram dan meraih tangan Layla dengan kasar."Apa kau tidak punya hati? Kurang baik apa Naomi padamu? Kau bahkan tak pantas dijadikan seorang teman, apa lagi sahabat," cibir Sulis.Layla tak melawan, ia h
***Naomi tersenyum getir mendengar penuturan Dev. Hatinya tentu terluka, tapi air mata itu seakan tertahan hingga tak mau jatuh lagi."Kenapa harus menyerahkan keputusannya padaku, Mas? Kenapa bukan Mas saja yang menentukan semuanya? Bukankah letak permasalahannya ada pada Mas sendiri?" Naomi berkata dengan tenang."Karena aku tidak bisa meninggalkan Layla, maka dari itu keputusan ini kuserahkan padamu," ujar Dev.Lastri sangat geram mendengar ucapan putra yang ia lahirkan itu."Jika kau ingin hidup dengan Layla, maka aku tidak akan menganggapmu sebagian Anakku lagi!" Lastri membuka suara.Dev menatap ke arah Lastri dengan lemah. Terlihat jelas kemarahan yang besar dari sorot mata sang Ibu."Kalian tidak akan pernah mengerti, walau aku menjelaskan berulang-ulang kali," papar Dev pula."Mas tidak perlu menjelaskan apa pun lagi," sambung Naomi.Sulis hanya bisa mengusap pelan air matanya. Sebagai yang paling tua di rumah ini, Sulis tak mampu menengahi masalah yang sedang menimpa keluar
***Dokter telah memberi izin untuk Naomi pulang ke rumah. Kini Dev dan keluarganya menuntun Naomi masuk ke dalam mobil.Dev sebenarnya tak tega membohongi Naomi. Namun, perasaannya yang dalam terhadap Layla, membuat dirinya tak berdaya.Sisa cinta untuk Naomi mungkin masih ada, tapi tidaklah sebesar rasa cintanya pada Layla.Dalam perjalanan pulang, Naomi menggenggam tangan Dev erat, sambil berkata. "Terima kasih, Mas."Dev terharu mendengar ucapan Naomi, padahal dirinya sudah menyakiti hati sang istri, tapi Naomi masih berucap terima kasih.Dev semakin tak karuan, seandainya Naomi mau menerima Layla, mungkin kehidupan mereka akan sempurna, pikir Dev."Ayo turun pelan-pelan, sayang." Lastri menuntun Naomi ketika sudah sampai di depan rumah.Kini perhatian keluarga Dev tertuju pada Naomi. Mereka sangat mendambakan seorang Cucu, sekarang keinginan mereka sudah terwujud.Ribuan syukur terucap dalam hati Lastri, kehidupan rumah tangga Dev dan Naomi terselamatkan dengan hadirnya calon bay
Judul: Undangan pernikahan suamiku.Part: 1."Bu, ada undangan!" teriak Salman, Putra semata wayangku.Aku pun langsung keluar menghampiri, Salman. "Siapa yang ngantar, Nak?" tanyaku sambil meraih undangan itu."Gak tahu, Bu. Tadi Salman dapat di bawah pintu."Aku bergeming mendengar penjelasan Salman. Perlahan kubuka, dan kubaca. Tertulis dua nama mempelai pengantin.Nia Surtia dan Arifin Ilham."Namanya sama seperti nama Bapak, ya, Bu." Lagi-lagi aku terdiam. Entah kenapa bisa kebetulan begini. Tiba-tiba perasaanku jadi tak enak. Terlebih lagi, aku tidak mengenal nama mempelai wanita itu, dan Arifin Ilham, aku juga tak punya kenalan dengan nama itu selain suamiku.Penasaran aku dengan undangan misterius yang putraku temukan di balik pintu.Aku berniat menghadiri acara itu besok. Mungkin saja salah satu temanku memakai nama baru. Ya, mungkin saja.Akan tetapi besok aku tak bisa pergi bersama Mas Arifin. Karena suamiku itu sedang ke luar kota untuk beberapa hari.***Hari berganti
