Share

Bagian Dua

Author: Deva Delia
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Azel mulai mengemasi barang-barangnya dan beranjak pergi, padahal makan siangnya pun belum habis setengah. Anjel bingung dengan tingkah adiknya, lagi pula untuk apa beli bunga? Bukannya Azel tidak terlalu suka bunga?

"Kakak mau sampe kapan duduk di situ? Ayok!"

"Buat apa beli bunga? Di rumah udah banyak." Anjel masih enggan beranjak karena memang ia tidak minat. Azel memutar bola matanya dan menghampiri Anjel.

"Aku mau tunjukin sesuatu buat kakak, cepat!" Tak sabar Azel menarik tangan Anjel. Akhirnya dengan sangat terpaksa, Anjel melangkahkan kaki. Melihat sesuatu yang hendak ditunjukkan padanya.

Kini mereka memasuki sebuah toko bunga yang tidak terlalu besar namun lumayan ramai. Dari luar nampak desain minimalis serba vintage yang akan menarik pembeli terutama wanita. Di depan kaca, nampak deretan keranjang-keranjang bunga yang berjajar rapi. Mulai dari bunga mawar, tulip, zinnia, lavender, azalea, anyelir dan banyak lagi. Pintu dibuka, lalu terdengar suara lonceng berdenting di atas pintu. Refleks para pengunjung menoleh seketika, melihat siapa yang datang. Namun, tak lama mereka kembali abai.

"Ada yang bisa saya bantu?" Seorang wanita muda menghampiri Anjel. Sepertinya ia adalah karyawan di sini, terlihat dari celemek yang ia kenakan bertuliskam 'Florist –nama toko bunga ini. 

"Um, anu ...." Anjel kelimpungan. Bingung apa yang ia lakukan di sini karena Azel-lah yang memiliki inisiatif dan sekarang anak itu menghilang di antara keranjang-keranjang bunga. 

"Duh, di mana, sih, anak ini? Main ilang-ilang aja!" rutuk Anjel dalam hati. Ia menggigit bibir dan tiba-tiba muncul sebuah ide.  “Em—mau cari bunga—“  

"Anjeline?" 

Anjel menoleh ke belakang, melihat siapa yang memanggilnya barusan. Mata Anjel terbelalak, siapa dia? 

"Dia nyari saya, Mbak," ucap lelaki itu pada wanita muda di depan Anjel. 

"Oh, baiklah." Wanita muda itu pergi meninggalkan mereka berdua.  Anjel bingung sekaligus kaget, siapa yang mencari lelaki ini? Lalu, siapa lelaki ini? Tunggu, kenapa ia bisa tahu nama Anjel? 

"Tak perlu kamu bingung seperti itu." Lelaki itu tersenyum manis di hadapan Anjel. 

Tentu Anjel yang masih bingung, mencoba menerka-nerka siapa lelaki di depannya kini. Mungkinkah kawan lama yang ia lupakan namanya atau salah satu relasi bisnisnya yang tak sengaja bertemu di sini.

"Bramasta Samudra, panggil saja Bram." Lelaki bernama Bram itu mengulurkan tangannya. Sebuah isyarat untuk memulai sebuah perkenalan yang baik. 

Anjel ragu menerima uluran tangan itu, tapi ia juga tak bisa membiarkannya tak bertuan. Maka dengan ragu dan kaku ia terima. Ini adalah uluran tangan pertama yang ia terima sejak mencoba berkenalan dengan laki-laki tujuh tahun lalu. 

"Anjel, Anjelina Tamara." Senyum manis juga terukir di bibir Anjel. Tak dapat dipungkiri, lelaki di hadapannya ini memang terlihat cukup menarik. Seorang lelaki tampan berkulit bersih. Tubuh yang atletis dan suara yang berat. 

"Nama yang cantik dan imut. Seperti pemiliknya."

Anjel terperanjat, sontak pipinya bersemu merah bak kepiting rebus. Ia segera menutup mulutnya, hal yang biasa ia lakukan saat merasa malu. 

