Share

Bagian Enam

Penulis: Deva Delia
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Anjel hanya diam dalam keheningan saat Bram memutuskan turun dari mobil lalu menghampiri wanita yang sepertinya telah menunggu kedatangan Bram itu. Anjel tak mau berpikir negatif, namun saat Bram memeluk wanita itu barulah Anjel mulai naik pitam.

“Ha? Apa-apaan dia itu?” gumam Anjel.

Setelah memeluk wanita itu, Bram kembali ke arah mobil lalu membukakan pintu untuk Anjel. Anjel berusaha untuk menutupi kekesalannya agar Bram tidak semakin menjadi-jadi.

“Ayo turun,” ucap Bram dengan senyum merekah, tanpa dosa.

Anjel hanya tersenyum tipis lalu turun dari mobil dengan anggun. Wanita itu memasang senyum yang begitu lebar. Anjel merasa bingung, mengapa wanita itu justru tersenyum? Siapa dia?

“Kenalkan, Kak. Dia Anjeline, calon istriku,” ungkap Bram malu-malu.

“Apa? Kak? Jadi .... “ gumam Anjel dalam hati.

Wanita itu berjalan mendekati Anjel lalu memeluknya erat. “Oh, Adik Cantik. Selamat datang.”

Anjeline rasanya ingin mengutuk dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia berprasangka buruk bahwa wanita yang kini memeluknya adalah pacar simpanan Bram? Anjel merasa bersalah lalu melotot pada Bram yang tak mau berterus terang.

Anjel membalas pelukan Kakak Bram. “Terima kasih, Kak.”

Wanita itu melepas pelukannya lalu menatap Anjel lamat-lamat. “Panggil saja Chintya. Kak Chintya.”

Anjel mengangguk ramah. “Baik, Kak.”

Chintya memukul bahu Bram hingga lelaki itu mengaduh kesakitan. “Kenapa gadis secantik Anjeline baru dikenalkan hari ini?”

Bram yang masih mengusap bahunya hanya meringis. “Aku butuh waktu untuk menaklukkan hatinya, Kak.”

Chintya hanya tertawa lalu menatap Anjel. “Ayo masuk. Semua sudah menunggu di dalam.”

Chintya berjalan dahulu. Mata Anjel membulat menatap Bram. “Maksudnya semua?”

Bram tersenyum manis lalu mengamit lengan Anjel. “Ayo masuk dulu.”

Akhirnya Anjel menurut saja. Kini mereka bertiga memasuki lobi hotel yang mewah. Meski Anjel kerap pergi ke hotel mewah lainnya, namun untuk hotel ini saat inilah pertama kalinya meski lokasinya masih satu kota dengan kediaman Anjel.

Saat melintasi meja resepsionis, semua pegawai di sana serentak berdiri lalu membungkuk hormat pada Bram. Anjel sempat bingung, mengapa mereka melakukan itu? Anjel mendongakkan kepala untuk menatap Bram, namun lelaki itu hanya tersenyum sembari mengeratkan dekapannya pada Anjel.

Mereka memasuki ruangan dengan sebuah pintu besar di ujung lobi. Begitu pintu dibuka oleh kedua penjaga, Anjel nampak sebuah pemandangan mewah yang mungkin takkan ia lupakan. Sebuah family room yang luas dengan segala ornamen keemasan yang berkilau. Di tengah ruangan, terdapat meja makan besar dengan berbagai hidangan di atasnya.

“Selamat di ruang keluarga,” bisik Bram lembut.

Anjel menoleh cepat. “Ruang keluarga?”

“Ayo masuk!” Chintya melambai ke arah Bram dan Anjel.

Bram dan Anjel melangkahkan kaki mereka mendekati meja makan tersebut. Di sana tak hanya ada Chintya, ada lagi seorang pria paruh baya yang duduk di kursi utama dan dua anak-anak yang duduk di samping pria itu.

