Bab 3
Lila dan Bima berdiri di tengah lingkaran akar, dikelilingi bayangan-bayangan yang bergerak seperti makhluk hidup. Sosok pria berjubah hitam, saksi pertama perjanjian kutukan, berdiri diam di bawah pohon leluhur. Tubuh Arga melayang perlahan di udara, terkurung dalam lingkaran merah menyala. “Keputusanmu akan mengubah segalanya,” kata pria berjubah itu, suaranya menggema seperti ribuan orang berbicara sekaligus. “Keluarga kalian telah melanggar perjanjian. Kini, darah harus dibayar.” Lila menatap Bima, air matanya jatuh tanpa henti. “Bima, ini tidak adil. Kenapa kita harus memilih? Arga tidak bersalah. Kita juga tidak meminta semua ini.” “Karena ini harga yang harus dibayar,” balas pria itu dingin. “Jika kalian ingin memutus rantai kutukan ini, salah satu dari kalian harus menyerahkan jiwa. Tapi jika kalian ingin menyelamatkan diri masing-masing, tinggalkan anak itu. Ia akan menjadi milik kami.” Suasana semakin mencekam. Akar-akar pohon bergerak liar di sekeliling mereka, menciptakan suara yang mirip jeritan. Cahaya bulan purnama yang sebelumnya merah terang kini berubah menjadi hitam, menghapus semua cahaya di sekeliling hutan. Bima menggenggam pisau ritual itu dengan tangan gemetar. Ia melangkah ke tengah lingkaran, tubuhnya berdiri tegak meskipun napasnya berat. “Aku akan melakukannya,” katanya tegas. “Aku akan menyerahkan jiwa agar kutukan ini berakhir. Tapi kalian harus berjanji, Arga dan Lila akan hidup bebas dari kutukan ini.” “Bima, jangan!” Lila mencoba menghentikannya, tapi akar-akar pohon langsung mencengkeram kakinya, mengunci tubuhnya di tempat. Pria berjubah itu tertawa kecil. “Keberanianmu mengagumkan, manusia. Tapi ini bukan hanya tentang pengorbanan. Apakah kau siap untuk hidup dalam kegelapan abadi, menjadi bagian dari kami?” “Selama keluarga saya selamat, saya siap,” balas Bima. Ia mengangkat pisau ritual itu ke arah dadanya. Namun, sebelum pisau itu menyentuh kulitnya, Lila berteriak. “Tunggu! Kalau kalian ingin darah, ambil darahku!” Pria berjubah itu menoleh ke arahnya. “Kau bersedia menyerahkan segalanya untuk menyelamatkan anak dan suamimu?” Lila mengangguk tegas, meskipun air matanya tidak berhenti mengalir. “Bima adalah ayah yang baik, dan Arga membutuhkan dia. Kalau ada yang harus berkorban, itu aku.” Suasana menjadi hening. Bayangan-bayangan di sekeliling mereka tampak membeku, seolah menunggu keputusan terakhir. Pria berjubah itu mendekat ke Lila, mengulurkan tangannya. “Kalau begitu, datanglah. Serahkan dirimu sepenuhnya, dan kutukan ini akan berhenti malam ini.” Bima berteriak, mencoba melawan akar-akar yang menahannya. “Lila, jangan! Jangan lakukan ini!” Tapi Lila sudah mengambil keputusan. Ia berjalan perlahan ke tengah lingkaran, tangannya menyentuh udara di sekitar Arga. Tubuh bayinya yang melayang itu tampak semakin lemah, seperti sedang terkuras energinya. “Aku melakukan ini untukmu, sayang,” bisiknya pelan pada Arga, sebelum ia berbalik menatap pria berjubah itu. “Ambil aku. Tapi pastikan anakku dan suamiku bebas dari kutukan ini selamanya.” Pria itu tersenyum samar, lalu mengulurkan tangannya. “Begitu darahmu menyentuh tanah, semuanya akan selesai.” Dengan pisau ritual di tangannya, Lila bersiap mengorbankan dirinya. Tapi sebelum ia sempat melakukannya, bayangan besar lain muncul dari pohon sosok wanita tua dengan rambut panjang kusut. Wajahnya