"Gila!" batin Lydia memikirkan semua.
Dia dan Damian sudah mencapai puncaknya,tapi permainan belum barakhir.
Damian membawanya ke hotel, kemudian berlanjut menggempurnya di ronde berikutnya. Lydia dibuat menjerit nikmat di kamar hotel, melakukan hubungan terlarang itu untuk yang kedua kalinya.
Di pagi hari, Lydia terbangun dengan tubuh yang terasa begitu lelah, tulang-tulangnya seperti mau copot! Dan bagian bawahnya terasa nyeri.
“Awh!” pekik Lydia ketika akan beranjak duduk.
Lydia meringis, dia bangun perlahan sambil melirik di sebelahnya. Sosok Damian masih memejamkan mata, tidur dengan tampang tenang.
Tatapan Lydia lantas tertuju ke dada bidang Damian yang terekspos, Damian masih belum mengenakan pakaian.
Glek!
Lydia meneguk ludahnya dengan kasar. Wah … betapa indahnya tubuh Damian, membuat keinginan Lydia untuk melukis tubuh telanjang itu muncul lagi.
Lydia menggeleng, berusaha menyadarkan dirinya. Ini bukan saat yang tepat untuk memikirkan itu. Sekarang dia harus segera kabur sebelum Damian bangun.
Setelah tersadar sepenuhnya, Lydia merasa menyesal. Sekarang dia tak ada bedanya dengan Marcell ‘kan? Melakukan hal buruk seperti ini. Namun, entah mengapa, Lydia merasa puas, seolah ada kelegaan yang dia rasakan.
Kira-kira kalau Marcell tahu sekarang dia sudah tidak perawan, dan yang mengambil keperawanannya adalah pria lain, bagaimana respon Marcell?
Marah, itu sudah pasti. Tapi, jika muncul skandal, pasti akan menghebohkan mengingat keluarga Marcell adalah keluarga pengusaha terkenal yang terpandang.
Jika ketahuan oleh publik, reputasi Lydia memang hancur, tapi setidaknya dia tidak akan hancur sendirian! Dia akan menyusun rencana untuk membalas Marcell dan keluarganya.
Sekembalinya ke rumah, Lydia bisa melihat raut kaget di wajah para pekerja. Namun, dia memilih untuk abai.
“Apa Marcell sudah bangun?” tanya Lydia.
“Belum, Nyonya.”
Lydia menghela napas lega. Untunglah Marcell kalau mabuk parah memang biasanya sulit bangun, bisa kesiangan.
Lydia tidak bermaksud menyembunyikan perbuatannya, tapi tidak untuk membongkarnya sekarang. Dia belum menyusun rencana dengan pasti.
“Rahasiakan apa yang kalian lihat dari Marcell. Jangan beri tahu dia kalau saya habis pergi keluar semalaman.”
“Baik, Nyonya.”
Lydia tersenyum tipis. Untunglah para pekerja di sini berada di pihaknya. Marcell tak mempedulikan mereka, jadi dia memanfaatkan kesempatan itu untuk merebut hati para pekerja.
Misalnya dengan memberikan bonus gaji tambahan, membelikan sesuatu yang mereka butuhkan, bahkan dia juga pernah membiayai operasi anak dari pekerja di sini. Semua kepedulian itu Lydia lakukan dengan tujuan membuat mereka memihaknya alih-alih Marcell.
*
Malam itu memang aman, Lydia tidak berakhir ‘tidur’ dengan Marcell karena suaminya tepar. Namun, bagaimana dengan malam-malam berikutnya?
Lydia berusaha menyusun ide agar Marcell tidak mengajaknya ‘tidur’. Untunglah malam ini dia dan Marcell ada acara, jadi bisa dipastikan mereka tidak akan bisa berhubungan badan.
Acara yang dimaksud adalah semacam pesta sekaligus pertemuan yang dihadiri oleh para pengusaha dan pejabat dari dalam maupun luar negeri.
Lydia berharap acaranya berlangsung sampai larut, atau kalau bisa Marcell pergi bersama teman-temannya ke luar setelah acara selesai dan kembali ke rumah dalam keadaan sudah lelah dan mengantuk. Pasti kalau begitu tidak mungkin meminta berhubungan s*ks ‘kan?
Malam ini Lydia sudah selesai di-make up dan dibantu berpakaian oleh para pekerja di rumahnya.
“Wow! Cantik banget istriku,” puji Marcell.