“Nah Anjeline, kenalkan. Ini Pras, suamiku. Pras adalah kakak ipar Bram, aku Chintya kakak kandungnya. Nah, dua putra putri ini adalah anak kami. Ayo kenalkan diri kalian.”

Chintya menggiring dua anaknya itu untuk mendekati Anjeline. Anjel memilih berjongkok untuk menyesuaikan tinggi badannya. “Saya Andi, tante,” ucap si anak laki-laki.

“Hai Andi, apa kabar?” Anjel mengusap ujung kepala Andi. Andi tersenyum ramah. “Baik.”

“Saya Cinta, Tante Anjeline.” Sapa anak perempuan satunya. Anjel tersenyum ramah lalu mengangguk. “Hai Cinta. Senang bertemu denganmu.”

Ternyata inilah tujuan Bram mengajak Anjeline kencan malam ini. Sebuah kencan makan malam bersama keluarga, mendekatkan Anjel dengan calon kakak ipar dan keponakannya. Anjel benar-benar bahagia, Bram tidak bermain-main dengannya. Selangkah lebih dekat dengan sebuah pernikahan yang bahagia.

***

Anjel merasa perkenalannya dengan Bram menjadi begitu cepat. Tidak ada rencana khusus, hanya melalui Azel yang sebenarnya iseng menjodohkan keduanya. Setelah pertemuan malam itu, Anjel diminta untuk menunggu sebentar lagi dan mereka akan segera melaksanakan pernikahan. Bram harus menyelesaikan sebuah projek di perusahaannya selama dua bulan dan setelah itu, akan berlanjut untuk mempersiapkan pernikahan.

Tak hanya keluarga Bram, ayah dan ibu Anjel pun turut bersuka cita. Kedua orang tua itu merencanakan banyak hal. Anjel harus membatalkan beberapa projek yang mengharuskan dirinya pergi keluar kota untuk mempersiapkan pernikahan. Kini Anjel lebih banyak menghabiskan waktunya di butik dan di rumah, hanya seperti itu.

Hari ini Anjel saatnya kembali bekerja di butik. Hari-harinya jadi lebih berwarna dan senyum tak kunjung surut dari wajahnya yang manis.

“Gaunya mau fitting di mana, Kak?” tanya Kristin di sela-sela waktu istirahat mereka.

Anjel yang tengah memasukkan sepotong cheese cake ke mulutnya mendadak terdiam, lalu menatap Kristin. “Um, haruskah aku mendesainnya sendiri?”

Kristin terdiam sejenak. “Kalau boleh saya memberi saran. Karena ini momen sakral, kakak harus membuatnya sespesial mungkin.”

“Benar. Sepertinya aku harus mulai mendesain gaun impianku.” Anjel meraih tabnya di atas meja lalu mulai membuat sebuah sketsa.

Kini Anjel dan Kristin larut dalam diskusi hangat mengenai gaun pernikahan. Hingga tak lama, pintu butik terbuka dan mendentingkan lonceng yang terpasang di ujung pintu.

“Selamat datang!” Kristin dengan sigap menyambut pelanggan lalu meninggalkan Anjel di kursi tamu.

“Oh, Kak Anjeline?” ucap Kristin.

Anjel mendongak karena Kristin menyebut namanya. Setelah tahu siapa tamu yang datang, Anjel langsung berdiri antusias. “Kak Chintya?”

Chintya berhambur memeluk Anjel, keduanya berpelukan erat seperti telah berpisah dalam waktu yang lama. “Ada apa, Kak?” tanya Anjel ramah.

“Ah, tidak ada sesuatu yang penting. Aku hanya ingin bertemu denganmu. Apakah aku mengganggu waktu kerjamu?”

Anjel menggeleng cepat. “Tidak sama sekali, Kak. Silakan duduk di sini.”

Anjel mempersilakan Chintya duduk di sofa tamu, sedangkan Kristin sudah bersiap untuk membuatkan minuman.

