Calista duduk di depan bartender yang sibuk melayani pelanggan-pelanggan yang ada di bar itu. Tidak ada tempat mana pun yang terpikirkan oleh Calista setelah pergi dari rumahnya.
“Mau minum apa nona cantik?” tanya barternder yang telah selesai melayani pelanggan lainnya.
“Minuman dengan tingkat alkohol paling tinggi,” pinta Calista tanpa berpikir panjang pada bartender yang ada di depannya.
“Baiklah, tunggu sebentar nona cantik. Aku akan segera menyiapkannya khusus untukmu.” Bartender itu tersenyum ramah pada Calista lalu dengan sigap menyiapkan pesanan Calista.
Pertama-tama ia meletakkan sebuah gelas kaca kosong pada meja yang ada di depan Calista. Lalu ia mengambil sebotol whiskey dengan tingkat alkohol yang paling tinggi sesuai dengan permintaan Calista.
“Tambah batu es atau tidak, nona cantik?” tanya bartender itu sembari menuangkan whiskey yang ada di botol ke dalam gelas.
“Tidak usah,” ucap Calista dengan nada yang datar.
Setelah mendapatkan anggukan dan senyuman yang ramah dari pelayan itu, ia langsung saja menenggak minumannya. Seketika rasa pahit langsung menjalar di lidah Calista. Minuman itu mengalir langsung di kerongkongannya.
Kerongkongan Calista terasa sangat panas seperti seakan-akan terbakar. Namun, Rasa pahit dan panas dari minuman itu tidak menghentikan Calista untuk mencobanya lagi dan lagi. Pada tegukan kelima, ia kehilangan setengah kesadarannya.
Calista sudah muak dengan perlakuan orangtuanya padanya. Walaupun ini pertama kalinya ia ke bar, Calista tidak merasa takut dan khawatir sama sekali. Ia sudah pasrah dengan apapun yang akan terjadi padanya.
Dalam keadaan yang masih setengah sadar, Calista bergabung dengan orang-orang yang meliuk-liuk di lantai dansa. Calista menggerakan tubuhnya sesuai dengan dentuman musik yang dimainkan DJ di atas sana.
Sesaat setelah Calista bergabung di lantai dansa, pria hidung belang langsung merapat ke arahnya. Pria-pria hidung belang itu tidak segan-segan dengan sengaja menyudutkan tubuh Calista untuk sekedar merasakan kulit mulusnya.
“Sendiri saja cantik?” tanya salah satu pria yang memang sudah mengincar Calista.
“Iya, tentu saja,” jawab Calista tanpa memikirkan konsekuensi apa yang akan terjadi padanya setelah ini.
Calista yang memang sudah tidak peduli sama sekali dengan dirinya, hanya mengabaikan hal itu. Ia tetap asik menggerakkan tubuhnya mengikuti dentuman musik yang semakin bersemangat.
“Mau minum?” pria itu menyodorkan minuman yang ia pegang di tangannya pada Calista.
Tanpa pikir panjang, Calista menegak minuman yang diberikan pria itu dengan santai. Setelah meminumnya, Calista merasa seluruh tubuhnya gerah kepanasan. Padahal ia mengenakan baju yang cukup terbuka, tapi entah kenapa ia tetap merasa kepanasan.
Tanpa sepengetahuan Calista, pria yang tadi memberikan minuman padanya telah menambahkan obat perangsang di munuman itu. Karena itu Calista merasa gerah dan kepanasan meski pakaiannya terbuka.
Calista menghiraukan rasa tidak nyaman yang terjadi pada tubuhnya. Pria yang tadi menawarkan minuman padanya hanya tersenyum seolah tidak melakukan apa-apa.
“Rumahmu dimana?” tanya pria itu mencoba untuk mendekati Calista.
“Kenapa? Jika kau ingin mengantarku ke rumah, tidak usah. Terimakasih. Aku tidak ingin pulang hari ini.”
