Kegusaran tampak jelas di wajah Addison. Dering teleponnya tetap berbunyi walaupun berkali-kali telah diabaikan. Penelpon yang keras kepala itu adalah ibunya sendiri.
Addison sengaja tidak mengangkat telepon dari ibunya setelah membaca pesan yang ibunya kirimkan itu padanya.
“Mama menemukan seorang wanita cantik dan baik untuk dijadikan istrimu. Mama telah mengatur pertemuan kalian berdua. Datang ke café xxx pukul 6 sore nanti yaa.”
Addison hanya bisa geleng-geleng kepala setelah membaca pesan dari ibunya itu ketika ia baru saja selesai rapat. Addison mengira, ia mendapatkan pesan dari Calista. Sebagai sebuah hiburan setelah semua urusan pekerjaan yang sangat memusingkan ini.
“ADDISON CALDWELL,” suara nyaring ibunya langsung memenuhi telinga Addison. Ia sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga.
“Kenapa baru diangkat sekarang? Sudah puluhan kali mama telepon.”
“Maaf mama cantik. Addison sedang rapat tadi. Baru aja selesai.”
Daripada harus disembur dengan rasa marah ibunya. Addison memilih untuk sedikit berbohong karena telah mengabaikan telepon dari ibunya.
“Yasudah kalau begitu, yang penting kamu sudah baca pesan mama bukan? Jangan lupa untuk pergi nanti.”
“Mama gak terima alasan apapun. Kecuali kamu udah punya pasangan dan pastinya belum ada.”
“Udah ma, Addison udah punya pasangan.”
Sosok Calista langsung terlintas begitu saja oleh Addison. Ini adalah kesempatannya untuk memanfaatkan bantuan yang dijanjikan oleh Calista. Sekaligus siasatnya untuk mendekati Calista.
“Mama gak percaya. Udah berkali-kali kamu bilang begitu, tapi ketika mama suruh bawa ke rumah, gak pernah ada satu pun yang datang.”
Ibunya tidak percaya lagi padanya. Addison memang sering mengatakan jika ia memiliki pasangan untuk menghindari perjodohan yang direncakan oleh ibunya. Namun, semua itu hanyalah sebuah kebohongan.
“Kali ini aku tidak bohong ma,” ucap Addison berusaha meyakinkan ibunya lagi.
“Tuh kan, ketahuan kamu selama ini cuman bohongin mama.”
“Eh, gak gitu ma. Maksudnya…” Addison langsung panik karena ketahuan berbohong.
“Udah.. udah… kamu gak usah banyak alasan lagi. Pokoknya kamu harus datang nanti. Sekalian bawa dia ke pesta ulangtahunmu nanti malam.”
Perintah Erinna Caldwell sudah tidak bisa diganggu gugat lagi. Jika ibunya sudah memutuskan seperti itu. Bahkan Addison pun tidak bisa membuat alasan apapun lagi.
Addison harus memikirkan cara agar ia bisa lepas dari rencana perjodohan ibunya. Ia tidak mau menikah dengan seseorang yang tidak ia sukai.
Addison baru saja menemukan wanita yang disukainya. Ia tidak ingin kisah cintanya berakhir begitu saja. Meskipun umurnya saat ini bukanlah saat yang tepat untuk mengejar sebuah cinta lagi.
“Calista, aku butuh bantuanmu.” Addison segera mengirim pesan pada Calista.
Tanpa menunggu balasan dari Calista, Addison bersiap untuk pergi ke sekolahnya. Jika harus menghadang Calista, ia akan melakukannya. Addison akan menunggui Calista sampai ia pulang sekolah.
Setelah beberapa jam menunggu di depan gerbang sekolah Calista. Telepon Addison berdering dan orang yang menelponnya adalah Calista.
“Halo, om Addison?” tanya Calista di balik telepon sana.
Ketika mendapatkan pesan dari nomor yang tidak dikenal. Hanya Addison yang terlintas dipikirannya.
