Share

2

Author: Airyline
last update Last Updated: 2024-12-28 12:53:10

Bab 2

Langkah kaki mereka berpacu di jalan setapak yang gelap, diterangi hanya oleh sinar merah bulan purnama. Di belakang mereka, suara langkah-langkah berat terus mengikuti, disertai jeritan bayi yang melengking menusuk telinga. Suara itu tidak berkurang, meski mereka sudah jauh meninggalkan rumah Pak Surya.

“Bima, mereka semakin dekat!” Lila hampir tersandung, napasnya tersengal-sengal.

“Terus lari! Jangan lihat ke belakang!” Bima menggenggam tangan Lila erat, memaksanya untuk tetap bergerak. Tapi ia sendiri mulai merasakan dingin yang tidak wajar menjalar ke tulang-tulangnya.

Di tengah jalan, angin berembus kencang, membawa bisikan lirih yang semakin jelas:

“Janji... tak bisa dilanggar... darah harus dibayar...”

Mereka akhirnya tiba di tepi desa, di sebuah persimpangan yang bercabang ke hutan lebat. Lila terhenti, menatap jalan setapak yang kini hanya berupa bayangan hitam pekat di antara pepohonan tinggi.

“Kita harus ke mana?” tanyanya panik.

Bima mengeluarkan kertas tua yang diberikan oleh Pak Surya sebelum mereka pergi. Gambar lingkaran dengan simbol-simbol aneh tergores di sana, bersama sebuah kalimat: "Di tempat akar pertama tertanam, di sana perjanjian ditulis."

“Tempat akar pertama...” gumam Bima. “Mungkin pohon tua di ujung hutan ini. Kakek sering menyebutnya sebagai tempat asal keluarga kita.”

“Pohon itu? Pohon yang katanya tidak pernah mati, meski ditebang?” Lila teringat cerita lama tentang pohon raksasa yang disebut warga desa sebagai "Pohon Leluhur."

Belum sempat mereka memutuskan, suara langkah-langkah itu semakin mendekat. Dari balik kegelapan, bayangan-bayangan mulai muncul, satu demi satu. Mereka tidak berbentuk manusia sepenuhnya, terlihat seperti makhluk tinggi dengan tubuh yang menggeliat, seolah bayangan itu hidup sendiri. Mata mereka bersinar merah, seperti mata makhluk yang mereka lihat di gudang.

“Kita tidak punya waktu. Ke pohon itu sekarang!” Bima menarik Lila dan berlari ke dalam hutan.

Di Dalam Hutan

Hutan itu terasa seperti tempat lain, jauh dari dunia nyata. Udara dingin menusuk, dan setiap langkah mereka memecahkan ranting-ranting kering yang terdengar terlalu keras. Suara dari bayangan-bayangan itu terus mendekat, disertai suara tangisan bayi yang semakin menggema.

Lila mulai mendengar sesuatu yang lain, bisikan di telinganya, pelan tapi sangat jelas.

“Kembalikan dia pada kami... atau kalian akan kehilangan semuanya...”

Ia berhenti mendadak, membuat Bima menoleh dengan cemas. “Kenapa berhenti?”

“Aku... aku merasa mereka ada di mana-mana. Mereka tidak hanya mengejar kita... mereka ada di sini.”

Bima menatap sekeliling, dan baru menyadari bahwa hutan itu semakin gelap, meski bulan masih bersinar di atas. Pepohonan di sekitar mereka tampak bergerak, bayangannya membesar seolah ingin menangkap mereka.

Kemudian, mereka melihatnya, Pohon Leluhur. Pohon itu besar, lebih besar dari yang pernah mereka bayangkan. Kulitnya hitam, penuh dengan goresan simbol-simbol aneh yang terlihat seperti luka. Di bawah akar-akar raksasanya, tanah tampak merah gelap, seolah berlumuran darah yang sudah mengering.

Di tengah lingkaran akar itu, mereka melihat sesuatu yang membuat darah mereka membeku. Bayi mereka, Arga, terbaring di sana. Matanya terbuka, tapi wajahnya kosong, tanpa ekspresi. Di sekelilingnya, bayangan-bayangan itu bergerak mendekat, membentuk lingkaran.

“Arga!” Lila berlari mendekat, tapi Bima menahannya.

“Jangan! Ini jebakan!”

Bayangan-bayangan itu mulai berbicara bersamaan, suara mereka seperti ribuan suara tumpang tindih.

