Bagian Empat

[Malam ini, Hotel Diamond]

Anjel membaca pesan itu sekilas lalu tersenyum miring, ternyata Bram sungguh-sungguh mengejarnya. Ia tak habis pikir, mengapa Bram begitu gigih ingin meraihnya? Apa istimewanya dirinya?

[Baik, pukul 7 malam]

Anjel memasukkan ponsel ke dalam tas lalu melanjutkan fokus pada layar komputer. Untuk beberapa saat, semua masih aman hingga tiba-tiba ia mengingat peristiwa itu.

"Astaga!" Anjel memejamkan mata, mencoba meraih fokusnya kembali, tetapi ... bayangan itu ... rengkuhan itu ... bahkan hangatnya kecupan kilat itu masih terasa!

"Ah! Sial!" Anjel berdiri lalu memijit pelipis agar lebih rileks.

"Kenapa aku terus mengingat kejadian malam itu?!"

Anjel menggigit bibirnya gemas lalu berjalan perlahan menghadap kaca. Masih ingat kejadian malam itu, tiba-tiba Bram memeluk tubuh Anjel dari belakang dan membenamkan wajahnya pada tengkuk leher wanita itu. Hujan deras disertai petir menahan mereka untuk tetap singgah di hotel tempat mereka bertemu.

Mobil mogok dan larut malam juga turut menjadi alasan agar Anjel bisa menemani Bram. Mereka pisah kamar, akan tetapi entah bagaimana caranya Bram bisa tiba-tiba masuk ke kamar dan memeluk Anjel begitu saja.

Anjel tak dapat berbuat banyak. Tubuhnya yang mungil jika harus beradu dengan tubuh kekar Bram rasanya mustahil. Bahkan, dirinya sudah berusaha sekuat mungkin untuk melepaskan diri namun sia-sia. Bram menyesap aroma tubuh Anjel dan mengeluarkan sedikit lidahnya untuk merasakan ceruk leher wanita yang ia dekap.

Mata Anjel membola dan mulutnya menganga. Hampir saja ia berteriak, kemudian buru-buru Bram memutar tubuh Anjel agar menghadap padanya lalu dengan cepat lelaki kekar itu menyumpal mulut Anjel dengan bibirnya yang tebal. Anjel memberontak namun Bram terlalu kuat hingga tak lama ia melepaskan pagutannya dan memeluk Anjel lagi.

"Aku ingin seperti ini, sebentar saja. Sungguh aku ingin memilikimu. Tak dapatkah kau rasakan itu?"

Anjel terbelalak. Sungguh dirinya terlalu bingung untuk menjawab semuanya. Bagi Anjel, kata-kata Bram ini terlalu buru-buru. Bahkan ini pertama kalinya bagi Anjel untuk merasakan pelukan hangat dan pagutan bibir yang manis. Apa ini sungguh-sungguh cinta? Atau nafsu semata?

Bram melepaskan pelukan lalu menatap Anjek mesra. Lelaki itu tersenyum dengan senyum yang paling indah. "Kamu memang cantik, sangat cantik."

Anjel membuka bibirnya sedikit, seolah olah ada bisikan yang mengatakan bahwa ia harus melakukan itu. Sepersekian detik kemudian, Bram mendekatkan wajahnya lalu melumat bibir Anjel lagi. Entah, apa yang diinginkan pria ini. Cintakah? Atau tubuhkah?

"Sudah, Bram." Anjel mengusap bibirnya pelan lalu membuang muka. Untuk mengakui bahwa ini rasanya terlalu nyaman, ia naif. Anjel belum tahu pasti seluk beluk lelaki yang ia kenal baru satu purnama ini. Bram memang menawan, tampan, gagah dan selalu lembut. Tetapi ... kenapa terlalu cepat?

"Aku mencintaimu, Njel."

Bram merapatkan pelukannya lalu menempelkan hidung mancungnya pada hidung Anjel. Deru napas yang hangat dan beraroma mint, sungguh membius diri Anjel yang sebenarnya haus akan cinta. Bram memejamkan mata lalu tersenyum, ia benar-benar menikmati kedekatan mereka saat ini.

"Tak perlu buru-buru menjawab karena kuyakin kamu juga mencintaiku. Kamu, hanya perlu waktu untuk mengakui itu."

"Izinkan aku untuk menciummu, Bram. Maka akan kujawab pernyataanmu."

