Share

2

Penulis: Airyline
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-28 12:53:10

Bab 2

Langkah kaki mereka berpacu di jalan setapak yang gelap, diterangi hanya oleh sinar merah bulan purnama. Di belakang mereka, suara langkah-langkah berat terus mengikuti, disertai jeritan bayi yang melengking menusuk telinga. Suara itu tidak berkurang, meski mereka sudah jauh meninggalkan rumah Pak Surya.

“Bima, mereka semakin dekat!” Lila hampir tersandung, napasnya tersengal-sengal.

“Terus lari! Jangan lihat ke belakang!” Bima menggenggam tangan Lila erat, memaksanya untuk tetap bergerak. Tapi ia sendiri mulai merasakan dingin yang tidak wajar menjalar ke tulang-tulangnya.

Di tengah jalan, angin berembus kencang, membawa bisikan lirih yang semakin jelas:

“Janji... tak bisa dilanggar... darah harus dibayar...”

Mereka akhirnya tiba di tepi desa, di sebuah persimpangan yang bercabang ke hutan lebat. Lila terhenti, menatap jalan setapak yang kini hanya berupa bayangan hitam pekat di antara pepohonan tinggi.

“Kita harus ke mana?” tanyanya panik.

Bima mengeluarkan kertas tua yang diberikan oleh Pak Surya sebelum mereka pergi. Gambar lingkaran dengan simbol-simbol aneh tergores di sana, bersama sebuah kalimat: "Di tempat akar pertama tertanam, di sana perjanjian ditulis."

“Tempat akar pertama...” gumam Bima. “Mungkin pohon tua di ujung hutan ini. Kakek sering menyebutnya sebagai tempat asal keluarga kita.”

“Pohon itu? Pohon yang katanya tidak pernah mati, meski ditebang?” Lila teringat cerita lama tentang pohon raksasa yang disebut warga desa sebagai "Pohon Leluhur."

Belum sempat mereka memutuskan, suara langkah-langkah itu semakin mendekat. Dari balik kegelapan, bayangan-bayangan mulai muncul, satu demi satu. Mereka tidak berbentuk manusia sepenuhnya, terlihat seperti makhluk tinggi dengan tubuh yang menggeliat, seolah bayangan itu hidup sendiri. Mata mereka bersinar merah, seperti mata makhluk yang mereka lihat di gudang.

“Kita tidak punya waktu. Ke pohon itu sekarang!” Bima menarik Lila dan berlari ke dalam hutan.

Di Dalam Hutan

Hutan itu terasa seperti tempat lain, jauh dari dunia nyata. Udara dingin menusuk, dan setiap langkah mereka memecahkan ranting-ranting kering yang terdengar terlalu keras. Suara dari bayangan-bayangan itu terus mendekat, disertai suara tangisan bayi yang semakin menggema.

Lila mulai mendengar sesuatu yang lain, bisikan di telinganya, pelan tapi sangat jelas.

“Kembalikan dia pada kami... atau kalian akan kehilangan semuanya...”

Ia berhenti mendadak, membuat Bima menoleh dengan cemas. “Kenapa berhenti?”

“Aku... aku merasa mereka ada di mana-mana. Mereka tidak hanya mengejar kita... mereka ada di sini.”

Bima menatap sekeliling, dan baru menyadari bahwa hutan itu semakin gelap, meski bulan masih bersinar di atas. Pepohonan di sekitar mereka tampak bergerak, bayangannya membesar seolah ingin menangkap mereka.

Kemudian, mereka melihatnya, Pohon Leluhur. Pohon itu besar, lebih besar dari yang pernah mereka bayangkan. Kulitnya hitam, penuh dengan goresan simbol-simbol aneh yang terlihat seperti luka. Di bawah akar-akar raksasanya, tanah tampak merah gelap, seolah berlumuran darah yang sudah mengering.

Di tengah lingkaran akar itu, mereka melihat sesuatu yang membuat darah mereka membeku. Bayi mereka, Arga, terbaring di sana. Matanya terbuka, tapi wajahnya kosong, tanpa ekspresi. Di sekelilingnya, bayangan-bayangan itu bergerak mendekat, membentuk lingkaran.

“Arga!” Lila berlari mendekat, tapi Bima menahannya.

“Jangan! Ini jebakan!”

Bayangan-bayangan itu mulai berbicara bersamaan, suara mereka seperti ribuan suara tumpang tindih.