Judul: Undangan pernikahan suamikuPart: 2***"Mas, usir mereka! Jangan membuat malu diacara kita ini," ucap wanita berkebaya merah muda itu.Mas Arifin berdiri, kemudian mendekat ke arahku dan Salman.Ditariknya tanganku agar segera keluar. "Lepas, Mas! Kau keterlaluan!" hardikku.Mas Arifin tak peduli, aku tetap ditarik paksa hingga sampai di luar ruangan. Putraku Salman berlari mengejar langkahku."Nanti Mas akan jelaskan di rumah. Sekarang pulanglah! Bawa Salman, dan jangan sampai putra tampan kita mendengar hal yang seharusnya tak ia dengar."Aku membuang napas kasar menerima perintah suamiku. Tanpa membantah, akhirnya aku membawa Salman berlalu.Hatiku remuk, pengabdianku sudah dikhianati. Mas Arifin yang 12 tahun silam mengucap janji sakral di hadapan kedua orang tuaku, kini telah mendua. Sekuat tenaga aku menahan air mata agar tak terjatuh lagi. Aku tak mau Salman turut merasa sedih.Taksi yang kami tumpangi melaju dengan cepat. Sepanjang perjalanan aku bergeming. Bahkan pu
Judul: Undangan pernikahan suamikuPart: 3***Malam pun tiba, Mas Arifin benar-benar tidak tidur dengan Nia. Karena saat ini ia sudah mendengkur di dalam kamarku.Ada perasaan lega di hatiku. Namun, tetap saja aku tak bisa tenang. Biar bagaimanapun Nia juga istri Mas Arifin. Lama kelamaan, tentunya Nia menuntut haknya..Pagi harinya, aku bangun seperti biasa. Lebih awal dari Mas Arifin dan Salman. Semua sarapan sudah kusediakan. Bahkan Nia belum terlihat batang hidungnya. "Dasar anak orang kaya yang manja. Bisa-bisanya masih molor di rumah orang," gumaku."Siapa yang molor, Mbak?" Aku berlonjak kaget saat menoleh ke arah suara. Ternyata Nia sudah berdiri di belakangku.Matanya melototiku, berbeda saat ada Mas Arifin. Nia bahkan tak berani mengangkat wajahnya. Lalu pagi ini?"Mbak aku lapar," ucap Nia melengos ingin mengambil makanan yang sudah aku siapkan."Hus! Gak sopan kamu! Tunggu sampai Mas Arifin bangun. Pantas saja calon suamimu pergi kabur, mungkin dia ilfeel dengan sika
Judul: Undangan pernikahan suamikuPart: 4***Saat aku duduk merenung di dalam kamarku, tiba-tiba ponsel milikku berdering.Sebuah panggilan dari satpam sekolah Salman. Seperti biasa, Pak Agus itu pasti meneleponku ketika Salman sudah waktunya pulang."Mbak Lita, Salman sudah menunggu untuk dijemput," ucapnya."Baik, Pak. Saya langsung ke sana."Sambungan kuputus, kemudian aku langsung meraih kunci motorku.Ya, aku hanya memiliki motor saja saat ini. Sedangkan mobil, adalah milik Mas Arifin. Aku tak pernah menuntut untuk dibelikan mobil juga. Karena aku berniat membelinya dengan uang hasil kerja kerasku sendiri."Aduh, motor butut itu udah gak layak pakai," cibir Nia saat aku hendak mengengkol motorku.Satu kali ... dua kali ... tiga kali, barulah motor tuaku menyala. Aku melajukannya dengan pelan. Tak kuhiraukan ucapan Nia. Aku akan membuat perhitungan nanti saja. Nia dan keluarganya akan menyesal karena telah berani bermain-main denganku.Mereka tak tahu, jika aku suka latihan pe