Marcell juga sudah selesai bersiap, tampilannya rapi dengan jas yang membalut tubuhnya. Dengan senyum mengembang, dia menghampiri Lydia yang sedang berdiri di depan cermin besar di kamar.
“Makasih, kamu juga ganteng banget,” sahut Lydia dengan terpaksa.
Mereka bertingkah seolah pasangan suami istri normal yang saling mencintai dan tak ada masalah apa pun.
Lydia menatap pantulan dirinya sendiri di cermin.
Dia merasa kalau dirinya memang begitu cantik dan elegan dalam balutan gaun berwarna baby blue ini, rambutnya yang hitam panjang dibiarkan tergerai lurus dengan indah, tulang selangkanya terekspos, begitu pula belahan dadanya.
Perhiasan juga tak lupa dikenakan. Terlihat sederhana, namun menunjukkan kesan mewah. Cincin, gelang, kalung, dan anting-anting yang begitu indah.
“Ayo, Sayang,” ajak Marcell dengan gaya gentleman mengulurkan tangannya.
Lydia menerima tangan itu dengan tampang malas lalu berjalan bersama Marcell menuju mobil yang sudah disiapkan.
Kalau Lydia tidak mengetahui kelakuan buruk Marcell yang berselingkuh di hari pertama pernikahan mereka dan berlanjut hingga dua tahun kemudian, dia mungkin akan jatuh cinta dengan perlakuan Marcell. Untungnya waktu itu semua langsung terbongkar.
Sekarang, mau Marcell berbuat sebaik atau seromantis apa pun padanya, dia tetap tidak tertarik dan justru merasa jijik. Karena Marcell masih saja mengulangi perbuatannya, tidak cukup dengan satu wanita, bahkan jal*ngnya ada lebih dari satu.
Tiba di lokasi, sang supir membukakan pintu mobil untuk mereka. Dia kembali digandeng oleh Marcell.
Di sini, Lydia harus berakting seperti istri bahagia, menyapa para pengusaha dan pejabat yang hadir dengan senyum terulas sambil terus menempel pada Marcell.
“Istrimu cantik sekali, Pak Marcell,” puji salah satu pengusaha.
“Haha, tentu. Saya merawatnya dengan uang dan kasih sayang yang berlimpah, dia jadi secantik ini.”
Lydia tertawa ringan mendengar perkataan Marcell yang lucu—karena tidak menyatakan fakta—sekaligus menyebalkan.
Setengah jam berlalu, Lydia mulai lelah hanya berdiri dan digandeng oleh Marcell ke sana kemari, apalagi dia mengenakan high heels yang terbilang tinggi, kakinya mulai sakit.
“Sayang, aku mau duduk dulu,” ujar Lydia.
“Oke.”
Marcell hanya merespon singkat lalu kembali mengobrol dengan para pebisnis lainnya.
Lydia menatap kesal dengan sikap cuek Marcell, tapi dia sudah terbiasa, jadi dia tidak protes.
Dengan senyum ramahnya, dia berpamitan kepada para pria dan wanita yang sedang mengobrol dengan Marcell lalu berjalan ke salah satu meja bundar dan duduk di sana.
Lydia mengambil champagne yang disediakan. Dia menyesap pelan sambil menatap sekeliling.
“Membosankan,” gumam Lydia.
Di saat-saat seperti ini, dia jadi ingin melukis, menyendiri di paviliun dan fokus pada canvas sambil mendengarkan alunan piano dari musik klasik. Bau cat yang menguar di ruangan, tak ada yang menganggu, begitu tenang.
Tiba-tiba terbayang di kepala Lydia tentang tubuh telanjang Damian. Keinginan untuk melukis Damian muncul lagi. Ditambah bayang-bayang kejadian panas malam itu.
Tanpa sadar, pipi Lydia bersemu merah.
Apa mungkin mereka bisa bertemu lagi?
“Itu nggak mungkin. Lebih bagus kalau kita nggak bertemu lagi, aku nggak tahu harus bagaimana menghadapi orang itu,” gumam Lydia.
Entah sudah berapa lama duduk di sini, Lydia tak terlalu memperhatikan waktu lagi. Namun, dia dibuat terkejut ketika melihat sosok Adel—j*lang Marcell—datang di acara ini.
Apa mungkin Adel diundang oleh seorang pengusaha atau pejabat? Karena wanita gatal seperti Adel pasti punya sugar daddy, mungkin saja tak hanya Marcell yang diperas uangnya.