"Terima kasih, tapi kamu berlebihan. Dan ... "  Anjel menyelipkan helaian rambutnya di belakang telinga. Sepatu flat yang ia kenakan juga turut menggesekkan diri di atas lantai, mungkin ikut gugup atau malu. 

"Terima kasih sudah menolongku barusan."

Bram mengernyitkan dahi, namun tak lama ia tertawa. "Aku serius, aku benar-benar mencarimu."

"Mencariku? Kenapa?" 

"Hai!" Tiba-tiba seseorang merangkul pundak Anjel dan sudah bisa ditebak siapa orangnya. 

"Gimana, Kak? Cantik 'kan dia?" Azel merapatkan rangkulannya pada Anjel, memperlihatkan kedekatan mereka di depan Bram. 

"Tentu, Anjel amat cantik seperti yang kamu ceritakan." Bram menunduk, meluruskan wajahnya dengan wajah Anjel hingga Anjel mampu merasakan deru napas Bram. 

"A—Apa? Apa-apaan ini?" Anjel mulai curiga dengan ini semua. Ia mundur beberapa langkah dan alisnya mulai bertaut. 

"Kak, aku ingin bantu kamu. Aku ngga mau kamu diomelin ibu terus," ungkap Azel dengan polosnya. Anjel seketika sadar, apa yang sedang dilakukan Azel pada dirinya. 

"Ngga! Apa ini? Aku ngga suka!" Anjel geram, ia meninggalkan Bram dan Azel, namun tiba-tiba sebuah tangan meraihnya.

"Tunggu, Njel! Bukan begitu maksudnya!" Bram menarik pergelangan tangan Anjel dan membuat langkah Anjel terhenti. Ia membuang napas kasar dan menghadap Bram.

"Kamu ditipu! Azel pembohong! Aku tidak seperti yang dia ceritakan! Kuharap, kamu menganggap pertemuan ini hanya mimpi." Anjel menarik tangannya dan beranjak pergi. Lonceng pintu berdenting, seseorang telah pergi.

***

Malam ini begitu mendung, tapi langitnya begitu menarik untuk ditatap. Dengan segelas susu coklat dan angin yang sesekali menerpa anak rambutnya, Anjel melepas kepenatan dan kesedihan di balkon kamar. Ia menerawang jauh, jauh sebelum kegelisahan ini menyelimutinya.

Dulu ia pernah begitu cinta, pernah begitu percaya. Pada seorang adam yang amat ia suka. Seseorang yang juga turut mengantarkannya pada kesuksesan. Andai ia dan lelaki itu masih bersama, mungkin saat ini adalah tahun pernikahan mereka yang ke tiga. Anjel sama sekali tak merasa dingin meski hanya mengenakan tank top dan hotpans berbalut gardigan. Ia menyesap susu coklatnya lalu melumat bibir, memastikan tidak ada bercak susu di sana.

Di lubuk hati yang paling dalam, tentu saja Anjel punya keinginan. Membina rumah tangga dan memiliki beberapa anak yang nanti akan membuat rumahnya berantakan setiap pagi. Melihat sebagian besar karibnya sudah mengalami itu, malah membuat keinginan itu semakin menggebu. Entah kapan, ia pasti akan bertemu dengan seseorang itu. Tetapi, segala tuntutan demi tuntutan yang terus menjeratnya terkadang membuat Anjel muak setengah mati. Dia tak suka dipaksa, ia lebih suka berjalan apa adanya tanpa ada seseorang yang menjadi perantara.

Anjel terkesiap. Jika menginat kejadian tadi siang rasanya ia ingin menampar Azel. Anjel masih menerawang jauh, jemarinya memeras gelas susu yang sudah dingin dan hampir habis. Mau sampai kapan ia dipaksa? Walau sebenarnya Anjel sadar bahwa Azel hendak membantunya. Tetapi, bukan begitu caranya. Bayangkan, bagaimana jadinya jika kamu bertemu seseorang di jalan dan tiba-tiba mengajak berpacaran? Geli, bukan?