“Iya, ini Addison. Tapi tolong jangan tambahkan om di depannya. Panggil nama pun tidak masalah.” Addison masih protes dengan Calista yang memanggilnya om.
“Kenapa om? Om butuh bantuan apa?” tanya Calista tanpa menghiraukan protes dari Addison.
Addison akhirnya menyerah untuk protes pada Calista. “Ayo berkencan denganku.” Calista tidak habis thinking dengan ajakan Addison itu. Mungkin saja ia salah dengar.
“Kencan? Aku salah dengarkan om.” Tanya Calista untuk memastikan lagi.
“Tidak. Kamu tidak salah dengar. Berkencanlah denganku.” Addison masih mengatakan hal yang sama. Ternyata Calista tidak salah dengar tadinya.
“Aku masih kecil om. Kata mama anak kecil gak boleh ikut sama om-om,” tolak Calista sedikit berncanda.
“Serius mama kamu bilang begitu. Tapi saya gak punya maksud yang jahat. Saya udah di depan gerbang sekolah kamu. Kesini aja dulu, nanti saya jelaskan.”
“Okee, om. Aku jalan kesana dulu.”
Calista mematikan teleponnya. Kebetulan jam pelajaran telah usai. Saatnya untuk pulang. Calista akan menemui Addison terlebih dahulu untuk menuntaskan janjinya yang ingin membalas kebaikan Addison.
Setelah selesai membereskan semua barang-barangnya. Calista beranjak keluar dari kelasnya. Baru beberapa melangkahkan kakinya dari pintu kelas. Pak Iqbal berdiri tak jauh di sana. Seperti sengaja menungguinya.
Calista diam terpaku di tempatnya berdiri sekarang. Guru bejat itu tidak menyerah untuk mengganggunya.
“Hey, Calista. Mau pulang ya?” tanya Kelvin melihat Calista yang hanya berdiam diri di sana.
“Iya.” Calista akhirnya bisa sedikit bernafas lega.
“Barengan aja yuk keluarnya. Lo bawa kendaraan gak? Kalau gak, numpang sama gue aja.”
Kelvin selalu datang di waktu yang tepat ketika Iqbal si guru bejat itu akan mengganggunya. Meskipun, ia tidak berniat pulang bersama Kelvin. Calista harus memanfaatkan kesempatan ini untuk kabur dari Iqbal yang sudah menunggunya.
“Kalau boleh, gue berterima kasih banget.” Calista menyetujui ajakan Kelvin. Ia harus segera kabur dari sini.
“Yaudah yuk,” ucap Kelvin mengajaknya beranjak dari sana.
Teman-temannya yang melihat pemandangan itu pun mulai percaya jika Calista dan Kelvin memang mempunyai sebuah hubungan yang spesial. Calista tidak terlalu mempedulikan hal itu. Ia hanya ingin menyelamatkan dirinya sendiri saat ini.
“Maaf Kelvin, teman gue baru saja bilang mau jemput gue. Terima kasih atas tawaran lo. Gue sangat menghargainya.”
Setelah mereka menjauh dari Iqbal. Calista mulai membuat alasan agar ia tidak jadi pulang bersama Kelvin karena Addison saat ini sedang menunggunya.
“Baguslah kalau gitu, gue duluan ya,” pamit Kelvin yang tidak tampak kecewa ataupun marah.
“Terima kasih,” ucap Calista sekali lagi walaupun Kelvin telah berlalu pergi.
Calista bisa melihat dengan jelas mobil Addison yang terparkir tepat di depan gerbang sekolahnya. Ia langsung saja masuk ke dalam mobil itu karena takut Iqbal akan mengikutinya.
“Siapa tadi?” tanya Addison sesaat setelah Calista masuk.
“Bukan urusan om,” jawab Calista yang malas untuk menjelaskan.
“Bukan pacar kamu kan?” tanya Addison lagi untuk memastikan.