Mata Lydia bergerak mengikuti Adel yang sedang tertawa bersama pria-pria lain, kemudian dia lihat gerak Adel yang ternyata menghampiri Marcell.
Dengan tak tahu malu, Adel menggandeng Marcell, mereka berbisik-bisik lantas berjalan pergi dari sana.
“Sebentar, mereka mau ke mana?”
Lydia panik. Kalau di rumah, dia tak akan ikut campur perselingkuhan Marcell, tapi ini di luar! Reputasinya dipertaruhkan!
Dia memang ingin menghancurkan reputasi dirinya, keluarganya, dan keluarga Marcell, tapi tidak sekarang. Ada rencana yang harus dia susun dengan matang.
Dengan tergesa, Lydia bangkit dari duduk dan berjalan mengekori Marcell. Namun, karena terlalu fokus menatap Marcell sambil berjalan tergesa, dia sampai menabrak pundak seseorang.
Bruk!
“Maaf, saya—”
Kalimat Lydia terputus saat tatapannya naik dan bertemu dengan sepasang mata biru yang begitu familiar.
Dunia seolah berhenti berputar.
Mata biru yang jernih dan menusuk, memancarkan aura dingin yang misterius. Cahaya lampu memantulkan kilauan dalam iris biru pria itu. Lydia merasa terhipnotis lagi, seperti waktu itu.
“Anda …”
Tentu saja Lydia tidak lupa. Itu adalah pria yang bertemu dengannya di galeri seni, pria yang menghabiskan malam panas dengannya, sekaligus pria yang mengambil keperawanannya!
“D-Damian …”
Jantung Lydia berdegup kencang, dadanya naik turun dalam ritme tak terkendali. Tenggorokannya mendadak kering, seolah kata-katanya tersangkut di sana, enggan keluar.Keterkejutan melandanya begitu dalam hingga Lydia hanya bisa kembali membisu, berdiri mematung di hadapan Damian.Sedangkan Damian tampak tenang, memandang Lydia dengan sorot yang sulit diartikan.“Kita bertemu lagi,” ucap Damian.Suara Damian yang dalam membuat Lydia tersentak, lamunannya buyar.Lydia berdehem. Hanya mendengar suara Damian pun membuatnya merasa tergoda, nada yang rendah dan sedikit serak membuatnya berdesir. Sejenak, Lydia lupa cara bernapas.Sial!Ada apa dengan dirinya? Lydia baru pertama kali merasakan hal seperti ini, bahkan dengan Marcell pun dia tidak pernah merasakannya. Apa mungkin karena malam itu mereka sudah menghabiskan kegiatan panas bersama?“Ya, kita bertemu lagi,” sahut Lydia, memaksakan senyum yang terkesan kaku. “Anda di sini …”Ingin sekali Lydia bertanya, mengapa bisa Damian ada di si
Damian mengernyit. “Balas dendam?”“Ya. Detailnya akan saya jelaskan nanti, kita harus bertemu di tempat lain, hanya berdua. Anda masih menyimpan kartu nama saya ‘kan?”Damian mengangguk singkat.“Kalau begitu, hubungi saya saat Anda setuju, kita bisa langsung bertemu dan membicarakan detailnya.”Lydia tidak melihat perubahan di raut wajah Damian, masih tampak datar. Berbeda sekali dengan malam itu, dia bisa melihat raut kenikmatan di wajah Damian.Astaga, apa yang dia pikirkan?! Ini bukan waktunya untuk memikirkan hal mesum.“Lalu apa yang saya dapatkan dengan membantumu? Selain kamu menjadi tunangan pura-pura saya. Tanpa kamu pun saya bisa mencari wanita lain,” ujar Damian.Lydia meneguk ludah. Dari perkataan Damian, seolah Damian ingin dia membuktikan ‘nilai’ dirinya di hadapan Damian, apakah dia benar-benar berguna atau tidak? Nada bicara Damian pun terkesan menuntut dengan aura mengintimidasi, berbeda dengan malam itu.“Harus saya, anda nggak akan kecewa kalau memanfaatkan saya.”
