"Jadi, kapan kalian akan pacaran?"
Pertanyaan menohok yang dilontarkan ayah seketika membuat Bram dan juga Anjel bungkam. Suasana yang tadinya ramah, kini beralih menjadi kikuk dan kaku. Ayah yang sebenarnya hanya basa-basi tiba-tiba juga merasa kikuk dan salah tingkah. Bram menatap ayah dengan senyuman canggung dan Anjel sendiri malah melotot tajam. "Loh, belum pacaran ya?""Ayah!" protes Anjel seraya mengerucutkan bibir."Um, masih proses, Yah. Sebentar lagi juga pacaran, kok," jawab Bram santai dengan senyuman ramah.Tawa ayah tiba-tiba meledak dan diringi dengan suara tawa Bram. "Ya sudah, jangan lama-lama. Ingatlah usia kalian, udah waktunya nikah!" timpal ibu juga tak mau kalah."Ah, ibu. Aku masih mau santai juga!" Anjel lagi-lagi protes dan ingin suaranya didengar."Tenang saja, Ibu. Setelah kami pacaran, sesegera mungkin kami akan menikah. Begitu 'kan, Njel?"Anjel tak habis pikir dengan pola pikir mereka yang ingin sekali melihatnya menikah. Jawaban perasaan Bram saja belum ia jawab, apalagi pikiran untuk menuju pernikahan. Anjel menatap sang adik yang sedari tadi diam, kini dalam pandangannya nampak Azel yang tengah menatap Bram dalam diam dan dengan sorot mata yang sulit diartikan."Zel, kamu mau ikut?" tanya Anjel basa-basi.Azel sontak menoleh dan kikuk dengan pertanyaan sang kakak. "Eh, ke mana? Ngapain? Ngga lah!" Kini sang adik tersebut berdiri dan menatap jarum jam yang terus bergulir."Bukankah kalian akan pergi jalan?" Azel melipat tangan di dada seolah-olah memberi kode pada Bram dan Anjel untuk segera pergi."Ah iya! Terlalu asik mengobrol dengan ayah dan ibu, sampai lupa kalau Anjel dari tadi sudah menungguku untuk jalan!" Bram menggaruk rambutnya yang tak gatal dan segera berdiri."Wah, iya iya. Kalian lekaslah jalan. Jangan pulang terlalu larut, ya!" pesan ibu seraya mengusap lengan Anjel yang ditutupi blezzer berbulu.
"Anjel jalan, ya!" Setelah Anjel dan Bram berpamitan pada ayah serta ibu, mereka segera memasuki mobil dan meninggalkan pelataran rumah. Suasana tiba-tiba menjadi canggung, kedua sejoli yang sebenarnya sama-sama dimabuk cinta itu tengah hanyut dalam lamunan. Terlebih lagi Anjel, sorot pandang Azel menatap Bram tiba-tiba mengusik pikirannya."Apa Azel merasakan hal buruk dalam diri Bram, ya?" gumam wanita cantik itu, lalu ekor matanya melirik lelaki yang kini tengah fokus pada kemudi.Jalan kota di malam hari selalu jadi daya tarik tersendiri. Apalagi bekas hujan yang membuat jalanan menjadi basah, semakin menambah keaestetikan cahaya lampu jalan yang terpantul mengenainya. Tak ada percakapan sejak tadi, hanya ada suara musik yang mengalun dengan volume sedang. Bram sengaja menyalakannya agar tidak terlalu sepi, sebab ia merasa gugup sekali. "Tadi saat di rumah, kamu aktif sekali." Anjel memecah keheningan, tetapi matanya masih terpaku menatap sesuatu di luar jendela yang mungkin menurutnya lebih menarik untuk dilihat. "Chemistri, aku ingin terlihat sebagai orang yang ramah di depan orangtuamu," timpal lelaki di samping Anjel."Jadi?" Anjel menoleh menatap Bram. "Kamu sebenarnya tidak ramah?" Kali ini dengan nada suara bernada protes. Bram menoleh cepat dan menatap gadis imut yang ada di sampingnya. Sejenak lelaki itu terkejut, namun sesaat kemudian