Anjel tiba-tiba bergidik, ia menggelengkan kepala karena mengingat bagaimana hangatnya tangan Bram saat menyentuh telapak tangannya. Atau senyum Bram yang menawan dan terlihat manis. Anjel suka lelaki itu, tapi ia tak suka kesan pertama saat mereka bertemu. Malam semakin larut, Anjel melangkahkan kaki memasuki kamar. Setelah mencuci muka dan memakai skincare malam, ia duduk di samping ranjang. Ponsel yang sedari tadi bergetar cukup mengusik pikirannya.

Ia melihat beberapa pesan, memeriksa ada hal penting atau sekadar memeriksa grup chat yang biasanya hanya membahas sesuatu yang tengah hangat terjadi. Tak ada yang istimewa seperti biasanya. Lalu benda pipih itu ia matikan dan diletakkan di atas nakas. Tidur adalah salah satu pilihan terbaik untuk melupakan masalah.

***

Ting! Roti yang dipanggang oleh Anjel sudah menyembul keluar. Dengan cekatan, ia memindahkan roti-roti ke atas piring lalu membawanya ke meja makan. Setelah duduk dan hendak menuang segelas jus jambu, Azel tiba. Namun kini tanpa suara TOA seperti biasanya. Anjel diam, ia pura-pura tak tahu saat Azel menatapnya intens. Selain itu, ia masih cukup marah atas perbuatan Azel kemarin.

"Tumben bukan kopi." Azel meraih dua lembar roti lalu berjalan menuju alat pemanggang. Jika biasanya ia akan merengek minta dipanggangkan, maka kini tiba-tiba ia bisa melakukannya sendiri.

"Bukan urusanmu." Jawaban menohok, mungkin akan membuat Azel jera dan mengerti. Anjel mengoleskan selai kacang di atas rotinya. Lalu melahapnya perlahan. Tangan kirinya sibuk mengulir layar ponsel, membaca sesuatu yang ada di ponsel terlihat lebih menarik ketimbang membalas tatapan mengintimidasinya di seberang meja.

"Kak, udah dong, marahnya!"

Anjel diam dan memilih segera menghabiskan sarapannya. Ia tak bisa membohongi perasaanya jika memang ia tengah kesal. Maka, inilah Anjelina dengan dengan segala keteguhannya.

"Aku berangkat, nanti jangan telfon aku. Aku cukup sibuk di butik dan kamu makan sianglah sendiri."

Anjel meraih tasnya lalu melenggang pergi. Jika biasanya ia masih berpamitan pada ayah ibu, maka kini tidak lagi. Mereka berdua sedang ke luar kota mengurus cabang perusahaan ayah yang baru saja selesai dibangun.

Mobil Merchi Anjel membelah jalanan yang padat. Kemacetan yang tak dapat dihindari selalu menjadi santapan sehari-hari warga ibu kota. Dengan mengalunkan musik, Anjel bersenandung kecil seraya menepuk-nepuk kemudi. Sesaat ia tersadar, bahwa ucapan Azel ada benarnya. Tumben tidak minum kopi? Ah, sepertinya Kristin lebih tahu apa yang akan ia minum saat berkutat di meja kerja.

Tibalah Anjel di The Dress, seperti biasa, Kristin akan membukakan pintu dan mengucapkan selamat pagi pada Anjel. Namun, kini ....

"Kak, ada yang mencarimu." Anjel mengernyitkan dahi, siapa lagi ini?

Tbc. 

Related chapters

  • Turun Ranjang   Bagian Tiga

    "Siapa?" Anjel memindahkan tas channel-nya dari tangan kanan ke tangan kiri. Sementara matanya menelisik ke dalam butik.Kristin tersenyum dengan senyuman yang aneh. Dia menaikkan sebelah alis kemudian mendekatkan bibirnya pada telinga Anjel. "Seseorang yang biasa disebut tampan. Dia datang membawa bunga dan bau lavender."Anjel semakin bingung, tanpa merespon perkataan Kristin, ia masuk dan menuju tempat yang biasa ia gunakan untuk menerima tamu di dekat kasir. Sebuah sofa beludru warna merah dan meja bundar di depannya. Sesampainya di sana, nampak seorang lelaki yang tengah mengenakan setelan kemeja warna putih dan celana jeans warna bitu gelap. Lengannya dilipat sebagian dan kancing depannya dibiarkan terbuka dua biji."Maaf, ada yang bisa saya bantu?" Anjel duduk di depan lelaki itu---di atas sofa tepatnya.Lelaki yang tengah memainkan ponselnya itu mendongak dan Anjel seketika tercengang. Lelaki itu tersenyum manis, kemudian meletakkan ponselnya di ata