“Anda mengenal suami saya?” tanya Lydia, dia berusaha tenang dan menahan sakit hati atas perkataan pedas Damian padanya.“Tentu.”“Boleh saya tahu anda siapa?”Karena Damian sudah mengulik tentangnya, dia juga berhak tahu tentang Damian ‘kan? Sebelum mereka bekerja sama.Lydia memperhatikan Damian yang mengeluarkan kartu nama pria itu lantas menyodorkan ke hadapannya.Lydia mengambilnya dan mulai membacanya. Beberapa detik kemudian, dia nyaris dibuat menganga.Damian Bradley Anderson. Tertulis nama lengkap Damian di situ.“I-ini …”Lydia meneguk ludah. Damian dari Anderson Group? Keluarga konglomerat yang masuk ke dalam daftar sepuluh besar orang terkaya di negara ini? Apa Damian salah satu penerusnya?Selama ini, yang Lydia tahu, mengenai perusahaan milik Anderson Group di dalam negeri dipimpin oleh generasi kedua yang itu artinya ayah Damian, apa sekarang sudah beralih ke Damian yang merupakan generasi ketiga?Dan, sepertinya benar, dilihat dari kartu nama Damian, tertera kalau pria
Namun, apa pun itu syarat dari Damian, Lydia bersedia. Justru bagus kalau seperti yang Damian katakan.“Saya bersedia melakukan apa pun selama bisa menjatuhkan Marcell. Senang mengetahui kalau kita punya musuh yang sama,” ungkap Lydia lantas tersenyum.Damian tidak merespon, tapi bisa Lydia lihat sudut bibir Damian sedikit tertarik ke atas seperti sedang tersenyum tipis.“Tapi kenapa anda nggak mencoba untuk mengakuisisi perusahaan Marcell secara damai?” tanya Lydia dengan tampang penasaran.“Saya pernah menawarkan kesepakatan bisnis, melakukan merger dan memberi janji kalau Marcell tetap bisa menjabat di posisi tertentu. Tapi nggak mudah, apalagi ayahnya, mereka menolak tegas.”Lydia manggut-manggut, meskipun tak terlalu paham karena dia tak peduli dengan apa yang Marcell kerjakan, tapi sepertinya memang rumit. Kedengarannya sih begitu.“Memakai cara dengan membeli saham mayoritas pun nggak bisa, karena saat ini pemegang saham utama adalah ayah Marcell, dan di bawahnya ada Marcell se
“Saya juga nggak akan menggoda anda lagi, dan nggak mau disentuh lagi. Dasar menyebalkan!” seru Lydia.Namun, tentu saja Lydia bicara begitu setelah Damian pergi dari sini. Dia tak mungkin mengutarakannya saat masih ada orangnya.Setelah kepergian Damian yang dengan tak berperasaan pergi lebih dulu dan meninggalkannya, Lydia yang tak ingin berlama-lama pun juga beranjak dari sana usai menghabiskan makanan dan minuman.“Berapa totalnya?” tanya Lydia saat akan membayarnya.“Sudah dibayar semua,” jawab pekerja di restoran tersebut.Lydia manggut-manggut. Tidak mengherankan, dia pun hanya berjaga-jaga bertanya begitu, pasti Damian sudah membayar. Justru aneh kalau Damian membiarkan Lydia yang membayar semuanya.Dalam perjalanan kembali ke rumah, Lydia berdebar-debar menantikan apa saja yang akan dia dan Damian lakukan ke depannya.Sudut bibir Lydia tertarik ke atas membentuk seringaian tipis. Dia tidak sabar menanti kehancuran keluarga Marcell dan keluarganya. Sudah lama dia ingin melihat
“Marcel …” geram Lydia.“Apa kata orang-orang kalau istriku bekerja di perusaahaan sainganku? Ini soal reputasiku juga, Lydia,” tegas Marcell dengan tampang serius.“Aku hanya akan menjadi karyawan biasa. Ada ribuan pekerja lain di sana, jadi mereka nggak akan tahu aku istrimu. Nggak semua orang hapal denganku, bahkan banyak yang nggak tahu tentang sosok istri Marcell. Iya ‘kan?”Lydia membatin, bahkan sepertinya lebih banyak orang yang tahu sosok jalang Marcell daripada istri Marcell.Marcell mendengkus. “Dari sekian banyak perusahaan, kenapa harus di sana, Lydia?”“Karena di sana yang saat itu sedang buka lowongan pekerjaan, kebetulan aja aku diterimanya di sana," dusta Lydia. Dia baru tahu kalau dirinya pintar mengarang.“Bagaimana kalau aku tetap menolak?”“Aku akan tetap berangkat,” ujar Lydia.Pasangan suami istri itu saling pandang dengan raut yang sama-sama serius, mereka seperti bersiap untuk berdebat dengan alot.Namun, sebelum itu terjadi, Lydia kembali berusaha meyakinkan