“Janji harus ditepati. Satu tumbal... atau seluruh keluarga kalian akan jatuh.”

Bima menatap Lila dengan putus asa. Mereka harus membuat pilihan: menyerahkan Arga untuk menyelamatkan keluarga mereka, atau melawan sesuatu yang tidak mereka pahami.

Di saat itu, suara dari dalam kepala mereka terdengar lebih jelas:

“Ada cara untuk memutuskan ini... tapi kalian harus menyerahkan jiwa kalian sendiri.”

“Jiwa kami...?” Lila bertanya dengan suara bergetar, matanya terus tertuju pada tubuh kecil Arga yang terbaring di tengah lingkaran akar.

“Kehidupan untuk kehidupan. Jiwa untuk memutus rantai darah. Itu harga yang harus kalian bayar.” Suara itu menggema, datang dari bayangan-bayangan yang terus mendekat.

Bima memegang tangan Lila erat. “Tidak ada jaminan mereka akan berhenti, Lila. Jika kita menyerahkan Arga, mereka bisa saja terus menuntut lebih.”

“Tapi... kalau kita melawan mereka, bagaimana kalau kita kehilangan segalanya? Aku tidak sanggup, Bima.” Air mata Lila mengalir deras.

Di tengah kepanikan mereka, pohon besar itu mulai bergerak. Akar-akar di bawahnya bergeser, menciptakan suara seperti tulang patah. Dari dalam tanah, sesuatu mulai muncul sebuah peti kayu tua, terukir simbol-simbol serupa dengan yang ada di kulit pohon.

“Buka peti itu,” kata suara dari bayangan, tajam dan dingin. “Di dalamnya, kalian akan menemukan jawaban. Tapi ingat, setiap pilihan ada harganya.”

Bima mendekati peti dengan hati-hati, tangan gemetar saat ia menyentuh permukaannya yang kasar. Lila memegang lengannya. “Bima, jangan. Ini bisa jebakan.”

“Kita tidak punya pilihan, Lila.” Dengan satu tarikan napas panjang, Bima membuka peti itu.

Di dalamnya ada sebuah pisau ritual dengan gagang yang terbuat dari tulang, serta sebuah buku yang halaman-halamannya sudah usang. Di halaman pertama, tertulis dengan tinta merah tua: "Hanya darah keluarga yang bisa memutus perjanjian ini."

“Apa maksudnya?” Lila berbisik.

Bima membaca lebih jauh, suaranya serak saat menjelaskan. “Kita bisa memutus kutukan ini dengan satu pengorbanan terakhir darah dari garis keturunan langsung keluarga kita. Bukan Arga, tapi... aku, atau kamu.”

Kata-kata itu seperti pukulan keras di dada mereka. Lila mundur beberapa langkah, gemetar. “Tidak... ini tidak mungkin.”

“Pilihlah,” suara bayangan semakin mendesak. “Atau kalian semua akan kami ambil.”

Tiba-tiba, jeritan Arga terdengar. Tubuh kecilnya melengkung seperti sedang kesakitan, dan lingkaran akar di sekelilingnya mulai menyala dengan cahaya merah menyilaukan. Lila berlari mendekat, tapi sebuah akar besar muncul dari tanah, menghentikannya.

“Lila, aku akan melakukannya,” kata Bima dengan suara tegas. “Aku yang akan memutus ini. Aku yang akan menyerahkan diri.”

“Tidak!” Lila menjerit, mencengkeram lengannya. “Kamu tidak bisa meninggalkan kami. Aku tidak bisa hidup tanpamu!”

“Tapi aku tidak bisa membiarkan Arga mati, Lila. Dia tidak pantas menerima ini.” Bima mengangkat pisau ritual itu, matanya penuh tekad.

Sebelum ia sempat melakukan apa pun, bayangan-bayangan itu mulai menyerang. Suara tawa mengerikan memenuhi udara, dan akar-akar pohon mulai bergerak liar, mencoba meraih mereka.

“Bima, cepat!” Lila berteriak, menahan satu akar yang hampir menyambar Arga.

Bima berdiri di tengah lingkaran, pisau di tangannya berkilauan dalam cahaya merah. Tapi sebelum ia bisa menghunuskannya ke tubuhnya sendiri, suara lain terdengar—suara yang jauh lebih dalam dan berkuasa.