Respon dari Calista malah ditangkap sebagai lampu hijau oleh pria bejat yang ingin bermaksud jahat padanya. Padahal Calista hanya mengatakan apa yang sebenarnya. Ia tidak bermaksud yang lain dengan mengatakan hal itu.
“Baguslah. Ini, minum lagi” Pria itu menyodorkan botol minuman yang masih belum ditegak habis oleh Calista tadi.
Calista sedikit curiga dengan senyuman pria yang sedang menawarinya minuman ini. Seakan ada maksud yang tersirat dari sana. Namun, karena pikirannya sedang tidak jernih. Ia hanya mengabaikan hal itu.
Calista menegak habis minuman yang diberikan pria itu. Sesaat kemudian, kepalanya terasa sangat berat. Calista tidak bisa mempertahankan kesadaran dirinya lagi. Ia pun jatuh ke pundak pria itu.
Sebelum kehilangan kesadarannya, Calista merasa ada seseorang yang menggiringnya menjauh dari lantai dansa. Suara musik pun perlahan-lahan menghilang dari pendengarannya. Calista kehilangan kesadaran sepenuhnya.
“Hey bro, dia adikku. Kemana kau akan membawanya?”
Suara serak dari seorang pria yang mengakuinya sebagai adik mengembalikan kesadarannya. Samar-samar Calista bisa mendengar percakapan antara dua orang pria.
Calista baru menyadari ia sedang di papah oleh pria yang menawarinya minuman tadi. Sesaat, ia merasa menyesal telah menerima minuman dari orang yang tidak dikenal begitu saja.
“Tadi dia terlihat tidak sadarkan diri. Aku hanya ingin menolongnya,” jelas pria itu berdalih dari maksud jahatnya.
Calista bisa merasakan getaran ketakutan dari pria yang sedang memapahnya saat ini. Dengan segenap tenaga, ia berusaha untuk mengumpulkan kesadarannya kembali. Ia penasaran dengan pria yang sedang menghadang mereka saat ini.
Di depan sana Calista bisa melihat seorang pria berkemeja hitam dengan tubuh yang tegap dan tinggi. Lebih tinggi dari pria yang sedang memapahnya ini.
“Niat baikmu cukup sampai di sini saja, sekarang serahkan dia padaku. Aku akan mengurusnya setelah ini.” Pria itu memasang tampang yang sangar agar pria bejat ini segera menyingkir dari hadapannya.
Pria yang memapah Calista tadi langsung kabur menjauh dari mereka setelah menyerahkan dirinya pada pria itu. Ia dirangkul dengan hati-hati oleh tangannya yang kekar.
“Apa kau bisa jalan sendiri?” tanya tanya pria itu untuk memastikan.
“Tidak.” Calista menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia bahkan tidak tahu apakah kakinya masih berpijak atau tidak.
Dengan cekatan pria itu menggendong Calista ala brydal style. Calista bisa mencium aroma harum yang maskulin dari tubuhnya. Obat perangsang yang diberikan pada minuman Calista tadi, mulai sedikit bekerja saat ini.
“Ada apa?” tanya pria itu pada Calista yang menyentuh dada bidangnya.
“Tidak ada, tiba-tiba aku hanya ingin menyentuh dada bidangmu ini. Terlihat sangat menggoda.” Calista mulai sedikit bergairah pada pria yang sedang menggendongnya itu.
Pria berhidung mancung, dengan mata tajam seperti elang itu terlihat begitu menarik di mata Calista. Ditambah dengan tubuhnya yang tegap dan cukup atletis. Otot-otot di tubuhnya itu seakan menggoda Calista untuk menyentuhnya.
“Hentikan perbuatanmu. Atau kau akan menyesal telah melakukan hal ini padaku.”