  • Turun Ranjang   Bagian Empat

    [Malam ini, Hotel Diamond]Anjel membaca pesan itu sekilas lalu tersenyum miring, ternyata Bram sungguh-sungguh mengejarnya. Ia tak habis pikir, mengapa Bram begitu gigih ingin meraihnya? Apa istimewanya dirinya?[Baik, pukul 7 malam]Anjel memasukkan ponsel ke dalam tas lalu melanjutkan fokus pada layar komputer. Untuk beberapa saat, semua masih aman hingga tiba-tiba ia mengingat peristiwa itu."Astaga!" Anjel memejamkan mata, mencoba meraih fokusnya kembali, tetapi ... bayangan itu ... rengkuhan itu ... bahkan hangatnya kecupan kilat itu masih terasa!"Ah! Sial!" Anjel berdiri lalu memijit pelipis agar lebih rileks."Kenapa aku terus mengingat kejadian malam itu?!"Anjel menggigit bibirnya gemas lalu berjalan perlahan menghadap kaca. Masih ingat kejadian malam itu, tiba-tiba Bram memeluk tubuh Anjel dari belakang dan membenamkan wajahnya pada tengkuk leher wanita itu. Hujan deras disertai petir menahan mereka untuk tetap singgah di hotel tempat m

  • Turun Ranjang   Bagian Lima

    "Jadi, kapan kalian akan pacaran?"Pertanyaan menohok yang dilontarkan ayah seketika membuat Bram dan juga Anjel bungkam. Suasana yang tadinya ramah, kini beralih menjadi kikuk dan kaku. Ayah yang sebenarnya hanya basa-basi tiba-tiba juga merasa kikuk dan salah tingkah. Bram menatap ayah dengan senyuman canggung dan Anjel sendiri malah melotot tajam. "Loh, belum pacaran ya?""Ayah!" protes Anjel seraya mengerucutkan bibir."Um, masih proses, Yah. Sebentar lagi juga pacaran, kok," jawab Bram santai dengan senyuman ramah.Tawa ayah tiba-tiba meledak dan diringi dengan suara tawa Bram. "Ya sudah, jangan lama-lama. Ingatlah usia kalian, udah waktunya nikah!" timpal ibu juga tak mau kalah."Ah, ibu. Aku masih mau santai juga!" Anjel lagi-lagi protes dan ingin suaranya didengar."Tenang saja, Ibu. Setelah kami pacaran, sesegera mungkin kami akan menikah. Begitu 'kan, Njel?"Anjel tak habis pikir dengan pola pikir mereka yang ingin sekali melihatnya menik

  • Turun Ranjang   Bagian Enam

    Anjel hanya diam dalam keheningan saat Bram memutuskan turun dari mobil lalu menghampiri wanita yang sepertinya telah menunggu kedatangan Bram itu. Anjel tak mau berpikir negatif, namun saat Bram memeluk wanita itu barulah Anjel mulai naik pitam.“Ha? Apa-apaan dia itu?” gumam Anjel.Setelah memeluk wanita itu, Bram kembali ke arah mobil lalu membukakan pintu untuk Anjel. Anjel berusaha untuk menutupi kekesalannya agar Bram tidak semakin menjadi-jadi.“Ayo turun,” ucap Bram dengan senyum merekah, tanpa dosa.Anjel hanya tersenyum tipis lalu turun dari mobil dengan anggun. Wanita itu memasang senyum yang begitu lebar. Anjel merasa bingung, mengapa wanita itu justru tersenyum? Siapa dia?“Kenalkan, Kak. Dia Anjeline, calon istriku,” ungkap Bram malu-malu.“Apa? Kak? Jadi .... “ gumam Anjel dalam hati.Wanita itu berjalan mendekati Anjel lalu memeluknya erat. “Oh, Adik Cantik. Selamat datang.&rdquo