penuh luka, dan matanya hitam tanpa bola mata. “Hentikan!” teriak wanita itu. Pria berjubah itu tampak terkejut. “Apa yang kau lakukan di sini, Roh Tua? Ini urusan mereka.” Wanita tua itu menatap Lila dan Bima dengan tatapan tajam. “Kalian telah memilih dengan hati yang murni. Itu sudah cukup. Kutukan ini tidak lagi layak diteruskan.” Dengan gerakan tangannya, wanita itu mengusir semua bayangan yang mengelilingi mereka. Jeritan-jeritan mengerikan menggema di udara sebelum semuanya hening. Tubuh Arga turun perlahan ke tangan Lila, yang menangis tersedu-sedu. “Apa maksudnya?” tanya Bima bingung. Wanita tua itu mendekat, suaranya lebih lembut. “Kalian telah membuktikan bahwa cinta bisa melampaui ketakutan. Kutukan ini hanya bisa dihentikan oleh ketulusan yang sesungguhnya. Kalian sudah melakukan bagian kalian.” Dengan itu, wanita tua dan pria berjubah menghilang, bersamaan dengan bayangan-bayangan dan akar-akar pohon yang kembali ke tanah. Pohon leluhur berdiri diam, seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Angin malam kembali berembus pelan, membawa keheningan yang terasa ganjil. Lila memeluk tubuh kecil Arga erat-erat, memastikan bayinya bernapas dengan normal. Napasnya sendiri tersengal, bercampur dengan isak tangis lega. Bima mendekat, lututnya lemas saat ia jatuh berlutut di samping Lila. Ia menyentuh kepala Arga dengan tangan gemetar, memastikan anaknya benar-benar kembali. “Dia hidup... Arga hidup...” Lila mengangguk, tapi matanya tetap terpaku pada pohon leluhur. Pohon itu kini tampak diam, akar-akarnya tak lagi bergerak. Namun, di balik kulit hitam pohon, sesuatu seperti darah perlahan meresap ke dalam tanah, meninggalkan bau logam yang menyengat. “Kita harus pergi dari sini,” Bima berkata dengan suara pelan, hampir berbisik. Ia membantu Lila berdiri, lalu memeluknya erat. “Semua ini sudah berakhir. Kita bebas.” Namun, saat mereka melangkah meninggalkan pohon itu, sebuah suara samar terdengar dari kejauhan. Suara itu rendah, hampir seperti bisikan, tapi cukup jelas untuk membuat mereka berdua berhenti: “Kebebasanmu adalah ilusi... perjanjian tidak pernah benar-benar berakhir...” Lila menoleh cepat, tapi hanya melihat pohon itu berdiri diam. Tidak ada bayangan, tidak ada sosok berjubah, tidak ada wanita tua. Namun, hawa dingin yang menjalar di punggungnya membuatnya tahu sesuatu belum selesai. “Lila, ayo cepat.” Bima menarik tangannya lembut, membawa mereka menjauh dari tempat itu. Saat mereka akhirnya mencapai jalan keluar dari hutan, bulan purnama mulai tertutup awan tebal, menyelimuti dunia dalam kegelapan total. Tidak ada bintang, tidak ada suara binatang malam—hanya keheningan yang menekan. Mereka tidak menyadari, di balik pepohonan, sepasang mata merah menyala kembali muncul, mengawasi mereka dengan senyum samar. Lila duduk di lantai kamar, memeluk erat tubuh kecil Arga yang menggeliat gelisah di dalam pelukannya. Udara di dalam rumah terasa semakin dingin, meskipun jendela dan pintu telah tertutup rapat. Cahaya bulan purnama yang sempurna menerobos celah-celah tirai, menyinari ruangan dengan kilauan perak yang aneh. Bima berdiri di depan pintu kamar, memegang sebilah parang yang ia temukan di dapur. Suara-suara aneh bergema di luar rumah—bisikan dan tawa yang tidak seharusnya terdengar di malam hari. "Lila," bisik Bima tanpa menoleh, matanya terus memandang pintu. "Jika