Ciuman Panas

Calista mulai merasa gelisah karena badannya terasa cukup panas. Ia merasa kegerahan, ingin rasanya ia melepaskan semua pakaiannya agar tidak merasa kepanasan lagi. Ia pun tiba-tiba merasa haus akan sentuhan dari seseorang.

“Panass,” keluh Calista pada pria yang sedang menggendongnya.

“Bertahanlah dulu. Aku tau ini sulit, tapi kau akan menyesal nantinya jika melakukan hal yang bodoh sekarang.”

Calista tidak mengerti sama sekali maksud dari ucapan pria ini. Ia pun memeluk erat lehernya dan memejamkan mata, berusaha mengabaikan rasa aneh yang ada di tubuhnya. Sesaat kemudian, ia kembali tidak sadarkan diri lagi.

“Hey, bangun. Setidaknya beritahu aku dimana rumahmu terlebih dahulu.” Addison menepuk-nepuk pipi gadis cantik yang ditolongnya tadi dengan lembut.

Addison telah membawa gadis cantik itu ke mobilnya. Namun, ia sudah tidak sadarkan diri dari beberapa menit yang lalu. Addison bingung kemana ia harus membawanya.

“Jangan bawa aku pulang, aku tidak mau pulang.”

Gadis cantik itu masih saja memejamkan matanya dan hanya meracau tidak jelas. Ia tidak memberikan jawaban yang Addison inginkan.

“Lalu kemana aku harus membawamu?” tanya Addison heran dengan jawaban gadis itu.

Karena tidak mendapatkan jawaban apapun, Addison memeriksa saku gadis itu. Barangkali ia menemukan sebuah dompet atau petunjuk apapun yang bisa digunakan untuk mengantar gadis itu pulang.

“Maaf, aku harus lancang seperti ini.” Addison memeriksa saku celana gadis itu dan menemukan sebuah dompet kecil di sana.

Addison membuka dompet itu. Dompet itu berisi kartu identitas, beberapa kartu atm, dan bahkan ada kartu pelajar. Ia sedikit heran, kenapa gadis ini masih menyimpan kartu pelajarnya.

Addison langsung saja memeriksa kartu identitas milik gadis itu. Calista Hadley. 25-01-2007. Addison cukup terkejut melihat tahun kelahirannya. Jika lahir pada 2007, berarti umur Calista saat ini baru terpaut 17 tahun.

“Panas…” Calista menyingsingkan baju kaosnya ke atas.

Addison yang melihat itu menegak ludahnya keras. Walaupun berniat hanya untuk menolong Calista, ia tetap saja seorang laki-laki normal yang sudah dewasa. Ia cukup tergoda melihat tubuh seksi Calista.

“Jangan lakukan ini.” Addison berusaha menghentikan Calista. Ia memperbaiki baju Calista seperti semula lagi.

Addison telah memperhatikan Calista semenjak ia duduk di bar sendirian dan turun ke lantai dansa. Matanya tidak pernah berhenti tertuju pada Calista. Addison menyukai sorot mata Calista yang terlihat sendu.

Awalnya, Addison hanya ingin memperhatikan Calista dari jauh. Tapi ketika seorang pria mendekati Calista lalu memberikan sebuah minuman padanya, ia mulai curiga jika pria itu berniat jahat pada Calista.

Firasat Addison ternyata benar ketika ia melihat Calista yang sudah tidak sadarkan diri lagi dipapah oleh pria itu. Ia tidak bisa berdiam diri saja melihat gadis yang ia sukai, dikerjai oleh pria yang bejat seperti itu.

Addison curiga pria itu telah menambahkan obat perangsang ke dalam minuman Calista. Meihat sikap dan tingkah laku Calista sedari tadi, sepertinya tebakan Addison benar.

“Sudah kubilang, aku kepanasan,” ucap Calista yang protes karena Addison memperbaiki bajunya. Ia berusaha untuk membuka bajunya lagi.

“Biar aku hidupkan AC. Jangan membuka bajumu sembarangan seperti itu.” Addison menghentikan tangan Calista yang hendak membuka bajunya.

Addison menghidupkan AC dengan suhu yang cukup rendah agar Calista tidak merasa kepanasan lagi. Sangat berbahaya jika ia membiarkan Calista bersamanya lebih lama lagi. Addison tidak bisa membiarkan Calista lebih lama lagi untuk bersama dengannya.

