Langit yang berubah merah membuat seluruh dunia di balik cermin menjadi semakin mencekam. Gemuruh yang berasal dari Pohon Leluhur terus menggema, menciptakan getaran yang terasa hingga ke tanah di bawah kaki Lila. Ia terus berlari, meskipun napasnya semakin berat, memeluk Arga erat-erat. “Bima… di mana kau?” bisiknya, putus asa. Bayangan wanita yang mengejarnya tak kunjung hilang. Suaranya terus memanggil dengan nada yang penuh kebencian dan kemarahan. “Lila! Kau tidak bisa lari dariku. Anak itu adalah milik kami!” Lila terhenti di sebuah persimpangan yang dikelilingi oleh dinding akar. Tidak ada jalan keluar yang jelas. Ia merasa terkepung. “Tidak,” gumamnya. “Aku tidak akan membiarkanmu mengambil Arga.” Tiba-tiba, dinding akar di depannya terbuka, memperlihatkan sebuah lorong gelap yang penuh dengan suara gemuruh dari pohon besar di kejauhan. Tanpa pilihan lain, Lila memutuskan untuk masuk, b
Lila tersentak ketika tubuhnya melayang, ditarik oleh kekuatan besar yang berasal dari Pohon Leluhur. Akar-akar pohon menggeliat di sekelilingnya, menciptakan lorong yang gelap dan menyeramkan. Arga di pelukannya terus bersinar terang, tetapi tangisnya semakin pelan, seolah-olah kekuatannya terkuras. “Arga, bertahanlah, Sayang. Ibu akan melindungimu,” bisik Lila dengan suara bergetar. Ia terhenti di sebuah ruangan besar di dalam Pohon Leluhur, sebuah tempat yang terasa seperti jantung dari kegelapan itu sendiri. Di tengah ruangan, sebuah bola energi merah menyala menggantung, memancarkan hawa panas yang membuat kulitnya terasa terbakar. Lila memandang sekeliling, mencari jalan keluar. Namun, ruangan itu dipenuhi dengan wajah-wajah mengerikan yang terperangkap di dinding pohon, menangis dan menjerit. Di luar pohon, Bima berjuang melawan akar-akar yang mencengkeram tubuhnya. Ia meraih batu kunci yang jatuh tidak jauh dari tem
Ledakan besar itu mengguncang tanah, menghancurkan akar-akar pohon yang sebelumnya melilit Lila dan Arga. Bima berusaha melindungi tubuhnya dari serpihan kayu yang beterbangan. Saat debu mulai mengendap, ia melihat sesosok tubuh kecil terbaring di tanah. “Arga!” teriak Bima sambil berlari ke arah bayi itu. Arga masih bernapas, meskipun tubuhnya lemah dan dipenuhi jejak aura gelap. Lila berdiri dengan tubuh gemetar, mencoba menenangkan Arga yang kembali menangis. Namun, suara kakek buyut mereka kembali menggema, kali ini lebih menyeramkan dari sebelumnya. “Kalian pikir bisa menghancurkan kutukan ini begitu saja? Kalian baru saja membangkitkan inti kekuatan yang selama ini tersembunyi.” Di hadapan mereka, Pohon Leluhur yang sudah retak kini mulai menyatu kembali, tetapi kali ini bentuknya berubah. Akar-akar itu menyusun tubuh besar seperti makhluk humanoid dengan wajah menyerupai kakek buyut mereka, tetapi lebih bengis dan menakutkan.