  • Turun Ranjang   Bagian Tujuh

    Chintya sontak menoleh cepat ke arah sumber suara lalu tersenyum lebar. “Bram?”Bram tanpa aba-aba langsung duduk di samping Anjeline yang masih bingung dengan kedatangan dirinya yang tiba-tiba. “Aku hendak menghabiskan waktu makan siangku di sini,” celetuk lelaki dengan setelan dominan abu-abu tersebut.Anjelin menoleh cepat pada Bram. “Makan siang? Memangnya sekarang waktunya makan?”Bram menggeleng. “Tidak, aku hanya membuat alasan. Hahaha!”Chintya berdecak sembari memasang wajah kesal. “Enggak lucu.”Anjeline hanya tertawa kecil lalu berdiri menuju dapur untuk membuat minuman. Meski butiknya hanya digunakan saat siang hari, tetapi keberadaan dapur benar-benar penting baginya. Jika sewaktu-waktu ada tamu istimewa, maka para karyawan atau dirinya bisa membuat sesuatu di sana. Saat Anjeline tengah menunggu cheese cake yang ia hangatkan di microwave, pikirannya l

  • Turun Ranjang   Bagian Delapan

    Anjel mengamati sebuah amplop cokelat tua berukuran tiga puluh kali lima belas sentimeter yang ada dalam genggamannya. Pagi ini ia dikejutkan dengan kedatangan kurir pos yang tiba-tiba mengantarkan surat. Seingat Anjel, sudah hampir sepuluh tahun ia tidak menerima surat lewat pos. Anehnya, nama pengirim dan alamatnya tertulis milik Bram. “Untuk apa?” Hanya itu yang bisa Anjel ucapkan. Akhir pekan, keinginannya untuk memulai mempersiapkan keperluan pernikahan akhirnya tersendat. Tak ada yang tahu soal surat ini. Ayah dan ibu belum datang dan Azel belum turun dari kamar sejak tadi. Anjel membasahi bibirnya lalu membuka ujung amplop perlahan. Tangan kanannya menjorok ke dalam dan alisnya spontan bertaut saat akhirnya tahu apa isi dari amplop tersebut. “Katalog pernikahan?” Anjel semakin terkejut. Katalog itu berisi serba-serbi pernikahan, mulai dari dekorasi, catering, MUA, souvenir dan segala sesuatu yang dapat Anjel pilih. “Untuk apa Bram mengirimkan ini? Bukankah k

  • Turun Ranjang   Bagian Sembilan

    "Tidak apa-apa, aku juga tahu kamu pasti sibuk.” Anjel masih berusaha mengatur emosi keterkejutannya saat membalas ucapan Bram.“Aku sedang dalam perjalanan,” ucap Bram lagi.“Aku tahu. Semoga selamat sampai tujuan.”Tak ada sepatah kata pun dari Bram, begitu juga Anjel yang terlihat enggan berbicara. Setelah beberapa menit terdiam, akhirnya Bram berdehem. Anjel menghela napas panjang. “Ada apa meneleponku malam-malam?”“Aku hanya ingin tahu kabarmu,” jawab Bram. Anjel tertawa kecil lalu memainkan jemarinya di atas sprei. “Kalau kamu sibuk, kamu bisa mematikan teleponnya sekarang. Aku tidak seperti kebanyakan remaja yang selalu minta ditemani.”“Bukan seperti itu, um.... “ Bram menggantung ucapannya. “Apakah kakakku sudah menemuimu?”“Besok,” sahut Anjel cepat. Tiba-tiba ia ingat sesuatu. “Oh iya, soal persiapan pernikahan.... ““Iya, ada apa?”“Aku akan mulai melakukannya setelah keluargamu datang kemari untuk memintaku secara langsung. Aku tahu ini aneh, tetapi kurasa orangt