Akhirnya mereka larut dalam malam yang panjang dan penuh kehangatan. Rengkuhan demi rengkuhan saling melengkapi gejolak cinta yang tengah mereka rasakan. Tetapi, baik Anjel ataupun Bram tidak melakukannya lebih. Sebenarnya Bram hanya ingin memeluk Anjel agar wanita itu tak lagi lepas. Maka dari itu, Anjel memberinya pelukan paling hangat, kecupan paling mesra dan yang tak terlupakan bisikan cinta yang paling mendebarkan.

Hingga malam ini tiba, Anjel akan memberi jawabnya!

***

Anjel menatap pantulan bayangan tubuh di cermin. Sebuah dress selutut berwarna baby pink tanpa lengan menempel di tubuh rampingnya, dipadukan dengan blezzer hitam berbulu dan rambut yang selalu harum terurai. Anjel tersenyum manis, lalu menambah polesan lip cream agar terlihat semakin manis.

"Aku siap." 

Wanita itu meraih botol parfum kaca berbentuk hati yang wangi coklat lalu menyemprotkan isinya. Kali ini dia benar-benar siap untuk bertemu Bram, penampilan yang paripurna pasti akan membuat lelaki tampan itu terpesona. 

"Berangkat sendiri atau dijemput?"  Suara seseorang tak asing itu cukup membuat Anjel terkejut. Ia menoleh dan kemudian tertawa. 

"Kau nampak imut jika memakai kelinci itu!" Nampak di depan Anjel, adiknya kini tengah mengenakan piyama warna merah muda yang penuh dengan gambar kelinci-kelinci kecil. Tapi bukan itu yang menarik, tetapi sebuah ekor gembul berbulu putih yang terselip di bagian belakangnya itu. 

Azel mengernyitkan dahi, sebuah kalimat pengalihan yang cukup membuatnya kesal. Ia berdecak, lalu berjalan mendekati sang kakak dan duduk di pinggiran tempat tidur.  "Ini semua ulah Pras! Dia memintaku untuk mengenakan piyama berekor ini lalu aku harus mengirimkan fotonya!" Azel bertopang dagu dengan bibir manyun. 

"Dan kau, menurut saja?" Anjel bertanya sembari duduk di kursi rias dan memasang hell sebelah kanannya. Raut wajah menahan tawa nampak jelas pada diri Anjel dan itu membuat adiknya makin kesal. 

"Aku menurut aja! Lagian ini lucu, kok! Tadi aku mau-mau aja, tapi, kok, di mata kakak, pakaian ini terlihat memalukan?" protes Azel. Ia semakin kesal sebab kakaknya seolah menghinanya. Anjel hanya diam sembari menutup bibirnya rapat-rapat. Lalu tak lama tawanya meledak dan tertahankan. Bahkan, hanya untuk memasang hell sebelah kiri saja dia tak sanggup. 

"Ahahahaha! Aduh, Ya Tuhan, perutku!" 

"Aissh! Kakak!" Azel berdiri dan menghentak-hentakkan kakinya. Anjel menggeleng, lalu berdiri dan masih dalam keadaan tertawa. Jujur, untuk hal semacam ini menurutnya amat memalukan. Seumur hidup, belum pernah dia berulah seperti Azel dan pacar barunya—Pras. 

"Hu! Awas aja ya! Kalo udah jadian sama Kak Bram, awas jadi bucin!" Azel melengos, lalu menderapkan langkah keluar kamar dengan kesal. 

"Ahahaha! Lagian bucinku jelas beda denganmu, Gadis Kelinci!" Anjel terkikik lalu keluar kamar dan menutup pintu. Sebelum berangkat, ia akan berpamitan dengan ayah dan ibu. Anjel memeriksa barang bawaan di dalam tas yang ia jinjing sembari menuruni tangga, sedang kedua orangtuanya dan Azel tengah berada di depan televisi sembari menyantap salad buah yang dibeli di perempatan depan. 

"Anjel, kamu apakan lagi adikmu?" Suara berat khas ayah meluncur begitu saja ke telinga Anjel. Merasa namanya disebut, ia menoleh dan mendapati sang adik tengah duduk bersimpuh di depan ayahnya. Bukannya takut, Anjel malah tertawa cekikikan sembari menutup mulut. Lalu ia melangkah mendekati mereka dan mendaratkan pantatnya di samping sang ibu. 