“Emang kenapa sih om? Om beneran mau jadiin aku pacar om?” tanya Calista heran dengan Addison yang tampak cukup penasaran.
“Iya. Kamu mau jadi pacar saya sekarang?”
Calista tidak menyangka dengan jawaban Addison. Ia hanya ingin sedikit bercanda karena Addison tampak sangat serius.
“Gak om. Aku aja baru kenal om kemaren. Gak mungkinlah mau langsung pacaran aja. Om ganteng sih, tapi kalau om orang jahat kan berbahaya juga.”
Untuk pertama kalinya Calista mengeluarkan semua isi pikirannya tanpa harus khawatir dan memikirkan imejnya. Calista merasa bisa menjadi kekanak-kanakan ketika bersama dengan Addison yang terlihat lebih dewasa.
“Yaudah, kita saling mengenal aja dulu. Berarti kalau kamu udah lebih mengenal saya. Saya punya kesempatan untuk jadi pacar kamu kan.”
“Liat dulu om. Kalau om lolos dengan kriteria aku sih, mungkin ada kesempatan. Tapi sekecil ini.”
Calista menunjukkan jari jempol dan telunjuknya yang saling berdekatan untuk menggambarkan ukuran dari kesempatan yang mungkin saja akan Addison dapatkan. Untuk menjadi pacarnya.
“Yaudah, gapapa. Setidaknya saya masih ada kesempatan.”
Calista memandang Addison sebagai orang yang sangat berpositif thinking sekali. Untunglah dia tidak merasa tersinggung atau marah ketika Calista mengatakannya sebagai orang yang mungkin saja berniat jahat.
“Jadi, om butuh bantuan apa?”
“Kamu harus jadi pasangan saya karena saya akan dijodohkan dengan orang yang tidak dikenal.”
“Coba dulu aja om, mana tahu orangnya baik.” Calista malah mendukung perjodohan Addison.
“Saya sukanya kan sama kamu. Gak mau lah.”
Addison langsung blak-blak an saja mengatakan rasa sukanya pada Calista. Ia cukup terkejut dengan sikap Addison yang seperti itu.
“Yaudah deh om. Buat kali ini aja. Aku cuman perlu jadi pasangan pura-pura om supaya gak dijodohin kan.”
“Iyaa.” Addison langsung semangat mendengar Calista yang menyetujui permintaannya.
“Kamu harus mengosongkan waktu kamu jam 8 malam nanti. Saya akan jemput kamu sebelum jam 8.”
“Gak bisa om. Aku udah ada janji sama ayah malam ini. Lain kali aja gimana?”
Calista baru teringat ia disuruh menghadiri pesta ulang tahun anak pertama dari keluarga Caldwell. Calista tidak bisa menentang ayahnya untuk satu hal itu.
Calista tidak tahu sama sekali ia akan menghadiri pesta ulang tahun Addison bersama keluarganya nanti malam. Ia juga tidak mengetahui niat Addison yang ingin membawanya ke tempat tujuan yang sama.