tawanya meledak. "Wanita selalu begitu!" Masih dengan tawa yang tak kunjung berhenti, ia menginjak pedal rem sebab lampu lalu lintas yang berubah merah. "Aku mengatakan begitu bukan berarti aku tidak ramah. Ibaratnya aku mau memperkenalkan diriku bahwa aku ini memang baik dan pantas dijadikan menantu! Paham?" "Lalu kenapa kamu menyalahkan wanita?" Kali ini Anjel memutar badan menatap Bram dengan tatapan tajam. Ia tak terima jika Bram begitu cepat menilainya. Bram mendongak sebentar, melihat hitungan mundur angka yang terpampang di samping lampu lalu lintas. Masih lama, akhirnya ia memutar badan menghadap Anjel dan mendekatkan wajahnya. "Wanita yang selalu penuh ambisi, sepertimu adalah kesukaanku." Nada suara yang rendah namun penuh emosi, membuat Anjel terpaku. Ia tak menyangka jika amarahnya justru membuat Bram semakin tertarik padanya. Bram menarik tubuhnya setelah mendengar suara klakson di belakang mobilnya lalu segera menginjak pedal gas. Ia tersenyum ringan, kalimat sederhananya sudah mampu membuat Anjel bungkam. Bahkan gadis itu tak kunjung memutar tubuhnya. "Ternyata menatapku seasik itu, ya?" Anjel segera tersadar dan sontak menarik tubuhnya. Lagi-lagi wanita cantik itu kecolongan, ia tak dapat mengendalikan emosi antara kesal dan terpanah, sial! Dengan wajah yang masih terlihat kesal, Anjel beralih menatap luar jendela mobil. Napasnya masih memburu, tentu saja. Keringat bercucuran padahal AC mobil juga dinyalakan. Pikiran Anjel berkecamuk, sebentar lagi ia harus memberi jawaban pada Bram. Ia bingung dan terlalu gugup untuk melakukannya. Apalagi, hotel? Kenapa harus tempat itu? "Tak bisakah kita melakukannya di tempat lain?" Anjel kini memberanikan diri menatap dan mencoba mengintimidasi Bram. Bram sontak mengernyitkan dahi dan turut menatap Anjel. "Melakukan apa?" Anjel berdecak, tak habis pikir. Selain suka menggoda, ternyata Bram punya sisi lemot. "Ah, jangan berpura-pura!" "Berpura-pura apa, Cantik?" Kali ini Bram benar-benar memasang wajah serius. Hal itu tetap terlihat meski ia masih fokus menatap jalanan. "Kamu sungguh lupa?" tanya Anjel dengan suara yang mulai merendah. Tunggu! Jika Bram memang lupa tentang jawaban yang harusnya Anjel katakan, lalu untuk apa lelaki ini mengajaknya ke hotel? Atau jangan-jangan? "Stop!" teriak Anjel.Bram terkejut dan seketika menginjak pedal rem. Napas lelaki di samping Anjel terengah, sontak ia menoleh pada wanita yang ada di sampingnya. "Kenapa?!" "Kenapa kamu ngajak aku ke hotel?! Ha?!" kali ini Anjel benar-benar kesal. Ia menatap Bram dengan wajah marah dan merah padam. Pikirannya sudah berkeliling ke mana-mana. Sebab sedari tadi sejak di rumahnya, Bram selalu menggodanya dan memberinya chemistri-chemistri aneh. "Ke—kenapa? Ha? Kenapa?" Kali ini Bram yang jadi bingung dan kelabakan. "Jangan-jangan mau menjebakku seperti waktu itu?" Suara Anjel naik satu oktaf dan tangannya sudah merapatkan bagian depan blazzernya. Sungguh, tingkahnya membuat Bram bingung dan merasa aneh. "Menjebak apa?" tanya Bram seperti orang bodoh. Sungguh sebenarnya ia tak main-main. "Aku mau turun di sini!" Anjel memutar badan hendak membuka pintu namun gerakannya sudah di sadari lebih dahulu oleh Bram dan lelaki itu sudah lebih dahulu menguncinya. Anjel