Calista mulai merasa gelisah karena badannya terasa cukup panas. Ia merasa kegerahan, ingin rasanya ia melepaskan semua pakaiannya agar tidak merasa kepanasan lagi. Ia pun tiba-tiba merasa haus akan sentuhan dari seseorang. “Panass,” keluh Calista pada pria yang sedang menggendongnya. “Bertahanlah dulu. Aku tau ini sulit, tapi kau akan menyesal nantinya jika melakukan hal yang bodoh sekarang.” Calista tidak mengerti sama sekali maksud dari ucapan pria ini. Ia pun memeluk erat lehernya dan memejamkan mata, berusaha mengabaikan rasa aneh yang ada di tubuhnya. Sesaat kemudian, ia kembali tidak sadarkan diri lagi. “Hey, bangun. Setidaknya beritahu aku dimana rumahmu terlebih dahulu.” Addison menepuk-nepuk pipi gadis cantik yang ditolongnya tadi dengan lembut. Addison telah membawa gadis cantik itu ke mobilnya. Namun, ia sudah tidak sadarkan diri dari beberapa menit yang lalu. Addison bingung kemana ia harus membawanya. “Jangan bawa aku pulang, aku tidak mau pulang.” Gadis cantik itu
“Kenapa kau masih disini?” Addison terkejut mendapati Aiden yang masih berdiri di depan kamar Calista. Ia tidak menyangka Aiden masih menungguinya di luar. “Kau berhutang penjelasan padaku.” Aiden menatapnya dengan tajam. “Baiklah-baiklah, tapi kau tidak berniat menyuruhku menjelaskannya di sini bukan?” “Ayo ke ruanganku saja.” Aiden baru sadar jika mereka masih berdiri di depan kamar Calista. Mereka pun pergi ke ruangan Aiden agar Addison bisa dengan nyaman menjelaskan apa yang sedang terjadi. “Aku menemukan gadis itu di bar, tempat pertemuan reuni kita.” Addison mulai bercerita pada Aiden setelah mereka sampai di ruangannya. “Awalnya aku memperhatikannya karena merasa sangat tertarik. Aku bahkan sampai berniat untuk mendekatinya.” “Wah, siapa wanita yang bisa membuat seorang Addison sampai merasa tertarik untuk mendekatinya itu? Apakah dia begitu istimewa sampai kau sendiri yang berniat untuk mendekatinya?” Aiden langsung menyela Addison dengan pertanyaan-pertanyann
Calista terbangun dengan rasa sakit yang menghantam kepalanya. Ingatan terakhirnya hanya sampai pada saat ia menari-nari seperti orang gila di bar yang ia kunjungi semalam. Untuk menjadi seseorang yang dewasa seperti yang ayahnya katakan. Calista mengacak-acak rambutnya, berusaha mengingat apa yang terjadi kemarin. Ia melihat ke sekeliling kamarnya dan menemukan sebuah dress dan minuman yang terlihat asing baginya. Di atas dress yang terlipat rapi itu, tertempel sebuah kertas yang kecil. Calista mengambil dan melihat isi tulisan dari kertas itu. “Hai, nona manis. Saat ini kau pasti sedang kebingungan. Kenapa kau bisa sampai berakhir dengan berada di kamar ini.” “Kemarin aku menolongmu dari pria yang hampir saja mengambil keuntungan darimu yang sedang mabuk dan tidak sadarkan diri. Jangan khawatir, aku tidak melakukan apa-apa padamu.” “Minumlah obat pengar yang aku taruh di atas nakas itu untuk meredakan sakit kepalamu.” Calista menatap minuman yang ada di nakas itu. Ternyat