“Aku sering ke sini dulu, dan aku baru tahu kalau kamulah ownernya,” ucap Chintya membuka percakapan.

Keduanya kini larut dalam pembicaraan yang hangat. Chintya juga bercerita banyak hal tentang Bram dan terkadang membuat tawa Anjel lepas saat Chintya menceritakan hal konyol mengenai calon suaminya.

“Aku benar-benar senang saat Bram memberitahuku bahwa dia hendak menikah.”

Anjel mengernyitkan dahi. “Benarkah?”

Chintya mengangguk mantap. “Sebelumnya, Bram hanya dekat dengan beberapa wanita namun tidak berniat menikahi. Kupikir dia sudah tidak memiliki hasrat untuk menikah, tetapi ternyata ....  “ Chintya tertawa di akhir kalimatnya.

Anjel hanya tersenyum sembari tersipu malu. Namun tiba-tiba Chintya menghela napas panjang. “Pernah saat itu dia berencana mengenalkan seorang gadis padaku. Aku tidak tahu siapa nama gadis itu, aku hanya melihatnya sekilas saat berada di kantor Bram, namun saat itu juga aku menolak gadis itu.”

Tubuh Anjel menegang. “Di kantor?”

Chintya mengangguk. “Iya. Entah dia karyawan tetap atau hanya karyawan magang, aku tidak menyukainya.”

Anjel menelan salivanya. Siapa gadis yang dimaksud oleh Chintya? “Kalau boleh tahu, kenapa kakak tidak menyukai gadis itu?”

Chintya menghela napas panjang. “Saat itu—“

“Wah, ternyata ada di sini!”

Suara bass Bram memecah keheningan antara Anjel dan Chintya. “Sejak kapan kakak di sini?”

Tbc. 

Bab terkait

  • Turun Ranjang   Bagian Tujuh

    Chintya sontak menoleh cepat ke arah sumber suara lalu tersenyum lebar. “Bram?”Bram tanpa aba-aba langsung duduk di samping Anjeline yang masih bingung dengan kedatangan dirinya yang tiba-tiba. “Aku hendak menghabiskan waktu makan siangku di sini,” celetuk lelaki dengan setelan dominan abu-abu tersebut.Anjelin menoleh cepat pada Bram. “Makan siang? Memangnya sekarang waktunya makan?”Bram menggeleng. “Tidak, aku hanya membuat alasan. Hahaha!”Chintya berdecak sembari memasang wajah kesal. “Enggak lucu.”Anjeline hanya tertawa kecil lalu berdiri menuju dapur untuk membuat minuman. Meski butiknya hanya digunakan saat siang hari, tetapi keberadaan dapur benar-benar penting baginya. Jika sewaktu-waktu ada tamu istimewa, maka para karyawan atau dirinya bisa membuat sesuatu di sana. Saat Anjeline tengah menunggu cheese cake yang ia hangatkan di microwave, pikirannya l

  • Turun Ranjang   Bagian Delapan

    Anjel mengamati sebuah amplop cokelat tua berukuran tiga puluh kali lima belas sentimeter yang ada dalam genggamannya. Pagi ini ia dikejutkan dengan kedatangan kurir pos yang tiba-tiba mengantarkan surat. Seingat Anjel, sudah hampir sepuluh tahun ia tidak menerima surat lewat pos. Anehnya, nama pengirim dan alamatnya tertulis milik Bram. “Untuk apa?” Hanya itu yang bisa Anjel ucapkan. Akhir pekan, keinginannya untuk memulai mempersiapkan keperluan pernikahan akhirnya tersendat. Tak ada yang tahu soal surat ini. Ayah dan ibu belum datang dan Azel belum turun dari kamar sejak tadi. Anjel membasahi bibirnya lalu membuka ujung amplop perlahan. Tangan kanannya menjorok ke dalam dan alisnya spontan bertaut saat akhirnya tahu apa isi dari amplop tersebut. “Katalog pernikahan?” Anjel semakin terkejut. Katalog itu berisi serba-serbi pernikahan, mulai dari dekorasi, catering, MUA, souvenir dan segala sesuatu yang dapat Anjel pilih. “Untuk apa Bram mengirimkan ini? Bukankah k

