Share

4

Penulis: Airyline
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-28 12:54:31

Bab 4

Pagi itu, Lila bangun dengan tubuh yang terasa berat, seolah-olah semalam ia telah menempuh perjalanan panjang yang tidak nyata. Cahaya matahari pagi masuk melalui celah-celah tirai, tetapi tidak mampu mengusir dingin yang merayap di dalam rumah. Di sebelahnya, Arga tidur dengan tenang, wajahnya polos seperti bayi biasa. Namun, Lila tahu ada sesuatu yang salah.

Ingatan tentang malam sebelumnya menghantui pikirannya. Suara bisikan, tawa, dan kata-kata yang keluar dari mulut Arga yang seharusnya tidak mungkin ia ucapkan. Lila mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua itu hanyalah mimpi buruk akibat kelelahan. Namun, dalam hati kecilnya, ia tahu itu adalah kenyataan.

Bima masuk ke kamar membawa secangkir teh hangat. Wajahnya pucat, matanya menunjukkan kurang tidur. "Aku tidak bisa tidur semalaman," katanya sambil menyerahkan cangkir itu kepada Lila. "Aku merasa ada yang mengawasi kita."

Lila menggenggam cangkir itu dengan tangan gemetar. "Bima, aku rasa kita harus mencari tahu lebih banyak tentang kutukan ini. Aku tidak bisa diam saja, menunggu sesuatu yang buruk terjadi lagi."

Bima mengangguk pelan. "Aku setuju. Semalam aku bertemu dengan Pak Arsam, dia bilang ada seseorang yang mungkin bisa membantu kita."

"Siapa?" tanya Lila, menatap suaminya dengan penuh harap.

"Namanya Pak Gana. Dia seorang dukun tua yang tinggal di ujung desa. Katanya, dia tahu banyak tentang Pohon Leluhur dan kutukan keluarga kita."

Lila dan Bima bergegas pergi ke rumah Pak Gana, meninggalkan Arga di bawah pengawasan tetangga mereka, Bu Ratmi. Rumah Pak Gana terletak di pinggir desa, dikelilingi hutan lebat. Bangunannya kecil dan terlihat tua, dengan dinding kayu yang mulai lapuk.

Saat mereka mengetuk pintu, suara berat dari dalam mempersilakan mereka masuk. Pak Gana duduk di sudut ruangan, dikelilingi oleh dupa yang menyala dan tumpukan buku tua. Matanya tajam, menatap langsung ke arah Lila dan Bima seolah-olah bisa membaca pikiran mereka.

"Aku sudah menunggu kalian," kata Pak Gana tanpa basa-basi.

Lila menelan ludah. "Tunggu kami? Maksudnya?"

Pak Gana tersenyum tipis. "Kutukan keluarga kalian bukan hal baru. Setiap generasi, aku selalu mendengar cerita tentang bayi-bayi yang diambil saat bulan purnama sempurna. Tapi generasi kalian berbeda. Kalian mencoba melawan, dan itu menarik perhatian mereka."

"Siapa mereka?" tanya Bima, suaranya tegang.

Pak Gana tidak langsung menjawab. Ia berdiri, mengambil sebuah buku tua dari rak, dan meletakkannya di depan mereka. Halamannya penuh dengan tulisan tangan dan gambar-gambar menyeramkan. Salah satu gambar menunjukkan Pohon Leluhur, dengan makhluk-makhluk menyerupai bayangan hitam mengelilinginya.

"Mereka adalah penjaga perjanjian," jawab Pak Gana akhirnya. "Makhluk gaib yang terikat dengan Pohon Leluhur untuk memastikan perjanjian itu terpenuhi. Jika kalian ingin menghentikan kutukan ini, kalian harus menghancurkan pohon itu."

Pak Gana memberi tahu mereka bahwa Pohon Leluhur bukan hanya simbol kutukan, tetapi juga portal antara dunia manusia dan dunia makhluk gaib. Menghancurkannya memerlukan ritual kuno yang hanya bisa dilakukan di malam purnama sempurna berikutnya. Namun, ritual itu memerlukan pengorbanan besar, darah dari keturunan langsung Wiratama.

"Kalian harus memilih," kata Pak Gana. "Hancurkan pohon itu dan hentikan kutukan selamanya, atau terus bersembunyi dan kehilangan semua yang kalian miliki."