mereka berhasil masuk, kau lari ke hutan. Jangan pedulikan aku. Selamatkan Arga." Lila menatap suaminya dengan mata penuh ketakutan dan kepedihan. "Aku tidak akan meninggalkanmu, Bima. Kita bertiga akan keluar dari mimpi buruk ini bersama-sama." Tiba-tiba, ketukan keras menggema di pintu depan. Suaranya berat dan bergema, seperti seseorang—atau sesuatu—dengan kekuatan yang tidak wajar sedang mencoba masuk. Ketukan itu diikuti oleh suara erangan pelan, seperti suara napas makhluk yang kelelahan tetapi tidak menyerah. "Siapa di sana?!" Bima berteriak, suaranya bercampur dengan ketegangan dan kemarahan. Ketukan berhenti. Sunyi. Hanya suara napas mereka yang terdengar di tengah kegelapan. Namun, hanya beberapa detik kemudian, jendela di ruang tamu bergetar keras, seperti ada sesuatu yang berusaha menerobos masuk. Cahaya bulan purnama dari luar semakin terang, hampir menyilaukan. Lila merasa jantungnya hampir berhenti saat suara bisikan mulai terdengar di telinganya, meskipun tidak ada siapa pun di dekatnya. "Kau tidak bisa melarikan diri. Tumbal harus diberikan. Pohon Leluhur memanggil." Pintu kamar tiba-tiba terbuka dengan keras, membuat Lila dan Bima tersentak. Sebuah bayangan tinggi, lebih hitam dari malam, berdiri di ambang pintu. Sosok itu tidak memiliki bentuk yang jelas, hanya mata merah menyala yang menatap langsung ke arah Arga. Lila menjerit, memeluk Arga lebih erat, sementara Bima mengangkat parang dan maju dengan langkah gemetar. "Jangan sentuh anakku!" teriaknya. Sosok itu tertawa, suara tawanya terdengar seperti retakan kayu yang terbakar. "Ini bukan pilihanmu," gumamnya. Saat Bima mengayunkan parang ke arah bayangan itu, sosok tersebut menghilang begitu saja, meninggalkan tawa bergema di udara. Namun, di belakang mereka, suara lain terdengar dari sudut kamar, suara napas kecil yang tidak wajar. Lila dan Bima berbalik serentak, dan mereka melihat Arga, yang kini tidak menangis lagi, tetapi menatap mereka dengan mata yang bukan miliknya. Mata bayi itu berkilau seperti cahaya bulan, penuh dengan keanehan. "Arga?" Lila berbisik dengan suara patah. Bayi itu tersenyum tipis, lalu dengan suara serak yang tidak mungkin berasal dari anak sekecil itu, ia berkata, "Purnama baru saja dimulai."Bab 4Pagi itu, Lila bangun dengan tubuh yang terasa berat, seolah-olah semalam ia telah menempuh perjalanan panjang yang tidak nyata. Cahaya matahari pagi masuk melalui celah-celah tirai, tetapi tidak mampu mengusir dingin yang merayap di dalam rumah. Di sebelahnya, Arga tidur dengan tenang, wajahnya polos seperti bayi biasa. Namun, Lila tahu ada sesuatu yang salah.Ingatan tentang malam sebelumnya menghantui pikirannya. Suara bisikan, tawa, dan kata-kata yang keluar dari mulut Arga yang seharusnya tidak mungkin ia ucapkan. Lila mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua itu hanyalah mimpi buruk akibat kelelahan. Namun, dalam hati kecilnya, ia tahu itu adalah kenyataan.Bima masuk ke kamar membawa secangkir teh hangat. Wajahnya pucat, matanya menunjukkan kurang tidur. "Aku tidak bisa tidur semalaman," katanya sambil menyerahkan cangkir itu kepada Lila. "Aku merasa ada yang mengawasi kita."Lila menggenggam cangkir itu dengan tangan gemetar. "Bima, aku rasa kita harus mencari tahu lebih b