Calista sudah siap dengan dress bermotif bunganya. Seperti yang sudah ia janjikan, malam ini ia akan ikut dengan ayahnya menghadiri pesta ulang tahun anak pertama keluarga Caldwell. Semenjak bertengkar dengan ayahnya malam itu. Calista tidak pernah lagi berbicara dengan ayahnya. “Non, Tuan Ansell telah menunggu di bawah.” Bi Ina menyadarkan Calista dari lamunannya. “Baik Bi, aku akan turun sebentar lagi.” Calista memasang aksesoris yang cocok dengan dress yang ia pakai sekarang. Kalung bermotif bunga daisy dan sepasang anting dengan motif yang sama. Setelah semua siap, Calista segera turun ke bawah. Ia tidak ingin berlama-lama agar ayahnya itu tidak marah padanya. Calista masih seseorang yang menumpang di rumah orang tuanya. Ia belum bisa memberikan balasan yang berarti bagi orang tuanya untuk semua jasa mereka. “Pastikan kau tidak membuat masalah di sana nanti,” ucap Ayah Calista ketika ia baru saja memasuki mobilnya. “Baik, tentu saja,” ucap Calista datar. Calista harus bisa
Seluruh anggota keluarga Addison terlihat sangat senang mendengar kabar gembira yang dibawanya. Di acara ulang tahun Addison yang ke 27 tahun itu.Pesta ulang tahun Addison telah usai dari beberapa jam yang lalu. Para tamu undangan pun telah pergi dari Villa milik mereka. Menyisakan Addison dan keluarganya yang memilih untuk menginap di sana malam ini.Di sela-sela acaranya tadi. Addison mengumumkan pada khalayak ramai, bahwa ia akan melamar Calista. Untung saja Calista bisa ikut bekerja sama dengan tindakannya yang cukup mendadak itu.Tidak terbayangkan oleh Addison jika Calista kabur di tengah-tengah acara. Apalagi tepat pada saat ia sedang berbicara. Dengan maksud untuk melamar Calista. Karena ia tidak pernah menyetujui hal itu sebelumnya.“Oh, jadi karena ini kamu gak mau ketemu sama wanita yang udah mama jodohin sama kamu.” Erinna mengurungkan niatnya untuk memarahi Addison habis-habisan kali ini.Erinna sudah berencana untuk melakukan hal itu karena Addison tidak bisa menepati ja
Para tamu undangan mulai berdatangan memenuhi halaman belakang rumah Calista. Acara pertunangan yang diadakan secara dadakan oleh Addison tidak menemukan kegagalannya sama sekali.Addison sudah terbiasa untuk mempersiapkan berbagai acara semenjak jabatannya masih menjadi anak magang di perusahaan orang tuanya sendiri. Mempersiapkan acara dadakan seperti ini bukanlah masalah yang besar baginya.“Bi, kamar Calistanya dimana ya? Saya udah gak sabar, pengen lihat calon tunangan saya,” tanya Addison pada Bi Ina yang sibuk melayani para tamu undangan.“Di lantai dua den, cuman ada satu kamar di sana. Itu kamarnya non Calista,” jawab Bi Ina dengan senang hati memberitahukan letak kamar Calista.“Terimakasih Bi.” Dengan semangat yang menggebu-gebu Addison langsung menuju ke kamar Calista.Ketika Addison akan memasuki kamar Calista, ia tidak sengaja mendengar suara Ansell yang sedang berbicara pada Calista.Addison mengurungkan niatnya untuk melangkah lebih jauh lagi. Ia bersembunyi di balik va