Lila dan Bima saling menatap, pikiran mereka dipenuhi pertanyaan dan ketakutan. Sebelum mereka bisa menjawab, suara ketukan keras terdengar di pintu rumah Pak Gana.

Pak Gana mengernyit. "Tidak ada yang tahu kalian ada di sini."

Bima melangkah ke arah pintu, tetapi Pak Gana menahannya. "Tunggu," bisiknya. "Mereka sudah tahu."

Ketukan berubah menjadi hentakan, seolah-olah sesuatu sedang berusaha menerobos masuk. Udara di dalam ruangan tiba-tiba menjadi dingin, dan bau busuk seperti daging busuk memenuhi udara.

Lila memegang lengan Bima erat-erat. "Apa yang terjadi?" bisiknya, suara gemetar.

Pak Gana mengambil segenggam garam dari meja, lalu menyebarkannya di pintu. "Mereka datang untuk memperingatkan kalian. Pilihan ada di tangan kalian sekarang."

Pintu bergetar semakin keras, tetapi tidak terbuka. Dari celah-celah dinding, suara tawa menyeramkan mulai terdengar, bercampur dengan bisikan yang hanya bisa didengar oleh Lila dan Bima.

"Kalian tidak akan bisa melarikan diri. Tumbal harus diberikan. Pohon Leluhur memanggil."

Malam itu, Lila dan Bima pulang dengan hati yang berat. Di dalam kamar, mereka menemukan Arga tertidur, tetapi sesuatu terasa aneh. Di dinding kamar, sebuah bayangan gelap terlihat samar, berdiri diam, meskipun tidak ada apa pun di sana yang bisa menciptakan bayangan tersebut.

Lila menggenggam tangan Bima. "Waktunya hampir habis, Bima. Kita harus melakukan sesuatu sebelum semuanya terlambat."

Malam itu, suara-suara aneh kembali bergema di rumah mereka. Angin dingin menyelinap melalui celah pintu dan jendela, meski semuanya sudah tertutup rapat. Lila duduk di ranjang, memeluk Arga erat di pelukannya. Bima berjaga di depan pintu kamar dengan parang di tangannya, matanya tidak lepas dari bayangan yang terus bergerak di sudut ruangan.

"Ini semakin parah, Bima," bisik Lila dengan suara bergetar.

Bima mengangguk pelan. "Kita harus cepat. Kalau tidak, mereka akan mengambil Arga."

Tiba-tiba, lampu di kamar padam. Kegelapan menyelimuti ruangan, hanya menyisakan sedikit cahaya bulan yang masuk melalui tirai. Lila menahan napas, mendengar suara langkah pelan di luar pintu kamar.

"Siapa di sana?" teriak Bima, mengangkat parang dengan tangan gemetar.

Langkah itu berhenti, digantikan oleh suara tawa pelan yang menyeramkan. Suara itu terdengar seperti berasal dari makhluk yang sedang menikmati penderitaan mereka.

Lalu, pintu kamar terbuka perlahan, meski Bima yakin sudah menguncinya. Di ambang pintu, bayangan tinggi dengan mata merah menyala muncul, tubuhnya seperti kabut yang berputar-putar.

"Kalian tidak bisa melawan," suara makhluk itu berbisik, tajam dan dingin. "Purnama berikutnya, dia akan menjadi milik kami."

Lila berteriak, memeluk Arga lebih erat, sementara Bima mengayunkan parangnya ke arah bayangan itu. Tapi parang itu hanya menembus udara kosong. Bayangan itu lenyap, meninggalkan suara tawa yang menggema di seluruh ruangan.

Saat mereka mengira segalanya telah tenang, Arga tiba-tiba membuka matanya. Tatapannya kosong, dan ia mulai tertawa pelan. Tawa bayi itu berubah menjadi suara yang dalam dan mengerikan, jauh dari suara bayi biasa.

"Kalian sudah terlambat," kata suara itu melalui mulut Arga, membuat Lila dan Bima membeku di tempat mereka. "Pohon Leluhur tidak bisa dihancurkan tanpa harga yang lebih besar."

Arga tiba-tiba terdiam, matanya kembali normal, dan ia tertidur seperti tidak terjadi apa-apa. Tapi di dada kecilnya, Lila melihat tanda hitam samar berbentuk lingkaran, seperti bekas luka bakar, yang tidak ada sebelumnya.

Di tengah keheningan yang mencekam, Lila memandang Bima dengan mata penuh ketakutan. "Apa maksud mereka? Harga yang lebih besar?"