"Kamu ini udah besar, masih aja jahilin adiknya!" protes ibu sembari menggelengkan kepala. Saat Anjel hendak menjawab protes sang ibu, tiba-tiba ponselnya berdering. Ia segera mengambil benda pipih itu dari dalam tas dan menerima panggilannya. 

"Halo?" 

"Hai, Cantik! Aku ada di luar. Apa ayah dan ibu ada di rumah? Aku mau izin bawa putrinya ini jalan-jalan!" 

Anjel terkejut, untuk beberapa saat ia tercengang. Ia sendiri tak menyangka bahwa Bram akan berbuat demikian. Pasalnya, Anjel sama sekali belum siap untuk mempertemukan mereka. 

"A—Anu .... " 

"Siapa, Nak?" tanya ibu penasaran.

"Bram, ya?" tebak ayah tepat sasaran. Anjel semakin menganga, darimana kedua orangtuanya tahu? Ia menoleh pada adiknya yang sudah menahan tawa. 

"Sial! Aku dijebak!" gumamnya. 

"Suruh masuk saja dulu, bukankah dia meminta begitu?" Ibu segera berdiri dan berjalan pelan menuju dapur. 

"Iya, suruh masuk dulu!" titah ayah sembari melirik Azel. Sepertinya kedua orang itu memang tengah kerja sama. Anjel menggigit bibir, ia masih mengabaikan panggilan Bram di ponselnya. 

"Halo? Anjel, kamu masih di situ?" 

"Aa—i—iya! Tunggu, aku akan ke sana!" Anjel segera memutuskan sambungan telepon dan bergegas menuju pintu utama. 

Sesaat sampainya di depan pintu, ia berhenti sejenak. Menghela napas dan menggigit bibir, setidaknya ini cukup untuk menenangkan dirinya. "Sudah lama aku tidak menerima tamu laki-laki. Lalu bagaimana dengan ini?" gumam Anjel. 

Ia membuka pintu perlahan lalu nampak di depannya seorang lelaki tampan tengah tersenyum menawan. "Hai, Cantikku!" Bram melambaikan tangannya setinggi dada dan menampakkan lesung pipinya. 

"Bram, berhentilah menggodaku! Apa kamu tidak malu?" protes Anjel dengan suara pelan. Ia takut, tiga orang yang ada di dalam rumah tiba-tiba muncul tanpa suara di belakangnya. 

"Kenapa harus malu? Lihat, kamu benar-benar nampak manis dengan gaun merah mudamu! Sangat cocok dengan kulitmu yang putih!" Bram semakin menjadi-jadi hingga membuat Anjel mengeluarkan semburat merah di pipinya. 

Belum lagi penampilan Bram yang ... terlihat meresahkan. Meski ia hanya mengenakan kemeja putih dengan garis-garis kecil dan setelan celana berwarna silver, tetapi ia menbuka kancing atas kemejanya. Sederhana, namun sanggup membuat gadis manis seperti Anjel benar-benar terpanah. 

Bram menyela rambutnya yang agak basah dan acak-acakan dengan sela-sela jari lalu mensejajarkan wajahnya dengan Anjel. Untuk beberapa saat Anjel masih belum sadar, baru saat Bram meniup hidungnya Anjel segera tersadar. 

"Bram!" protes Anjel dengan napas terengah. 

Bram tertawa sekilas, lalu mengusap ujung kepala wanita yang ia cintai. "Kamu benar-benar imut! Aku jadi makin suka!" Bram mengedip lagi dan itu membuat jantung Anjel semakin berdebar. 

"Ya Tuhan, makhluk apa sebenarnya dia ini?" gumam Anjel dengan bibir yang sedikit terbuka. 

"Jangan lakukan itu!" ujar Bram datar. Kini ia malah fokus dengan bibir Anjel yang membuat pikirannya kacau. Spontan, Anjel langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan lalu melotot. Bram tertawa lagi. Sungguh, suara tawanya saja terdengar meresahkan, pikir Anjel. Tunggu? Kenapa kini ia begitu memuja lelaki ini? 

"Anjel, kenapa tidak di suruh masuk, Nak?" Suara ibu yang terdengar mendekat, membuat dua pasangan ini awas. Bram segera mengalihkan pandangan dan tertuju pada ibu Anjel. 

Bram berjalan melewati Anjel dan bersalaman dengan ibu. Sungguh, aroma mint yang memabukkan. Anjel semakin penasaran terhadap Bram, dan Bram sendiri sudah tak sabar menanti jawaban wanita cantiknya. 

Tbc.