“Aku mau pindah sekolah,” ucap Calista setelah mengumpulkan banyak keberanian di dalam dirinya. Makan malam keluarga Hadley langsung terusik dengan suara Calista dan kata-katanya yang tidak masuk akal. Ayahnya langsung menatapnya tajam dan menusuk karena telah mengganggu ketenangannya. “Kenapa?” tanya ayah Calista dengan suara yang dingin. Seketika keberanian Calista langsung menciut. Namun, ia tidak boleh menyerah begitu saja. Bagaimanapun caranya Calista ingin pindah dari sekolah yang terkutuk itu. Calista sudah tidak berani lagi menatap ke arah kedua orangtuanya. “Seorang guru melecehkanku,” ucapnya dengan suara yang pelan. Tidak ada suara lantang itu lagi. Kening Ansell Orlando Hadley langsung berkerut mendengar hal itu. Namun, tidak ada rasa khawatir sama sekali yang tergambar di wajahnya. Padahal putri tunggalnya baru saja mengatakan kalau ia dilecehkan oleh seseorang. “Dilecehkan?” tanya Ansell dingin. “Iya, Yah.” Calista semakin tertunduk mendengar suara ayahnya yang din
Calista duduk di depan bartender yang sibuk melayani pelanggan-pelanggan yang ada di bar itu. Tidak ada tempat mana pun yang terpikirkan oleh Calista setelah pergi dari rumahnya. “Mau minum apa nona cantik?” tanya barternder yang telah selesai melayani pelanggan lainnya. “Minuman dengan tingkat alkohol paling tinggi,” pinta Calista tanpa berpikir panjang pada bartender yang ada di depannya. “Baiklah, tunggu sebentar nona cantik. Aku akan segera menyiapkannya khusus untukmu.” Bartender itu tersenyum ramah pada Calista lalu dengan sigap menyiapkan pesanan Calista. Pertama-tama ia meletakkan sebuah gelas kaca kosong pada meja yang ada di depan Calista. Lalu ia mengambil sebotol whiskey dengan tingkat alkohol yang paling tinggi sesuai dengan permintaan Calista. “Tambah batu es atau tidak, nona cantik?” tanya bartender itu sembari menuangkan whiskey yang ada di botol ke dalam gelas. “Tidak usah,” ucap Calista dengan nada yang datar. Setelah mendapatkan anggukan dan senyuman ya
Calista mulai merasa gelisah karena badannya terasa cukup panas. Ia merasa kegerahan, ingin rasanya ia melepaskan semua pakaiannya agar tidak merasa kepanasan lagi. Ia pun tiba-tiba merasa haus akan sentuhan dari seseorang. “Panass,” keluh Calista pada pria yang sedang menggendongnya. “Bertahanlah dulu. Aku tau ini sulit, tapi kau akan menyesal nantinya jika melakukan hal yang bodoh sekarang.” Calista tidak mengerti sama sekali maksud dari ucapan pria ini. Ia pun memeluk erat lehernya dan memejamkan mata, berusaha mengabaikan rasa aneh yang ada di tubuhnya. Sesaat kemudian, ia kembali tidak sadarkan diri lagi. “Hey, bangun. Setidaknya beritahu aku dimana rumahmu terlebih dahulu.” Addison menepuk-nepuk pipi gadis cantik yang ditolongnya tadi dengan lembut. Addison telah membawa gadis cantik itu ke mobilnya. Namun, ia sudah tidak sadarkan diri dari beberapa menit yang lalu. Addison bingung kemana ia harus membawanya. “Jangan bawa aku pulang, aku tidak mau pulang.” Gadis cantik itu
“Kenapa kau masih disini?” Addison terkejut mendapati Aiden yang masih berdiri di depan kamar Calista. Ia tidak menyangka Aiden masih menungguinya di luar. “Kau berhutang penjelasan padaku.” Aiden menatapnya dengan tajam. “Baiklah-baiklah, tapi kau tidak berniat menyuruhku menjelaskannya di sini bukan?” “Ayo ke ruanganku saja.” Aiden baru sadar jika mereka masih berdiri di depan kamar Calista. Mereka pun pergi ke ruangan Aiden agar Addison bisa dengan nyaman menjelaskan apa yang sedang terjadi. “Aku menemukan gadis itu di bar, tempat pertemuan reuni kita.” Addison mulai bercerita pada Aiden setelah mereka sampai di ruangannya. “Awalnya aku memperhatikannya karena merasa sangat tertarik. Aku bahkan sampai berniat untuk mendekatinya.” “Wah, siapa wanita yang bisa membuat seorang Addison sampai merasa tertarik untuk mendekatinya itu? Apakah dia begitu istimewa sampai kau sendiri yang berniat untuk mendekatinya?” Aiden langsung menyela Addison dengan pertanyaan-pertanyann