Bima tidak menjawab. Ia hanya menatap tanda hitam di dada Arga, wajahnya memucat. Saat ia membuka mulut untuk berbicara, suara langkah pelan kembali terdengar di luar kamar.

Namun kali ini, langkah itu tidak berhenti di depan pintu. Mereka mendengar suara itu bergerak ke kamar lain, diikuti suara pintu terbuka perlahan.

Lila menahan napas, mencoba mendengar lebih jelas. Dari kamar sebelah, mereka mendengar suara yang membuat darah mereka membeku.

Itu suara Bu Ratmi, tetangga mereka yang sebelumnya menjaga Arga. Suaranya lirih, seperti sedang berbicara dengan seseorang, tetapi intonasinya penuh ketakutan. "Tidak... jangan ambil aku. Aku tidak tahu apa-apa. Tolong!"

Kemudian, terdengar jeritan panjang yang mendadak terputus, diikuti oleh keheningan yang menyesakkan.

"Lila," kata Bima dengan suara serak. "Kita tidak punya banyak waktu. Kita harus ke Pohon Leluhur sekarang."

Apa yang sebenarnya terjadi di rumah Bu Ratmi dan mengapa kutukan semakin kuat?

Bab terkait

  • Tumbal Purnama    5

    Bab 5Lila dan Bima berlari keluar dari rumah, meninggalkan Arga dalam pelukan erat Lila. Malam terasa lebih dingin dari biasanya, angin yang berhembus membawa bisikan samar yang terus-menerus mengganggu pikiran mereka. Ketakutan menggerogoti mereka, tetapi rasa cinta dan tanggung jawab untuk melindungi anak mereka lebih besar dari rasa takut itu."Kita harus ke Pohon Leluhur sebelum purnama berikutnya," kata Bima, suaranya tegas meski napasnya tersengal."Tapi apa kita cukup siap?" tanya Lila, menggenggam tangan Bima erat. "Pak Gana bilang kita membutuhkan ritual, dan itu tidak mudah."Bima menghentikan langkahnya sejenak. Ia memandang Lila dalam-dalam, matanya penuh tekad. "Kalau kita menunggu, Arga akan menjadi tumbal berikutnya. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi."Kembali ke rumah Bu RatmiNamun, sebelum melangkah lebih jauh, mereka memutuskan untuk memeriksa rumah Bu Ratmi. Jeritan terakhir yang mereka dengar masih terngiang di telinga. Rumah kecil itu kini tampak lebih gelap

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-28
  • Tumbal Purnama    6

    Udara di sekitar Pohon Leluhur semakin berat, seolah-olah mengisap oksigen dari paru-paru mereka. Cahaya hijau dari lubang di dasar pohon berubah menjadi kabut pekat, membentuk lingkaran yang perlahan berputar. Makhluk raksasa itu berdiri diam, menatap mereka dengan senyum penuh arti, seakan menunggu langkah mereka berikutnya. “Pergi ke dalam pohon…” suara misterius dari Arga terulang lagi, lebih tegas kali ini. Lila memeluk anaknya lebih erat. "Bima, apa maksudnya? Bagaimana seorang bayi bisa tahu semua ini?" Bima menatap Arga dengan kebingungan yang sama, tetapi waktu tidak berpihak pada mereka. Pak Gana, yang sebelumnya hanya terpaku ketakutan, akhirnya membuka suara. "Kalian harus melakukannya. Jika suara itu berasal dari anak kalian... mungkin dia adalah kunci untuk menghentikan semua ini." Lila menatap Bima, matanya penuh keraguan. "Bagaimana jika ini jebakan? Bagaimana jika kita justru membawa Arga lebih dekat ke bahaya?" Bima menggenggam tangan Lila dengan erat, meskipun

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-30
  • Tumbal Purnama    7

    Ruangan itu terdiam sesaat setelah suara Arga menggema. Mata hijau menyala anak kecil itu tidak lagi tampak polos, melainkan seperti mata makhluk purba yang tahu segalanya. Sosok besar yang sebelumnya tampak mengancam kini terlihat gentar. “Tidak mungkin…” sosok itu bergumam, suaranya penuh ketakutan. “Jiwa Pohon Leluhur seharusnya terikat pada perjanjian! Bagaimana bisa…” Bima dan Lila hanya bisa terpaku, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Arga, yang sebelumnya hanyalah seorang bayi tak berdaya, kini memancarkan aura yang membuat akar-akar di sekitarnya berhenti bergerak. “Bima… apa ini? Apa yang terjadi dengan Arga?” bisik Lila, suaranya bergetar. Bima tidak menjawab. Ia hanya menatap anaknya, mencoba memahami situasi aneh yang baru saja terjadi. Tiba-tiba, suara lembut namun penuh wibawa terdengar dari altar di tengah ruangan. Suara itu berbeda dari sosok jahat yang mengancam mereka sebelumnya. “Anak itu adalah titisan kekuatan kami. Dia bukan hanya tumbal; dia adala