“Cukup.”

Bayangan-bayangan itu berhenti bergerak, dan akar-akar kembali ke tanah. Dari batang pohon besar itu, sosok seorang pria tua dengan jubah hitam muncul, wajahnya tidak sepenuhnya terlihat.

“Kalian punya keberanian besar, tetapi kebodohan kalian juga tak terukur. Aku adalah saksi pertama perjanjian ini, dan aku akan memberi kalian satu kesempatan terakhir.”

Sosok itu mengangkat tangannya, dan tiba-tiba lingkaran akar di bawah Arga terangkat, membawa bayi itu ke udara. “Pilih: serahkan jiwa kalian, atau jalani hidup selamanya dalam bayang-bayang ketakutan.”

Lila dan Bima saling menatap, ketakutan dan cinta bercampur dalam tatapan mereka. Apa yang harus mereka pilih?

Bab terkait

  • Tumbal Purnama    3

    Bab 3Lila dan Bima berdiri di tengah lingkaran akar, dikelilingi bayangan-bayangan yang bergerak seperti makhluk hidup. Sosok pria berjubah hitam, saksi pertama perjanjian kutukan, berdiri diam di bawah pohon leluhur. Tubuh Arga melayang perlahan di udara, terkurung dalam lingkaran merah menyala.“Keputusanmu akan mengubah segalanya,” kata pria berjubah itu, suaranya menggema seperti ribuan orang berbicara sekaligus. “Keluarga kalian telah melanggar perjanjian. Kini, darah harus dibayar.”Lila menatap Bima, air matanya jatuh tanpa henti. “Bima, ini tidak adil. Kenapa kita harus memilih? Arga tidak bersalah. Kita juga tidak meminta semua ini.”“Karena ini harga yang harus dibayar,” balas pria itu dingin. “Jika kalian ingin memutus rantai kutukan ini, salah satu dari kalian harus menyerahkan jiwa. Tapi jika kalian ingin menyelamatkan diri masing-masing, tinggalkan anak itu. Ia akan menjadi milik kami.”Suasana semakin mencekam. Akar-akar pohon bergerak liar di sekeliling mereka, mencip

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-28
  • Tumbal Purnama    4

    Bab 4Pagi itu, Lila bangun dengan tubuh yang terasa berat, seolah-olah semalam ia telah menempuh perjalanan panjang yang tidak nyata. Cahaya matahari pagi masuk melalui celah-celah tirai, tetapi tidak mampu mengusir dingin yang merayap di dalam rumah. Di sebelahnya, Arga tidur dengan tenang, wajahnya polos seperti bayi biasa. Namun, Lila tahu ada sesuatu yang salah.Ingatan tentang malam sebelumnya menghantui pikirannya. Suara bisikan, tawa, dan kata-kata yang keluar dari mulut Arga yang seharusnya tidak mungkin ia ucapkan. Lila mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua itu hanyalah mimpi buruk akibat kelelahan. Namun, dalam hati kecilnya, ia tahu itu adalah kenyataan.Bima masuk ke kamar membawa secangkir teh hangat. Wajahnya pucat, matanya menunjukkan kurang tidur. "Aku tidak bisa tidur semalaman," katanya sambil menyerahkan cangkir itu kepada Lila. "Aku merasa ada yang mengawasi kita."Lila menggenggam cangkir itu dengan tangan gemetar. "Bima, aku rasa kita harus mencari tahu lebih b

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-28
  • Tumbal Purnama    5

    Bab 5Lila dan Bima berlari keluar dari rumah, meninggalkan Arga dalam pelukan erat Lila. Malam terasa lebih dingin dari biasanya, angin yang berhembus membawa bisikan samar yang terus-menerus mengganggu pikiran mereka. Ketakutan menggerogoti mereka, tetapi rasa cinta dan tanggung jawab untuk melindungi anak mereka lebih besar dari rasa takut itu."Kita harus ke Pohon Leluhur sebelum purnama berikutnya," kata Bima, suaranya tegas meski napasnya tersengal."Tapi apa kita cukup siap?" tanya Lila, menggenggam tangan Bima erat. "Pak Gana bilang kita membutuhkan ritual, dan itu tidak mudah."Bima menghentikan langkahnya sejenak. Ia memandang Lila dalam-dalam, matanya penuh tekad. "Kalau kita menunggu, Arga akan menjadi tumbal berikutnya. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi."Kembali ke rumah Bu RatmiNamun, sebelum melangkah lebih jauh, mereka memutuskan untuk memeriksa rumah Bu Ratmi. Jeritan terakhir yang mereka dengar masih terngiang di telinga. Rumah kecil itu kini tampak lebih gelap