Calista terbangun dengan rasa sakit yang menghantam kepalanya. Ingatan terakhirnya hanya sampai pada saat ia menari-nari seperti orang gila di bar yang ia kunjungi semalam. Untuk menjadi seseorang yang dewasa seperti yang ayahnya katakan. Calista mengacak-acak rambutnya, berusaha mengingat apa yang terjadi kemarin. Ia melihat ke sekeliling kamarnya dan menemukan sebuah dress dan minuman yang terlihat asing baginya. Di atas dress yang terlipat rapi itu, tertempel sebuah kertas yang kecil. Calista mengambil dan melihat isi tulisan dari kertas itu. “Hai, nona manis. Saat ini kau pasti sedang kebingungan. Kenapa kau bisa sampai berakhir dengan berada di kamar ini.” “Kemarin aku menolongmu dari pria yang hampir saja mengambil keuntungan darimu yang sedang mabuk dan tidak sadarkan diri. Jangan khawatir, aku tidak melakukan apa-apa padamu.” “Minumlah obat pengar yang aku taruh di atas nakas itu untuk meredakan sakit kepalamu.” Calista menatap minuman yang ada di nakas itu. Ternyat
Para tamu undangan mulai berdatangan memenuhi halaman belakang rumah Calista. Acara pertunangan yang diadakan secara dadakan oleh Addison tidak menemukan kegagalannya sama sekali.Addison sudah terbiasa untuk mempersiapkan berbagai acara semenjak jabatannya masih menjadi anak magang di perusahaan orang tuanya sendiri. Mempersiapkan acara dadakan seperti ini bukanlah masalah yang besar baginya.“Bi, kamar Calistanya dimana ya? Saya udah gak sabar, pengen lihat calon tunangan saya,” tanya Addison pada Bi Ina yang sibuk melayani para tamu undangan.“Di lantai dua den, cuman ada satu kamar di sana. Itu kamarnya non Calista,” jawab Bi Ina dengan senang hati memberitahukan letak kamar Calista.“Terimakasih Bi.” Dengan semangat yang menggebu-gebu Addison langsung menuju ke kamar Calista.Ketika Addison akan memasuki kamar Calista, ia tidak sengaja mendengar suara Ansell yang sedang berbicara pada Calista.Addison mengurungkan niatnya untuk melangkah lebih jauh lagi. Ia bersembunyi di balik va
Seluruh anggota keluarga Addison terlihat sangat senang mendengar kabar gembira yang dibawanya. Di acara ulang tahun Addison yang ke 27 tahun itu.Pesta ulang tahun Addison telah usai dari beberapa jam yang lalu. Para tamu undangan pun telah pergi dari Villa milik mereka. Menyisakan Addison dan keluarganya yang memilih untuk menginap di sana malam ini.Di sela-sela acaranya tadi. Addison mengumumkan pada khalayak ramai, bahwa ia akan melamar Calista. Untung saja Calista bisa ikut bekerja sama dengan tindakannya yang cukup mendadak itu.Tidak terbayangkan oleh Addison jika Calista kabur di tengah-tengah acara. Apalagi tepat pada saat ia sedang berbicara. Dengan maksud untuk melamar Calista. Karena ia tidak pernah menyetujui hal itu sebelumnya.“Oh, jadi karena ini kamu gak mau ketemu sama wanita yang udah mama jodohin sama kamu.” Erinna mengurungkan niatnya untuk memarahi Addison habis-habisan kali ini.Erinna sudah berencana untuk melakukan hal itu karena Addison tidak bisa menepati ja