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-30
  • Tumbal Purnama    8

    Cermin itu memancarkan cahaya perak yang aneh, seperti undangan sekaligus peringatan. Suara gemuruh yang sebelumnya menggema kini berubah menjadi bisikan-bisikan samar, seakan-akan memanggil mereka masuk. Bima menatap cermin itu, lalu pada Lila yang menggenggam Arga erat-erat. “Kita tidak punya pilihan lain. Ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan Arga dan mengakhiri kutukan ini.” Lila mengangguk, meskipun tubuhnya gemetar. “Aku tidak peduli apa yang ada di balik sana. Selama Arga aman, aku akan lakukan apa saja.” Bima mengambil napas dalam, lalu melangkah mendekati cermin. Saat ia menyentuh permukaannya, cermin itu beriak seperti air. Sekejap kemudian, ia tersedot masuk. Lila mengikuti, dengan Arga dalam pelukannya. Saat mereka memasuki cermin, tubuh mereka terasa melayang di tengah kehampaan yang gelap. Tidak ada arah, tidak ada suara, hanya kegelapan yang mencekam. Tapi perlahan, kegelapan itu memudar, digantikan oleh pemandangan yang membuat darah mereka membeku. Mereka ber

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-31
  • Tumbal Purnama    9

    Langit yang berubah merah membuat seluruh dunia di balik cermin menjadi semakin mencekam. Gemuruh yang berasal dari Pohon Leluhur terus menggema, menciptakan getaran yang terasa hingga ke tanah di bawah kaki Lila. Ia terus berlari, meskipun napasnya semakin berat, memeluk Arga erat-erat. “Bima… di mana kau?” bisiknya, putus asa. Bayangan wanita yang mengejarnya tak kunjung hilang. Suaranya terus memanggil dengan nada yang penuh kebencian dan kemarahan. “Lila! Kau tidak bisa lari dariku. Anak itu adalah milik kami!” Lila terhenti di sebuah persimpangan yang dikelilingi oleh dinding akar. Tidak ada jalan keluar yang jelas. Ia merasa terkepung. “Tidak,” gumamnya. “Aku tidak akan membiarkanmu mengambil Arga.” Tiba-tiba, dinding akar di depannya terbuka, memperlihatkan sebuah lorong gelap yang penuh dengan suara gemuruh dari pohon besar di kejauhan. Tanpa pilihan lain, Lila memutuskan untuk masuk, b

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-31
  • Tumbal Purnama    10

    Lila tersentak ketika tubuhnya melayang, ditarik oleh kekuatan besar yang berasal dari Pohon Leluhur. Akar-akar pohon menggeliat di sekelilingnya, menciptakan lorong yang gelap dan menyeramkan. Arga di pelukannya terus bersinar terang, tetapi tangisnya semakin pelan, seolah-olah kekuatannya terkuras. “Arga, bertahanlah, Sayang. Ibu akan melindungimu,” bisik Lila dengan suara bergetar. Ia terhenti di sebuah ruangan besar di dalam Pohon Leluhur, sebuah tempat yang terasa seperti jantung dari kegelapan itu sendiri. Di tengah ruangan, sebuah bola energi merah menyala menggantung, memancarkan hawa panas yang membuat kulitnya terasa terbakar. Lila memandang sekeliling, mencari jalan keluar. Namun, ruangan itu dipenuhi dengan wajah-wajah mengerikan yang terperangkap di dinding pohon, menangis dan menjerit. Di luar pohon, Bima berjuang melawan akar-akar yang mencengkeram tubuhnya. Ia meraih batu kunci yang jatuh tidak jauh dari tem

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-31
  • Tumbal Purnama    11