“Addison?” tanya Calista pada pria yang tiba-tiba membawanya ke mobil hitam yang cukup mewah. Pria itu bersetelan jas rapi seperti seorang pekerja kantoran. “Darimana kamu tahu namaku?” tanya Addison balik bertanya. Addison tidak pernah memberitahukan namanya pada Calista. Bahkan di catatan yang ia tinggalkan untuknya pun, Addison hanya menyebut dirinya sebagai penyelamat. “Dari kakak tampan yang mencegatku pergi dari hotel tadi. Dia bilang kalian berteman.” “Oh, Aiden,” ucap Addison paham. “Makasih udah nyelamatin aku kemarin om, tapi maaf, aku sedang terburu-buru sekarang.” Calista tidak peduli menyebut Addison dengan panggilan om. Addison terlihat cukup tua. Umur mereka pasti terpaut cukup jauh “Kau menyebut Aiden dengan panggilan kakak, sedangkan menyebutku dengan panggilan om?” Mata elang Addison menatap tajam ke arah Calista. “Habisnya om terlihat cukup tua. Umur kita pasti beda jauh kan.” Calista hanya berkata jujur tentang apa yang dipikirkannya. “Lalu kenapa kau mema
“Kenapa kamu bisa ada di sini?” tanya Ansell heran dengan kehadiran Addison di rumahnya.“Saya ada urusan dengan Calista om.”Addison sengaja tidak menggunakan bahasa formal. Walaupun perusahaannya dan perusahaan Ansell akan bekerja sama. Tetapi saat ini mereka tidak bertemu karena ada urusan bisnis.Selain itu, Addison juga ingin mendekatkan diri. Bagaimanapun, orang ini adalah ayah dari gadis yang disukainya.“Ternyata kamu kenal anak saya ya.” Ansell tersenyum canggung.“Iya om.”Addison dan Ansell pun berbincang masalah pekerjaan. Mereka juga membicarakan sedikit tentang kerja sama yang akan dilakukan.“Ayo pergi.” Calista menarik tangan Addison agar segera keluar.Perbincangan Addison dan Ansell tiba-tiba terinterupsi dengan kedatangan Calista. Calista tampak tidak peduli dengan Ansell yang sedang berbincang dengannya. Bahkan Calista menatap tajam Ansell dengan sorot penuh kebencian.“Kalau begitu permisi om.”Addison yang terkejut dengan Calista yang tiba-tiba menarik tangannya
Kegusaran tampak jelas di wajah Addison. Dering teleponnya tetap berbunyi walaupun berkali-kali telah diabaikan. Penelpon yang keras kepala itu adalah ibunya sendiri. Addison sengaja tidak mengangkat telepon dari ibunya setelah membaca pesan yang ibunya kirimkan itu padanya. “Mama menemukan seorang wanita cantik dan baik untuk dijadikan istrimu. Mama telah mengatur pertemuan kalian berdua. Datang ke café xxx pukul 6 sore nanti yaa.” Addison hanya bisa geleng-geleng kepala setelah membaca pesan dari ibunya itu ketika ia baru saja selesai rapat. Addison mengira, ia mendapatkan pesan dari Calista. Sebagai sebuah hiburan setelah semua urusan pekerjaan yang sangat memusingkan ini. “ADDISON CALDWELL,” suara nyaring ibunya langsung memenuhi telinga Addison. Ia sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga. “Kenapa baru diangkat sekarang? Sudah puluhan kali mama telepon.” “Maaf mama cantik. Addison sedang rapat tadi. Baru aja selesai.” Daripada harus disembur dengan rasa marah ibunya. Addis
Calista sudah siap dengan dress bermotif bunganya. Seperti yang sudah ia janjikan, malam ini ia akan ikut dengan ayahnya menghadiri pesta ulang tahun anak pertama keluarga Caldwell. Semenjak bertengkar dengan ayahnya malam itu. Calista tidak pernah lagi berbicara dengan ayahnya. “Non, Tuan Ansell telah menunggu di bawah.” Bi Ina menyadarkan Calista dari lamunannya. “Baik Bi, aku akan turun sebentar lagi.” Calista memasang aksesoris yang cocok dengan dress yang ia pakai sekarang. Kalung bermotif bunga daisy dan sepasang anting dengan motif yang sama. Setelah semua siap, Calista segera turun ke bawah. Ia tidak ingin berlama-lama agar ayahnya itu tidak marah padanya. Calista masih seseorang yang menumpang di rumah orang tuanya. Ia belum bisa memberikan balasan yang berarti bagi orang tuanya untuk semua jasa mereka. “Pastikan kau tidak membuat masalah di sana nanti,” ucap Ayah Calista ketika ia baru saja memasuki mobilnya. “Baik, tentu saja,” ucap Calista datar. Calista harus bisa