Bab 5Lila dan Bima berlari keluar dari rumah, meninggalkan Arga dalam pelukan erat Lila. Malam terasa lebih dingin dari biasanya, angin yang berhembus membawa bisikan samar yang terus-menerus mengganggu pikiran mereka. Ketakutan menggerogoti mereka, tetapi rasa cinta dan tanggung jawab untuk melindungi anak mereka lebih besar dari rasa takut itu."Kita harus ke Pohon Leluhur sebelum purnama berikutnya," kata Bima, suaranya tegas meski napasnya tersengal."Tapi apa kita cukup siap?" tanya Lila, menggenggam tangan Bima erat. "Pak Gana bilang kita membutuhkan ritual, dan itu tidak mudah."Bima menghentikan langkahnya sejenak. Ia memandang Lila dalam-dalam, matanya penuh tekad. "Kalau kita menunggu, Arga akan menjadi tumbal berikutnya. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi."Kembali ke rumah Bu RatmiNamun, sebelum melangkah lebih jauh, mereka memutuskan untuk memeriksa rumah Bu Ratmi. Jeritan terakhir yang mereka dengar masih terngiang di telinga. Rumah kecil itu kini tampak lebih gelap
Udara di sekitar Pohon Leluhur semakin berat, seolah-olah mengisap oksigen dari paru-paru mereka. Cahaya hijau dari lubang di dasar pohon berubah menjadi kabut pekat, membentuk lingkaran yang perlahan berputar. Makhluk raksasa itu berdiri diam, menatap mereka dengan senyum penuh arti, seakan menunggu langkah mereka berikutnya. “Pergi ke dalam pohon…” suara misterius dari Arga terulang lagi, lebih tegas kali ini. Lila memeluk anaknya lebih erat. "Bima, apa maksudnya? Bagaimana seorang bayi bisa tahu semua ini?" Bima menatap Arga dengan kebingungan yang sama, tetapi waktu tidak berpihak pada mereka. Pak Gana, yang sebelumnya hanya terpaku ketakutan, akhirnya membuka suara. "Kalian harus melakukannya. Jika suara itu berasal dari anak kalian... mungkin dia adalah kunci untuk menghentikan semua ini." Lila menatap Bima, matanya penuh keraguan. "Bagaimana jika ini jebakan? Bagaimana jika kita justru membawa Arga lebih dekat ke bahaya?" Bima menggenggam tangan Lila dengan erat, meskipun
Ruangan itu terdiam sesaat setelah suara Arga menggema. Mata hijau menyala anak kecil itu tidak lagi tampak polos, melainkan seperti mata makhluk purba yang tahu segalanya. Sosok besar yang sebelumnya tampak mengancam kini terlihat gentar. “Tidak mungkin…” sosok itu bergumam, suaranya penuh ketakutan. “Jiwa Pohon Leluhur seharusnya terikat pada perjanjian! Bagaimana bisa…” Bima dan Lila hanya bisa terpaku, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Arga, yang sebelumnya hanyalah seorang bayi tak berdaya, kini memancarkan aura yang membuat akar-akar di sekitarnya berhenti bergerak. “Bima… apa ini? Apa yang terjadi dengan Arga?” bisik Lila, suaranya bergetar. Bima tidak menjawab. Ia hanya menatap anaknya, mencoba memahami situasi aneh yang baru saja terjadi. Tiba-tiba, suara lembut namun penuh wibawa terdengar dari altar di tengah ruangan. Suara itu berbeda dari sosok jahat yang mengancam mereka sebelumnya. “Anak itu adalah titisan kekuatan kami. Dia bukan hanya tumbal; dia adala