Calista sudah siap dengan dress bermotif bunganya. Seperti yang sudah ia janjikan, malam ini ia akan ikut dengan ayahnya menghadiri pesta ulang tahun anak pertama keluarga Caldwell. Semenjak bertengkar dengan ayahnya malam itu. Calista tidak pernah lagi berbicara dengan ayahnya. “Non, Tuan Ansell telah menunggu di bawah.” Bi Ina menyadarkan Calista dari lamunannya. “Baik Bi, aku akan turun sebentar lagi.” Calista memasang aksesoris yang cocok dengan dress yang ia pakai sekarang. Kalung bermotif bunga daisy dan sepasang anting dengan motif yang sama. Setelah semua siap, Calista segera turun ke bawah. Ia tidak ingin berlama-lama agar ayahnya itu tidak marah padanya. Calista masih seseorang yang menumpang di rumah orang tuanya. Ia belum bisa memberikan balasan yang berarti bagi orang tuanya untuk semua jasa mereka. “Pastikan kau tidak membuat masalah di sana nanti,” ucap Ayah Calista ketika ia baru saja memasuki mobilnya. “Baik, tentu saja,” ucap Calista datar. Calista harus bisa
Kegusaran tampak jelas di wajah Addison. Dering teleponnya tetap berbunyi walaupun berkali-kali telah diabaikan. Penelpon yang keras kepala itu adalah ibunya sendiri. Addison sengaja tidak mengangkat telepon dari ibunya setelah membaca pesan yang ibunya kirimkan itu padanya. “Mama menemukan seorang wanita cantik dan baik untuk dijadikan istrimu. Mama telah mengatur pertemuan kalian berdua. Datang ke café xxx pukul 6 sore nanti yaa.” Addison hanya bisa geleng-geleng kepala setelah membaca pesan dari ibunya itu ketika ia baru saja selesai rapat. Addison mengira, ia mendapatkan pesan dari Calista. Sebagai sebuah hiburan setelah semua urusan pekerjaan yang sangat memusingkan ini. “ADDISON CALDWELL,” suara nyaring ibunya langsung memenuhi telinga Addison. Ia sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga. “Kenapa baru diangkat sekarang? Sudah puluhan kali mama telepon.” “Maaf mama cantik. Addison sedang rapat tadi. Baru aja selesai.” Daripada harus disembur dengan rasa marah ibunya. Addis
“Kenapa kamu bisa ada di sini?” tanya Ansell heran dengan kehadiran Addison di rumahnya.“Saya ada urusan dengan Calista om.”Addison sengaja tidak menggunakan bahasa formal. Walaupun perusahaannya dan perusahaan Ansell akan bekerja sama. Tetapi saat ini mereka tidak bertemu karena ada urusan bisnis.Selain itu, Addison juga ingin mendekatkan diri. Bagaimanapun, orang ini adalah ayah dari gadis yang disukainya.“Ternyata kamu kenal anak saya ya.” Ansell tersenyum canggung.“Iya om.”Addison dan Ansell pun berbincang masalah pekerjaan. Mereka juga membicarakan sedikit tentang kerja sama yang akan dilakukan.“Ayo pergi.” Calista menarik tangan Addison agar segera keluar.Perbincangan Addison dan Ansell tiba-tiba terinterupsi dengan kedatangan Calista. Calista tampak tidak peduli dengan Ansell yang sedang berbincang dengannya. Bahkan Calista menatap tajam Ansell dengan sorot penuh kebencian.“Kalau begitu permisi om.”Addison yang terkejut dengan Calista yang tiba-tiba menarik tangannya
“Addison?” tanya Calista pada pria yang tiba-tiba membawanya ke mobil hitam yang cukup mewah. Pria itu bersetelan jas rapi seperti seorang pekerja kantoran. “Darimana kamu tahu namaku?” tanya Addison balik bertanya. Addison tidak pernah memberitahukan namanya pada Calista. Bahkan di catatan yang ia tinggalkan untuknya pun, Addison hanya menyebut dirinya sebagai penyelamat. “Dari kakak tampan yang mencegatku pergi dari hotel tadi. Dia bilang kalian berteman.” “Oh, Aiden,” ucap Addison paham. “Makasih udah nyelamatin aku kemarin om, tapi maaf, aku sedang terburu-buru sekarang.” Calista tidak peduli menyebut Addison dengan panggilan om. Addison terlihat cukup tua. Umur mereka pasti terpaut cukup jauh “Kau menyebut Aiden dengan panggilan kakak, sedangkan menyebutku dengan panggilan om?” Mata elang Addison menatap tajam ke arah Calista. “Habisnya om terlihat cukup tua. Umur kita pasti beda jauh kan.” Calista hanya berkata jujur tentang apa yang dipikirkannya. “Lalu kenapa kau mema