    Ledakan besar itu mengguncang tanah, menghancurkan akar-akar pohon yang sebelumnya melilit Lila dan Arga. Bima berusaha melindungi tubuhnya dari serpihan kayu yang beterbangan. Saat debu mulai mengendap, ia melihat sesosok tubuh kecil terbaring di tanah. “Arga!” teriak Bima sambil berlari ke arah bayi itu. Arga masih bernapas, meskipun tubuhnya lemah dan dipenuhi jejak aura gelap. Lila berdiri dengan tubuh gemetar, mencoba menenangkan Arga yang kembali menangis. Namun, suara kakek buyut mereka kembali menggema, kali ini lebih menyeramkan dari sebelumnya. “Kalian pikir bisa menghancurkan kutukan ini begitu saja? Kalian baru saja membangkitkan inti kekuatan yang selama ini tersembunyi.” Di hadapan mereka, Pohon Leluhur yang sudah retak kini mulai menyatu kembali, tetapi kali ini bentuknya berubah. Akar-akar itu menyusun tubuh besar seperti makhluk humanoid dengan wajah menyerupai kakek buyut mereka, tetapi lebih bengis dan menakutkan.

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-31
  • Tumbal Purnama    12

    Ledakan cahaya itu memudar perlahan, meninggalkan keheningan yang menyesakkan. Bima dan Lila terbangun di tengah kehancuran. Pohon Leluhur kini tidak lagi berdiri megah; hanya akar-akar yang hangus dan retakan tanah yang tersisa. Namun, Arga tidak ada di mana pun. “Arga!” Lila berteriak panik, berlari di antara puing-puing. “Di mana dia? Bima, kita harus menemukannya!” Bima bangkit dengan tubuh yang terasa remuk. Ia memegang tangan Lila, mencoba menenangkan istrinya. “Kita akan menemukannya. Dia masih di sini, aku yakin.” Namun, suara tawa kecil yang menyeramkan menggema dari balik bayangan. Dari kegelapan, sesosok perempuan tua dengan mata merah menyala muncul. Kulitnya keriput, tetapi auranya memancarkan kekuatan yang mengintimidasi. “Kalian pikir ini sudah berakhir?” katanya dengan suara mencemooh. “Anak itu telah membuka pintu yang seharusnya tetap terkunci. Kalian baru saja memulai perjalanan menuju kehancuran yang lebih besar.”

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-31

Bab terbaru

  • Tumbal Purnama    20

    Ketukan di pintu semakin keras, seperti ada yang memaksa masuk. Lila memeluk Arga erat, sementara Bima berdiri di depan pintu, memegang parang yang ia ambil dari dapur."Siapa di sana?" teriak Bima, suaranya bergetar di antara keberanian dan ketakutan.Tidak ada jawaban, hanya suara ketukan yang terus menggema. Dari balik pintu, samar-samar terdengar suara tangisan anak-anak yang memilukan. Lila mencengkeram bahu Arga lebih kuat, takut kehilangan putranya.“Kita tidak bisa membiarkan mereka masuk,” bisik Lila, matanya penuh ketakutan.Namun, Arga mendekat ke pintu. “Aku harus tahu siapa mereka,” katanya pelan.“Arga, jangan!” cegah Bima, tapi Arga sudah meraih gagang pintu. Dengan hati-hati, ia membukanya sedikit.Di balik pintu, tidak ada siapa-siapa. Tidak ada anak-anak, tidak ada sosok manusia. Tapi udara dingin menyergap, membuat bulu kuduk mereka berdiri. Di depan pintu, terdapat jejak lumpur kecil, seperti langkah kaki anak

  • Tumbal Purnama    19

    Di tengah malam yang sunyi, angin malam menyapu daun-daun pohon beringin tua yang telah lama disegel di pinggir desa. Suara ranting yang bergesekan menciptakan nada menyeramkan, seperti bisikan roh-roh yang terperangkap di dalamnya. Lila berdiri di dekat jendela, menatap bayangan pohon yang samar terlihat dari rumah mereka. Dadanya bergemuruh dengan rasa gelisah yang tak mampu ia jelaskan.“Bima, aku merasa segel itu melemah,” ujar Lila, suaranya bergetar.Bima, yang sedang memeriksa laporan keuangan, menoleh dengan kening berkerut. “Itu hanya perasaanmu. Pohon itu sudah disegel dengan benar. Kita sudah bertahan 17 tahun tanpa masalah.”Namun, sebelum Lila bisa membalas, suara tangisan halus terdengar dari arah jendela. Bima segera berlari ke arah Lila, mengawasi sekeliling. Angin bertiup lebih kencang, dan bayangan pohon beringin itu tampak lebih gelap dari biasanya.Lila mengusap lengannya yang meremang. “Tangisan itu... seperti suara bayi, tapi ada sesuatu yang berbeda.”Tiba-tiba,