“Janji harus ditepati. Satu tumbal... atau seluruh keluarga kalian akan jatuh.”

Bima menatap Lila dengan putus asa. Mereka harus membuat pilihan: menyerahkan Arga untuk menyelamatkan keluarga mereka, atau melawan sesuatu yang tidak mereka pahami.

Di saat itu, suara dari dalam kepala mereka terdengar lebih jelas:

“Ada cara untuk memutuskan ini... tapi kalian harus menyerahkan jiwa kalian sendiri.”

“Jiwa kami...?” Lila bertanya dengan suara bergetar, matanya terus tertuju pada tubuh kecil Arga yang terbaring di tengah lingkaran akar.

“Kehidupan untuk kehidupan. Jiwa untuk memutus rantai darah. Itu harga yang harus kalian bayar.” Suara itu menggema, datang dari bayangan-bayangan yang terus mendekat.

Bima memegang tangan Lila erat. “Tidak ada jaminan mereka akan berhenti, Lila. Jika kita menyerahkan Arga, mereka bisa saja terus menuntut lebih.”

“Tapi... kalau kita melawan mereka, bagaimana kalau kita kehilangan segalanya? Aku tidak sanggup, Bima.” Air mata Lila mengalir deras.

Di tengah kepanikan mereka, pohon besar itu mulai bergerak. Akar-akar di bawahnya bergeser, menciptakan suara seperti tulang patah. Dari dalam tanah, sesuatu mulai muncul sebuah peti kayu tua, terukir simbol-simbol serupa dengan yang ada di kulit pohon.

“Buka peti itu,” kata suara dari bayangan, tajam dan dingin. “Di dalamnya, kalian akan menemukan jawaban. Tapi ingat, setiap pilihan ada harganya.”

Bima mendekati peti dengan hati-hati, tangan gemetar saat ia menyentuh permukaannya yang kasar. Lila memegang lengannya. “Bima, jangan. Ini bisa jebakan.”

“Kita tidak punya pilihan, Lila.” Dengan satu tarikan napas panjang, Bima membuka peti itu.

Di dalamnya ada sebuah pisau ritual dengan gagang yang terbuat dari tulang, serta sebuah buku yang halaman-halamannya sudah usang. Di halaman pertama, tertulis dengan tinta merah tua: "Hanya darah keluarga yang bisa memutus perjanjian ini."

“Apa maksudnya?” Lila berbisik.

Bima membaca lebih jauh, suaranya serak saat menjelaskan. “Kita bisa memutus kutukan ini dengan satu pengorbanan terakhir darah dari garis keturunan langsung keluarga kita. Bukan Arga, tapi... aku, atau kamu.”

Kata-kata itu seperti pukulan keras di dada mereka. Lila mundur beberapa langkah, gemetar. “Tidak... ini tidak mungkin.”

“Pilihlah,” suara bayangan semakin mendesak. “Atau kalian semua akan kami ambil.”

Tiba-tiba, jeritan Arga terdengar. Tubuh kecilnya melengkung seperti sedang kesakitan, dan lingkaran akar di sekelilingnya mulai menyala dengan cahaya merah menyilaukan. Lila berlari mendekat, tapi sebuah akar besar muncul dari tanah, menghentikannya.

“Lila, aku akan melakukannya,” kata Bima dengan suara tegas. “Aku yang akan memutus ini. Aku yang akan menyerahkan diri.”

“Tidak!” Lila menjerit, mencengkeram lengannya. “Kamu tidak bisa meninggalkan kami. Aku tidak bisa hidup tanpamu!”

“Tapi aku tidak bisa membiarkan Arga mati, Lila. Dia tidak pantas menerima ini.” Bima mengangkat pisau ritual itu, matanya penuh tekad.

Sebelum ia sempat melakukan apa pun, bayangan-bayangan itu mulai menyerang. Suara tawa mengerikan memenuhi udara, dan akar-akar pohon mulai bergerak liar, mencoba meraih mereka.

“Bima, cepat!” Lila berteriak, menahan satu akar yang hampir menyambar Arga.

Bima berdiri di tengah lingkaran, pisau di tangannya berkilauan dalam cahaya merah. Tapi sebelum ia bisa menghunuskannya ke tubuhnya sendiri, suara lain terdengar—suara yang jauh lebih dalam dan berkuasa.

“Cukup.”