  • Turun Ranjang   Bagian Sepuluh

    “Mungkin kamu suka konsep lain.” Hanya itu jawaban yang diberikan Bram. Anjel melirik lelaki itu sekilas lalu kembali berkutat dengan makanan. “Memangnya siapa yang memilih katalog itu kalau bukan kamu? Lagi pula untuk apa kamu kirimkan katalog itu padaku?”Anjel hampir siap menyiapkan makan siang, belum sempat Bram menjawab pertanyaan calon suaminya, tiba-tiba Azel muncul dari pintu dapur. Gadis itu mengenakan pakaian santai, kaus pendek warna putih agak ketat dan celana jeans sebatas lutut. Anjel yang terkejut melihat penampilan adiknya pun buru-buru mendekati lalu berbisik. “Kamu kenapa pakai baju seperti itu?”Azel melirik sekilas ke arah Bram. Lelaki itu salah tingkah lalu memilih untuk kembali ke ruang tamu. “Aku ingin membantu kakak,” jawab Azel polos. Anjel menghela napas panjang. “Sudah selesai.”Azel menunduk lalu memperhatikan penampilannya. “Memangnya kenapa pakaianku?”Anjel merapatkan giginya, kesal dengan adiknya yang terlampau polos. “Kurang sopan. Kita sedang

Latest chapter

  • Turun Ranjang   Bagian Sepuluh

    “Mungkin kamu suka konsep lain.” Hanya itu jawaban yang diberikan Bram. Anjel melirik lelaki itu sekilas lalu kembali berkutat dengan makanan. “Memangnya siapa yang memilih katalog itu kalau bukan kamu? Lagi pula untuk apa kamu kirimkan katalog itu padaku?”Anjel hampir siap menyiapkan makan siang, belum sempat Bram menjawab pertanyaan calon suaminya, tiba-tiba Azel muncul dari pintu dapur. Gadis itu mengenakan pakaian santai, kaus pendek warna putih agak ketat dan celana jeans sebatas lutut. Anjel yang terkejut melihat penampilan adiknya pun buru-buru mendekati lalu berbisik. “Kamu kenapa pakai baju seperti itu?”Azel melirik sekilas ke arah Bram. Lelaki itu salah tingkah lalu memilih untuk kembali ke ruang tamu. “Aku ingin membantu kakak,” jawab Azel polos. Anjel menghela napas panjang. “Sudah selesai.”Azel menunduk lalu memperhatikan penampilannya. “Memangnya kenapa pakaianku?”Anjel merapatkan giginya, kesal dengan adiknya yang terlampau polos. “Kurang sopan. Kita sedang

  • Turun Ranjang   Bagian Sembilan

    "Tidak apa-apa, aku juga tahu kamu pasti sibuk.” Anjel masih berusaha mengatur emosi keterkejutannya saat membalas ucapan Bram.“Aku sedang dalam perjalanan,” ucap Bram lagi.“Aku tahu. Semoga selamat sampai tujuan.”Tak ada sepatah kata pun dari Bram, begitu juga Anjel yang terlihat enggan berbicara. Setelah beberapa menit terdiam, akhirnya Bram berdehem. Anjel menghela napas panjang. “Ada apa meneleponku malam-malam?”“Aku hanya ingin tahu kabarmu,” jawab Bram. Anjel tertawa kecil lalu memainkan jemarinya di atas sprei. “Kalau kamu sibuk, kamu bisa mematikan teleponnya sekarang. Aku tidak seperti kebanyakan remaja yang selalu minta ditemani.”“Bukan seperti itu, um.... “ Bram menggantung ucapannya. “Apakah kakakku sudah menemuimu?”“Besok,” sahut Anjel cepat. Tiba-tiba ia ingat sesuatu. “Oh iya, soal persiapan pernikahan.... ““Iya, ada apa?”“Aku akan mulai melakukannya setelah keluargamu datang kemari untuk memintaku secara langsung. Aku tahu ini aneh, tetapi kurasa orangt