  • Turun Ranjang   Bagian Sembilan

    "Tidak apa-apa, aku juga tahu kamu pasti sibuk.” Anjel masih berusaha mengatur emosi keterkejutannya saat membalas ucapan Bram.“Aku sedang dalam perjalanan,” ucap Bram lagi.“Aku tahu. Semoga selamat sampai tujuan.”Tak ada sepatah kata pun dari Bram, begitu juga Anjel yang terlihat enggan berbicara. Setelah beberapa menit terdiam, akhirnya Bram berdehem. Anjel menghela napas panjang. “Ada apa meneleponku malam-malam?”“Aku hanya ingin tahu kabarmu,” jawab Bram. Anjel tertawa kecil lalu memainkan jemarinya di atas sprei. “Kalau kamu sibuk, kamu bisa mematikan teleponnya sekarang. Aku tidak seperti kebanyakan remaja yang selalu minta ditemani.”“Bukan seperti itu, um.... “ Bram menggantung ucapannya. “Apakah kakakku sudah menemuimu?”“Besok,” sahut Anjel cepat. Tiba-tiba ia ingat sesuatu. “Oh iya, soal persiapan pernikahan.... ““Iya, ada apa?”“Aku akan mulai melakukannya setelah keluargamu datang kemari untuk memintaku secara langsung. Aku tahu ini aneh, tetapi kurasa orangt

  • Turun Ranjang   Bagian Sepuluh

    “Mungkin kamu suka konsep lain.” Hanya itu jawaban yang diberikan Bram. Anjel melirik lelaki itu sekilas lalu kembali berkutat dengan makanan. “Memangnya siapa yang memilih katalog itu kalau bukan kamu? Lagi pula untuk apa kamu kirimkan katalog itu padaku?”Anjel hampir siap menyiapkan makan siang, belum sempat Bram menjawab pertanyaan calon suaminya, tiba-tiba Azel muncul dari pintu dapur. Gadis itu mengenakan pakaian santai, kaus pendek warna putih agak ketat dan celana jeans sebatas lutut. Anjel yang terkejut melihat penampilan adiknya pun buru-buru mendekati lalu berbisik. “Kamu kenapa pakai baju seperti itu?”Azel melirik sekilas ke arah Bram. Lelaki itu salah tingkah lalu memilih untuk kembali ke ruang tamu. “Aku ingin membantu kakak,” jawab Azel polos. Anjel menghela napas panjang. “Sudah selesai.”Azel menunduk lalu memperhatikan penampilannya. “Memangnya kenapa pakaianku?”Anjel merapatkan giginya, kesal dengan adiknya yang terlampau polos. “Kurang sopan. Kita sedang

  • Turun Ranjang   Bagian Satu

    "Mau sampai kapan?"Anjel menyesap kopinya perlahan. Ia tetap diam dalam posisi duduk menghadap meja bar di dapur dan membelakangi ibunya. Pun ia juga tidak menjawab pertanyaan ibu yang terus menerus diulang tiap hari dan tiap waktu. Telinga Anjel panas rasanya, tapi seperti yang sudah-sudah, ia akan memilih diam seribu bahasa."Kamu udah 29 tahun, teman-teman kamu udah punya anak. Kamu?"Anjel berdiri, memeriksa roti yang ia panggang di atas kompor untuk memastikan kematangannya. Ia benar-benar ingin cepat-cepat pergi ke butik dan bebas dari ini semua. Dan sial! Rotinya belum matang! Kenapa jadi lama sekali?"Ada apa, Bu?"Suara berat khas bapak-bapak muncul. Itu artinya, penderitaan ini akan berakhir lebih cepat. Anjel menoleh, dan benar saja. Ayahnya sudah duduk di hadapan ibunya yang sedari tadi tak berhenti mengomel. Padahal beliau sedang menonton berita di televisi—yang semestinya lebih menarik disimak—dari pada membicarakan