Bayangan-bayangan itu berhenti bergerak, dan akar-akar kembali ke tanah. Dari batang pohon besar itu, sosok seorang pria tua dengan jubah hitam muncul, wajahnya tidak sepenuhnya terlihat.

“Kalian punya keberanian besar, tetapi kebodohan kalian juga tak terukur. Aku adalah saksi pertama perjanjian ini, dan aku akan memberi kalian satu kesempatan terakhir.”

Sosok itu mengangkat tangannya, dan tiba-tiba lingkaran akar di bawah Arga terangkat, membawa bayi itu ke udara. “Pilih: serahkan jiwa kalian, atau jalani hidup selamanya dalam bayang-bayang ketakutan.”

Lila dan Bima saling menatap, ketakutan dan cinta bercampur dalam tatapan mereka. Apa yang harus mereka pilih?

Related chapters

  • Tumbal Purnama    3

    Bab 3Lila dan Bima berdiri di tengah lingkaran akar, dikelilingi bayangan-bayangan yang bergerak seperti makhluk hidup. Sosok pria berjubah hitam, saksi pertama perjanjian kutukan, berdiri diam di bawah pohon leluhur. Tubuh Arga melayang perlahan di udara, terkurung dalam lingkaran merah menyala.“Keputusanmu akan mengubah segalanya,” kata pria berjubah itu, suaranya menggema seperti ribuan orang berbicara sekaligus. “Keluarga kalian telah melanggar perjanjian. Kini, darah harus dibayar.”Lila menatap Bima, air matanya jatuh tanpa henti. “Bima, ini tidak adil. Kenapa kita harus memilih? Arga tidak bersalah. Kita juga tidak meminta semua ini.”“Karena ini harga yang harus dibayar,” balas pria itu dingin. “Jika kalian ingin memutus rantai kutukan ini, salah satu dari kalian harus menyerahkan jiwa. Tapi jika kalian ingin menyelamatkan diri masing-masing, tinggalkan anak itu. Ia akan menjadi milik kami.”Suasana semakin mencekam. Akar-akar pohon bergerak liar di sekeliling mereka, mencip

    Last Updated : 2024-12-28
  • Tumbal Purnama    4

    Bab 4Pagi itu, Lila bangun dengan tubuh yang terasa berat, seolah-olah semalam ia telah menempuh perjalanan panjang yang tidak nyata. Cahaya matahari pagi masuk melalui celah-celah tirai, tetapi tidak mampu mengusir dingin yang merayap di dalam rumah. Di sebelahnya, Arga tidur dengan tenang, wajahnya polos seperti bayi biasa. Namun, Lila tahu ada sesuatu yang salah.Ingatan tentang malam sebelumnya menghantui pikirannya. Suara bisikan, tawa, dan kata-kata yang keluar dari mulut Arga yang seharusnya tidak mungkin ia ucapkan. Lila mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua itu hanyalah mimpi buruk akibat kelelahan. Namun, dalam hati kecilnya, ia tahu itu adalah kenyataan.Bima masuk ke kamar membawa secangkir teh hangat. Wajahnya pucat, matanya menunjukkan kurang tidur. "Aku tidak bisa tidur semalaman," katanya sambil menyerahkan cangkir itu kepada Lila. "Aku merasa ada yang mengawasi kita."Lila menggenggam cangkir itu dengan tangan gemetar. "Bima, aku rasa kita harus mencari tahu lebih b

    Last Updated : 2024-12-28
  • Tumbal Purnama    5

    Bab 5Lila dan Bima berlari keluar dari rumah, meninggalkan Arga dalam pelukan erat Lila. Malam terasa lebih dingin dari biasanya, angin yang berhembus membawa bisikan samar yang terus-menerus mengganggu pikiran mereka. Ketakutan menggerogoti mereka, tetapi rasa cinta dan tanggung jawab untuk melindungi anak mereka lebih besar dari rasa takut itu."Kita harus ke Pohon Leluhur sebelum purnama berikutnya," kata Bima, suaranya tegas meski napasnya tersengal."Tapi apa kita cukup siap?" tanya Lila, menggenggam tangan Bima erat. "Pak Gana bilang kita membutuhkan ritual, dan itu tidak mudah."Bima menghentikan langkahnya sejenak. Ia memandang Lila dalam-dalam, matanya penuh tekad. "Kalau kita menunggu, Arga akan menjadi tumbal berikutnya. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi."Kembali ke rumah Bu RatmiNamun, sebelum melangkah lebih jauh, mereka memutuskan untuk memeriksa rumah Bu Ratmi. Jeritan terakhir yang mereka dengar masih terngiang di telinga. Rumah kecil itu kini tampak lebih gelap