Ledakan cahaya itu memudar perlahan, meninggalkan keheningan yang menyesakkan. Bima dan Lila terbangun di tengah kehancuran. Pohon Leluhur kini tidak lagi berdiri megah; hanya akar-akar yang hangus dan retakan tanah yang tersisa. Namun, Arga tidak ada di mana pun. “Arga!” Lila berteriak panik, berlari di antara puing-puing. “Di mana dia? Bima, kita harus menemukannya!” Bima bangkit dengan tubuh yang terasa remuk. Ia memegang tangan Lila, mencoba menenangkan istrinya. “Kita akan menemukannya. Dia masih di sini, aku yakin.” Namun, suara tawa kecil yang menyeramkan menggema dari balik bayangan. Dari kegelapan, sesosok perempuan tua dengan mata merah menyala muncul. Kulitnya keriput, tetapi auranya memancarkan kekuatan yang mengintimidasi. “Kalian pikir ini sudah berakhir?” katanya dengan suara mencemooh. “Anak itu telah membuka pintu yang seharusnya tetap terkunci. Kalian baru saja memulai perjalanan menuju kehancuran yang lebih besar.”
Lila berdiri di ambang pintu batu hitam itu, menatap ke dalam kegelapan yang tampak seperti tak berbatas. Suara gemuruh samar terdengar dari dalam, seolah-olah ada sesuatu yang hidup di balik sana. Ia memandang ke arah Bima, yang hanya berdiri diam dengan senyuman yang mengandung campuran kehangatan dan kesedihan. “Lila, kau harus melangkah. Ini adalah akhir dari semuanya,” bisik Bima. “Tapi aku tidak bisa meninggalkanmu. Kau adalah segalanya bagiku,” jawab Lila, air mata mengalir deras di wajahnya. “Kau tidak meninggalkanku,” kata Bima dengan lembut. “Kau membebaskanku.” Kata-kata itu menusuk hati Lila. Ia tahu, langkah ini adalah satu-satunya cara untuk menghentikan kutukan yang telah menghancurkan hidup mereka. Dengan tangan gemetar, ia menggenggam medali itu erat-erat, menarik napas panjang, lalu melangkah ke dalam kegelapan. Begitu ia masuk, pintu di
Lila berdiri di depan makhluk itu, tubuhnya gemetar antara rasa takut dan kelelahan. Makhluk yang menjulang tinggi dengan mata menyala merah itu memancarkan aura yang begitu mengintimidasi, seolah-olah hanya dengan keberadaannya, ia mampu menghancurkan seluruh kehendak Lila. “Jadi, kau adalah pewaris terakhir dari keluarga yang berani mempermainkan kegelapan,” kata makhluk itu dengan suara dalam yang bergema. “Aku tidak datang untuk mempermainkanmu,” kata Lila, suaranya bergetar. “Aku datang untuk mengakhirinya.” Makhluk itu tertawa, suara tawa yang membuat lorong di sekelilingnya bergetar. “Mengakhirinya? Kau tidak tahu apa yang kau katakan. Darah keluargamu telah mengikatku selama berabad-abad. Aku adalah bagian dari kalian. Tidak ada akhir tanpa kehancuran total.” Makhluk itu mengangkat tangannya, dan dari kegelapan di sekitarnya, muncul bayangan-bayangan yang menyerupai orang-orang yang Lila kenal—Arga, Bima, dan ba
Lila menggenggam buku tua itu erat-erat, membaca kembali peringatan di halaman terakhir. Tempat semuanya bermula… Ia tahu apa yang dimaksud. Hutan di belakang rumah tua keluarganya, tempat kakek buyutnya membuat perjanjian pertama dengan makhluk kegelapan. Itu adalah pusat dari segala keburukan yang menimpa keluarganya. “Jadi, aku harus kembali ke sana,” gumamnya, memandang keluar jendela ke arah garis pepohonan yang tampak begitu pekat dan gelap, seolah-olah bayangan malam tidak pernah meninggalkan tempat itu. Namun, sebuah suara lembut mengganggunya, bergema dari lorong rumah. Itu suara anak kecil yang tertawa—suara Arga. “Arga?” Lila berlari menuju lorong, tetapi ia hanya menemukan keheningan. Tidak ada siapa-siapa di sana, hanya pintu depan rumah yang terbuka perlahan, mengarah ke kegelapan hutan. Dengan langkah mantap, Lila memasuki hutan. Pohon-pohon besar berdiri seperti penjaga yang mengintimidasi, dan suara dedaunan yang bergesekan terdengar seperti bisikan makhluk yang t