Seluruh anggota keluarga Addison terlihat sangat senang mendengar kabar gembira yang dibawanya. Di acara ulang tahun Addison yang ke 27 tahun itu.Pesta ulang tahun Addison telah usai dari beberapa jam yang lalu. Para tamu undangan pun telah pergi dari Villa milik mereka. Menyisakan Addison dan keluarganya yang memilih untuk menginap di sana malam ini.Di sela-sela acaranya tadi. Addison mengumumkan pada khalayak ramai, bahwa ia akan melamar Calista. Untung saja Calista bisa ikut bekerja sama dengan tindakannya yang cukup mendadak itu.Tidak terbayangkan oleh Addison jika Calista kabur di tengah-tengah acara. Apalagi tepat pada saat ia sedang berbicara. Dengan maksud untuk melamar Calista. Karena ia tidak pernah menyetujui hal itu sebelumnya.“Oh, jadi karena ini kamu gak mau ketemu sama wanita yang udah mama jodohin sama kamu.” Erinna mengurungkan niatnya untuk memarahi Addison habis-habisan kali ini.Erinna sudah berencana untuk melakukan hal itu karena Addison tidak bisa menepati ja
Para tamu undangan mulai berdatangan memenuhi halaman belakang rumah Calista. Acara pertunangan yang diadakan secara dadakan oleh Addison tidak menemukan kegagalannya sama sekali.Addison sudah terbiasa untuk mempersiapkan berbagai acara semenjak jabatannya masih menjadi anak magang di perusahaan orang tuanya sendiri. Mempersiapkan acara dadakan seperti ini bukanlah masalah yang besar baginya.“Bi, kamar Calistanya dimana ya? Saya udah gak sabar, pengen lihat calon tunangan saya,” tanya Addison pada Bi Ina yang sibuk melayani para tamu undangan.“Di lantai dua den, cuman ada satu kamar di sana. Itu kamarnya non Calista,” jawab Bi Ina dengan senang hati memberitahukan letak kamar Calista.“Terimakasih Bi.” Dengan semangat yang menggebu-gebu Addison langsung menuju ke kamar Calista.Ketika Addison akan memasuki kamar Calista, ia tidak sengaja mendengar suara Ansell yang sedang berbicara pada Calista.Addison mengurungkan niatnya untuk melangkah lebih jauh lagi. Ia bersembunyi di balik va
Seluruh anggota keluarga Addison terlihat sangat senang mendengar kabar gembira yang dibawanya. Di acara ulang tahun Addison yang ke 27 tahun itu.Pesta ulang tahun Addison telah usai dari beberapa jam yang lalu. Para tamu undangan pun telah pergi dari Villa milik mereka. Menyisakan Addison dan keluarganya yang memilih untuk menginap di sana malam ini.Di sela-sela acaranya tadi. Addison mengumumkan pada khalayak ramai, bahwa ia akan melamar Calista. Untung saja Calista bisa ikut bekerja sama dengan tindakannya yang cukup mendadak itu.Tidak terbayangkan oleh Addison jika Calista kabur di tengah-tengah acara. Apalagi tepat pada saat ia sedang berbicara. Dengan maksud untuk melamar Calista. Karena ia tidak pernah menyetujui hal itu sebelumnya.“Oh, jadi karena ini kamu gak mau ketemu sama wanita yang udah mama jodohin sama kamu.” Erinna mengurungkan niatnya untuk memarahi Addison habis-habisan kali ini.Erinna sudah berencana untuk melakukan hal itu karena Addison tidak bisa menepati ja