    Last Updated : 2024-12-28
  • Tumbal Purnama    6

    Udara di sekitar Pohon Leluhur semakin berat, seolah-olah mengisap oksigen dari paru-paru mereka. Cahaya hijau dari lubang di dasar pohon berubah menjadi kabut pekat, membentuk lingkaran yang perlahan berputar. Makhluk raksasa itu berdiri diam, menatap mereka dengan senyum penuh arti, seakan menunggu langkah mereka berikutnya. “Pergi ke dalam pohon…” suara misterius dari Arga terulang lagi, lebih tegas kali ini. Lila memeluk anaknya lebih erat. "Bima, apa maksudnya? Bagaimana seorang bayi bisa tahu semua ini?" Bima menatap Arga dengan kebingungan yang sama, tetapi waktu tidak berpihak pada mereka. Pak Gana, yang sebelumnya hanya terpaku ketakutan, akhirnya membuka suara. "Kalian harus melakukannya. Jika suara itu berasal dari anak kalian... mungkin dia adalah kunci untuk menghentikan semua ini." Lila menatap Bima, matanya penuh keraguan. "Bagaimana jika ini jebakan? Bagaimana jika kita justru membawa Arga lebih dekat ke bahaya?" Bima menggenggam tangan Lila dengan erat, meskipun

    Last Updated : 2024-12-30
  • Tumbal Purnama    7

    Ruangan itu terdiam sesaat setelah suara Arga menggema. Mata hijau menyala anak kecil itu tidak lagi tampak polos, melainkan seperti mata makhluk purba yang tahu segalanya. Sosok besar yang sebelumnya tampak mengancam kini terlihat gentar. “Tidak mungkin…” sosok itu bergumam, suaranya penuh ketakutan. “Jiwa Pohon Leluhur seharusnya terikat pada perjanjian! Bagaimana bisa…” Bima dan Lila hanya bisa terpaku, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Arga, yang sebelumnya hanyalah seorang bayi tak berdaya, kini memancarkan aura yang membuat akar-akar di sekitarnya berhenti bergerak. “Bima… apa ini? Apa yang terjadi dengan Arga?” bisik Lila, suaranya bergetar. Bima tidak menjawab. Ia hanya menatap anaknya, mencoba memahami situasi aneh yang baru saja terjadi. Tiba-tiba, suara lembut namun penuh wibawa terdengar dari altar di tengah ruangan. Suara itu berbeda dari sosok jahat yang mengancam mereka sebelumnya. “Anak itu adalah titisan kekuatan kami. Dia bukan hanya tumbal; dia adala

    Last Updated : 2024-12-30
  • Tumbal Purnama    8

    Cermin itu memancarkan cahaya perak yang aneh, seperti undangan sekaligus peringatan. Suara gemuruh yang sebelumnya menggema kini berubah menjadi bisikan-bisikan samar, seakan-akan memanggil mereka masuk. Bima menatap cermin itu, lalu pada Lila yang menggenggam Arga erat-erat. “Kita tidak punya pilihan lain. Ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan Arga dan mengakhiri kutukan ini.” Lila mengangguk, meskipun tubuhnya gemetar. “Aku tidak peduli apa yang ada di balik sana. Selama Arga aman, aku akan lakukan apa saja.” Bima mengambil napas dalam, lalu melangkah mendekati cermin. Saat ia menyentuh permukaannya, cermin itu beriak seperti air. Sekejap kemudian, ia tersedot masuk. Lila mengikuti, dengan Arga dalam pelukannya. Saat mereka memasuki cermin, tubuh mereka terasa melayang di tengah kehampaan yang gelap. Tidak ada arah, tidak ada suara, hanya kegelapan yang mencekam. Tapi perlahan, kegelapan itu memudar, digantikan oleh pemandangan yang membuat darah mereka membeku. Mereka ber