Cermin itu memancarkan cahaya perak yang aneh, seperti undangan sekaligus peringatan. Suara gemuruh yang sebelumnya menggema kini berubah menjadi bisikan-bisikan samar, seakan-akan memanggil mereka masuk. Bima menatap cermin itu, lalu pada Lila yang menggenggam Arga erat-erat. “Kita tidak punya pilihan lain. Ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan Arga dan mengakhiri kutukan ini.” Lila mengangguk, meskipun tubuhnya gemetar. “Aku tidak peduli apa yang ada di balik sana. Selama Arga aman, aku akan lakukan apa saja.” Bima mengambil napas dalam, lalu melangkah mendekati cermin. Saat ia menyentuh permukaannya, cermin itu beriak seperti air. Sekejap kemudian, ia tersedot masuk. Lila mengikuti, dengan Arga dalam pelukannya. Saat mereka memasuki cermin, tubuh mereka terasa melayang di tengah kehampaan yang gelap. Tidak ada arah, tidak ada suara, hanya kegelapan yang mencekam. Tapi perlahan, kegelapan itu memudar, digantikan oleh pemandangan yang membuat darah mereka membeku. Mereka ber
Langit yang berubah merah membuat seluruh dunia di balik cermin menjadi semakin mencekam. Gemuruh yang berasal dari Pohon Leluhur terus menggema, menciptakan getaran yang terasa hingga ke tanah di bawah kaki Lila. Ia terus berlari, meskipun napasnya semakin berat, memeluk Arga erat-erat. “Bima… di mana kau?” bisiknya, putus asa. Bayangan wanita yang mengejarnya tak kunjung hilang. Suaranya terus memanggil dengan nada yang penuh kebencian dan kemarahan. “Lila! Kau tidak bisa lari dariku. Anak itu adalah milik kami!” Lila terhenti di sebuah persimpangan yang dikelilingi oleh dinding akar. Tidak ada jalan keluar yang jelas. Ia merasa terkepung. “Tidak,” gumamnya. “Aku tidak akan membiarkanmu mengambil Arga.” Tiba-tiba, dinding akar di depannya terbuka, memperlihatkan sebuah lorong gelap yang penuh dengan suara gemuruh dari pohon besar di kejauhan. Tanpa pilihan lain, Lila memutuskan untuk masuk, b
Lila tersentak ketika tubuhnya melayang, ditarik oleh kekuatan besar yang berasal dari Pohon Leluhur. Akar-akar pohon menggeliat di sekelilingnya, menciptakan lorong yang gelap dan menyeramkan. Arga di pelukannya terus bersinar terang, tetapi tangisnya semakin pelan, seolah-olah kekuatannya terkuras. “Arga, bertahanlah, Sayang. Ibu akan melindungimu,” bisik Lila dengan suara bergetar. Ia terhenti di sebuah ruangan besar di dalam Pohon Leluhur, sebuah tempat yang terasa seperti jantung dari kegelapan itu sendiri. Di tengah ruangan, sebuah bola energi merah menyala menggantung, memancarkan hawa panas yang membuat kulitnya terasa terbakar. Lila memandang sekeliling, mencari jalan keluar. Namun, ruangan itu dipenuhi dengan wajah-wajah mengerikan yang terperangkap di dinding pohon, menangis dan menjerit. Di luar pohon, Bima berjuang melawan akar-akar yang mencengkeram tubuhnya. Ia meraih batu kunci yang jatuh tidak jauh dari tem
Ledakan besar itu mengguncang tanah, menghancurkan akar-akar pohon yang sebelumnya melilit Lila dan Arga. Bima berusaha melindungi tubuhnya dari serpihan kayu yang beterbangan. Saat debu mulai mengendap, ia melihat sesosok tubuh kecil terbaring di tanah. “Arga!” teriak Bima sambil berlari ke arah bayi itu. Arga masih bernapas, meskipun tubuhnya lemah dan dipenuhi jejak aura gelap. Lila berdiri dengan tubuh gemetar, mencoba menenangkan Arga yang kembali menangis. Namun, suara kakek buyut mereka kembali menggema, kali ini lebih menyeramkan dari sebelumnya. “Kalian pikir bisa menghancurkan kutukan ini begitu saja? Kalian baru saja membangkitkan inti kekuatan yang selama ini tersembunyi.” Di hadapan mereka, Pohon Leluhur yang sudah retak kini mulai menyatu kembali, tetapi kali ini bentuknya berubah. Akar-akar itu menyusun tubuh besar seperti makhluk humanoid dengan wajah menyerupai kakek buyut mereka, tetapi lebih bengis dan menakutkan.