Lila memasuki pintu kecil yang bercahaya, tubuhnya terasa berat dan lemah. Di balik pintu, ia menemukan dirinya berada di sebuah ruang putih yang luas dan sunyi, kontras dengan kegelapan yang baru saja ia tinggalkan. Suasana di sini terasa damai, tetapi ada aura kesedihan yang sulit dijelaskan. Di tengah ruang itu berdiri seorang pria tua dengan wajah yang penuh kebijaksanaan, mengenakan jubah panjang berwarna keemasan. Tatapannya lembut namun tajam, seperti bisa melihat langsung ke dalam jiwa seseorang. “Selamat datang, pewaris terakhir,” katanya. “Aku adalah penjaga keseimbangan. Kau telah berhasil melawan kegelapan, tetapi perjalananmu belum selesai.” Pengungkapan Kebenaran Terakhir Lila mendekat dengan hati-hati. “Aku telah menghancurkan makhluk itu. Bukankah kutukan ini seharusnya berakhir?” Penjaga itu mengangguk perlahan. “Ya, kau telah menghancurkannya. Tetapi akar dari kutukan ini masih tertanam dalam sejarah keluargamu. Untuk benar-benar mengakhirinya, kau harus membuat
Di ruang tamu yang sunyi, Arga dan Anandia duduk berhadapan. Wajah Anandia tegang, sementara Arga menatapnya dengan sabar, menunggu penjelasan yang sudah lama ia tunggu."Arga," Anandia memulai, suaranya bergetar. "Aku harus memberitahumu sesuatu yang mungkin akan mengubah cara pandangmu terhadapku."Arga menyandarkan punggungnya, mencoba membuat Anandia merasa lebih nyaman. "Katakan saja, Anandia. Aku di sini untuk mendengar, apa pun itu."Anandia menarik napas panjang. "Keluargaku... mereka bukan keluarga biasa. Kami memiliki hubungan dengan sesuatu yang gelap, sesuatu yang tidak bisa aku hindari."Arga mengerutkan kening. "Hubungan dengan sesuatu yang gelap? Maksudmu apa?"Anandia menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata. "Dulu, sebelum aku lahir, keluargaku terlibat dalam sebuah ritual gaib. Ritual itu melibatkan leluhurmu, Arga."Arga tertegun. "Leluhurku? Apa hubungan keluargamu dengan kutukan itu?"Anandia men
Pagi itu, Arga kembali ke rumah dengan perasaan penuh pertanyaan. Percakapan dengan Anandia kemarin masih terngiang-ngiang di benaknya. Namun, saat ia hendak memasuki rumah, Anandia muncul di gerbang, seolah telah menunggunya."Anandia?" Arga menatapnya heran. "Kenapa kamu di sini?""Aku harus bicara, Arga. Ini soal keluargaku. Aku harus menjelaskannya sekarang," kata Anandia dengan nada serius.Arga ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. Ia membuka pintu dan mengajak Anandia duduk di ruang tamu. Lila dan Bima tidak ada di rumah, jadi tempat itu cukup tenang untuk percakapan mereka."Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Arga sambil menyilangkan tangan di dada.Anandia menatap ke arah jendela, matanya penuh kenangan pahit. "Dua tahun lalu, aku kehilangan keluargaku dalam sebuah kejadian yang tidak pernah bisa aku lupakan. Mereka dibunuh... oleh sesuatu yang bukan manusia."Arga terkejut. "Apa maksudmu, bukan manusia?"Anandia menghela napas panjang. "Sesuatu yang datang dari dunia ga