    Last Updated : 2024-12-31
  • Tumbal Purnama    9

    Langit yang berubah merah membuat seluruh dunia di balik cermin menjadi semakin mencekam. Gemuruh yang berasal dari Pohon Leluhur terus menggema, menciptakan getaran yang terasa hingga ke tanah di bawah kaki Lila. Ia terus berlari, meskipun napasnya semakin berat, memeluk Arga erat-erat. “Bima… di mana kau?” bisiknya, putus asa. Bayangan wanita yang mengejarnya tak kunjung hilang. Suaranya terus memanggil dengan nada yang penuh kebencian dan kemarahan. “Lila! Kau tidak bisa lari dariku. Anak itu adalah milik kami!” Lila terhenti di sebuah persimpangan yang dikelilingi oleh dinding akar. Tidak ada jalan keluar yang jelas. Ia merasa terkepung. “Tidak,” gumamnya. “Aku tidak akan membiarkanmu mengambil Arga.” Tiba-tiba, dinding akar di depannya terbuka, memperlihatkan sebuah lorong gelap yang penuh dengan suara gemuruh dari pohon besar di kejauhan. Tanpa pilihan lain, Lila memutuskan untuk masuk, b

    Last Updated : 2024-12-31
  • Tumbal Purnama    10

    Lila tersentak ketika tubuhnya melayang, ditarik oleh kekuatan besar yang berasal dari Pohon Leluhur. Akar-akar pohon menggeliat di sekelilingnya, menciptakan lorong yang gelap dan menyeramkan. Arga di pelukannya terus bersinar terang, tetapi tangisnya semakin pelan, seolah-olah kekuatannya terkuras. “Arga, bertahanlah, Sayang. Ibu akan melindungimu,” bisik Lila dengan suara bergetar. Ia terhenti di sebuah ruangan besar di dalam Pohon Leluhur, sebuah tempat yang terasa seperti jantung dari kegelapan itu sendiri. Di tengah ruangan, sebuah bola energi merah menyala menggantung, memancarkan hawa panas yang membuat kulitnya terasa terbakar. Lila memandang sekeliling, mencari jalan keluar. Namun, ruangan itu dipenuhi dengan wajah-wajah mengerikan yang terperangkap di dinding pohon, menangis dan menjerit. Di luar pohon, Bima berjuang melawan akar-akar yang mencengkeram tubuhnya. Ia meraih batu kunci yang jatuh tidak jauh dari tem

    Last Updated : 2024-12-31

Latest chapter

  • Tumbal Purnama    28

    Di ruang tamu yang sunyi, Arga dan Anandia duduk berhadapan. Wajah Anandia tegang, sementara Arga menatapnya dengan sabar, menunggu penjelasan yang sudah lama ia tunggu."Arga," Anandia memulai, suaranya bergetar. "Aku harus memberitahumu sesuatu yang mungkin akan mengubah cara pandangmu terhadapku."Arga menyandarkan punggungnya, mencoba membuat Anandia merasa lebih nyaman. "Katakan saja, Anandia. Aku di sini untuk mendengar, apa pun itu."Anandia menarik napas panjang. "Keluargaku... mereka bukan keluarga biasa. Kami memiliki hubungan dengan sesuatu yang gelap, sesuatu yang tidak bisa aku hindari."Arga mengerutkan kening. "Hubungan dengan sesuatu yang gelap? Maksudmu apa?"Anandia menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata. "Dulu, sebelum aku lahir, keluargaku terlibat dalam sebuah ritual gaib. Ritual itu melibatkan leluhurmu, Arga."Arga tertegun. "Leluhurku? Apa hubungan keluargamu dengan kutukan itu?"Anandia men

  • Tumbal Purnama    27

    Pagi itu, Arga kembali ke rumah dengan perasaan penuh pertanyaan. Percakapan dengan Anandia kemarin masih terngiang-ngiang di benaknya. Namun, saat ia hendak memasuki rumah, Anandia muncul di gerbang, seolah telah menunggunya."Anandia?" Arga menatapnya heran. "Kenapa kamu di sini?""Aku harus bicara, Arga. Ini soal keluargaku. Aku harus menjelaskannya sekarang," kata Anandia dengan nada serius.Arga ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. Ia membuka pintu dan mengajak Anandia duduk di ruang tamu. Lila dan Bima tidak ada di rumah, jadi tempat itu cukup tenang untuk percakapan mereka."Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Arga sambil menyilangkan tangan di dada.Anandia menatap ke arah jendela, matanya penuh kenangan pahit. "Dua tahun lalu, aku kehilangan keluargaku dalam sebuah kejadian yang tidak pernah bisa aku lupakan. Mereka dibunuh... oleh sesuatu yang bukan manusia."Arga terkejut. "Apa maksudmu, bukan manusia?"Anandia menghela napas panjang. "Sesuatu yang datang dari dunia ga