Calista sudah siap dengan dress bermotif bunganya. Seperti yang sudah ia janjikan, malam ini ia akan ikut dengan ayahnya menghadiri pesta ulang tahun anak pertama keluarga Caldwell. Semenjak bertengkar dengan ayahnya malam itu. Calista tidak pernah lagi berbicara dengan ayahnya. “Non, Tuan Ansell telah menunggu di bawah.” Bi Ina menyadarkan Calista dari lamunannya. “Baik Bi, aku akan turun sebentar lagi.” Calista memasang aksesoris yang cocok dengan dress yang ia pakai sekarang. Kalung bermotif bunga daisy dan sepasang anting dengan motif yang sama. Setelah semua siap, Calista segera turun ke bawah. Ia tidak ingin berlama-lama agar ayahnya itu tidak marah padanya. Calista masih seseorang yang menumpang di rumah orang tuanya. Ia belum bisa memberikan balasan yang berarti bagi orang tuanya untuk semua jasa mereka. “Pastikan kau tidak membuat masalah di sana nanti,” ucap Ayah Calista ketika ia baru saja memasuki mobilnya. “Baik, tentu saja,” ucap Calista datar. Calista harus bisa
Kegusaran tampak jelas di wajah Addison. Dering teleponnya tetap berbunyi walaupun berkali-kali telah diabaikan. Penelpon yang keras kepala itu adalah ibunya sendiri. Addison sengaja tidak mengangkat telepon dari ibunya setelah membaca pesan yang ibunya kirimkan itu padanya. “Mama menemukan seorang wanita cantik dan baik untuk dijadikan istrimu. Mama telah mengatur pertemuan kalian berdua. Datang ke café xxx pukul 6 sore nanti yaa.” Addison hanya bisa geleng-geleng kepala setelah membaca pesan dari ibunya itu ketika ia baru saja selesai rapat. Addison mengira, ia mendapatkan pesan dari Calista. Sebagai sebuah hiburan setelah semua urusan pekerjaan yang sangat memusingkan ini. “ADDISON CALDWELL,” suara nyaring ibunya langsung memenuhi telinga Addison. Ia sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga. “Kenapa baru diangkat sekarang? Sudah puluhan kali mama telepon.” “Maaf mama cantik. Addison sedang rapat tadi. Baru aja selesai.” Daripada harus disembur dengan rasa marah ibunya. Addis
“Kenapa kamu bisa ada di sini?” tanya Ansell heran dengan kehadiran Addison di rumahnya.“Saya ada urusan dengan Calista om.”Addison sengaja tidak menggunakan bahasa formal. Walaupun perusahaannya dan perusahaan Ansell akan bekerja sama. Tetapi saat ini mereka tidak bertemu karena ada urusan bisnis.Selain itu, Addison juga ingin mendekatkan diri. Bagaimanapun, orang ini adalah ayah dari gadis yang disukainya.“Ternyata kamu kenal anak saya ya.” Ansell tersenyum canggung.“Iya om.”Addison dan Ansell pun berbincang masalah pekerjaan. Mereka juga membicarakan sedikit tentang kerja sama yang akan dilakukan.“Ayo pergi.” Calista menarik tangan Addison agar segera keluar.Perbincangan Addison dan Ansell tiba-tiba terinterupsi dengan kedatangan Calista. Calista tampak tidak peduli dengan Ansell yang sedang berbincang dengannya. Bahkan Calista menatap tajam Ansell dengan sorot penuh kebencian.“Kalau begitu permisi om.”Addison yang terkejut dengan Calista yang tiba-tiba menarik tangannya
“Addison?” tanya Calista pada pria yang tiba-tiba membawanya ke mobil hitam yang cukup mewah. Pria itu bersetelan jas rapi seperti seorang pekerja kantoran. “Darimana kamu tahu namaku?” tanya Addison balik bertanya. Addison tidak pernah memberitahukan namanya pada Calista. Bahkan di catatan yang ia tinggalkan untuknya pun, Addison hanya menyebut dirinya sebagai penyelamat. “Dari kakak tampan yang mencegatku pergi dari hotel tadi. Dia bilang kalian berteman.” “Oh, Aiden,” ucap Addison paham. “Makasih udah nyelamatin aku kemarin om, tapi maaf, aku sedang terburu-buru sekarang.” Calista tidak peduli menyebut Addison dengan panggilan om. Addison terlihat cukup tua. Umur mereka pasti terpaut cukup jauh “Kau menyebut Aiden dengan panggilan kakak, sedangkan menyebutku dengan panggilan om?” Mata elang Addison menatap tajam ke arah Calista. “Habisnya om terlihat cukup tua. Umur kita pasti beda jauh kan.” Calista hanya berkata jujur tentang apa yang dipikirkannya. “Lalu kenapa kau mema