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-28
  • Tumbal Purnama    6

    Udara di sekitar Pohon Leluhur semakin berat, seolah-olah mengisap oksigen dari paru-paru mereka. Cahaya hijau dari lubang di dasar pohon berubah menjadi kabut pekat, membentuk lingkaran yang perlahan berputar. Makhluk raksasa itu berdiri diam, menatap mereka dengan senyum penuh arti, seakan menunggu langkah mereka berikutnya. “Pergi ke dalam pohon…” suara misterius dari Arga terulang lagi, lebih tegas kali ini. Lila memeluk anaknya lebih erat. "Bima, apa maksudnya? Bagaimana seorang bayi bisa tahu semua ini?" Bima menatap Arga dengan kebingungan yang sama, tetapi waktu tidak berpihak pada mereka. Pak Gana, yang sebelumnya hanya terpaku ketakutan, akhirnya membuka suara. "Kalian harus melakukannya. Jika suara itu berasal dari anak kalian... mungkin dia adalah kunci untuk menghentikan semua ini." Lila menatap Bima, matanya penuh keraguan. "Bagaimana jika ini jebakan? Bagaimana jika kita justru membawa Arga lebih dekat ke bahaya?" Bima menggenggam tangan Lila dengan erat, meskipun

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-30
  • Tumbal Purnama    7

    Ruangan itu terdiam sesaat setelah suara Arga menggema. Mata hijau menyala anak kecil itu tidak lagi tampak polos, melainkan seperti mata makhluk purba yang tahu segalanya. Sosok besar yang sebelumnya tampak mengancam kini terlihat gentar. “Tidak mungkin…” sosok itu bergumam, suaranya penuh ketakutan. “Jiwa Pohon Leluhur seharusnya terikat pada perjanjian! Bagaimana bisa…” Bima dan Lila hanya bisa terpaku, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Arga, yang sebelumnya hanyalah seorang bayi tak berdaya, kini memancarkan aura yang membuat akar-akar di sekitarnya berhenti bergerak. “Bima… apa ini? Apa yang terjadi dengan Arga?” bisik Lila, suaranya bergetar. Bima tidak menjawab. Ia hanya menatap anaknya, mencoba memahami situasi aneh yang baru saja terjadi. Tiba-tiba, suara lembut namun penuh wibawa terdengar dari altar di tengah ruangan. Suara itu berbeda dari sosok jahat yang mengancam mereka sebelumnya. “Anak itu adalah titisan kekuatan kami. Dia bukan hanya tumbal; dia adala

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-30
  • Tumbal Purnama    8

    Cermin itu memancarkan cahaya perak yang aneh, seperti undangan sekaligus peringatan. Suara gemuruh yang sebelumnya menggema kini berubah menjadi bisikan-bisikan samar, seakan-akan memanggil mereka masuk. Bima menatap cermin itu, lalu pada Lila yang menggenggam Arga erat-erat. “Kita tidak punya pilihan lain. Ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan Arga dan mengakhiri kutukan ini.” Lila mengangguk, meskipun tubuhnya gemetar. “Aku tidak peduli apa yang ada di balik sana. Selama Arga aman, aku akan lakukan apa saja.” Bima mengambil napas dalam, lalu melangkah mendekati cermin. Saat ia menyentuh permukaannya, cermin itu beriak seperti air. Sekejap kemudian, ia tersedot masuk. Lila mengikuti, dengan Arga dalam pelukannya. Saat mereka memasuki cermin, tubuh mereka terasa melayang di tengah kehampaan yang gelap. Tidak ada arah, tidak ada suara, hanya kegelapan yang mencekam. Tapi perlahan, kegelapan itu memudar, digantikan oleh pemandangan yang membuat darah mereka membeku. Mereka ber