Lydia malu setengah mati! Dia salah tingkah dan tanpa pikir panjang mengambil sushi yang jatuh ke kotak menggunakan tangannya, tanpa sumpit, kemudian langsung dia lahap.Namun, karena terburu-buru, dia sampai tersedak.Uhuk-uhuk!Lydia tersedak semakin menjadi-jadi ketika melihat Damian mendekatinya. Dia pikir Damian mau apa, ternyata pria itu menyodorkan minum ke arahnya.“Minum perlahan,” suruh Damian.Lydia mengangguk lalu menerima minum dari Damian dan menegaknya sembari menahan malu dengan wajah yang sudah semerah tomat busuk.Setelah lebih tenang, Lydia melirik Damian dengan canggung, pria itu duduk di hadapannya.“Terima kasih,” ucap Lydia, tak menduga akan mendapatkan kepedulian dari Damian. Well … memberikan minum termasuk bentuk peduli kan?“Hm.”Damian hanya bergumam singkat dan mulai fokus menyantap makanannya.Lydia yang masih menyisakan perasaan mal
Lydia menahan tawa menatap ekspresi kaget yang terpampang di wajah Damian. Dia baru pertama kali melihatnya.Damian langsung terburu-buru mendorong kepala Lydia agar menjauh dari pundaknya.“Jangan dekat-dekat!” omel Damian.Lydia berdecak. “Anda sungguh nggak berperasaan! Jangan dorong saya!” serunya.Felix dan sang supir sontak terbelalak. Mereka tak menyangka Lydia akan seberani itu kepada Damian.“Saya nggak mendekati anda dengan sengaja. Lagi pula, anda yang membiarkan saya bersandar di pundak anda ‘kan?”Lydia merasa seperti orang lain saja, entah mengapa dia bisa seberani ini, bahkan dia tak pernah bertindak begini kepada Marcell.Damian diam, dia memalingkan wajahnya ke arah kaca jendela mobil di sampingnya.“Anda nggak mau menjawab?” desak Lydia.“Berpikirlah sesukamu,” ucap Damian dengan tampang sok cuek.Lydia mendengkus. Akhirnya mereka
Matahari pagi menyusup pelan melalui celah tirai kamar hotel yang tak sepenuhnya tertutup.Sinar hangat itu mengenai wajah Lydia yang masih terlelap di bawah selimut tebal berwarna abu-abu. Rambutnya berantakan, sebagian menjuntai di bantal, sebagian lainnya menempel di pipinya yang memerah.Tentu saja kondisinya berantakan, ulah siapa lagi kalau bukan Damian yang menggempurnya dua ronde semalam?Damian sudah bangun lebih dulu. Dia duduk di sofa dekat jendela dengan laptop di pangkuannya, dia mengenakan celana pendek kaus putih.Rambut Damian masih berantakan, karena kegiatan semalam yang belum sempat dia rapikan sepenuhnya. Dia tampak begitu fokus mengurus pekerjaan meskipun di hari libur, membalas beberapa email penting dan berkomunikasi dengan Felix.Mendengar suara ketikan Damian di laptop, Lydia terbangun. Lydia menggeliat pelan. Tangannya meraba sisi kasur di sebelahnya yang kosong.Membuka mata, Lydia menatap sisi di sebelahnya."Damian?" panggil Lydia.Damian meletakkan laptop