menarik gagang pintu mobil dan menariknya kuat-kuat, merasa tidak bisa terbuka akhirnya dia menyerah. Dadanya bergemuruh, Bram benar-benar menyebalkan malam ini. "Kamu mudah sekali berubah pikiran, ya." "Apa?" Anjel menghadap Bram, sebab apa yang dikatakan lelaki itu sungguh membuatnya terganggu. "Padahal tadi saat di rumah, terlihat sekali bahwa kamu terpesona padaku. Tetapi, saat ini malah marah-marah." Bram tertawa di akhir kalimatnya. Sungguh, sikap Bram sendiri juga mudah berubah-ubah. "Siapa yang terpesona?" tanya Anjel dengan melebarkan bola mata, ia tak terima jika kali ini Bram begitu kepedean dengan dirinya sendiri. "Lalu, mengapa ekspresimu langsung berubah saat Azel menatapku begitu?" Kali ini Bram mengeluarkan kalimat yang menohok. "A—apa? Siapa yang berubah?" Anjel kelabakan, pipinya langsung bersemu merah bak kepiting rebus. Wanita itu kehabisan akal, semua kedoknya dibeberkan Bram tanpa ampun. Ia menyandarkan punggung dan menghela napas panjang. "Sial, kenapa dia bisa tahu?!" gumam Anjel sendiri."Aku bisa mendengarnya, Sayang. Akui saja jika kamu memang menyukaiku." Bram lagi-lagi tertawa saat mengucapkan kalimatnya. Dia seperti mendapat lotre, bisa dengan mudah menemukan letak kelemahan Anjel. "Apa?! Argggh! Kamu sungguh menyebalkan!" Anjel menautkan kedua alisnya, sedang giginya sibuk menggigit kuku jari telunjuknya. "Lihat, kamu kalah!" "Masa bodoh!" Bram masih tertawa dengan suara renyahnya. Tanpa terasa sudah hampir satu jam mereka berkendara. Kini, Bram memutar kemudi ke arah kiri untuk memasuki pelataran Hotel Diamond. Sebuah hotel bintang lima yang langganan digunakan oleh tokoh-tokoh terkenal untuk menginap saat berwisata di kota ini. Setelah memasuki pelataran, nampak jalanan panjang yang terbagi menjadi dua. Di tengah jalannya, terdapat taman-taman yang dihiasi bunga serta rerumputan yang hijau. Semua itu nampak berkilau saat disiram oleh cahaya lampu taman. Tepat di ujung jalan, nampak bangunan super megah dengan air mancur di depannya. Sungguh, the real hotel bintang lima. "Kalau kamu tidak tahu, sebaiknya bertanya." Ucapan Bram sontak membuat pikiran Anjel terganggu, sebab matanya masih fokus mengagumi keindahan hotel ini tetapi telinganya malah mendengar sesuatu yang membuatnya cukup terusik. "A—apa?" "Menurutmu mengapa aku mengajakmu ke mari? Kenapa tidak kamu tanyakan alasannya?" Bram fokus menatap jalan di depannya seraya mencari-cari sesuatu. Anjel baru sadar, mengapa ia tidak melakukan itu? Wanita itu menepuk jidatnya dan mulai mengakui kekonyolan dirinya. "Ah! I—itu .... " Kalimat Anjel dipotong oleh suara klakson dari Mobil Bram. Wanita itu mendongak seraya mengernyitkan dahi, ia mengikuti arah pandang Bram. Ternyata, lelaki di samping Anjel ini telah menemukan apa yang ia cari. Tangan Bram melambai-lambai, lalu dengan cepat menghentikan mobilnya tepat di depan seseorang yang kini berdiri di samping mobil yang juga Anjel naiki. Sesaat Anjel melirik sekilas pada wajah Bram, nampak sebuah senyuman manis nan bahagia di sana. Iya, senyuman yang lelaki itu berikan pada seseorang yang kini tengah Bram hampiri. Anjel sedikit beringsut, dalam hati ada sedikit rasa kesal dan panas yang menjalar. "Siapa wanita ini?" gumam Anjel dengan rasa kesal.Anjel hanya diam dalam keheningan saat Bram memutuskan turun dari mobil lalu menghampiri wanita yang sepertinya telah menunggu kedatangan Bram itu. Anjel tak mau berpikir negatif, namun saat Bram memeluk wanita itu barulah Anjel mulai naik pitam.