  • Turun Ranjang   Bagian Dua

    Azel mulai mengemasi barang-barangnya dan beranjak pergi, padahal makan siangnya pun belum habis setengah. Anjel bingung dengan tingkah adiknya, lagi pula untuk apa beli bunga? Bukannya Azel tidak terlalu suka bunga?"Kakak mau sampe kapan duduk di situ? Ayok!""Buat apa beli bunga? Di rumah udah banyak." Anjel masih enggan beranjak karena memang ia tidak minat. Azel memutar bola matanya dan menghampiri Anjel."Aku mau tunjukin sesuatu buat kakak, cepat!" Tak sabar Azel menarik tangan Anjel. Akhirnya dengan sangat terpaksa, Anjel melangkahkan kaki. Melihat sesuatu yang hendak ditunjukkan padanya.Kini mereka memasuki sebuah toko bunga yang tidak terlalu besar namun lumayan ramai. Dari luar nampak desain minimalis serba vintage yang akan menarik pembeli terutama wanita. Di depan kaca, nampak deretan keranjang-keranjang bunga yang berjajar rapi. Mulai dari bunga mawar, tulip, zinnia, lavender, azalea, anyelir dan banyak lagi. Pintu dibuka, lalu terdengar suara lonc

  • Turun Ranjang   Bagian Tiga

    "Siapa?" Anjel memindahkan tas channel-nya dari tangan kanan ke tangan kiri. Sementara matanya menelisik ke dalam butik.Kristin tersenyum dengan senyuman yang aneh. Dia menaikkan sebelah alis kemudian mendekatkan bibirnya pada telinga Anjel. "Seseorang yang biasa disebut tampan. Dia datang membawa bunga dan bau lavender."Anjel semakin bingung, tanpa merespon perkataan Kristin, ia masuk dan menuju tempat yang biasa ia gunakan untuk menerima tamu di dekat kasir. Sebuah sofa beludru warna merah dan meja bundar di depannya. Sesampainya di sana, nampak seorang lelaki yang tengah mengenakan setelan kemeja warna putih dan celana jeans warna bitu gelap. Lengannya dilipat sebagian dan kancing depannya dibiarkan terbuka dua biji."Maaf, ada yang bisa saya bantu?" Anjel duduk di depan lelaki itu---di atas sofa tepatnya.Lelaki yang tengah memainkan ponselnya itu mendongak dan Anjel seketika tercengang. Lelaki itu tersenyum manis, kemudian meletakkan ponselnya di ata

  • Turun Ranjang   Bagian Empat

    [Malam ini, Hotel Diamond]Anjel membaca pesan itu sekilas lalu tersenyum miring, ternyata Bram sungguh-sungguh mengejarnya. Ia tak habis pikir, mengapa Bram begitu gigih ingin meraihnya? Apa istimewanya dirinya?[Baik, pukul 7 malam]Anjel memasukkan ponsel ke dalam tas lalu melanjutkan fokus pada layar komputer. Untuk beberapa saat, semua masih aman hingga tiba-tiba ia mengingat peristiwa itu."Astaga!" Anjel memejamkan mata, mencoba meraih fokusnya kembali, tetapi ... bayangan itu ... rengkuhan itu ... bahkan hangatnya kecupan kilat itu masih terasa!"Ah! Sial!" Anjel berdiri lalu memijit pelipis agar lebih rileks."Kenapa aku terus mengingat kejadian malam itu?!"Anjel menggigit bibirnya gemas lalu berjalan perlahan menghadap kaca. Masih ingat kejadian malam itu, tiba-tiba Bram memeluk tubuh Anjel dari belakang dan membenamkan wajahnya pada tengkuk leher wanita itu. Hujan deras disertai petir menahan mereka untuk tetap singgah di hotel tempat m