Calista terbangun dengan rasa sakit yang menghantam kepalanya. Ingatan terakhirnya hanya sampai pada saat ia menari-nari seperti orang gila di bar yang ia kunjungi semalam. Untuk menjadi seseorang yang dewasa seperti yang ayahnya katakan. Calista mengacak-acak rambutnya, berusaha mengingat apa yang terjadi kemarin. Ia melihat ke sekeliling kamarnya dan menemukan sebuah dress dan minuman yang terlihat asing baginya. Di atas dress yang terlipat rapi itu, tertempel sebuah kertas yang kecil. Calista mengambil dan melihat isi tulisan dari kertas itu. “Hai, nona manis. Saat ini kau pasti sedang kebingungan. Kenapa kau bisa sampai berakhir dengan berada di kamar ini.” “Kemarin aku menolongmu dari pria yang hampir saja mengambil keuntungan darimu yang sedang mabuk dan tidak sadarkan diri. Jangan khawatir, aku tidak melakukan apa-apa padamu.” “Minumlah obat pengar yang aku taruh di atas nakas itu untuk meredakan sakit kepalamu.” Calista menatap minuman yang ada di nakas itu. Ternyat
“Kenapa kau masih disini?” Addison terkejut mendapati Aiden yang masih berdiri di depan kamar Calista. Ia tidak menyangka Aiden masih menungguinya di luar. “Kau berhutang penjelasan padaku.” Aiden menatapnya dengan tajam. “Baiklah-baiklah, tapi kau tidak berniat menyuruhku menjelaskannya di sini bukan?” “Ayo ke ruanganku saja.” Aiden baru sadar jika mereka masih berdiri di depan kamar Calista. Mereka pun pergi ke ruangan Aiden agar Addison bisa dengan nyaman menjelaskan apa yang sedang terjadi. “Aku menemukan gadis itu di bar, tempat pertemuan reuni kita.” Addison mulai bercerita pada Aiden setelah mereka sampai di ruangannya. “Awalnya aku memperhatikannya karena merasa sangat tertarik. Aku bahkan sampai berniat untuk mendekatinya.” “Wah, siapa wanita yang bisa membuat seorang Addison sampai merasa tertarik untuk mendekatinya itu? Apakah dia begitu istimewa sampai kau sendiri yang berniat untuk mendekatinya?” Aiden langsung menyela Addison dengan pertanyaan-pertanyann
Calista mulai merasa gelisah karena badannya terasa cukup panas. Ia merasa kegerahan, ingin rasanya ia melepaskan semua pakaiannya agar tidak merasa kepanasan lagi. Ia pun tiba-tiba merasa haus akan sentuhan dari seseorang. “Panass,” keluh Calista pada pria yang sedang menggendongnya. “Bertahanlah dulu. Aku tau ini sulit, tapi kau akan menyesal nantinya jika melakukan hal yang bodoh sekarang.” Calista tidak mengerti sama sekali maksud dari ucapan pria ini. Ia pun memeluk erat lehernya dan memejamkan mata, berusaha mengabaikan rasa aneh yang ada di tubuhnya. Sesaat kemudian, ia kembali tidak sadarkan diri lagi. “Hey, bangun. Setidaknya beritahu aku dimana rumahmu terlebih dahulu.” Addison menepuk-nepuk pipi gadis cantik yang ditolongnya tadi dengan lembut. Addison telah membawa gadis cantik itu ke mobilnya. Namun, ia sudah tidak sadarkan diri dari beberapa menit yang lalu. Addison bingung kemana ia harus membawanya. “Jangan bawa aku pulang, aku tidak mau pulang.” Gadis cantik itu