Suasana kelas yang semula riuh mendadak sunyi saat seorang gadis baru memasuki ruangan. Guru wali kelas tersenyum sambil memperkenalkan."Anak-anak, hari ini kita kedatangan murid baru. Perkenalkan dirimu, ya."Gadis itu maju ke depan kelas dengan langkah tenang. Rambut hitamnya tergerai rapi, dan matanya memancarkan keteguhan yang aneh."Halo, semuanya. Nama saya Anandia, saya baru pindah dari kota. Senang bisa bergabung di sini." Suaranya lembut tetapi penuh keyakinan.Bisik-bisik mulai terdengar di antara para siswa."Anandia cantik banget, ya," ujar salah satu siswa perempuan."Kayaknya dia tipe cewek pintar," timpal yang lain.Sheila yang duduk di sudut kelas memperhatikan dengan tatapan tak suka. Ia memelototi Anandia seolah langsung menganggapnya ancaman.---Saat Jam Istirahat.Anandia berjalan keluar kelas, mencari tempat untuk duduk sendiri. Namun, langkahnya terhenti saat ia melihat Arga di taman. Ia mendekat dengan ragu, lalu berkata, "Boleh duduk di sini?"Arga, yang seda
Hari itu, suasana kelas tampak lebih ramai dari biasanya. Guru wali kelas baru saja mengumumkan adanya kompetisi akademik tingkat provinsi, dan Arga, seperti biasa, langsung ditunjuk sebagai perwakilan sekolah. Namun, suasana berubah tegang saat nama lain disebutkan."Sebagai perwakilan kedua, kami memilih Farel," kata wali kelas dengan senyum.Semua murid mulai berbisik-bisik. Farel adalah salah satu siswa yang dikenal pintar, tapi sering terlihat iri dengan prestasi Arga. Wajah Farel tampak puas, tapi ada kilatan tantangan di matanya saat ia menatap Arga.Saat kelas usai, Farel menghampiri Arga yang sedang duduk di pojokan, membaca buku."Jadi, kita akan jadi tim, ya?" Farel membuka percakapan dengan nada sinis.Arga mengangkat wajahnya sekilas, lalu kembali fokus pada bukunya. "Tim? Kalau kau serius, mungkin," jawabnya datar.Farel terkekeh kecil. "Jangan terlalu percaya diri, Arga. Kau mungkin juara di sekolah, tapi ini tingkat provinsi. Aku hanya ingin memastikan kau nggak memper
Di SMA tempat Arga bersekolah, ketampanan, kepintaran, dan kepribadian misteriusnya membuat banyak siswi terpesona. Namun, ada satu siswi yang terobsesi melebihi yang lain, Sheila Ia bukan hanya sekadar menyukai Arga, tapi yakin bahwa Arga adalah takdirnya.Pagi itu, suasana di kelas Arga ramai seperti biasa. Arga duduk di bangku belakang, fokus mengerjakan soal tambahan yang diberikan gurunya. Di sudut lain, Sheila mengamati Arga dengan tatapan yang tidak bisa diartikan."Sheila, ngapain bengong? Lagi-lagi liatin Arga, ya?" sindir Siska, teman sebangkunya.Sheila tersenyum kecil. "Dia itu... beda. Kamu nggak ngerti."Siska memutar bola matanya. "Beda apanya? Dia cuma cowok dingin yang nggak pernah peduli sama siapa pun.""Itu karena dia belum kenal aku," balas Sheila yakin.Hari itu, di jam istirahat, Sheila membawa sekotak bekal yang dibuatnya sendiri. Ia berjalan ke arah meja Arga di kantin, di mana Arga sedang membaca buku s