Bab terbaru

  • Turun Ranjang   Bagian Sepuluh

    “Mungkin kamu suka konsep lain.” Hanya itu jawaban yang diberikan Bram. Anjel melirik lelaki itu sekilas lalu kembali berkutat dengan makanan. “Memangnya siapa yang memilih katalog itu kalau bukan kamu? Lagi pula untuk apa kamu kirimkan katalog itu padaku?”Anjel hampir siap menyiapkan makan siang, belum sempat Bram menjawab pertanyaan calon suaminya, tiba-tiba Azel muncul dari pintu dapur. Gadis itu mengenakan pakaian santai, kaus pendek warna putih agak ketat dan celana jeans sebatas lutut. Anjel yang terkejut melihat penampilan adiknya pun buru-buru mendekati lalu berbisik. “Kamu kenapa pakai baju seperti itu?”Azel melirik sekilas ke arah Bram. Lelaki itu salah tingkah lalu memilih untuk kembali ke ruang tamu. “Aku ingin membantu kakak,” jawab Azel polos. Anjel menghela napas panjang. “Sudah selesai.”Azel menunduk lalu memperhatikan penampilannya. “Memangnya kenapa pakaianku?”Anjel merapatkan giginya, kesal dengan adiknya yang terlampau polos. “Kurang sopan. Kita sedang

  • Turun Ranjang   Bagian Sembilan

    "Tidak apa-apa, aku juga tahu kamu pasti sibuk.” Anjel masih berusaha mengatur emosi keterkejutannya saat membalas ucapan Bram.“Aku sedang dalam perjalanan,” ucap Bram lagi.“Aku tahu. Semoga selamat sampai tujuan.”Tak ada sepatah kata pun dari Bram, begitu juga Anjel yang terlihat enggan berbicara. Setelah beberapa menit terdiam, akhirnya Bram berdehem. Anjel menghela napas panjang. “Ada apa meneleponku malam-malam?”“Aku hanya ingin tahu kabarmu,” jawab Bram. Anjel tertawa kecil lalu memainkan jemarinya di atas sprei. “Kalau kamu sibuk, kamu bisa mematikan teleponnya sekarang. Aku tidak seperti kebanyakan remaja yang selalu minta ditemani.”“Bukan seperti itu, um.... “ Bram menggantung ucapannya. “Apakah kakakku sudah menemuimu?”“Besok,” sahut Anjel cepat. Tiba-tiba ia ingat sesuatu. “Oh iya, soal persiapan pernikahan.... ““Iya, ada apa?”“Aku akan mulai melakukannya setelah keluargamu datang kemari untuk memintaku secara langsung. Aku tahu ini aneh, tetapi kurasa orangt

  • Turun Ranjang   Bagian Delapan

    Anjel mengamati sebuah amplop cokelat tua berukuran tiga puluh kali lima belas sentimeter yang ada dalam genggamannya. Pagi ini ia dikejutkan dengan kedatangan kurir pos yang tiba-tiba mengantarkan surat. Seingat Anjel, sudah hampir sepuluh tahun ia tidak menerima surat lewat pos. Anehnya, nama pengirim dan alamatnya tertulis milik Bram. “Untuk apa?” Hanya itu yang bisa Anjel ucapkan. Akhir pekan, keinginannya untuk memulai mempersiapkan keperluan pernikahan akhirnya tersendat. Tak ada yang tahu soal surat ini. Ayah dan ibu belum datang dan Azel belum turun dari kamar sejak tadi. Anjel membasahi bibirnya lalu membuka ujung amplop perlahan. Tangan kanannya menjorok ke dalam dan alisnya spontan bertaut saat akhirnya tahu apa isi dari amplop tersebut. “Katalog pernikahan?” Anjel semakin terkejut. Katalog itu berisi serba-serbi pernikahan, mulai dari dekorasi, catering, MUA, souvenir dan segala sesuatu yang dapat Anjel pilih. “Untuk apa Bram mengirimkan ini? Bukankah k