Calista terbangun dengan rasa sakit yang menghantam kepalanya. Ingatan terakhirnya hanya sampai pada saat ia menari-nari seperti orang gila di bar yang ia kunjungi semalam. Untuk menjadi seseorang yang dewasa seperti yang ayahnya katakan. Calista mengacak-acak rambutnya, berusaha mengingat apa yang terjadi kemarin. Ia melihat ke sekeliling kamarnya dan menemukan sebuah dress dan minuman yang terlihat asing baginya. Di atas dress yang terlipat rapi itu, tertempel sebuah kertas yang kecil. Calista mengambil dan melihat isi tulisan dari kertas itu. “Hai, nona manis. Saat ini kau pasti sedang kebingungan. Kenapa kau bisa sampai berakhir dengan berada di kamar ini.” “Kemarin aku menolongmu dari pria yang hampir saja mengambil keuntungan darimu yang sedang mabuk dan tidak sadarkan diri. Jangan khawatir, aku tidak melakukan apa-apa padamu.” “Minumlah obat pengar yang aku taruh di atas nakas itu untuk meredakan sakit kepalamu.” Calista menatap minuman yang ada di nakas itu. Ternyat
“Kenapa kau masih disini?” Addison terkejut mendapati Aiden yang masih berdiri di depan kamar Calista. Ia tidak menyangka Aiden masih menungguinya di luar. “Kau berhutang penjelasan padaku.” Aiden menatapnya dengan tajam. “Baiklah-baiklah, tapi kau tidak berniat menyuruhku menjelaskannya di sini bukan?” “Ayo ke ruanganku saja.” Aiden baru sadar jika mereka masih berdiri di depan kamar Calista. Mereka pun pergi ke ruangan Aiden agar Addison bisa dengan nyaman menjelaskan apa yang sedang terjadi. “Aku menemukan gadis itu di bar, tempat pertemuan reuni kita.” Addison mulai bercerita pada Aiden setelah mereka sampai di ruangannya. “Awalnya aku memperhatikannya karena merasa sangat tertarik. Aku bahkan sampai berniat untuk mendekatinya.” “Wah, siapa wanita yang bisa membuat seorang Addison sampai merasa tertarik untuk mendekatinya itu? Apakah dia begitu istimewa sampai kau sendiri yang berniat untuk mendekatinya?” Aiden langsung menyela Addison dengan pertanyaan-pertanyann
Calista mulai merasa gelisah karena badannya terasa cukup panas. Ia merasa kegerahan, ingin rasanya ia melepaskan semua pakaiannya agar tidak merasa kepanasan lagi. Ia pun tiba-tiba merasa haus akan sentuhan dari seseorang. “Panass,” keluh Calista pada pria yang sedang menggendongnya. “Bertahanlah dulu. Aku tau ini sulit, tapi kau akan menyesal nantinya jika melakukan hal yang bodoh sekarang.” Calista tidak mengerti sama sekali maksud dari ucapan pria ini. Ia pun memeluk erat lehernya dan memejamkan mata, berusaha mengabaikan rasa aneh yang ada di tubuhnya. Sesaat kemudian, ia kembali tidak sadarkan diri lagi. “Hey, bangun. Setidaknya beritahu aku dimana rumahmu terlebih dahulu.” Addison menepuk-nepuk pipi gadis cantik yang ditolongnya tadi dengan lembut. Addison telah membawa gadis cantik itu ke mobilnya. Namun, ia sudah tidak sadarkan diri dari beberapa menit yang lalu. Addison bingung kemana ia harus membawanya. “Jangan bawa aku pulang, aku tidak mau pulang.” Gadis cantik itu