  • Turun Ranjang   Bagian Delapan

    Anjel mengamati sebuah amplop cokelat tua berukuran tiga puluh kali lima belas sentimeter yang ada dalam genggamannya. Pagi ini ia dikejutkan dengan kedatangan kurir pos yang tiba-tiba mengantarkan surat. Seingat Anjel, sudah hampir sepuluh tahun ia tidak menerima surat lewat pos. Anehnya, nama pengirim dan alamatnya tertulis milik Bram. “Untuk apa?” Hanya itu yang bisa Anjel ucapkan. Akhir pekan, keinginannya untuk memulai mempersiapkan keperluan pernikahan akhirnya tersendat. Tak ada yang tahu soal surat ini. Ayah dan ibu belum datang dan Azel belum turun dari kamar sejak tadi. Anjel membasahi bibirnya lalu membuka ujung amplop perlahan. Tangan kanannya menjorok ke dalam dan alisnya spontan bertaut saat akhirnya tahu apa isi dari amplop tersebut. “Katalog pernikahan?” Anjel semakin terkejut. Katalog itu berisi serba-serbi pernikahan, mulai dari dekorasi, catering, MUA, souvenir dan segala sesuatu yang dapat Anjel pilih. “Untuk apa Bram mengirimkan ini? Bukankah k

  • Turun Ranjang   Bagian Tujuh

    Chintya sontak menoleh cepat ke arah sumber suara lalu tersenyum lebar. “Bram?”Bram tanpa aba-aba langsung duduk di samping Anjeline yang masih bingung dengan kedatangan dirinya yang tiba-tiba. “Aku hendak menghabiskan waktu makan siangku di sini,” celetuk lelaki dengan setelan dominan abu-abu tersebut.Anjelin menoleh cepat pada Bram. “Makan siang? Memangnya sekarang waktunya makan?”Bram menggeleng. “Tidak, aku hanya membuat alasan. Hahaha!”Chintya berdecak sembari memasang wajah kesal. “Enggak lucu.”Anjeline hanya tertawa kecil lalu berdiri menuju dapur untuk membuat minuman. Meski butiknya hanya digunakan saat siang hari, tetapi keberadaan dapur benar-benar penting baginya. Jika sewaktu-waktu ada tamu istimewa, maka para karyawan atau dirinya bisa membuat sesuatu di sana. Saat Anjeline tengah menunggu cheese cake yang ia hangatkan di microwave, pikirannya l

  • Turun Ranjang   Bagian Enam

    Anjel hanya diam dalam keheningan saat Bram memutuskan turun dari mobil lalu menghampiri wanita yang sepertinya telah menunggu kedatangan Bram itu. Anjel tak mau berpikir negatif, namun saat Bram memeluk wanita itu barulah Anjel mulai naik pitam.“Ha? Apa-apaan dia itu?” gumam Anjel.Setelah memeluk wanita itu, Bram kembali ke arah mobil lalu membukakan pintu untuk Anjel. Anjel berusaha untuk menutupi kekesalannya agar Bram tidak semakin menjadi-jadi.“Ayo turun,” ucap Bram dengan senyum merekah, tanpa dosa.Anjel hanya tersenyum tipis lalu turun dari mobil dengan anggun. Wanita itu memasang senyum yang begitu lebar. Anjel merasa bingung, mengapa wanita itu justru tersenyum? Siapa dia?“Kenalkan, Kak. Dia Anjeline, calon istriku,” ungkap Bram malu-malu.“Apa? Kak? Jadi .... “ gumam Anjel dalam hati.Wanita itu berjalan mendekati Anjel lalu memeluknya erat. “Oh, Adik Cantik. Selamat datang.&rdquo

  • Turun Ranjang   Bagian Lima

    "Jadi, kapan kalian akan pacaran?"Pertanyaan menohok yang dilontarkan ayah seketika membuat Bram dan juga Anjel bungkam. Suasana yang tadinya ramah, kini beralih menjadi kikuk dan kaku. Ayah yang sebenarnya hanya basa-basi tiba-tiba juga merasa kikuk dan salah tingkah. Bram menatap ayah dengan senyuman canggung dan Anjel sendiri malah melotot tajam. "Loh, belum pacaran ya?""Ayah!" protes Anjel seraya mengerucutkan bibir."Um, masih proses, Yah. Sebentar lagi juga pacaran, kok," jawab Bram santai dengan senyuman ramah.Tawa ayah tiba-tiba meledak dan diringi dengan suara tawa Bram. "Ya sudah, jangan lama-lama. Ingatlah usia kalian, udah waktunya nikah!" timpal ibu juga tak mau kalah."Ah, ibu. Aku masih mau santai juga!" Anjel lagi-lagi protes dan ingin suaranya didengar."Tenang saja, Ibu. Setelah kami pacaran, sesegera mungkin kami akan menikah. Begitu 'kan, Njel?"Anjel tak habis pikir dengan pola pikir mereka yang ingin sekali melihatnya menik