“Ha? Apa-apaan dia itu?” gumam Anjel.Setelah memeluk wanita itu, Bram kembali ke arah mobil lalu membukakan pintu untuk Anjel. Anjel berusaha untuk menutupi kekesalannya agar Bram tidak semakin menjadi-jadi.“Ayo turun,” ucap Bram dengan senyum merekah, tanpa dosa.Anjel hanya tersenyum tipis lalu turun dari mobil dengan anggun. Wanita itu memasang senyum yang begitu lebar. Anjel merasa bingung, mengapa wanita itu justru tersenyum? Siapa dia?“Kenalkan, Kak. Dia Anjeline, calon istriku,” ungkap Bram malu-malu.“Apa? Kak? Jadi .... “ gumam Anjel dalam hati.Wanita itu berjalan mendekati Anjel lalu memeluknya erat. “Oh, Adik Cantik. Selamat datang.&rdquo
Chintya sontak menoleh cepat ke arah sumber suara lalu tersenyum lebar. “Bram?”Bram tanpa aba-aba langsung duduk di samping Anjeline yang masih bingung dengan kedatangan dirinya yang tiba-tiba. “Aku hendak menghabiskan waktu makan siangku di sini,” celetuk lelaki dengan setelan dominan abu-abu tersebut.Anjelin menoleh cepat pada Bram. “Makan siang? Memangnya sekarang waktunya makan?”Bram menggeleng. “Tidak, aku hanya membuat alasan. Hahaha!”Chintya berdecak sembari memasang wajah kesal. “Enggak lucu.”Anjeline hanya tertawa kecil lalu berdiri menuju dapur untuk membuat minuman. Meski butiknya hanya digunakan saat siang hari, tetapi keberadaan dapur benar-benar penting baginya. Jika sewaktu-waktu ada tamu istimewa, maka para karyawan atau dirinya bisa membuat sesuatu di sana. Saat Anjeline tengah menunggu cheese cake yang ia hangatkan di microwave, pikirannya l
Anjel mengamati sebuah amplop cokelat tua berukuran tiga puluh kali lima belas sentimeter yang ada dalam genggamannya. Pagi ini ia dikejutkan dengan kedatangan kurir pos yang tiba-tiba mengantarkan surat. Seingat Anjel, sudah hampir sepuluh tahun ia tidak menerima surat lewat pos. Anehnya, nama pengirim dan alamatnya tertulis milik Bram. “Untuk apa?” Hanya itu yang bisa Anjel ucapkan. Akhir pekan, keinginannya untuk memulai mempersiapkan keperluan pernikahan akhirnya tersendat. Tak ada yang tahu soal surat ini. Ayah dan ibu belum datang dan Azel belum turun dari kamar sejak tadi. Anjel membasahi bibirnya lalu membuka ujung amplop perlahan. Tangan kanannya menjorok ke dalam dan alisnya spontan bertaut saat akhirnya tahu apa isi dari amplop tersebut. “Katalog pernikahan?” Anjel semakin terkejut. Katalog itu berisi serba-serbi pernikahan, mulai dari dekorasi, catering, MUA, souvenir dan segala sesuatu yang dapat Anjel pilih. “Untuk apa Bram mengirimkan ini? Bukankah k
"Tidak apa-apa, aku juga tahu kamu pasti sibuk.” Anjel masih berusaha mengatur emosi keterkejutannya saat membalas ucapan Bram.“Aku sedang dalam perjalanan,” ucap Bram lagi.“Aku tahu. Semoga selamat sampai tujuan.”Tak ada sepatah kata pun dari Bram, begitu juga Anjel yang terlihat enggan berbicara. Setelah beberapa menit terdiam, akhirnya Bram berdehem. Anjel menghela napas panjang. “Ada apa meneleponku malam-malam?”