Lydia menatap tangannya yang digenggam oleh Damian. Dia tersenyum kecil.Saat ini mereka sedang berjalan ke sebuah gang yang dipenuhi lampu gantung. Ada sebuah toko bernama Librairie des Rêves. Toko kecil yang jendelanya memajang buku seni, puisi, catatan perjalanan, dan sebagainya.“Mau mampir nggak? Dulu saat masih di Paris, aku sesekali mampir ke sini,” kata Lydia.“Oke, ayo mampir,” angguk Damian.Lonceng kecil berdenting saat mereka masuk. Aroma kayu dan halaman-halaman lama menyambut mereka.“Kamu suka buku kan?” tanya Lydia.“Hm.” Damian membenarkan.Lydia mengambil salah satu buku, membacanya. Sesekali dia memperhatikan Damian yang juga mengambil sebuah buku lalu membaca dengan serius.Sambil membalik halaman perlahan, Lydia masih sesekali menatap Damian. Suasana memang hening, tapi jantungnya bertalu-talu. Dia berdebar tak keruan hanya dengan memperhatikan Damian, sosok pria matang yang jauh lebih tua darinya itu terlihat begitu menarik.Bagaimana bisa Damian selalu terlihat
Marcell mencengkeram gelas di tangannya seolah sedang memegang Lydia erat-erat. Dia tak akan melepaskan Lydia apa pun yang terjadi. Tak akan dia biarkan Lydia jatuh ke tangan pria lain!“Lydia, kamu akan menyesal. Awas kalau kamu kembali nanti,” batin Marcell.Sementara itu, di Paris.Lydia telah tiba di sana. Pagi ini, dia dan Damian keluar dari hotel di kawasan Montmartre, tangan Damian menggenggam tangannya dengan erat. Begitu hangat.Lydia mengenakan dress putih sederhana dengan outer berwarna krem, sedangkan Damian tampil santai dengan sweater abu-abu dan celana hitam. Mereka berjalan beriringan, menyusuri jalanan berbatu yang dipenuhi aroma roti hangat dan kopi dari toko-toko sekitar.Begitu melewati sebuah toko kecil bertuliskan Boulangerie Artisanale, aroma croissant yang baru dipanggang membuat perut Lydia meronta. Padahal, tadi dia sudah sarapan di hotel.Damian menoleh, dia menyadari mata Lydia yang m
Lydia menatap lukisan tubuh Damian dengan pandangan yang tak bisa dijelaskan.Karya itu … sempurna. Setiap goresan menggambarkan sosok pria yang dia sukai. Tapi, justru karena itulah, dia merasa tidak rela membiarkannya jadi konsumsi publik.Damian menoleh, menyadari ekspresi Lydia yang berubah.“Kamu kenapa?” tanya Damian sambil mendekat, merangkul Lydia.Lydia menghela napas. “Aku … tiba-tiba merasa ragu.”“Ragu soal apa?”“Lukisannya.”“Hasilnya sudah sangat bagus. Apa yang membuatmu ragu?”“Bukan soal hasilnya.” Lydia menoleh, menatap Damian. “Aku ragu buat memamerkannya.”Damian mengernyit, dia tak paham. “Kenapa?”“Karena tiba-tiba aku merasa nggak rela.” Lydia terdiam sejenak. “Aku nggak mau lukisan tubuh telanjangmu ditatap banyak orang, nanti gimana kalau mereka menginginkanmu sa
“Bunga dari siapa itu?”Lydia langsung melunturkan senyumnya saat baru saja menginjakkan kaki di dalam rumah.Marcell menghadangnya, menanyakan bunga dari Damian yang dia bawa ke rumah. Tentu saja, Lydia tak berniat membuang sebuket bunga ini.“Dariku, aku beli sendiri,” jawab Lydia, berbohong.“Sejak kapan kamu suka beli bunga?” heran Marcell.“Sejak hari ini,” jawab Lydia cuek.Marcell mengamati Lydia dengan tampang curiga. Sejujurnya, akhir-akhir ini Lydia memang aneh, seperti ada banyak hal yang wanita itu sembunyikan darinya.Lydia tak mempedulikan Marcell, dia yakin tak akan ketahuan kalau hanya perkara bunga.Saat tiba di kamar, dia menaruh bunga pemberian Damian di vas sambil memandanginya dan tersenyum-senyum sendiri.Lydia membuka ponsel, mengecek kalender di sana. Dia hampir lupa, pameran seni lukis di Prancis dimajukan, tak lama lagi. Dia harus segera menyelesaikan lukisan.Dia harap Marcell ada acara lagi di luar agar dia bisa membawa Damian ke rumah untuk menyelesaikan l