  • Tumbal Purnama    18

    Lila membeku di tempatnya. Kehadiran Bima, suaminya yang selama ini dianggap telah menghilang, membuat pikirannya berkecamuk. Bagaimana mungkin dia ada di sini? Apa hubungannya dengan semua ini?Bima berdiri di ambang pintu, wajahnya suram. Tubuhnya penuh luka, seolah-olah dia baru saja melarikan diri dari sebuah pertempuran. “Lila, jangan lakukan itu,” katanya dengan suara tegas. “Aku tahu kau ingin menyelamatkan keluarga ini, tapi mengorbankan dirimu bukanlah jalan yang benar.”“Bima? Apa yang terjadi? Kenapa kau tiba-tiba muncul sekarang?” Lila bertanya, matanya memancarkan campuran kemarahan dan kebingungan.Pria tua itu memandang Bima dengan tatapan tajam. “Kau seharusnya tidak berada di sini. Kehadiranmu mengacaukan keseimbangan.”Bima menatap pria tua itu dengan penuh kebencian. “Keseimbangan apa? Kau tahu betul bahwa ini semua permainan makhluk itu!” Ia menunjuk ke arah makhluk kecil yang berdiri di luar lingkaran pelindung, senyum jahatnya tidak pernah hilang.“Bima, jelaskan

  • Tumbal Purnama    17

    Ruangan terasa seperti medan perang antara kegelapan dan cahaya. Cahaya dari pedang Lila dan liontin Arga semakin bersinar terang, memantulkan kekuatan yang saling melindungi satu sama lain. Sementara itu, makhluk bayangan yang mengerikan meluas, memenuhi setiap sudut ruangan dengan aura mencekam. “Darah keluargamu adalah milikku!” makhluk itu meraung, suaranya menggema seperti petir. “Kalian tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari perjanjian leluhur kalian!” Lila melangkah maju, menggenggam pedangnya erat-erat. “Ini adalah akhir untukmu. Kutukan ini tidak akan lagi menghantui keluargaku.” Arga menatap ibunya dengan mata penuh keyakinan, meski tubuhnya yang kecil tampak bergetar. Liontin di tangannya memancarkan kilauan yang semakin terang, seolah-olah merespons cahaya dari pedang Lila. “Ibu, aku tahu kita bisa melakukannya bersama,” bisik Arga, tangannya terangkat tinggi dengan liontin yang bersinar seperti matahari. Lila mengangguk, air mata mengalir di pipinya. “Aku tidak

  • Tumbal Purnama    16

    Lila memasuki pintu kecil yang bercahaya, tubuhnya terasa berat dan lemah. Di balik pintu, ia menemukan dirinya berada di sebuah ruang putih yang luas dan sunyi, kontras dengan kegelapan yang baru saja ia tinggalkan. Suasana di sini terasa damai, tetapi ada aura kesedihan yang sulit dijelaskan. Di tengah ruang itu berdiri seorang pria tua dengan wajah yang penuh kebijaksanaan, mengenakan jubah panjang berwarna keemasan. Tatapannya lembut namun tajam, seperti bisa melihat langsung ke dalam jiwa seseorang. “Selamat datang, pewaris terakhir,” katanya. “Aku adalah penjaga keseimbangan. Kau telah berhasil melawan kegelapan, tetapi perjalananmu belum selesai.” Pengungkapan Kebenaran Terakhir Lila mendekat dengan hati-hati. “Aku telah menghancurkan makhluk itu. Bukankah kutukan ini seharusnya berakhir?” Penjaga itu mengangguk perlahan. “Ya, kau telah menghancurkannya. Tetapi akar dari kutukan ini masih tertanam dalam sejarah keluargamu. Untuk benar-benar mengakhirinya, kau harus membuat