Di ruang tamu yang sunyi, Arga dan Anandia duduk berhadapan. Wajah Anandia tegang, sementara Arga menatapnya dengan sabar, menunggu penjelasan yang sudah lama ia tunggu."Arga," Anandia memulai, suaranya bergetar. "Aku harus memberitahumu sesuatu yang mungkin akan mengubah cara pandangmu terhadapku."Arga menyandarkan punggungnya, mencoba membuat Anandia merasa lebih nyaman. "Katakan saja, Anandia. Aku di sini untuk mendengar, apa pun itu."Anandia menarik napas panjang. "Keluargaku... mereka bukan keluarga biasa. Kami memiliki hubungan dengan sesuatu yang gelap, sesuatu yang tidak bisa aku hindari."Arga mengerutkan kening. "Hubungan dengan sesuatu yang gelap? Maksudmu apa?"Anandia menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata. "Dulu, sebelum aku lahir, keluargaku terlibat dalam sebuah ritual gaib. Ritual itu melibatkan leluhurmu, Arga."Arga tertegun. "Leluhurku? Apa hubungan keluargamu dengan kutukan itu?"Anandia men
Pagi itu, Arga kembali ke rumah dengan perasaan penuh pertanyaan. Percakapan dengan Anandia kemarin masih terngiang-ngiang di benaknya. Namun, saat ia hendak memasuki rumah, Anandia muncul di gerbang, seolah telah menunggunya."Anandia?" Arga menatapnya heran. "Kenapa kamu di sini?""Aku harus bicara, Arga. Ini soal keluargaku. Aku harus menjelaskannya sekarang," kata Anandia dengan nada serius.Arga ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. Ia membuka pintu dan mengajak Anandia duduk di ruang tamu. Lila dan Bima tidak ada di rumah, jadi tempat itu cukup tenang untuk percakapan mereka."Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Arga sambil menyilangkan tangan di dada.Anandia menatap ke arah jendela, matanya penuh kenangan pahit. "Dua tahun lalu, aku kehilangan keluargaku dalam sebuah kejadian yang tidak pernah bisa aku lupakan. Mereka dibunuh... oleh sesuatu yang bukan manusia."Arga terkejut. "Apa maksudmu, bukan manusia?"Anandia menghela napas panjang. "Sesuatu yang datang dari dunia ga
Suasana kelas yang semula riuh mendadak sunyi saat seorang gadis baru memasuki ruangan. Guru wali kelas tersenyum sambil memperkenalkan."Anak-anak, hari ini kita kedatangan murid baru. Perkenalkan dirimu, ya."Gadis itu maju ke depan kelas dengan langkah tenang. Rambut hitamnya tergerai rapi, dan matanya memancarkan keteguhan yang aneh."Halo, semuanya. Nama saya Anandia, saya baru pindah dari kota. Senang bisa bergabung di sini." Suaranya lembut tetapi penuh keyakinan.Bisik-bisik mulai terdengar di antara para siswa."Anandia cantik banget, ya," ujar salah satu siswa perempuan."Kayaknya dia tipe cewek pintar," timpal yang lain.Sheila yang duduk di sudut kelas memperhatikan dengan tatapan tak suka. Ia memelototi Anandia seolah langsung menganggapnya ancaman.---Saat Jam Istirahat.Anandia berjalan keluar kelas, mencari tempat untuk duduk sendiri. Namun, langkahnya terhenti saat ia melihat Arga di taman. Ia mendekat dengan ragu, lalu berkata, "Boleh duduk di sini?"Arga, yang seda