Sekolah SMA tempat Arga belajar adalah salah satu sekolah paling bergengsi di kota. Gedungnya megah, dikelilingi taman luas dengan pepohonan rindang. Namun, suasana sekolah itu selalu menjadi saksi dari kehadiran seorang murid yang misterius dan penuh daya tarik, Arga.Arga adalah pemuda yang dikenal dengan sikap dingin dan cueknya. Ia jarang berbicara dengan teman-teman sekelasnya kecuali saat diperlukan. Namun, justru sikap inilah yang membuatnya begitu dikagumi."Arga itu keren banget, ya. Diam-diam bikin penasaran," bisik seorang siswi kepada temannya saat Arga melintas di lorong sekolah."Dia nggak cuma ganteng, tapi juga pinter banget. Nilai akademiknya selalu nomor satu, belum lagi dia jago basket. Idola banget deh!" sahut yang lain.Dalam berbagai kompetisi, nama Arga selalu muncul. Ia unggul di akademik, menjuarai olimpiade fisika tingkat nasional, dan juga merupakan kapten tim basket sekolah. Ketika Arga bermain di lapangan, tribun selalu dipenuhi sorakan siswa-siswi yang me
Arga segera berlari menghampiri Lila yang tergeletak di lantai. Wajahnya pucat, napasnya tersengal-sengal, dan keringat dingin mengalir deras di pelipisnya."Bu! Ibu kenapa?" Arga memeluk tubuh ibunya, mencoba membangunkannya.Bima bergegas mengambil air putih, tetapi bahkan setelah diminumkan, kondisi Lila tak kunjung membaik. Tubuhnya terus menggigil, dan bibirnya mulai membiru."Kita harus bawa dia ke rumah sakit sekarang!" ujar Bima panik.Namun, sebelum mereka sempat bergerak, Arga tiba-tiba terdiam. Matanya terpaku pada boneka jerami yang tergeletak di atas meja. Ia memungut boneka itu dengan hati-hati, dan sensasi dingin langsung menyelubungi tubuhnya."Pak, ini bukan sakit biasa," ujar Arga dengan suara pelan, namun penuh keyakinan.Bima menatap boneka itu dengan alis berkerut. "Apa maksudmu, Arga?"Arga menutup matanya, mencoba merasakan energi aneh yang memancar dari boneka tersebut. Dalam sekejap, ia mendapatkan penglihatan singkat: seseorang dengan wajah samar-samar sedang
Meski teror kutukan terus menghantui, keluarga Arga mencoba menjalani hari-hari mereka seperti biasa. Arga, meski memiliki banyak beban pikiran, tetap membantu keluarganya menjalankan usaha kecil mereka, sebuah toko bahan makanan yang terletak di tepi kota. Pagi itu, toko terlihat ramai. Lila sibuk melayani pelanggan, sementara Bima mengatur stok barang di gudang. Arga duduk di meja kasir, tetapi pikirannya melayang ke penglihatan-penglihatan yang ia alami. Wajah-wajah tumbal sebelumnya terus menghantui, memintanya untuk bertindak cepat. Seorang pelanggan mengetuk meja, membuyarkan lamunannya. “Arga, bisa tolong hitung ini?” tanya seorang wanita paruh baya sambil meletakkan beberapa barang. Arga tersenyum tipis dan segera memproses pesanan wanita itu. Namun, saat ia menyerahkan kembali uang kembalian, sebuah kilatan penglihatan muncul. Ia melihat wanita itu berdiri di tengah hutan gelap, menatap pohon kutukan yang dikelilin
Ketukan di pintu semakin keras, seperti ada yang memaksa masuk. Lila memeluk Arga erat, sementara Bima berdiri di depan pintu, memegang parang yang ia ambil dari dapur."Siapa di sana?" teriak Bima, suaranya bergetar di antara keberanian dan ketakutan.Tidak ada jawaban, hanya suara ketukan yang terus menggema. Dari balik pintu, samar-samar terdengar suara tangisan anak-anak yang memilukan. Lila mencengkeram bahu Arga lebih kuat, takut kehilangan putranya.“Kita tidak bisa membiarkan mereka masuk,” bisik Lila, matanya penuh ketakutan.Namun, Arga mendekat ke pintu. “Aku harus tahu siapa mereka,” katanya pelan.“Arga, jangan!” cegah Bima, tapi Arga sudah meraih gagang pintu. Dengan hati-hati, ia membukanya sedikit.Di balik pintu, tidak ada siapa-siapa. Tidak ada anak-anak, tidak ada sosok manusia. Tapi udara dingin menyergap, membuat bulu kuduk mereka berdiri. Di depan pintu, terdapat jejak lumpur kecil, seperti langkah kaki anak