  • Tumbal Purnama    15

    Lila menggenggam buku tua itu erat-erat, membaca kembali peringatan di halaman terakhir. Tempat semuanya bermula… Ia tahu apa yang dimaksud. Hutan di belakang rumah tua keluarganya, tempat kakek buyutnya membuat perjanjian pertama dengan makhluk kegelapan. Itu adalah pusat dari segala keburukan yang menimpa keluarganya. “Jadi, aku harus kembali ke sana,” gumamnya, memandang keluar jendela ke arah garis pepohonan yang tampak begitu pekat dan gelap, seolah-olah bayangan malam tidak pernah meninggalkan tempat itu. Namun, sebuah suara lembut mengganggunya, bergema dari lorong rumah. Itu suara anak kecil yang tertawa—suara Arga. “Arga?” Lila berlari menuju lorong, tetapi ia hanya menemukan keheningan. Tidak ada siapa-siapa di sana, hanya pintu depan rumah yang terbuka perlahan, mengarah ke kegelapan hutan. Dengan langkah mantap, Lila memasuki hutan. Pohon-pohon besar berdiri seperti penjaga yang mengintimidasi, dan suara dedaunan yang bergesekan terdengar seperti bisikan makhluk yang t

  • Tumbal Purnama    14

    Lila berdiri di depan makhluk itu, tubuhnya gemetar antara rasa takut dan kelelahan. Makhluk yang menjulang tinggi dengan mata menyala merah itu memancarkan aura yang begitu mengintimidasi, seolah-olah hanya dengan keberadaannya, ia mampu menghancurkan seluruh kehendak Lila. “Jadi, kau adalah pewaris terakhir dari keluarga yang berani mempermainkan kegelapan,” kata makhluk itu dengan suara dalam yang bergema. “Aku tidak datang untuk mempermainkanmu,” kata Lila, suaranya bergetar. “Aku datang untuk mengakhirinya.” Makhluk itu tertawa, suara tawa yang membuat lorong di sekelilingnya bergetar. “Mengakhirinya? Kau tidak tahu apa yang kau katakan. Darah keluargamu telah mengikatku selama berabad-abad. Aku adalah bagian dari kalian. Tidak ada akhir tanpa kehancuran total.” Makhluk itu mengangkat tangannya, dan dari kegelapan di sekitarnya, muncul bayangan-bayangan yang menyerupai orang-orang yang Lila kenal—Arga, Bima, dan ba

  • Tumbal Purnama    13

    Lila berdiri di ambang pintu batu hitam itu, menatap ke dalam kegelapan yang tampak seperti tak berbatas. Suara gemuruh samar terdengar dari dalam, seolah-olah ada sesuatu yang hidup di balik sana. Ia memandang ke arah Bima, yang hanya berdiri diam dengan senyuman yang mengandung campuran kehangatan dan kesedihan. “Lila, kau harus melangkah. Ini adalah akhir dari semuanya,” bisik Bima. “Tapi aku tidak bisa meninggalkanmu. Kau adalah segalanya bagiku,” jawab Lila, air mata mengalir deras di wajahnya. “Kau tidak meninggalkanku,” kata Bima dengan lembut. “Kau membebaskanku.” Kata-kata itu menusuk hati Lila. Ia tahu, langkah ini adalah satu-satunya cara untuk menghentikan kutukan yang telah menghancurkan hidup mereka. Dengan tangan gemetar, ia menggenggam medali itu erat-erat, menarik napas panjang, lalu melangkah ke dalam kegelapan. Begitu ia masuk, pintu di

  • Tumbal Purnama    12

    Ledakan cahaya itu memudar perlahan, meninggalkan keheningan yang menyesakkan. Bima dan Lila terbangun di tengah kehancuran. Pohon Leluhur kini tidak lagi berdiri megah; hanya akar-akar yang hangus dan retakan tanah yang tersisa. Namun, Arga tidak ada di mana pun. “Arga!” Lila berteriak panik, berlari di antara puing-puing. “Di mana dia? Bima, kita harus menemukannya!” Bima bangkit dengan tubuh yang terasa remuk. Ia memegang tangan Lila, mencoba menenangkan istrinya. “Kita akan menemukannya. Dia masih di sini, aku yakin.” Namun, suara tawa kecil yang menyeramkan menggema dari balik bayangan. Dari kegelapan, sesosok perempuan tua dengan mata merah menyala muncul. Kulitnya keriput, tetapi auranya memancarkan kekuatan yang mengintimidasi. “Kalian pikir ini sudah berakhir?” katanya dengan suara mencemooh. “Anak itu telah membuka pintu yang seharusnya tetap terkunci. Kalian baru saja memulai perjalanan menuju kehancuran yang lebih besar.”

DMCA.com Protection Status