Hari itu, suasana kelas tampak lebih ramai dari biasanya. Guru wali kelas baru saja mengumumkan adanya kompetisi akademik tingkat provinsi, dan Arga, seperti biasa, langsung ditunjuk sebagai perwakilan sekolah. Namun, suasana berubah tegang saat nama lain disebutkan."Sebagai perwakilan kedua, kami memilih Farel," kata wali kelas dengan senyum.Semua murid mulai berbisik-bisik. Farel adalah salah satu siswa yang dikenal pintar, tapi sering terlihat iri dengan prestasi Arga. Wajah Farel tampak puas, tapi ada kilatan tantangan di matanya saat ia menatap Arga.Saat kelas usai, Farel menghampiri Arga yang sedang duduk di pojokan, membaca buku."Jadi, kita akan jadi tim, ya?" Farel membuka percakapan dengan nada sinis.Arga mengangkat wajahnya sekilas, lalu kembali fokus pada bukunya. "Tim? Kalau kau serius, mungkin," jawabnya datar.Farel terkekeh kecil. "Jangan terlalu percaya diri, Arga. Kau mungkin juara di sekolah, tapi ini tingkat provinsi. Aku hanya ingin memastikan kau nggak memper
Di SMA tempat Arga bersekolah, ketampanan, kepintaran, dan kepribadian misteriusnya membuat banyak siswi terpesona. Namun, ada satu siswi yang terobsesi melebihi yang lain, Sheila Ia bukan hanya sekadar menyukai Arga, tapi yakin bahwa Arga adalah takdirnya.Pagi itu, suasana di kelas Arga ramai seperti biasa. Arga duduk di bangku belakang, fokus mengerjakan soal tambahan yang diberikan gurunya. Di sudut lain, Sheila mengamati Arga dengan tatapan yang tidak bisa diartikan."Sheila, ngapain bengong? Lagi-lagi liatin Arga, ya?" sindir Siska, teman sebangkunya.Sheila tersenyum kecil. "Dia itu... beda. Kamu nggak ngerti."Siska memutar bola matanya. "Beda apanya? Dia cuma cowok dingin yang nggak pernah peduli sama siapa pun.""Itu karena dia belum kenal aku," balas Sheila yakin.Hari itu, di jam istirahat, Sheila membawa sekotak bekal yang dibuatnya sendiri. Ia berjalan ke arah meja Arga di kantin, di mana Arga sedang membaca buku s
Sekolah SMA tempat Arga belajar adalah salah satu sekolah paling bergengsi di kota. Gedungnya megah, dikelilingi taman luas dengan pepohonan rindang. Namun, suasana sekolah itu selalu menjadi saksi dari kehadiran seorang murid yang misterius dan penuh daya tarik, Arga.Arga adalah pemuda yang dikenal dengan sikap dingin dan cueknya. Ia jarang berbicara dengan teman-teman sekelasnya kecuali saat diperlukan. Namun, justru sikap inilah yang membuatnya begitu dikagumi."Arga itu keren banget, ya. Diam-diam bikin penasaran," bisik seorang siswi kepada temannya saat Arga melintas di lorong sekolah."Dia nggak cuma ganteng, tapi juga pinter banget. Nilai akademiknya selalu nomor satu, belum lagi dia jago basket. Idola banget deh!" sahut yang lain.Dalam berbagai kompetisi, nama Arga selalu muncul. Ia unggul di akademik, menjuarai olimpiade fisika tingkat nasional, dan juga merupakan kapten tim basket sekolah. Ketika Arga bermain di lapangan, tribun selalu dipenuhi sorakan siswa-siswi yang me