Damian dan Lydia masih berada dalam pelukan setelah ciuman lembut yang mereka bagi. Ruangan terasa hangat oleh napas mereka yang saling bersahutan dalam jarak dekat.Damian menempelkan bibirnya ke pelipis Lydia, mengecupnya. Dia lantas menarik tubuh wanita itu lebih dekat.“Kamu sepertinya lebih kurus,” gumam Damian sambil mengamati dan mengelus tubuh Lydia. “Jangan diet.”“Aku nggak mau gendut.”“Kamu nggak gendut. Makanlah yang banyak, jangan ditahan-tahan.”Lydia mengangguk. “Tapi sepertinya bukan aku yang kurus, badanmu yang terlalu besar, kamu terlalu kekar.”Damian terkekeh.Jemarinya bergerak lembut menyisir rambut Lydia yang terurai lalu berhenti di dagu wanita itu, mengarahkan agar menatapnya.Mata biru Damian bergerak menelusuri wajah Lydia dalam keheningan. Lydia memang balas menatapnya, tapi tampak tak terlalu fokus, pikirannya seperti terbagi ke hal lain.“Ada apa, hm?” tanya Damian dengan lembut, hal yang jarang sekali dia lakukan bahkan kepada keluarganya sendiri.“Aku
Panik, Lydia bergerak makin menjauh dari tubuh Damian.“Ada yang datang,” bisik Lydia.Damian mengangguk. “Kamu tetap di sini.” Dia lantas merapikan penampilan dan memasang tampang datarnya. “Masuk!”Sosok yang mengetuk pintu ruangan Damian masuk ke dalam. Bukan Felix, melainkan seorang direktur operasional di perusahaan tersebut.Mendapati Damian berduaan di ruangan dengan Lydia, dia tak curiga karena mereka terlihat biasa saja, tampak formal seperti atasan dan bawahan.Lydia berusaha bersikap profesional, mendampingi Damian yang sedang membicarakan terkait pekerjaan dengan sang direktur operasional.Lydia merasa lega. Untung saja tadi tak ketahuan. Dia terlalu nekat bermesraan di kantor kan?*Memang, mereka tak bisa berduaan lagi sampai pulang kerja. Tapi, pasangan terlarang itu tak mau menyia-nyiakan waktu saat Marcell dan Adel tak ada di rumah.Seperti malam ini misalnya, Lydia langsung mengundang Damian ke rumahnya, seperti biasa melukis di paviliun.Kali ini, ke sesi berikutnya
"Apa ada hal baik yang terjadi?” tanya Marcell.Pagi ini, Marcell sedang sarapan bersama Lydia dan Adel. Namun, fokusnya terus tertuju pada Lydia yang tak berhenti tersenyum, bahkan entah kerasukan apa, wanita yang masih berstatus istrinya itu menyapanya dan Adel dengan ramah.Padahal, biasanya Lydia hanya diam dengan tampang dingin.“Hm?” sahut Lydia, diam sejenak.Pikirin Lydia masih dipenuhi oleh Damian yang semalam. Senyum pria itu, tatapannya, genggaman tangannya, dan tentu saja ciuman mereka sebagai pasangan.“Ah, hal baik. Ya, tentu saja ada,” jawab Lydia.“Tentang lukisanmu?”Lydia mengangguk, berbohong. Entah akan sekaget apa Marcell kalau tahu hal baik yang dia maksud adalah jadian dengan Damian.“Aku sudah selesai,” ujar Lydia lalu beranjak dari kursinya, dia lantas menatap Adel dengan senyum elegan. “Makanlah yang banyak, agar bayimu nggak kekurangan gizi.”Adel menggenggam alat makan erat-erat. Dia kesal mendengar kalimat Lydia yang entah mengapa seperti ejekan baginya, d
Suasana di dalam ruangan mendadak sunyi. Lydia menatap Damian dengan perasaan campur aduk. Dia merasa terkejut, tak percaya, dan jantungnya berdebar begitu cepat hingga dia khawatir Damian bisa mendengarnya.“Damian …” Lydia mengerjapkan mata. “Apa kamu serius?”Damian tidak menjawab dengan kata-kata, hanya menatap Lydia dengan intens.Tatapan itu … Lydia tak bisa mengabaikannya. Ada sesuatu yang berbeda di sana, bukan sekadar ketertarikan, tapi lebih dalam dari itu.Damian menyandarkan tubuhnya ke kursi, tangannya masih memegang segelas wine yang berisi sisa minuman yang belum disentuhnya lagi. Dia tidak main-main dengan ucapannya barusan.“Aku serius, Lydia. Aku ingin menambahkan satu poin dalam kontrak kita. Aku ingin ada kemungkinan bagi kita untuk memiliki hubungan romantis sungguhan, bukan sekadar akting.”Lydia merasa tubuhnya melemas. Ini terlalu mendadak. Dia bahkan masih memproses fakta bahwa Damian menyukainya.“Tapi …” Lydia terdiam sejenak. “Ini terlalu mendadak buatku. A