Karena tidak mengetahui alamat rumah Calista dengan jelas, Addison memilih untuk mengantarkannya ke hotel milik temannya saja. Ia tidak ingin lupa pada niatnya yang hanya ingin menolong Calista.

Addison juga hanyalah seorang pria dewasa yang normal. Jika ia bersama dengan Calista lebih lama lagi, ia tidak yakin pada dirinya sendiri untuk tidak mengambil keuntungan dari Calista.

“Bertahanlah seperti ini dahulu.” Addison memasangkan sabuk pengaman pada Calista dan langsung melajukan mobilnya ke hotel milik temannya, Aiden.

Addison mengabari Aiden untuk memberitahukan kedatangannya. Ia juga meminta tolong kepada Aiden untuk membuat sebuah reservasi suite room di hotel milik temannya itu.

“Aiden, tolong buatkan sebuah reservasi kamar suite room untukku. Segera,” ucap Addison dibalik telepon sana tanpa basa-basi setelah tersambung pada Aiden.

“Ceritakan padaku nanti apa yang terjadi.” Aiden tidak menanyakan alasannya karena Addison terlihat sangat terburu-buru.

Sesampainya mereka di hotel, Addison langsung saja membawa Calista ke kamar suite room yang telah disediakan oleh Aiden. Sahabatnya itu terkejut melihatnya membawa seorang wanita yang sedang mabuk.

Selama dua puluh tiga tahun berteman dengan Aiden, ia tidak pernah terlihat dekat dengan wanita manapun. Addison hanya mengabaikan tatapan bingung yang jelas tergambar di wajah Aiden.

Addison berlalu masuk ke dalam kamar dengan menggendong Calista yang meracau-racau tidak jelas. Dengan hati-hati, ia meletakkan tubuh Calista di kasur empuk yang ada di kamar itu. Lalu ia menyelimuti tubuh Calista agar tidak kedinginan nantinya.

Sayangnya, Calista malah merasa kepanasan karena diselimuti. Calista langsung menyingkirkan selimut yang tebal itu dari tubuhnya. Ketika Addison hendak berbalik meninggalkan Calista sendirian di ruangan itu, tangan Calista tiba-tiba saja mencegatnya.

Efek dari obat perangsang yang Calista minum tadi mungkin telah bekerja sepenuhnya. Hasrat seksual Calista tampak menggebu-gebu. Dengan agresif Calista mendorong tubuh Addison ke kasur tempat ia berbaring tadi.

Setelah berhasil menaiki tubuhnya, tanpa basa basi Calista mencium bibir Addison yang terlihat sangat menggoda. Tangan Calista juga meraba-raba dada bidang milik Addison seakan menginginkan hal yang lebih dari itu.

“Kamu yang mulai melakukannya padaku. Jangan menyesal jika sudah sadar nanti.” Addison melumat balik bibir Calista.

Untuk sesaat, Addison lupa pada niatnya. Ia menikmati ciumannya dengan Calista karena hawa nafsu mulai menguasai dirinya.

Addison juga sudah menduga jika hal ini akan terjadi. Tadinya, ia ingin segera meninggalkan ruangan ini sebelum Calista mulai menyerangnya seperti yang dilakukannya saat ini. Namun, sepertinya ia sudah terlambat.

“Tidak, aku tidak akan menyesal.” Calista lanjut mencium Addison dengan lebih agresif lagi.

Hal yang paling ditakutkan Addison bukanlah Calista yang sedang menyerangnya, tapi dirinya sendiri. Addison lebih takut pada dirinya sendiri yang mungkin saja tidak akan bisa mengendalikan nafsunya.

Jika hal itu terjadi, Addison tidak jauh berbeda dari pria bejat yang ingin mengerjai Calista. Sebelum hawa nafsu menguasai dirinya sepenuhnya, Addison segera mendorong tubuh Calista agar tersingkir dari tubuhnya dan terbaring di kasur kembali.

Setelah berhasil lepas dari Calista, ia segera keluar dari kamar itu agar tidak terjadi hal yang ia inginkan. Addison tidak munafik, dia sangat ingin melanjutkannya. Namun, ia merasa tidak tepat melakukan hal itu pada seorang gadis yang ia sukai.