“Aku hanya ingin tahu kabarmu,” jawab Bram. Anjel tertawa kecil lalu memainkan jemarinya di atas sprei. “Kalau kamu sibuk, kamu bisa mematikan teleponnya sekarang. Aku tidak seperti kebanyakan remaja yang selalu minta ditemani.”“Bukan seperti itu, um.... “ Bram menggantung ucapannya. “Apakah kakakku sudah menemuimu?”“Besok,” sahut Anjel cepat. Tiba-tiba ia ingat sesuatu. “Oh iya, soal persiapan pernikahan.... ““Iya, ada apa?”“Aku akan mulai melakukannya setelah keluargamu datang kemari untuk memintaku secara langsung. Aku tahu ini aneh, tetapi kurasa orangt
“Mungkin kamu suka konsep lain.” Hanya itu jawaban yang diberikan Bram. Anjel melirik lelaki itu sekilas lalu kembali berkutat dengan makanan. “Memangnya siapa yang memilih katalog itu kalau bukan kamu? Lagi pula untuk apa kamu kirimkan katalog itu padaku?”Anjel hampir siap menyiapkan makan siang, belum sempat Bram menjawab pertanyaan calon suaminya, tiba-tiba Azel muncul dari pintu dapur. Gadis itu mengenakan pakaian santai, kaus pendek warna putih agak ketat dan celana jeans sebatas lutut. Anjel yang terkejut melihat penampilan adiknya pun buru-buru mendekati lalu berbisik. “Kamu kenapa pakai baju seperti itu?”Azel melirik sekilas ke arah Bram. Lelaki itu salah tingkah lalu memilih untuk kembali ke ruang tamu. “Aku ingin membantu kakak,” jawab Azel polos. Anjel menghela napas panjang. “Sudah selesai.”Azel menunduk lalu memperhatikan penampilannya. “Memangnya kenapa pakaianku?”Anjel merapatkan giginya, kesal dengan adiknya yang terlampau polos. “Kurang sopan. Kita sedang
"Mau sampai kapan?"Anjel menyesap kopinya perlahan. Ia tetap diam dalam posisi duduk menghadap meja bar di dapur dan membelakangi ibunya. Pun ia juga tidak menjawab pertanyaan ibu yang terus menerus diulang tiap hari dan tiap waktu. Telinga Anjel panas rasanya, tapi seperti yang sudah-sudah, ia akan memilih diam seribu bahasa."Kamu udah 29 tahun, teman-teman kamu udah punya anak. Kamu?"Anjel berdiri, memeriksa roti yang ia panggang di atas kompor untuk memastikan kematangannya. Ia benar-benar ingin cepat-cepat pergi ke butik dan bebas dari ini semua. Dan sial! Rotinya belum matang! Kenapa jadi lama sekali?"Ada apa, Bu?"Suara berat khas bapak-bapak muncul. Itu artinya, penderitaan ini akan berakhir lebih cepat. Anjel menoleh, dan benar saja. Ayahnya sudah duduk di hadapan ibunya yang sedari tadi tak berhenti mengomel. Padahal beliau sedang menonton berita di televisi—yang semestinya lebih menarik disimak—dari pada membicarakan
Azel mulai mengemasi barang-barangnya dan beranjak pergi, padahal makan siangnya pun belum habis setengah. Anjel bingung dengan tingkah adiknya, lagi pula untuk apa beli bunga? Bukannya Azel tidak terlalu suka bunga?"Kakak mau sampe kapan duduk di situ? Ayok!""Buat apa beli bunga? Di rumah udah banyak." Anjel masih enggan beranjak karena memang ia tidak minat. Azel memutar bola matanya dan menghampiri Anjel."Aku mau tunjukin sesuatu buat kakak, cepat!" Tak sabar Azel menarik tangan Anjel. Akhirnya dengan sangat terpaksa, Anjel melangkahkan kaki. Melihat sesuatu yang hendak ditunjukkan padanya.Kini mereka memasuki sebuah toko bunga yang tidak terlalu besar namun lumayan ramai. Dari luar nampak desain minimalis serba vintage yang akan menarik pembeli terutama wanita. Di depan kaca, nampak deretan keranjang-keranjang bunga yang berjajar rapi. Mulai dari bunga mawar, tulip, zinnia, lavender, azalea, anyelir dan banyak lagi. Pintu dibuka, lalu terdengar suara lonc