  • Turun Ranjang   Bagian Tujuh

    Chintya sontak menoleh cepat ke arah sumber suara lalu tersenyum lebar. “Bram?”Bram tanpa aba-aba langsung duduk di samping Anjeline yang masih bingung dengan kedatangan dirinya yang tiba-tiba. “Aku hendak menghabiskan waktu makan siangku di sini,” celetuk lelaki dengan setelan dominan abu-abu tersebut.Anjelin menoleh cepat pada Bram. “Makan siang? Memangnya sekarang waktunya makan?”Bram menggeleng. “Tidak, aku hanya membuat alasan. Hahaha!”Chintya berdecak sembari memasang wajah kesal. “Enggak lucu.”Anjeline hanya tertawa kecil lalu berdiri menuju dapur untuk membuat minuman. Meski butiknya hanya digunakan saat siang hari, tetapi keberadaan dapur benar-benar penting baginya. Jika sewaktu-waktu ada tamu istimewa, maka para karyawan atau dirinya bisa membuat sesuatu di sana. Saat Anjeline tengah menunggu cheese cake yang ia hangatkan di microwave, pikirannya l

  • Turun Ranjang   Bagian Enam

    Anjel hanya diam dalam keheningan saat Bram memutuskan turun dari mobil lalu menghampiri wanita yang sepertinya telah menunggu kedatangan Bram itu. Anjel tak mau berpikir negatif, namun saat Bram memeluk wanita itu barulah Anjel mulai naik pitam.“Ha? Apa-apaan dia itu?” gumam Anjel.Setelah memeluk wanita itu, Bram kembali ke arah mobil lalu membukakan pintu untuk Anjel. Anjel berusaha untuk menutupi kekesalannya agar Bram tidak semakin menjadi-jadi.“Ayo turun,” ucap Bram dengan senyum merekah, tanpa dosa.Anjel hanya tersenyum tipis lalu turun dari mobil dengan anggun. Wanita itu memasang senyum yang begitu lebar. Anjel merasa bingung, mengapa wanita itu justru tersenyum? Siapa dia?“Kenalkan, Kak. Dia Anjeline, calon istriku,” ungkap Bram malu-malu.“Apa? Kak? Jadi .... “ gumam Anjel dalam hati.Wanita itu berjalan mendekati Anjel lalu memeluknya erat. “Oh, Adik Cantik. Selamat datang.&rdquo

  • Turun Ranjang   Bagian Lima

    "Jadi, kapan kalian akan pacaran?"Pertanyaan menohok yang dilontarkan ayah seketika membuat Bram dan juga Anjel bungkam. Suasana yang tadinya ramah, kini beralih menjadi kikuk dan kaku. Ayah yang sebenarnya hanya basa-basi tiba-tiba juga merasa kikuk dan salah tingkah. Bram menatap ayah dengan senyuman canggung dan Anjel sendiri malah melotot tajam. "Loh, belum pacaran ya?""Ayah!" protes Anjel seraya mengerucutkan bibir."Um, masih proses, Yah. Sebentar lagi juga pacaran, kok," jawab Bram santai dengan senyuman ramah.Tawa ayah tiba-tiba meledak dan diringi dengan suara tawa Bram. "Ya sudah, jangan lama-lama. Ingatlah usia kalian, udah waktunya nikah!" timpal ibu juga tak mau kalah."Ah, ibu. Aku masih mau santai juga!" Anjel lagi-lagi protes dan ingin suaranya didengar."Tenang saja, Ibu. Setelah kami pacaran, sesegera mungkin kami akan menikah. Begitu 'kan, Njel?"Anjel tak habis pikir dengan pola pikir mereka yang ingin sekali melihatnya menik