  • Tumbal Purnama    26

    Suasana kelas yang semula riuh mendadak sunyi saat seorang gadis baru memasuki ruangan. Guru wali kelas tersenyum sambil memperkenalkan."Anak-anak, hari ini kita kedatangan murid baru. Perkenalkan dirimu, ya."Gadis itu maju ke depan kelas dengan langkah tenang. Rambut hitamnya tergerai rapi, dan matanya memancarkan keteguhan yang aneh."Halo, semuanya. Nama saya Anandia, saya baru pindah dari kota. Senang bisa bergabung di sini." Suaranya lembut tetapi penuh keyakinan.Bisik-bisik mulai terdengar di antara para siswa."Anandia cantik banget, ya," ujar salah satu siswa perempuan."Kayaknya dia tipe cewek pintar," timpal yang lain.Sheila yang duduk di sudut kelas memperhatikan dengan tatapan tak suka. Ia memelototi Anandia seolah langsung menganggapnya ancaman.---Saat Jam Istirahat.Anandia berjalan keluar kelas, mencari tempat untuk duduk sendiri. Namun, langkahnya terhenti saat ia melihat Arga di taman. Ia mendekat dengan ragu, lalu berkata, "Boleh duduk di sini?"Arga, yang seda

  • Tumbal Purnama    25

    Hari itu, suasana kelas tampak lebih ramai dari biasanya. Guru wali kelas baru saja mengumumkan adanya kompetisi akademik tingkat provinsi, dan Arga, seperti biasa, langsung ditunjuk sebagai perwakilan sekolah. Namun, suasana berubah tegang saat nama lain disebutkan."Sebagai perwakilan kedua, kami memilih Farel," kata wali kelas dengan senyum.Semua murid mulai berbisik-bisik. Farel adalah salah satu siswa yang dikenal pintar, tapi sering terlihat iri dengan prestasi Arga. Wajah Farel tampak puas, tapi ada kilatan tantangan di matanya saat ia menatap Arga.Saat kelas usai, Farel menghampiri Arga yang sedang duduk di pojokan, membaca buku."Jadi, kita akan jadi tim, ya?" Farel membuka percakapan dengan nada sinis.Arga mengangkat wajahnya sekilas, lalu kembali fokus pada bukunya. "Tim? Kalau kau serius, mungkin," jawabnya datar.Farel terkekeh kecil. "Jangan terlalu percaya diri, Arga. Kau mungkin juara di sekolah, tapi ini tingkat provinsi. Aku hanya ingin memastikan kau nggak memper

  • Tumbal Purnama    24

    Di SMA tempat Arga bersekolah, ketampanan, kepintaran, dan kepribadian misteriusnya membuat banyak siswi terpesona. Namun, ada satu siswi yang terobsesi melebihi yang lain,  Sheila Ia bukan hanya sekadar menyukai Arga, tapi yakin bahwa Arga adalah takdirnya.Pagi itu, suasana di kelas Arga ramai seperti biasa. Arga duduk di bangku belakang, fokus mengerjakan soal tambahan yang diberikan gurunya. Di sudut lain, Sheila mengamati Arga dengan tatapan yang tidak bisa diartikan."Sheila, ngapain bengong? Lagi-lagi liatin Arga, ya?" sindir Siska, teman sebangkunya.Sheila tersenyum kecil. "Dia itu... beda. Kamu nggak ngerti."Siska memutar bola matanya. "Beda apanya? Dia cuma cowok dingin yang nggak pernah peduli sama siapa pun.""Itu karena dia belum kenal aku," balas Sheila yakin.Hari itu, di jam istirahat, Sheila membawa sekotak bekal yang dibuatnya sendiri. Ia berjalan ke arah meja Arga di kantin, di mana Arga sedang membaca buku s