"Siapa?" Anjel memindahkan tas channel-nya dari tangan kanan ke tangan kiri. Sementara matanya menelisik ke dalam butik.Kristin tersenyum dengan senyuman yang aneh. Dia menaikkan sebelah alis kemudian mendekatkan bibirnya pada telinga Anjel. "Seseorang yang biasa disebut tampan. Dia datang membawa bunga dan bau lavender."Anjel semakin bingung, tanpa merespon perkataan Kristin, ia masuk dan menuju tempat yang biasa ia gunakan untuk menerima tamu di dekat kasir. Sebuah sofa beludru warna merah dan meja bundar di depannya. Sesampainya di sana, nampak seorang lelaki yang tengah mengenakan setelan kemeja warna putih dan celana jeans warna bitu gelap. Lengannya dilipat sebagian dan kancing depannya dibiarkan terbuka dua biji."Maaf, ada yang bisa saya bantu?" Anjel duduk di depan lelaki itu---di atas sofa tepatnya.Lelaki yang tengah memainkan ponselnya itu mendongak dan Anjel seketika tercengang. Lelaki itu tersenyum manis, kemudian meletakkan ponselnya di ata
“Mungkin kamu suka konsep lain.” Hanya itu jawaban yang diberikan Bram. Anjel melirik lelaki itu sekilas lalu kembali berkutat dengan makanan. “Memangnya siapa yang memilih katalog itu kalau bukan kamu? Lagi pula untuk apa kamu kirimkan katalog itu padaku?”Anjel hampir siap menyiapkan makan siang, belum sempat Bram menjawab pertanyaan calon suaminya, tiba-tiba Azel muncul dari pintu dapur. Gadis itu mengenakan pakaian santai, kaus pendek warna putih agak ketat dan celana jeans sebatas lutut. Anjel yang terkejut melihat penampilan adiknya pun buru-buru mendekati lalu berbisik. “Kamu kenapa pakai baju seperti itu?”Azel melirik sekilas ke arah Bram. Lelaki itu salah tingkah lalu memilih untuk kembali ke ruang tamu. “Aku ingin membantu kakak,” jawab Azel polos. Anjel menghela napas panjang. “Sudah selesai.”Azel menunduk lalu memperhatikan penampilannya. “Memangnya kenapa pakaianku?”Anjel merapatkan giginya, kesal dengan adiknya yang terlampau polos. “Kurang sopan. Kita sedang
"Tidak apa-apa, aku juga tahu kamu pasti sibuk.” Anjel masih berusaha mengatur emosi keterkejutannya saat membalas ucapan Bram.“Aku sedang dalam perjalanan,” ucap Bram lagi.“Aku tahu. Semoga selamat sampai tujuan.”Tak ada sepatah kata pun dari Bram, begitu juga Anjel yang terlihat enggan berbicara. Setelah beberapa menit terdiam, akhirnya Bram berdehem. Anjel menghela napas panjang. “Ada apa meneleponku malam-malam?”“Aku hanya ingin tahu kabarmu,” jawab Bram. Anjel tertawa kecil lalu memainkan jemarinya di atas sprei. “Kalau kamu sibuk, kamu bisa mematikan teleponnya sekarang. Aku tidak seperti kebanyakan remaja yang selalu minta ditemani.”“Bukan seperti itu, um.... “ Bram menggantung ucapannya. “Apakah kakakku sudah menemuimu?”“Besok,” sahut Anjel cepat. Tiba-tiba ia ingat sesuatu. “Oh iya, soal persiapan pernikahan.... ““Iya, ada apa?”“Aku akan mulai melakukannya setelah keluargamu datang kemari untuk memintaku secara langsung. Aku tahu ini aneh, tetapi kurasa orangt