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-31
  • Tumbal Purnama    9

    Langit yang berubah merah membuat seluruh dunia di balik cermin menjadi semakin mencekam. Gemuruh yang berasal dari Pohon Leluhur terus menggema, menciptakan getaran yang terasa hingga ke tanah di bawah kaki Lila. Ia terus berlari, meskipun napasnya semakin berat, memeluk Arga erat-erat. “Bima… di mana kau?” bisiknya, putus asa. Bayangan wanita yang mengejarnya tak kunjung hilang. Suaranya terus memanggil dengan nada yang penuh kebencian dan kemarahan. “Lila! Kau tidak bisa lari dariku. Anak itu adalah milik kami!” Lila terhenti di sebuah persimpangan yang dikelilingi oleh dinding akar. Tidak ada jalan keluar yang jelas. Ia merasa terkepung. “Tidak,” gumamnya. “Aku tidak akan membiarkanmu mengambil Arga.” Tiba-tiba, dinding akar di depannya terbuka, memperlihatkan sebuah lorong gelap yang penuh dengan suara gemuruh dari pohon besar di kejauhan. Tanpa pilihan lain, Lila memutuskan untuk masuk, b

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-31
  • Tumbal Purnama    10

    Lila tersentak ketika tubuhnya melayang, ditarik oleh kekuatan besar yang berasal dari Pohon Leluhur. Akar-akar pohon menggeliat di sekelilingnya, menciptakan lorong yang gelap dan menyeramkan. Arga di pelukannya terus bersinar terang, tetapi tangisnya semakin pelan, seolah-olah kekuatannya terkuras. “Arga, bertahanlah, Sayang. Ibu akan melindungimu,” bisik Lila dengan suara bergetar. Ia terhenti di sebuah ruangan besar di dalam Pohon Leluhur, sebuah tempat yang terasa seperti jantung dari kegelapan itu sendiri. Di tengah ruangan, sebuah bola energi merah menyala menggantung, memancarkan hawa panas yang membuat kulitnya terasa terbakar. Lila memandang sekeliling, mencari jalan keluar. Namun, ruangan itu dipenuhi dengan wajah-wajah mengerikan yang terperangkap di dinding pohon, menangis dan menjerit. Di luar pohon, Bima berjuang melawan akar-akar yang mencengkeram tubuhnya. Ia meraih batu kunci yang jatuh tidak jauh dari tem

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-31

Bab terbaru

  • Tumbal Purnama    20

    Ketukan di pintu semakin keras, seperti ada yang memaksa masuk. Lila memeluk Arga erat, sementara Bima berdiri di depan pintu, memegang parang yang ia ambil dari dapur."Siapa di sana?" teriak Bima, suaranya bergetar di antara keberanian dan ketakutan.Tidak ada jawaban, hanya suara ketukan yang terus menggema. Dari balik pintu, samar-samar terdengar suara tangisan anak-anak yang memilukan. Lila mencengkeram bahu Arga lebih kuat, takut kehilangan putranya.“Kita tidak bisa membiarkan mereka masuk,” bisik Lila, matanya penuh ketakutan.Namun, Arga mendekat ke pintu. “Aku harus tahu siapa mereka,” katanya pelan.“Arga, jangan!” cegah Bima, tapi Arga sudah meraih gagang pintu. Dengan hati-hati, ia membukanya sedikit.Di balik pintu, tidak ada siapa-siapa. Tidak ada anak-anak, tidak ada sosok manusia. Tapi udara dingin menyergap, membuat bulu kuduk mereka berdiri. Di depan pintu, terdapat jejak lumpur kecil, seperti langkah kaki anak

  • Tumbal Purnama    19

    Di tengah malam yang sunyi, angin malam menyapu daun-daun pohon beringin tua yang telah lama disegel di pinggir desa. Suara ranting yang bergesekan menciptakan nada menyeramkan, seperti bisikan roh-roh yang terperangkap di dalamnya. Lila berdiri di dekat jendela, menatap bayangan pohon yang samar terlihat dari rumah mereka. Dadanya bergemuruh dengan rasa gelisah yang tak mampu ia jelaskan.“Bima, aku merasa segel itu melemah,” ujar Lila, suaranya bergetar.Bima, yang sedang memeriksa laporan keuangan, menoleh dengan kening berkerut. “Itu hanya perasaanmu. Pohon itu sudah disegel dengan benar. Kita sudah bertahan 17 tahun tanpa masalah.”Namun, sebelum Lila bisa membalas, suara tangisan halus terdengar dari arah jendela. Bima segera berlari ke arah Lila, mengawasi sekeliling. Angin bertiup lebih kencang, dan bayangan pohon beringin itu tampak lebih gelap dari biasanya.Lila mengusap lengannya yang meremang. “Tangisan itu... seperti suara bayi, tapi ada sesuatu yang berbeda.”Tiba-tiba,