  • Tumbal Purnama    23

    Sekolah SMA tempat Arga belajar adalah salah satu sekolah paling bergengsi di kota. Gedungnya megah, dikelilingi taman luas dengan pepohonan rindang. Namun, suasana sekolah itu selalu menjadi saksi dari kehadiran seorang murid yang misterius dan penuh daya tarik, Arga.Arga adalah pemuda yang dikenal dengan sikap dingin dan cueknya. Ia jarang berbicara dengan teman-teman sekelasnya kecuali saat diperlukan. Namun, justru sikap inilah yang membuatnya begitu dikagumi."Arga itu keren banget, ya. Diam-diam bikin penasaran," bisik seorang siswi kepada temannya saat Arga melintas di lorong sekolah."Dia nggak cuma ganteng, tapi juga pinter banget. Nilai akademiknya selalu nomor satu, belum lagi dia jago basket. Idola banget deh!" sahut yang lain.Dalam berbagai kompetisi, nama Arga selalu muncul. Ia unggul di akademik, menjuarai olimpiade fisika tingkat nasional, dan juga merupakan kapten tim basket sekolah. Ketika Arga bermain di lapangan, tribun selalu dipenuhi sorakan siswa-siswi yang me

  • Tumbal Purnama    22

    Arga segera berlari menghampiri Lila yang tergeletak di lantai. Wajahnya pucat, napasnya tersengal-sengal, dan keringat dingin mengalir deras di pelipisnya."Bu! Ibu kenapa?" Arga memeluk tubuh ibunya, mencoba membangunkannya.Bima bergegas mengambil air putih, tetapi bahkan setelah diminumkan, kondisi Lila tak kunjung membaik. Tubuhnya terus menggigil, dan bibirnya mulai membiru."Kita harus bawa dia ke rumah sakit sekarang!" ujar Bima panik.Namun, sebelum mereka sempat bergerak, Arga tiba-tiba terdiam. Matanya terpaku pada boneka jerami yang tergeletak di atas meja. Ia memungut boneka itu dengan hati-hati, dan sensasi dingin langsung menyelubungi tubuhnya."Pak, ini bukan sakit biasa," ujar Arga dengan suara pelan, namun penuh keyakinan.Bima menatap boneka itu dengan alis berkerut. "Apa maksudmu, Arga?"Arga menutup matanya, mencoba merasakan energi aneh yang memancar dari boneka tersebut. Dalam sekejap, ia mendapatkan penglihatan singkat: seseorang dengan wajah samar-samar sedang

  • Tumbal Purnama    21

    Meski teror kutukan terus menghantui, keluarga Arga mencoba menjalani hari-hari mereka seperti biasa. Arga, meski memiliki banyak beban pikiran, tetap membantu keluarganya menjalankan usaha kecil mereka, sebuah toko bahan makanan yang terletak di tepi kota. Pagi itu, toko terlihat ramai. Lila sibuk melayani pelanggan, sementara Bima mengatur stok barang di gudang. Arga duduk di meja kasir, tetapi pikirannya melayang ke penglihatan-penglihatan yang ia alami. Wajah-wajah tumbal sebelumnya terus menghantui, memintanya untuk bertindak cepat. Seorang pelanggan mengetuk meja, membuyarkan lamunannya. “Arga, bisa tolong hitung ini?” tanya seorang wanita paruh baya sambil meletakkan beberapa barang. Arga tersenyum tipis dan segera memproses pesanan wanita itu. Namun, saat ia menyerahkan kembali uang kembalian, sebuah kilatan penglihatan muncul. Ia melihat wanita itu berdiri di tengah hutan gelap, menatap pohon kutukan yang dikelilin

  • Tumbal Purnama    20

    Ketukan di pintu semakin keras, seperti ada yang memaksa masuk. Lila memeluk Arga erat, sementara Bima berdiri di depan pintu, memegang parang yang ia ambil dari dapur."Siapa di sana?" teriak Bima, suaranya bergetar di antara keberanian dan ketakutan.Tidak ada jawaban, hanya suara ketukan yang terus menggema. Dari balik pintu, samar-samar terdengar suara tangisan anak-anak yang memilukan. Lila mencengkeram bahu Arga lebih kuat, takut kehilangan putranya.“Kita tidak bisa membiarkan mereka masuk,” bisik Lila, matanya penuh ketakutan.Namun, Arga mendekat ke pintu. “Aku harus tahu siapa mereka,” katanya pelan.“Arga, jangan!” cegah Bima, tapi Arga sudah meraih gagang pintu. Dengan hati-hati, ia membukanya sedikit.Di balik pintu, tidak ada siapa-siapa. Tidak ada anak-anak, tidak ada sosok manusia. Tapi udara dingin menyergap, membuat bulu kuduk mereka berdiri. Di depan pintu, terdapat jejak lumpur kecil, seperti langkah kaki anak

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status