Anjel mengamati sebuah amplop cokelat tua berukuran tiga puluh kali lima belas sentimeter yang ada dalam genggamannya. Pagi ini ia dikejutkan dengan kedatangan kurir pos yang tiba-tiba mengantarkan surat. Seingat Anjel, sudah hampir sepuluh tahun ia tidak menerima surat lewat pos. Anehnya, nama pengirim dan alamatnya tertulis milik Bram. “Untuk apa?” Hanya itu yang bisa Anjel ucapkan. Akhir pekan, keinginannya untuk memulai mempersiapkan keperluan pernikahan akhirnya tersendat. Tak ada yang tahu soal surat ini. Ayah dan ibu belum datang dan Azel belum turun dari kamar sejak tadi. Anjel membasahi bibirnya lalu membuka ujung amplop perlahan. Tangan kanannya menjorok ke dalam dan alisnya spontan bertaut saat akhirnya tahu apa isi dari amplop tersebut. “Katalog pernikahan?” Anjel semakin terkejut. Katalog itu berisi serba-serbi pernikahan, mulai dari dekorasi, catering, MUA, souvenir dan segala sesuatu yang dapat Anjel pilih. “Untuk apa Bram mengirimkan ini? Bukankah k
Chintya sontak menoleh cepat ke arah sumber suara lalu tersenyum lebar. “Bram?”Bram tanpa aba-aba langsung duduk di samping Anjeline yang masih bingung dengan kedatangan dirinya yang tiba-tiba. “Aku hendak menghabiskan waktu makan siangku di sini,” celetuk lelaki dengan setelan dominan abu-abu tersebut.Anjelin menoleh cepat pada Bram. “Makan siang? Memangnya sekarang waktunya makan?”Bram menggeleng. “Tidak, aku hanya membuat alasan. Hahaha!”Chintya berdecak sembari memasang wajah kesal. “Enggak lucu.”Anjeline hanya tertawa kecil lalu berdiri menuju dapur untuk membuat minuman. Meski butiknya hanya digunakan saat siang hari, tetapi keberadaan dapur benar-benar penting baginya. Jika sewaktu-waktu ada tamu istimewa, maka para karyawan atau dirinya bisa membuat sesuatu di sana. Saat Anjeline tengah menunggu cheese cake yang ia hangatkan di microwave, pikirannya l
Anjel hanya diam dalam keheningan saat Bram memutuskan turun dari mobil lalu menghampiri wanita yang sepertinya telah menunggu kedatangan Bram itu. Anjel tak mau berpikir negatif, namun saat Bram memeluk wanita itu barulah Anjel mulai naik pitam.“Ha? Apa-apaan dia itu?” gumam Anjel.Setelah memeluk wanita itu, Bram kembali ke arah mobil lalu membukakan pintu untuk Anjel. Anjel berusaha untuk menutupi kekesalannya agar Bram tidak semakin menjadi-jadi.“Ayo turun,” ucap Bram dengan senyum merekah, tanpa dosa.Anjel hanya tersenyum tipis lalu turun dari mobil dengan anggun. Wanita itu memasang senyum yang begitu lebar. Anjel merasa bingung, mengapa wanita itu justru tersenyum? Siapa dia?“Kenalkan, Kak. Dia Anjeline, calon istriku,” ungkap Bram malu-malu.“Apa? Kak? Jadi .... “ gumam Anjel dalam hati.Wanita itu berjalan mendekati Anjel lalu memeluknya erat. “Oh, Adik Cantik. Selamat datang.&rdquo
"Jadi, kapan kalian akan pacaran?"Pertanyaan menohok yang dilontarkan ayah seketika membuat Bram dan juga Anjel bungkam. Suasana yang tadinya ramah, kini beralih menjadi kikuk dan kaku. Ayah yang sebenarnya hanya basa-basi tiba-tiba juga merasa kikuk dan salah tingkah. Bram menatap ayah dengan senyuman canggung dan Anjel sendiri malah melotot tajam. "Loh, belum pacaran ya?""Ayah!" protes Anjel seraya mengerucutkan bibir."Um, masih proses, Yah. Sebentar lagi juga pacaran, kok," jawab Bram santai dengan senyuman ramah.Tawa ayah tiba-tiba meledak dan diringi dengan suara tawa Bram. "Ya sudah, jangan lama-lama. Ingatlah usia kalian, udah waktunya nikah!" timpal ibu juga tak mau kalah."Ah, ibu. Aku masih mau santai juga!" Anjel lagi-lagi protes dan ingin suaranya didengar."Tenang saja, Ibu. Setelah kami pacaran, sesegera mungkin kami akan menikah. Begitu 'kan, Njel?"Anjel tak habis pikir dengan pola pikir mereka yang ingin sekali melihatnya menik