  • Tumbal Purnama    18

    Lila membeku di tempatnya. Kehadiran Bima, suaminya yang selama ini dianggap telah menghilang, membuat pikirannya berkecamuk. Bagaimana mungkin dia ada di sini? Apa hubungannya dengan semua ini?Bima berdiri di ambang pintu, wajahnya suram. Tubuhnya penuh luka, seolah-olah dia baru saja melarikan diri dari sebuah pertempuran. “Lila, jangan lakukan itu,” katanya dengan suara tegas. “Aku tahu kau ingin menyelamatkan keluarga ini, tapi mengorbankan dirimu bukanlah jalan yang benar.”“Bima? Apa yang terjadi? Kenapa kau tiba-tiba muncul sekarang?” Lila bertanya, matanya memancarkan campuran kemarahan dan kebingungan.Pria tua itu memandang Bima dengan tatapan tajam. “Kau seharusnya tidak berada di sini. Kehadiranmu mengacaukan keseimbangan.”Bima menatap pria tua itu dengan penuh kebencian. “Keseimbangan apa? Kau tahu betul bahwa ini semua permainan makhluk itu!” Ia menunjuk ke arah makhluk kecil yang berdiri di luar lingkaran pelindung, senyum jahatnya tidak pernah hilang.“Bima, jelaskan

  • Tumbal Purnama    17

    Ruangan terasa seperti medan perang antara kegelapan dan cahaya. Cahaya dari pedang Lila dan liontin Arga semakin bersinar terang, memantulkan kekuatan yang saling melindungi satu sama lain. Sementara itu, makhluk bayangan yang mengerikan meluas, memenuhi setiap sudut ruangan dengan aura mencekam. “Darah keluargamu adalah milikku!” makhluk itu meraung, suaranya menggema seperti petir. “Kalian tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari perjanjian leluhur kalian!” Lila melangkah maju, menggenggam pedangnya erat-erat. “Ini adalah akhir untukmu. Kutukan ini tidak akan lagi menghantui keluargaku.” Arga menatap ibunya dengan mata penuh keyakinan, meski tubuhnya yang kecil tampak bergetar. Liontin di tangannya memancarkan kilauan yang semakin terang, seolah-olah merespons cahaya dari pedang Lila. “Ibu, aku tahu kita bisa melakukannya bersama,” bisik Arga, tangannya terangkat tinggi dengan liontin yang bersinar seperti matahari. Lila mengangguk, air mata mengalir di pipinya. “Aku tidak

  • Tumbal Purnama    16

    Lila memasuki pintu kecil yang bercahaya, tubuhnya terasa berat dan lemah. Di balik pintu, ia menemukan dirinya berada di sebuah ruang putih yang luas dan sunyi, kontras dengan kegelapan yang baru saja ia tinggalkan. Suasana di sini terasa damai, tetapi ada aura kesedihan yang sulit dijelaskan. Di tengah ruang itu berdiri seorang pria tua dengan wajah yang penuh kebijaksanaan, mengenakan jubah panjang berwarna keemasan. Tatapannya lembut namun tajam, seperti bisa melihat langsung ke dalam jiwa seseorang. “Selamat datang, pewaris terakhir,” katanya. “Aku adalah penjaga keseimbangan. Kau telah berhasil melawan kegelapan, tetapi perjalananmu belum selesai.” Pengungkapan Kebenaran Terakhir Lila mendekat dengan hati-hati. “Aku telah menghancurkan makhluk itu. Bukankah kutukan ini seharusnya berakhir?” Penjaga itu mengangguk perlahan. “Ya, kau telah menghancurkannya. Tetapi akar dari kutukan ini masih tertanam dalam sejarah keluargamu. Untuk benar-benar mengakhirinya, kau harus membuat