  • Turun Ranjang   Bagian Empat

    [Malam ini, Hotel Diamond]Anjel membaca pesan itu sekilas lalu tersenyum miring, ternyata Bram sungguh-sungguh mengejarnya. Ia tak habis pikir, mengapa Bram begitu gigih ingin meraihnya? Apa istimewanya dirinya?[Baik, pukul 7 malam]Anjel memasukkan ponsel ke dalam tas lalu melanjutkan fokus pada layar komputer. Untuk beberapa saat, semua masih aman hingga tiba-tiba ia mengingat peristiwa itu."Astaga!" Anjel memejamkan mata, mencoba meraih fokusnya kembali, tetapi ... bayangan itu ... rengkuhan itu ... bahkan hangatnya kecupan kilat itu masih terasa!"Ah! Sial!" Anjel berdiri lalu memijit pelipis agar lebih rileks."Kenapa aku terus mengingat kejadian malam itu?!"Anjel menggigit bibirnya gemas lalu berjalan perlahan menghadap kaca. Masih ingat kejadian malam itu, tiba-tiba Bram memeluk tubuh Anjel dari belakang dan membenamkan wajahnya pada tengkuk leher wanita itu. Hujan deras disertai petir menahan mereka untuk tetap singgah di hotel tempat m

  • Turun Ranjang   Bagian Tiga

    "Siapa?" Anjel memindahkan tas channel-nya dari tangan kanan ke tangan kiri. Sementara matanya menelisik ke dalam butik.Kristin tersenyum dengan senyuman yang aneh. Dia menaikkan sebelah alis kemudian mendekatkan bibirnya pada telinga Anjel. "Seseorang yang biasa disebut tampan. Dia datang membawa bunga dan bau lavender."Anjel semakin bingung, tanpa merespon perkataan Kristin, ia masuk dan menuju tempat yang biasa ia gunakan untuk menerima tamu di dekat kasir. Sebuah sofa beludru warna merah dan meja bundar di depannya. Sesampainya di sana, nampak seorang lelaki yang tengah mengenakan setelan kemeja warna putih dan celana jeans warna bitu gelap. Lengannya dilipat sebagian dan kancing depannya dibiarkan terbuka dua biji."Maaf, ada yang bisa saya bantu?" Anjel duduk di depan lelaki itu---di atas sofa tepatnya.Lelaki yang tengah memainkan ponselnya itu mendongak dan Anjel seketika tercengang. Lelaki itu tersenyum manis, kemudian meletakkan ponselnya di ata

  • Turun Ranjang   Bagian Dua

    Azel mulai mengemasi barang-barangnya dan beranjak pergi, padahal makan siangnya pun belum habis setengah. Anjel bingung dengan tingkah adiknya, lagi pula untuk apa beli bunga? Bukannya Azel tidak terlalu suka bunga?"Kakak mau sampe kapan duduk di situ? Ayok!""Buat apa beli bunga? Di rumah udah banyak." Anjel masih enggan beranjak karena memang ia tidak minat. Azel memutar bola matanya dan menghampiri Anjel."Aku mau tunjukin sesuatu buat kakak, cepat!" Tak sabar Azel menarik tangan Anjel. Akhirnya dengan sangat terpaksa, Anjel melangkahkan kaki. Melihat sesuatu yang hendak ditunjukkan padanya.Kini mereka memasuki sebuah toko bunga yang tidak terlalu besar namun lumayan ramai. Dari luar nampak desain minimalis serba vintage yang akan menarik pembeli terutama wanita. Di depan kaca, nampak deretan keranjang-keranjang bunga yang berjajar rapi. Mulai dari bunga mawar, tulip, zinnia, lavender, azalea, anyelir dan banyak lagi. Pintu dibuka, lalu terdengar suara lonc

DMCA.com Protection Status