[Malam ini, Hotel Diamond]Anjel membaca pesan itu sekilas lalu tersenyum miring, ternyata Bram sungguh-sungguh mengejarnya. Ia tak habis pikir, mengapa Bram begitu gigih ingin meraihnya? Apa istimewanya dirinya?[Baik, pukul 7 malam]Anjel memasukkan ponsel ke dalam tas lalu melanjutkan fokus pada layar komputer. Untuk beberapa saat, semua masih aman hingga tiba-tiba ia mengingat peristiwa itu."Astaga!" Anjel memejamkan mata, mencoba meraih fokusnya kembali, tetapi ... bayangan itu ... rengkuhan itu ... bahkan hangatnya kecupan kilat itu masih terasa!"Ah! Sial!" Anjel berdiri lalu memijit pelipis agar lebih rileks."Kenapa aku terus mengingat kejadian malam itu?!"Anjel menggigit bibirnya gemas lalu berjalan perlahan menghadap kaca. Masih ingat kejadian malam itu, tiba-tiba Bram memeluk tubuh Anjel dari belakang dan membenamkan wajahnya pada tengkuk leher wanita itu. Hujan deras disertai petir menahan mereka untuk tetap singgah di hotel tempat m
"Siapa?" Anjel memindahkan tas channel-nya dari tangan kanan ke tangan kiri. Sementara matanya menelisik ke dalam butik.Kristin tersenyum dengan senyuman yang aneh. Dia menaikkan sebelah alis kemudian mendekatkan bibirnya pada telinga Anjel. "Seseorang yang biasa disebut tampan. Dia datang membawa bunga dan bau lavender."Anjel semakin bingung, tanpa merespon perkataan Kristin, ia masuk dan menuju tempat yang biasa ia gunakan untuk menerima tamu di dekat kasir. Sebuah sofa beludru warna merah dan meja bundar di depannya. Sesampainya di sana, nampak seorang lelaki yang tengah mengenakan setelan kemeja warna putih dan celana jeans warna bitu gelap. Lengannya dilipat sebagian dan kancing depannya dibiarkan terbuka dua biji."Maaf, ada yang bisa saya bantu?" Anjel duduk di depan lelaki itu---di atas sofa tepatnya.Lelaki yang tengah memainkan ponselnya itu mendongak dan Anjel seketika tercengang. Lelaki itu tersenyum manis, kemudian meletakkan ponselnya di ata
Azel mulai mengemasi barang-barangnya dan beranjak pergi, padahal makan siangnya pun belum habis setengah. Anjel bingung dengan tingkah adiknya, lagi pula untuk apa beli bunga? Bukannya Azel tidak terlalu suka bunga?"Kakak mau sampe kapan duduk di situ? Ayok!""Buat apa beli bunga? Di rumah udah banyak." Anjel masih enggan beranjak karena memang ia tidak minat. Azel memutar bola matanya dan menghampiri Anjel."Aku mau tunjukin sesuatu buat kakak, cepat!" Tak sabar Azel menarik tangan Anjel. Akhirnya dengan sangat terpaksa, Anjel melangkahkan kaki. Melihat sesuatu yang hendak ditunjukkan padanya.Kini mereka memasuki sebuah toko bunga yang tidak terlalu besar namun lumayan ramai. Dari luar nampak desain minimalis serba vintage yang akan menarik pembeli terutama wanita. Di depan kaca, nampak deretan keranjang-keranjang bunga yang berjajar rapi. Mulai dari bunga mawar, tulip, zinnia, lavender, azalea, anyelir dan banyak lagi. Pintu dibuka, lalu terdengar suara lonc