Arga segera berlari menghampiri Lila yang tergeletak di lantai. Wajahnya pucat, napasnya tersengal-sengal, dan keringat dingin mengalir deras di pelipisnya."Bu! Ibu kenapa?" Arga memeluk tubuh ibunya, mencoba membangunkannya.Bima bergegas mengambil air putih, tetapi bahkan setelah diminumkan, kondisi Lila tak kunjung membaik. Tubuhnya terus menggigil, dan bibirnya mulai membiru."Kita harus bawa dia ke rumah sakit sekarang!" ujar Bima panik.Namun, sebelum mereka sempat bergerak, Arga tiba-tiba terdiam. Matanya terpaku pada boneka jerami yang tergeletak di atas meja. Ia memungut boneka itu dengan hati-hati, dan sensasi dingin langsung menyelubungi tubuhnya."Pak, ini bukan sakit biasa," ujar Arga dengan suara pelan, namun penuh keyakinan.Bima menatap boneka itu dengan alis berkerut. "Apa maksudmu, Arga?"Arga menutup matanya, mencoba merasakan energi aneh yang memancar dari boneka tersebut. Dalam sekejap, ia mendapatkan penglihatan singkat: seseorang dengan wajah samar-samar sedang
Meski teror kutukan terus menghantui, keluarga Arga mencoba menjalani hari-hari mereka seperti biasa. Arga, meski memiliki banyak beban pikiran, tetap membantu keluarganya menjalankan usaha kecil mereka, sebuah toko bahan makanan yang terletak di tepi kota. Pagi itu, toko terlihat ramai. Lila sibuk melayani pelanggan, sementara Bima mengatur stok barang di gudang. Arga duduk di meja kasir, tetapi pikirannya melayang ke penglihatan-penglihatan yang ia alami. Wajah-wajah tumbal sebelumnya terus menghantui, memintanya untuk bertindak cepat. Seorang pelanggan mengetuk meja, membuyarkan lamunannya. “Arga, bisa tolong hitung ini?” tanya seorang wanita paruh baya sambil meletakkan beberapa barang. Arga tersenyum tipis dan segera memproses pesanan wanita itu. Namun, saat ia menyerahkan kembali uang kembalian, sebuah kilatan penglihatan muncul. Ia melihat wanita itu berdiri di tengah hutan gelap, menatap pohon kutukan yang dikelilin
Ketukan di pintu semakin keras, seperti ada yang memaksa masuk. Lila memeluk Arga erat, sementara Bima berdiri di depan pintu, memegang parang yang ia ambil dari dapur."Siapa di sana?" teriak Bima, suaranya bergetar di antara keberanian dan ketakutan.Tidak ada jawaban, hanya suara ketukan yang terus menggema. Dari balik pintu, samar-samar terdengar suara tangisan anak-anak yang memilukan. Lila mencengkeram bahu Arga lebih kuat, takut kehilangan putranya.“Kita tidak bisa membiarkan mereka masuk,” bisik Lila, matanya penuh ketakutan.Namun, Arga mendekat ke pintu. “Aku harus tahu siapa mereka,” katanya pelan.“Arga, jangan!” cegah Bima, tapi Arga sudah meraih gagang pintu. Dengan hati-hati, ia membukanya sedikit.Di balik pintu, tidak ada siapa-siapa. Tidak ada anak-anak, tidak ada sosok manusia. Tapi udara dingin menyergap, membuat bulu kuduk mereka berdiri. Di depan pintu, terdapat jejak lumpur kecil, seperti langkah kaki anak