  • Turun Ranjang   Bagian Empat

    [Malam ini, Hotel Diamond]Anjel membaca pesan itu sekilas lalu tersenyum miring, ternyata Bram sungguh-sungguh mengejarnya. Ia tak habis pikir, mengapa Bram begitu gigih ingin meraihnya? Apa istimewanya dirinya?[Baik, pukul 7 malam]Anjel memasukkan ponsel ke dalam tas lalu melanjutkan fokus pada layar komputer. Untuk beberapa saat, semua masih aman hingga tiba-tiba ia mengingat peristiwa itu."Astaga!" Anjel memejamkan mata, mencoba meraih fokusnya kembali, tetapi ... bayangan itu ... rengkuhan itu ... bahkan hangatnya kecupan kilat itu masih terasa!"Ah! Sial!" Anjel berdiri lalu memijit pelipis agar lebih rileks."Kenapa aku terus mengingat kejadian malam itu?!"Anjel menggigit bibirnya gemas lalu berjalan perlahan menghadap kaca. Masih ingat kejadian malam itu, tiba-tiba Bram memeluk tubuh Anjel dari belakang dan membenamkan wajahnya pada tengkuk leher wanita itu. Hujan deras disertai petir menahan mereka untuk tetap singgah di hotel tempat m

  • Turun Ranjang   Bagian Tiga

    "Siapa?" Anjel memindahkan tas channel-nya dari tangan kanan ke tangan kiri. Sementara matanya menelisik ke dalam butik.Kristin tersenyum dengan senyuman yang aneh. Dia menaikkan sebelah alis kemudian mendekatkan bibirnya pada telinga Anjel. "Seseorang yang biasa disebut tampan. Dia datang membawa bunga dan bau lavender."Anjel semakin bingung, tanpa merespon perkataan Kristin, ia masuk dan menuju tempat yang biasa ia gunakan untuk menerima tamu di dekat kasir. Sebuah sofa beludru warna merah dan meja bundar di depannya. Sesampainya di sana, nampak seorang lelaki yang tengah mengenakan setelan kemeja warna putih dan celana jeans warna bitu gelap. Lengannya dilipat sebagian dan kancing depannya dibiarkan terbuka dua biji."Maaf, ada yang bisa saya bantu?" Anjel duduk di depan lelaki itu---di atas sofa tepatnya.Lelaki yang tengah memainkan ponselnya itu mendongak dan Anjel seketika tercengang. Lelaki itu tersenyum manis, kemudian meletakkan ponselnya di ata

  • Turun Ranjang   Bagian Dua

    Azel mulai mengemasi barang-barangnya dan beranjak pergi, padahal makan siangnya pun belum habis setengah. Anjel bingung dengan tingkah adiknya, lagi pula untuk apa beli bunga? Bukannya Azel tidak terlalu suka bunga?"Kakak mau sampe kapan duduk di situ? Ayok!""Buat apa beli bunga? Di rumah udah banyak." Anjel masih enggan beranjak karena memang ia tidak minat. Azel memutar bola matanya dan menghampiri Anjel."Aku mau tunjukin sesuatu buat kakak, cepat!" Tak sabar Azel menarik tangan Anjel. Akhirnya dengan sangat terpaksa, Anjel melangkahkan kaki. Melihat sesuatu yang hendak ditunjukkan padanya.Kini mereka memasuki sebuah toko bunga yang tidak terlalu besar namun lumayan ramai. Dari luar nampak desain minimalis serba vintage yang akan menarik pembeli terutama wanita. Di depan kaca, nampak deretan keranjang-keranjang bunga yang berjajar rapi. Mulai dari bunga mawar, tulip, zinnia, lavender, azalea, anyelir dan banyak lagi. Pintu dibuka, lalu terdengar suara lonc

DMCA.com Protection Status