  • Tumbal Purnama    15

    Lila menggenggam buku tua itu erat-erat, membaca kembali peringatan di halaman terakhir. Tempat semuanya bermula… Ia tahu apa yang dimaksud. Hutan di belakang rumah tua keluarganya, tempat kakek buyutnya membuat perjanjian pertama dengan makhluk kegelapan. Itu adalah pusat dari segala keburukan yang menimpa keluarganya. “Jadi, aku harus kembali ke sana,” gumamnya, memandang keluar jendela ke arah garis pepohonan yang tampak begitu pekat dan gelap, seolah-olah bayangan malam tidak pernah meninggalkan tempat itu. Namun, sebuah suara lembut mengganggunya, bergema dari lorong rumah. Itu suara anak kecil yang tertawa—suara Arga. “Arga?” Lila berlari menuju lorong, tetapi ia hanya menemukan keheningan. Tidak ada siapa-siapa di sana, hanya pintu depan rumah yang terbuka perlahan, mengarah ke kegelapan hutan. Dengan langkah mantap, Lila memasuki hutan. Pohon-pohon besar berdiri seperti penjaga yang mengintimidasi, dan suara dedaunan yang bergesekan terdengar seperti bisikan makhluk yang t

  • Tumbal Purnama    14

    Lila berdiri di depan makhluk itu, tubuhnya gemetar antara rasa takut dan kelelahan. Makhluk yang menjulang tinggi dengan mata menyala merah itu memancarkan aura yang begitu mengintimidasi, seolah-olah hanya dengan keberadaannya, ia mampu menghancurkan seluruh kehendak Lila. “Jadi, kau adalah pewaris terakhir dari keluarga yang berani mempermainkan kegelapan,” kata makhluk itu dengan suara dalam yang bergema. “Aku tidak datang untuk mempermainkanmu,” kata Lila, suaranya bergetar. “Aku datang untuk mengakhirinya.” Makhluk itu tertawa, suara tawa yang membuat lorong di sekelilingnya bergetar. “Mengakhirinya? Kau tidak tahu apa yang kau katakan. Darah keluargamu telah mengikatku selama berabad-abad. Aku adalah bagian dari kalian. Tidak ada akhir tanpa kehancuran total.” Makhluk itu mengangkat tangannya, dan dari kegelapan di sekitarnya, muncul bayangan-bayangan yang menyerupai orang-orang yang Lila kenal—Arga, Bima, dan ba

  • Tumbal Purnama    13

    Lila berdiri di ambang pintu batu hitam itu, menatap ke dalam kegelapan yang tampak seperti tak berbatas. Suara gemuruh samar terdengar dari dalam, seolah-olah ada sesuatu yang hidup di balik sana. Ia memandang ke arah Bima, yang hanya berdiri diam dengan senyuman yang mengandung campuran kehangatan dan kesedihan. “Lila, kau harus melangkah. Ini adalah akhir dari semuanya,” bisik Bima. “Tapi aku tidak bisa meninggalkanmu. Kau adalah segalanya bagiku,” jawab Lila, air mata mengalir deras di wajahnya. “Kau tidak meninggalkanku,” kata Bima dengan lembut. “Kau membebaskanku.” Kata-kata itu menusuk hati Lila. Ia tahu, langkah ini adalah satu-satunya cara untuk menghentikan kutukan yang telah menghancurkan hidup mereka. Dengan tangan gemetar, ia menggenggam medali itu erat-erat, menarik napas panjang, lalu melangkah ke dalam kegelapan. Begitu ia masuk, pintu di

  • Tumbal Purnama    12

    Ledakan cahaya itu memudar perlahan, meninggalkan keheningan yang menyesakkan. Bima dan Lila terbangun di tengah kehancuran. Pohon Leluhur kini tidak lagi berdiri megah; hanya akar-akar yang hangus dan retakan tanah yang tersisa. Namun, Arga tidak ada di mana pun. “Arga!” Lila berteriak panik, berlari di antara puing-puing. “Di mana dia? Bima, kita harus menemukannya!” Bima bangkit dengan tubuh yang terasa remuk. Ia memegang tangan Lila, mencoba menenangkan istrinya. “Kita akan menemukannya. Dia masih di sini, aku yakin.” Namun, suara tawa kecil yang menyeramkan menggema dari balik bayangan. Dari kegelapan, sesosok perempuan tua dengan mata merah menyala muncul. Kulitnya keriput, tetapi auranya memancarkan kekuatan yang mengintimidasi. “Kalian pikir ini sudah berakhir?” katanya dengan suara mencemooh. “Anak itu telah membuka pintu yang seharusnya tetap terkunci. Kalian baru saja memulai perjalanan menuju kehancuran yang lebih besar.”

DMCA.com Protection Status